Rabu, 28 Agustus 2013

Sekolah Negeri




Tadi pagi sempat ngerumpi sebentar dengan beberapa orang tetanggaku. Ada yang masih pegang sapu karena baru saja selesai beres-beres rumah, ada yang menenteng belanjaan karena baru pulang dari warung, ada juga yang baru pulang mengantarkan anaknya berangkat ke sekolah. (Kalau aku, kebetulan saja sedang membuka pintu pagar karena baru bangun tidur…., hehehe…)

Obrolan ringan dan candaan yang awalnya mewarnai rumpian kami pagi ini, lama-kelamaan menjadi agak serius juga ketika mulai membahas sekolah anak-anak. Mulanya sih karena aku menanyakan kenapa koq anak tetangga depan rumahku itu nggak sekolah.
“Masuk siang, jam sebelas…” jawab tetanggaku.
“Jam sebelas? Tanggung amat…, emang pulangnya jam berapa?” tanyaku.
“Teorinya sih jam satu siang, tapi biasanya sebelum jam satu dia juga sudah pulang.” jawab tetanggaku.
“Hah,  sekolah apaan masuk jam sebelas pulang jam dua belas? Emang kelas berapa sih?!” tanyaku heran.
“Kelas dua. Kan gentian sama kelas satu…” jawab tetanggaku.
“Koq jam sebelas sih masuknya. Seingatku dulu, kelas dua masuk jam sepuluh…”
“Kenyataannya sekarang begitu. Itupun dari kemarin-kemarin ini belum belajar bener. Malah waktu hari apa tuh, saya baru masukin motor, eh… nggak lama anaknya sudah nongol di pintu. Katanya gurunya kondangan, jadi begitu masuk kelas dan buka buku…, katanya bukunya suruh tutup lagi terus pulang…” katanya.

Tetangga depan rumahku ini masih tergolong keluarga muda, karena anak tertuanya baru kelas 5 SD, yang ke dua kelas 2 SD, dan yang ke tiga masih umur setahun lebih. Tadinya dia menyekolahkan kedua anaknya di Sekolah Swasta berbasis agama  yang lokasinya lumayan jauh dari rumah. Berangkat dan pulang sekolah anak-anaknya naik mobil jemputan yang penumpangnya berasal dari berbagai lokasi perumahan, sehingga anak-anaknya sampai rumah seringkali sudah lewat maghrib. (padahal dijemput pagi jam setengah enam) Makanya diapun memindahkan anak-anaknya ke Sekolah Negeri yang ada di depan Gerbang Kompleks Perumahan kami. (sekolahan anak ke duaku waktu SD kemarin).

Rupanya dia kaget dengan cara belajar di Sekolah Dasar Negeri yang ini. Beda jauh dengan apa yang selama ini dialaminya ketika anak-anaknya masih bersekolah di Sekolah Swasta.
“Di Sekolahnya yang lama, nggak ada tuh anak-anak pulang sekolah sebelum waktunya kecuali ada surat pemberitahuan dari sekolah.” katanya.
“Belum lagi sekelas isinya 51 anak…., gimana belajarnya coba!”
“Gurunya juga diam aja tuh biarpun anak-anaknya berisik sendiri…”

Hihihi…, dia kaget rupanya. Kekagetan yang sama yang ditunjukkan oleh suamiku ketika pertama kali mengantarkan anak pertamaku masuk sekolah ke Sekolah Dasar Negeri.
“Koq begitu ya sekolahnya Mie?!” katanya waktu itu.
“Gitu gimana?!” tanyaku yang merasa biasa saja, karena terus terang aku yang sejak SD, SMP, SMA dan Kuliah di Negeri terus,  tidak merasakan hal yang aneh. Dari dulu yang namanya sekolah itu ya begitu. (Karena aku tidak pernah sekolah di swasta, jadi tidak punya pembanding. Eh, pernah sih, waktu SD, dua tahun terakhir aku bersekolah di SD Swasta milik TNI AU karena pindah rumah, tapi suasananya tidak beda jauh sih…).
“Masak anak-anaknya lari-larian ke sana kemari, bahkan ada yang naik ke meja, tapi gurunya cuek aja. Tetap asyik di mejanya nggak tahu lagi ngerjain apa. Muridnya kebanyakan kali….” kata suamiku waktu itu. Selama hidupnya suamiku ini bersekolah di Sekolah Swasta yang berbasis agama dengan disiplin yang terkenal amat ketat. Tidak ada cerita santai atau tidak sopan. Semua tertata dengan cermat dan sanksi-sanksi tertentu.

Hhhh…, kalau sudah begini, otakku jadi ikutan muter deh. Tentang sarana nih, kata Pemerintah kan Program Wajib Belajar itu 9 tahun. Terdiri dari 6 Tahun di Pendidikan Dasar dan 3 tahun di Pendidikan Menengah. Nah, kalau namanya wajib, harusnya kan sarana untuk membuat ‘kewajiban’ itu terpenuhi juga sudah tersedia dengan oke ya?... Dalam artian, Gedung Sekolah Negeri yang cukup tersedia jumlahnya serta layak, jangan yang nyaris roboh. (Mohon yang berada di atas sana jangan tidur melulu pada saat rapat di Gedung Terhormat itu, pikirkan nasib anak negri pliiisssss...)

Misalnya saja, berapa banyak penduduk di satu wilayah kecamatan atau kelurahan tertentu bukannya itu termasuk salah satu item untuk membangun sebuah Sekolah Negeri ya?. Sehingga, perkembangan wilayah itu juga harus diikuti dengan pertambahan jumlah Sekolah Negeri yang tersedia. Apalagi di pinggiran-pinggiran kota besar dimana pertumbuhan perumahan saling bersaing dan penghuninya adalah rata-rata keluarga muda. Jumlah anak-anak usia sekolah dasar dan menengah pertama  itu bener-bener wuaduh jumlahnya…., buanyak banget.

Seperti di daerah tempat tinggalku ini. Hanya wilayah Kecamatan di pinggiran kota besar, tetapi setiap harinya selalu bertambah Pengembang-pengembang Perumahan Baru yang dengan segera terisi penuh. Tetapi jumlah Sekolah Dasar Negrinya tidak sebanding dengan jumlah peminat, termasuk jumlah Lokal-nya yang pas-pasan, sehingga terpaksalah setiap kelas rata-rata harus diisi murid lebih dari 50 siswa dengan jumlah guru cuma satu orang. Untuk Sekolah Dasar Swasta, lokasinya tidak ada yang dekat, semua jauh-jauh, jadi kalau tidak punya kendaraan sendiri ya harus ikut mobil jemputan dengan resiko, anak berangkat pagi-pagi sekali dan pulang lewat maghrib.

Begitu juga jumlah Sekolah Menengah Pertama Negri. Jumlahnya dapat dihitung dengan sebelah tangan saja, itupun belum penuh dari jari kelingking sampai jempol.  Akibatnya anak-anak harus bersekolah di tempat yang jauh dari rumah yang otomatis di luar wilayah tempat tinggal. (Kedua anakku sudah mengalaminya, yang pertama dulu harus berangkat dan pulang sekolah naik kereta, sekarang yang kedua terpaksa naik jemputan karena tidak ada kereta ke sana... hehehe...)

Kalau saja tiap wilayah punya jumlah Sekolah Negri yang memadai dan kualitas pendidikan yang merata, mungkin ini juga akan menghindari tumbuhnya salah satu sekolah menjadi Sekolah Favorit dan yang lain menjadi Bukan Sekolah Favorit. Sayangnya aku tidak tahu, berapa perbandingan ideal sebuah wilayah dengan pertumbuhan penduduk relative tinggi, ekonomi juga tinggi dengan jumlah Sekolah Negri yang harusnya ada.

Ada satu lagi tambahan, aku baca salah satu artikel di http://www.pendidikankarakter.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/....., sebaiknya Pendidikan Karakter mulai dimasukkan ke dalam kurikulum, kurasa good idea tuh….. !!



Bogor, 29 Agustus 2013

Sabtu, 17 Agustus 2013

Ironi Di Garis Depan Negeri




Hari ini, tepat di 68 tahun Indonesiaku, kembali aku harus terhenyak di kursiku. Seolah aku dijorokkan ke belakang ketika melihat acara Garis Depan yang ditayangkan KTV (Kompas TV) siang ini, setelah beberapa waktu yang lalu aku menonton acara senada di Kick Andy.

Sebuah Kota Kecamatan yang bernama Puring Kencana, adalah wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia dimana kehidupan social di dua wilayah beda negara ini benar-benar tampak seperti papan catur yang berwarna hitam putih. Kontras sekali.

Kebanyakan penduduk wilayah Puring Kencana mencari nafkah di kota sebelah yang notabene adalah wilayah Negara Tetangga. Para petani harus menjual hasil buminya di sana karena di Puring Kencana tidak ada pasar sebagai sarana mereka menjual dagangannya.

Bahkan anak-anak warga Puring Kencana terpaksa harus banyak yang bersekolah di wilayah Malaysia itu karena fasilitas yang disediakan sungguh bertolak belakang dengan kondisi di Puring Kencana. Berbagai kemudahan, sarana dan fasilitas gratis diberikan pada anak-anak yang bersekolah di wilayah Malaysia ini. Sungguh berbeda dengan sekolah yang ada di Puring kencana yang kondisinya rusak berat dan kekurangan tenaga guru dengan jumlah murid tidak lebih dari 10 orang di tiap kelasnya.

Apa khabar para Wakil Rakyat yang katanya memperjuangkan aspirasi rakyatnya? Mau yang di Daerah kek, ataupun yang di Pusat, janganlah lagi sibuk ngubek-ubek mengurusi yang di Kota-kota  Besar dan pulau Jawa saja. Mereka sudah berada di dalam system yang tanpa diurusipun sudah pasti dapat berjalan sendiri dengan lancar. Wilayah Perbatasan yang harusnya jadi Etalase Negri (pinjam istilah dari salah satu tokoh pemuda yang peduli dari wilayah garis depan ini) juga harus diurusi, masukkan agenda dalam daftar kerja, bukannya dicuekin seolah bagian dapur atau toilet orang Jakarta yang kurang mendapat perhatian bila dilihat oleh Negara Tetangga.

Melihat kontrasnya kehidupan di dua wilayah bertetangga ini, aku jadi ragu, harus takjub ataukah heran pada mereka yang tetap bertahan tinggal di kegelapan  Puring Kencana (karena listrik belum masuk ke wilayah ini) dan tidak melompat masuk ke Kota Modern Sri Anam di Negara tetangga yang begitu gemerlap dan berfasilitas lengkap. Kondisi infrastruktur yang parah dengan jalanan becek kalau hujan dan berdebu di musim kemarau sungguh berbanding terbalik dengan jalan-jalan lurus beraspal yang kinclong di kota sebelah.

Kelompok Anak Muda yang peduli negri itu membuat semacam komunitas Blogger yang mereka kelola demi menyalurkan aspirasi masyarakat perbatasan kepada para mereka yang berada di atas. Dengan Blog yang mereka tulis, diharapkan dapat memangkas birokrasi yang bertele-tele sehingga teriakan mereka terdengar ke atas dan kepada seluruh masyarakat luas, bahwa ada wilayah-wilayah tertentu yang amat sangat membutuhkan perhatian.

Mereka sangat bersemangat menyuarakan aspirasinya dan terus mendidik orang-orang baru untuk ikut menulis dalam Blog itu supaya teriakan mereka didengar. Kalau dengan usaha yang seperti inipun mereka belum juga ditengok oleh mereka yang di atas, entah bagaimana dan kepada siapa lagi saudara-saudara kita yang ada di perbatasan itu harus berteriak…..

Kalau ada yang tertarik ingin tahu lebih banyak tentang topic yang kutulis kali ini, coba saja minta tolong mbah google…, ketik saja Puring Kencana…. Ada banyak cerita tentang wilayah ini. Ada link Blog milik seorang warga yang bernama Marta Duri, http://martaiban.blogspot.com/2012/03/sejarah-puring-kencana.html


Bogor, 17 Agustus 2013

Jumat, 16 Agustus 2013

Masih Ada Saja




Ada seorang tetangga yang kebetulan juga teman kerjaku yang beberapa waktu lalu bercerita kalau dia punya gebetan orang bule.
“Kenal dari mana?” tanyaku.
“Dia yang tiba-tiba nge-chatt gua dan kadang nelpon dan ngomongnya romantic banget.” jawabnya.
Hmm…, aku mengernyitkan alis curiga.
“Sudah berapa lama kenal, dan sudah berapa lama dia ngerayu-rayu gitu…” tanyaku.
“Belum terlalu lama sih, dia bilang dia suka lihat foto gua…”
Aku menghembuskan nafas pendek, “ Hati-hati…. Jangan sembarang percaya, sebab biasanya nanti ujung-ujungnya duit…” kataku.
“Dia nelponnya pakai nomer apa?” tanyaku.
“Kadang nomer kantornya, tapi kadang nomer simpati…. Nih lihat deh….” katanya sambil menunjukkan nomer di HP-nya. Aku lupa angka depannya berapa, tapi yang jelas bukan +62 (08….), jadi memang dari Luar Negri.
“Yang nomer simpati beda-beda?” tanyaku.
“Iya, koq lo tau?” tanyanya.
Aku jadi ingat kalau pas buka YM dan ingin ngobrol sama anakku, awalnya aku kirim SMS dari sana ke nomer HP anakku, anakku pasti akan terima SMS dari nomer yang sama dengan providernya… tapi nomernya ganti-ganti, beda terus seiap kali aku kirim SMS. Katanya sih, kita bisa juga nelpon dari YM ini, gak kena biaya, tapi yang terima kena roaming. Itu katanya sih, aku belum pernah coba. Tapi kalau anakku balas SMS yang kukirim dari YM ini, dia akan kena 2.500 rupiah per SMS kalau gak salah, jauh lebih mahal bila dibandingkan kirim ke nomer HP biasa.
“Kalau gak salah, dia nelponnya pake fasilitas internet itu…, hati-hati aja, jangan sampai tertipu.” kataku.

Tidak berapa lama, kira-kira beberapa hari kemudian, temanku tadi bercerita lagi, “Eh, Ne….., masak katanya gua mau dikirimin Laptop sama dia…., katanya biar ngobrolnya enak, bisa langsung kelihatan muka…, dia juga mau kirim barang-barang yang lain…”
“Paling-paling nanti akan ada telpon yang bilang kalau paket itu nyangkut di mana gitu dan harus ditebus pake duit…” kataku.
“Iya, emang ada cewek nelpon gua, katanya dia tinggal di Malaysia….” katanya.
Hmm, lagu lama. Koq ya masih aja ada tipu-tipu seperti ini. Untungnya selain padaku, teman tadi juga cerita ke teman lainnya soal gebetan bulenya itu, dan temannyapun memperingatkan padanya supaya hati-hati. Seandainya cuma dengar dariku, belum tentu dia mau percaya begitu saja. Jadi ketika si cewek dari Malaysia itu SMS padanya bilang kalau ada paket yang harus ditebus, temanku ini menjawab dengan ketus kalau dia sudah tau jenis tipuan macam ini dan nggak bakalan tertipu.

Dulu, aku juga sering terima email tipuan semacam ini dari mana-mana karena waktu itu aku sering chatting di sebuah situs international yang memakai alamat email. Ceritanya macam-macam dan memang menggiurkan kalau belum pernah mengalaminya sendiri. Kata anakku, bikin drooling! (Baru terpikir, lumayan juga kalau ditulis…. Hehehe…, karena mereka jago mengarang… nanti deh kapan-kapan kalau sempat akan kucoba kutulis macam-macam cerita tipuan ini. Kalau ingat dan seingatku lho ya…)

Beberapa teman di FB juga ada yang mengalami, mereka yang tidak mudah tertipu pasti akan menganalisa dulu…, dari sisi mana seseorang yang berasal dari negeri antah berantah, yang sebelumnya belum pernah kenal sama sekali tiba-tiba bilang tertarik setelah melihat foto di FB, dan langsung menceritakan ‘kelebihannya’ yang berupa ‘kekayaan materi’  dan menyatakan cinta serta ingin segera menikahi. Apa mungkin wanita selalu identik dengan ‘menyukai materi’, pujian dan gombal ya, jadi para penipu itu mengambil sisi ini untuk masuk…… Hehehe….


Bogor, 17 Agustus 2013
Selamat 68 tahun Indonesiaku!!

Rabu, 14 Agustus 2013

Styrofoamkah Itu?




Seminggu lebih tidak keluar rumah, otomatis jadwal acaraku adalah nonton TV, browsing, tidur, dan masak mie instan kalau lapar. Sudah, itu saja berulang-ulang sampai rasanya jadi orang paling tidak berguna sedunia.

Mengikuti jadwal nonton TV anakku, aku masih bisa bernafas lega sebab ternyata acara yang ditontonnya masih dalam kategori yang kuijinkan. Dia masih suka nonton Mr. Bean, Sponge Bob, Si Bolang, Pengetahuan tentang Alam, Flora dan fauna, serta beberapa acara komedi. Aku tidak suka kalau dia nonton sinetron yang gak jelas-gak jelas, gak ada manfaatnya.

Salah satu acara komedi bersetting wayang modern dari salah satu stasiun televise swasta yang tiap malam ditontonnya itu lumayan menghibur juga. (Mungkin akan ada yang bilang kalau aku ketinggalan jaman ya, karena acara itu kan sudah lama…., kemana aja selama ini?! Hehehe…., maklum, aku kan jarang di rumah, jam-jam acara itu ditayangkan biasanya aku masih di perjalanan atau bahkan mungkin masih di lokasi survey)

Sungguh, acaranya inovatif dan kreatif, para pemainnyapun ekspressif. Akupun sering tergelak-gelak ketika menontonnya. Tetapi ada satu yang mengusik hatiku tentang property yang digunakan yang selalu ditulis di bawah layar yang menjelaskan kalau property itu tidak berbahaya. Tidak berbahaya dalam artian tidak sakit kalau dipukulkan, jadi anak-anak dilarang meniru memukul temannya dengan kursi, balok, atau apapun lainnya yang terbuat dari bahan aslinya karena yang di tivi itu bukan asli. Kurang lebih pasti seperti itu maksudnya.

Tapi bagiku, aku  melihat property itu sangat berbahaya untuk kehidupan masa depan. Kalau nggak salah, property itu terbuat dari Styrofoam ya? Styrofoam yang kata lainnya adalah sampah abadi? Sampah yang tidak akan pernah terurai sampai kapanpun. Walaupun katanya sekarang ada bahan lain yang dapat ditambahkan pada proses pembuatan Styrofoam itu sehingga benda ini menjadi ramah lingkungan dan akan dapat terurai dalam waktu 4 tahun. Memang lumayan ekstreem bila dibandingkan sampah plastic yang baru akan terurai selama 500 tahun.

Walaupun misalnya Styrofoam ini dapat terurai dalam waktu 4 tahun, tapi kalau tiap hari limbah yang dihasilkan dari acara-acara tivi semacam ini bisa satu ruangan banyaknya…., belum lagi yang dijadikan pembungkus makanan, rasanya tidak perlu waktu lama lagi untuk dapat membuat bumi ini segera tertutup dengan limbah tersebut dan kita semua berenang di atasnya. Selamat datang dunia baru, Dunia Styrefoam!

Yang kuherankan lagi, kenapa juga benda ini masih terus diproduksi dan dipakai untuk berbagai hal di dunia ini, sedangkan para ilmuwan sudah mengisyaratkan dampaknya? Bahkan sebagai pembungkus makananpun benda ini berbahaya untuk kesehatan. Komponen dalam Styrofoam ini (benzen, carsinogen, dan styrene) dapat menimbulkan kesrusakan pada sumsum tulang belakang, menimbulkan anemia dan mengurangi produksi sel darah merah hingga meningkatkan resiko kanker. Apakah hanya karena nilai ekonomisnya yang tinggi sehingga kita harus mengorbankan anak cucu kita?

Di sisi lain kita sudah dihimbau untuk sehemat dan sebijaksana mungkin dalam menggunakan kertas, karena semakin banyak kertas yang kita pakai, akan semakin banyak pula pohon yang kita tebang. Ini kan katanya supaya kita membantu menjaga bumi ini supaya tidak cepat gundul dan mengulur serta mengurangi dampak global warning. Tapi kenapa di sisi lain malah memproduksi limbah?

Entah apa yang kulihat di tivi ini memang benar Styrofoam ataukah hanya mata dan otakku saja yang parno sehingga melihat semua benda seolah calon limbah semua.




Bogor, 15 Agustus 2013

Senin, 05 Agustus 2013

Kolong Jembatan




Kolong Jembatan Layang di Grogol. Siapa yang pernah lewat situ? Yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya mungkin pernah kan? Minimal naik mobil dan melintas di bawahnyalah…. Tapi mungkin tidak banyak yang memperhatikan kalau sungai yang memisahkan dua lajur jalan raya itu airnya hitam lehek-lethek kayak lumpur, kotor buanget-nget-nget-ngetssss…

Beberapa kali aku sempat menapakkan kaki di area itu ketika aku turun dari busway untuk berburu responden yang kebetulan tinggal di daerah itu, dan beberapa kali pula aku sempat memperhatikan betapa kotornya air sungai itu.

Berbagai macam limbah menyatu di sana dan membentuk ‘kelethekan’ itu, ffuuih!! (Aku belum menemukan padanan kata ‘kelethekan’ dalam Bahasa Indonesianya, jadi buat yang tidak mengerti artinya, mohon maaf… hehehe…..). Kulihat permukaannya seolah tidak mengalir, entah di bagian dalamnya yang aku belum pernah masuk menyelaminya dan tidak akan pernah mau, tapi banyak  gelembung-gelembung kecil yang muncul ke permukaan dan tidak lama kemudian pecah.

Kucoba menggunakan kekuatan sinar X dalam pandanganku (yang ternyata aku tidak punya) untuk mencoba menembus apa yang ada didalam air sungai ini. Apakah ada organisme hidup yang mampu bertahan di dalam situ? Kalau bukan organisme hidup, darimana pula gelembung-gelembung itu muncul?

Puas memandangi air sungai, aku melepaskan pandanganku ke sekeliling. Loket penjualan tiket busway yang berada di wilayah ini, seolah menyatu dengan komunitas sekitar. Entah siapa yang duluan ada. Loket tiket busway ataukah komunitas itu karena sekarang ini semuanya sudah saling berhubungan.

Ada area parkir motor dan mobil, ada pedagang asongan yang standby di sekitar jembatan busway, dan ada banyak lapak-lapak tempat tinggal yang kebanyakan hanya menggelar alas tidur saja tanpa atap. (Mungkin kalau membuat dinding dan atap kardus, area itu akan tampak sangat kumuh dan pasti akan segera dibongkar KAMTIB). Tetapi perlengkapan hidup mereka lumayan juga. Ada tempat memasak dan menyimpan pakaian. Serta adanya sumur-sumur yang dibuat di pinggir sungai itu.
Bagaimana tingkat kejernihan atau kelayakan air sungai itu? Akupun tidak tahu, tapi yang jelas aku pernah melihat aktifitas ibu-ibu yang mencuci pakaian, bahan makanan dan anak-anak yang sedang mandi ketika melintas di situ.

Yang lebih menarik dan membekas di kepalaku sampai sekarang adalah, aku pernah melihat seseorang yang sedang belajar dan bermain dengan anak-anak kolong jembatan itu. Sayangnya saat itu aku sedang terburu-buru sehingga tidak sempat berhenti untuk mencari tahu. Kamera HP-ku juga tidak cukup canggih untuk mengabadikan suasana saat itu.

Yang jelas aku melihat seorang laki-laki putih bersih, sekitar umur 30-an, berkacamata, memakai baju batik merah lengan panjang, bersepatu kulit warna hitam yang dibahunya tergantung megaphone. Dia berdiri di tengah dan dikelilingi anak-anak yang sedang bernyanyi. (Tidak jelas apakah laki-laki ini sendirian saja atau bersama seseorang atau rombongan, karena kulihat banyak juga yang menonton aktifitas ini). Kalau melihat jumlahnya, anak-anak itu lumayan banyak….., kurasa lebih dari 20 orang. Aku juga tidak tahu apakah mereka hanya anak-anak yang tinggal di kolong jembatan ini saja ataukah anak-anak jalanan dari sekitar tempat itu. Sayang benar tidak banyak informasiku tentang ini karena keterbatasanku. Maybe next time.

Tulisan ini adalah salah satu cerita yang sempat tertunda karena keterbatasan waktuku (salahkan saja terus si waktu ini), yang membuat memoriku selalu memutar gambar orang berbaju batik merah itu. Semoga setelah kutuangkan ke sini, bayangan orang berbatik merah itu tidak akan terus menghantuiku, walaupun sangat sedikit yang dapat kutulis….. hehehe…..


Bogor, 6 Agustus 2013