Sabtu, 10 Juli 2010

Namanya "Nanang"

Aku sedang duduk ngobrol dengan seorang tetangga di teras, ketika dia lewat di depan rumahku. Mukanya menunduk seolah menghitung langkahnya, sedang langkahnya yang tertatih menyiratkan usia yang telah mulai uzur. Tangan kirinya memegang ujung sarung yang tidak pernah diikat seperti wanita Makassar yang memakai Baju Bodo, dan tangan kanannya memegang kantong plastic yang biasanya berisi makanan. Badannya tidak berbaju.

“Kenapa Tuhan tidak cabut saja nyawanya ya… “ kata tetanggaku. Aku meliriknya.

“Iyalah…, coba apa gunanya lagi dia hidup seperti itu. Dari hari ke hari, sampai sekian tahun…, dia masih saja seperti itu… “ katanya lagi.

Sekali lagi aku menengok padanya sambil tersenyum. Hmm….., memang sih, kalau dipikir-pikir…, betapa ajaibnya kehidupan ini. Kita yang amat begitu perhatian pada kesehatan dan makanan, masih saja bisa terserang berbagai macam penyakit. Mulai dari flu, demam berdarah, sampai kanker. Salah satu contoh, setiap sudut rumah disemprot dengan obat anti serangga, memakai berbagai lotion anti serangga dan lain-lain supaya terhindar dari gigitan nyamuk. Tetapi tetap saja ada yang terjangkit penyakit DBD. Sedangkan dia…, boro-boro pakai lotion anti serangga. Memakai baju saja tidak. Tidur di manapun dia suka. Makanpun apa yang kebetulan dia temui. Tetapi toh dia tetap sehat walafiat sampai bertahun-tahun ini.

Kalau tetanggaku tadi punya pikiran seperti itu, kalau aku malah lebih sering berpikir begini : kira-kira apa ya yang ada dalam pikirannya saat ini? Aku rasa dalam otaknya pasti tidak kosong. Aku yakin ada aktifitas yang tetap berjalan dengan kondisinya seperti itu. Bukankah sudah ada hasil penelitian yang menyatakan bahwa kondisi otak manusia jenius dan manusia tidak waras itu nyaris sama? Jadi bisa dibilang kalau orang gila itu sebetulnya lebih pandai dari orang normal. Bener nggak sih kesimpulanku itu?! Hehehe….

Dia, yang sedang kubicarakan dan jadi topic tulisanku ini namanya adalah Nanang. Seorang lelaki paruh baya (mungkin juga lebih tua) yang kehilangan ingatannya sejak bertahun-tahun lalu, dan aku tidak tahu pasti kapan bermulanya, sebab ketika aku pindah ke rumah ini kurang lebih 12 tahun yang lalu, keadaan Nanang ini sudah seperti itu. Berjalan menunduk dengan rambut gimbal yang tidak pernah melewati bahu panjangnya (nggak tahu siapa yang memotong rambutnya), tubuh bagian atas tidak pernah tertutupi pakaian, sedang tubuh bagian bawah dia tutupi dengan sehelai kain sarung lusuh yang salah satu ujungnya dia pegang karena memang tidak pernah diikat dengan benar.

Jarak jangkau pengembaraannya kurasa tidak pernah lebih dari 10 km. Dia hanya beredar di kompleks rumahku, kampung sebelah kompleks, terus beberapa kompleks perumahan sekitar rumahku dan beberapa kampung yang tidak jauh. Entah kenapa dia tidak berkelana lebih jauh lagi, seolah ada sesuatu yang mengikatnya sehingga perjalanannya hanya berputar-putar di sekitar ini saja.

Begitu juga dengan penampilannya. Dari hari kehari, sampai bilangan tahun berlalu, penampilannya tetap seperti itu. Konon pernah ada yang memberinya pakaian dan dimandikan dengan bersih, tetapi… esok harinya dia sudah kembali seperti itu. Dia tidak mau memakai baju, tetapi dia juga tidak mau bugil. Dia tetap memakai sarung untuk menutupi auratnya. Dia tidak pernah mengeluarkan suara, (Aku pernah melihatnya beberapa kali sedang duduk memandangi makanannya dan berkomat-kamit seolah mendo’ainya). Dia juga tidak agresif, sehingga kami tidak takut padanya. Tetapi, para orangtua selalu memakai namanya untuk menakut-nakuti anaknya yang tidak menurut atau mulai nakal : Awas, nanti ada Nanang lho!! Dan anak-anakpun takut padanya.

Kalau tentang namanya sendiri, pernah ada tukang ojek yang memanggilnya karena mau diberi makanan. Eh, dianya cuek aja. Menyahut enggak, nyamperinpun enggak. Malah aku jadi ragu, apa bener namanya memang ‘Nanang?’.

“Iya kan, apa gunanya ada orang-orang seperti dia?” tetanggaku kembali menyuarakan isi hatinya.

“Mungkin Tuhan biarkan ada orang yang seperti itu ya untuk manusia sendiri. Coba bayangkan, kalau nggak ada orang-orang seperti itu… pasti nggak ada dokter spesialis kejiwaan,… nggak ada jenis pekerjaan buat ngurusi orang-orang itu, nggak ada rumah sakitnya, nggak ada perawatnya, nggak ada tukang kebonnya, dan lain-lain. Nambah berapa pengangguran lagi dong…. “ jawabku asal.

“Lo ngasal..!!” kata tetanggaku.

Hehehe…. Aku ngasal ya? Tetapi memang bener deh, aku pingin tahu apa isi kepala mereka itu. Apa saja yang dipikirkannya selama ini…. Tapi, kira-kira menakutkan nggak ya ngobrol sama orang gila?!


Di suatu sore di teras rumah,

Bogor, 11 Juli 2010