Jumat, 27 September 2013

Bibit Premanismekah?



Dulu katanya kalau punya anak laki-laki bisa lebih tenang, lebih enjoy bila dibanding punya anak perempuan yang harus senam jantung setiap saat. Huft..!! Siapa bilang?! Sama saja coy!!

Dalam hal pelajaran, waktu SD anak laki-lakiku ini benar-benar menguras kesabaranku. Mulai kasus malas sekolah dan seminggu hanya masuk dua hari (karena waktu itu aku tugas ke luar kota selama 3 bulan, dan dia hanya mau sekolah kalau aku pulang), sampai kalau di suruh belajar matematika matanya merem. Setiap ulangan sumatif dia nggak punya jadwal, jadi nggak pernah tahu besok pagi ulangan apa. Disuruh les nggak mau ke tempat les lain, maunya les sama guru kelasnya saja di sekolah yang hasilnya tidak dapat maksimal karena kebanyakan peserta.

Sekarang, ketika sudah mulai menginjak di SMP, aku agak bernafas lega dalam urusan pelajaran karena ternyata dia cukup bersemangat menjalani sebagai siswa baru (mungkin merasa sudah gede, sudah remaja, bukan anak-anak lagi ). Kalau ada PR, langsung dikerjakan sendiri hanya terkadang minta ditemani karena tidak berani sendirian di dalam rumah.
Yang terakhir itu kemungkinan karena keseringan nonton acara TV yang berbau misteri dan dunia lain, sehingga di rumah sendiri saja nggak berani sendirian.

Yang jadi masalah sekarang ini, yaitu ternyata di lingkungan anak laki-laki selalu saja ada acara bully membully dan palak memalak. Pusing aku.
“Duit jajannya jangan utuh mamie, recehan aja. Gopekan, ribuan, sama dua ribuan.” katanya ketika kuberikan uang jajan selembar lima ribuan. Dia sendiri yang minta jajannya lima ribu saja karena di Sekolahannya tidak ada penjual makanan yang dia suka. Katanya hanya ada penjual kripik-kripik, cilok, dan minuman gopekan yang dia tahu kalau aku tidak memperbolehkannya beli, dan dia selalu membawa minum dari rumah.
“Kenapa harus recehan, recehannya buat mamie kembalian orang ngenet nanti…” jawabku.
“Nanti buat yang minta duit….” katanya lirih. Mungkin keceplosan, mungkin maksudnya tidak akan bercerita padaku.
“Ada yang suka minta duit? Siapa?!!” tanyaku.
“Ada, itu si A sama si B…”
“Teman jemputan? Rumahnya mana? Kenapa nggak lapor ke bu guru?” tanyaku.
“Bukan teman jemputan tapi sekelas…, rumahnya nggak tau di mana, mungkin dekat sekolahan…” katanya.
“Koq nggak lapor bu guru?” tanyaku.
“Biarin mamie, mintanya nggak banyak koq, cuma gopek jadi ngancamnya juga sedikit…” katanya santai.
“Pakai ngancam juga?!!” aku mulai jengkel.
“Iya, tapi cuma ngomong doang…., awas lo ya kalau bilang siapa-siapa…, gitu doang…” katanya lagi.

Hh…, ya sudahlah biarin saja, kan cuma minta gopek gopek, pikirku terpengaruh kalimat anakku tadi. Tapi, eittt…. Tunggu dulu!! Aku jadi berpikir keras, apa iya harus dibiarin walaupun hanya minta gopek…, sebab bukannya itu bibit-bibit premanisme? Belajar dari gopek dulu nanti lama-lama menjadi gobang!! (gobang=senjata). Tapi pikiranku itu akhirnya terpinggirkan dengan hal-hal yang lain. Maklum, manusia hidup, hehehe…., ada saja masalah di otakku yang ngantri untuk dicari solusinya.

“Mie, besok tolong jilidkan tugas kliping IPS ya…, sudah Ndiek simpan di FD…" katanya  sebelum tidur.
Malamnya kusempatkan memeriksa dulu tugas kliping yang minta dijilidkan itu dan merapikan sedikit formatnya biar besok tinggal di print dan dijilid.

“Nih Dek, sudah mamie jilidkan…” kataku sepulang kerja sambil menyodorkan pesanannya.
“Tau nggak Mie, kan si C minta dibuatkan juga klipingnya sama Ndiek…” katanya.
“Koq minta dibuatkan? Enak aja…, suruh bikin sendiri dong. Emang gimana ngomongnya, kenapa nggak bikin sendiri?”
“Ren, bikinin juga gua klipingnya ya! Awas lo kalau nggak lo bikinin, tau sendiri nanti!!” kata anakku.
Hhhh…hhh…, aku mulai kesal juga. Masak pergaulan anak laki-laki di luaran sana begitu amat sih? Apa ini karena Lokasi Sekolahan anakku yang amat jauh di Perkampungan, sehingga menganggap semua yang tinggal di Perumahan wajib di pajakin? Tapi itu kan Sekolah Menengah Pertama Negeri?!!
Aku jadi ingat, bertahun-tahun lalu, ketika anak tetangga sebelah rumahku pulang dari sekolah tanpa sepatu alias ‘nyeker’. Ceritanya, sepulang sekolah dia bersama beberapa orang temannya (anak laki-laki semua dan masih SMP), mampir main ke Taman Topi di dekat Stasiun Bogor. Ketika mereka sedang nongkrong, mereka dihampiri serombongan anak laki-laki dari Sekolah lain dan dipaksa menyerahkan sepatu yang sedang dipakainya itu. Sepatu temannya yang lain tidak diminta karena sepatu biasa, sedang sepatu anak tetanggaku itu memang kelihatan kalau sepatu mahal. Gila kan?!

Kata anakku, nanti kalau mamie lapor ke Sekolahan, Ndiek bakalan akan semakin dikerjain, bisa-bisa dihajar ‘kali…. Aku terdiam.
“Kenapa sih koq Ndiek sering dipalakin? Apa karena Ndiek badannya kecil? Apa yang lain enggak?” tanyaku.
“Yang lain juga banyak mamie, yang malakin itu ada juga yang bukan dari sekolahan, mungkin sudah lulus tapi nongkrongnya di kantin sekolah.  Falah yang badannya segitu gede aja hampir nangis kalau dipalakin…” kata anakku.

Gimana dong ini? Kalau aku lapor ke Sekolah, pasti anakku nanti jadi incaran, dan aku nggak yakin kalau orangtua anak-anak yang lain juga tahu kalau anaknya pada dipalakin. Anak-anak lainnya mungkin nggak sepolos anakku yang semua hal diceritakan ke orangtuanya.
Kata tetanggaku, yang kebetulan sempat kuceritakan hal ini (anaknya perempuan seumuran anakku dan sekolah di Sekolah Swasta berbasis agama yang full disiplin di Bogor Kota, beda kondisi banget), mending aku lapor via SMS saja ke Sekolah/Guru/Wali Kelas, tapi pakai nomer HP lain, jangan nomer HP-ku.

Anakku sempat cerita kalau beberapa waktu yang lalu juga ada beberapa anak yang mendapat hukuman karena ketahuan memalak temannya. Katanya sih sempat dijemur di lapangan sambil disuruh berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Tapi ternyata anak itu belum jera juga dan masih tetap melanjutkan kegiatan memalaknya dan mengerjain si pelapor. Waduh!!

Ada pikiran jelek yang menggelayutiku, yaitu…. anak-anak sebangsa anakku ini, yang tidak mempunyai daya upaya, nantinya nih, demi menyelamatkan diri supaya tidak selalu menjadi korban palak, maka mereka akan menerima tawaran geng pemalak itu untuk menjadi anggotanya…. Aduuuh, koq jadi kayak mafia ya? Aku terlalu parno nggak sih? Aduuuhhh…., gimana dong?! (Tuh, kan…. Siapa bilang punya anak laki-laki lebih santai daripada anak punya anak perempuan?)


Bogor, 27 September 2013
(lagi tepar di rumah, nggak bisa cari duit: akhirnya parno deh…)

Kamis, 19 September 2013

Reuni Lagi




Setelah kira-kira seperempat abad tidak pernah jumpa, akhirnya hari itu aku bertemu lagi dengan seorang sahabat lama. Namanya Supratmi, seorang dokter hewan yang saat ini menjadi salah satu pejabat eselon 3 di Kementrian Pertanian urusan (apa ya?) Perhewanan mungkin… di Kabupaten Lamongan,  (hehehe, aku nggak tahu pasti jabatannya sekarang apa, yang jelas pasti nggak jauh-jauh amat dari ngurusin hewan dan ternak….)

Kami bertemu terakhir kali ketika masih sama-sama kuliah dan tergabung di Kelompok Pecinta Alam yang sama di Universitas Airlangga, Wanala namanya. Setelah masing-masing lulus, ya…. bertebaran ke sana kemarilah kita. Masing-masing mencari langkahnya sendiri. Tetapi karena kecanggihan tekhnologi dan kejeniusan manusia yang berhasil membuat Jejaring Sosial, akhirnya kamipun dapat berhubungan lagi.

Hari itu, aku bertemu bertiga dengan seorang sahabat juga…, tapi yang ini lumayan ada beberapa kali bertemu karena kebetulan dia tinggal di Depok, tidak terlalu jauh dari rumahku, namanya Iswanti. Dulu dia dari Psikologi tetapi perjalanan kakinya membawanya bekerja di bidang akuntansi. Melenceng amir dari kuliahnya dulu….
(sssttt…, jangan ribut ya…, kurasa akupun tidak konsekwen dengan jurusan kuliahku dulu, dari Sosial Politik, sekarang malah jadi Interviewer di Riset Pemasaran,…. Harusnya kan jadi Menteri,… Hihihi….)

Foodcourt di Botani Square Bogor siang itu benar-benar luber dengan manusia,  sampai kami harus berputar-putar dulu mencari bangku kosong dan dengan muka tebal berdiri menunggu di dekat  satu keluarga yang sepertinya akan segera bangkit dari duduknya.
“Aku pingin pecel, di sini ada pecel nggak ya…, mulutku sudah seminggu nggak ketemu pecel…” kata Supratmi begitu kami mendapatkan tempat duduk.
“Nggak ada deh kayaknya, paling juga yang ada gado-gado…” kataku dan Iswanti.
Akhirnya mereka berdua pesan gado-gado, sedang aku pilih makanan favorit masyarakat sajalah…., bakso, yang ternyata itu adalah pilihan yang tepat, sebab kata kedua temanku itu, rasa gado-gado pesanan mereka kurang mengena di lidah….

Seperti umumnya teman-teman yang lama tidak saling jumpa, kamipun bernostalgia dengan cerita-cerita masa lalu. Ngerumpiin teman-teman dari masa lalu juga, sambil cekikikan bertiga.
Mengenang jaman dulu ketika Supratmi ini kuliah dengan berkacamata dan berekor kuda, prinsipnya lumayan keras, agak susah dibelokkan. Tapi sekarang dia ternyata lebih banyak bercanda dan tampak tidak sekeras dulu. Hanya satu yang tidak berubah, tubuhnya tetap ceking seperti dulu.

Kalau sahabatku yang satunya, dari dulu memang wajahnya sudah bulat, senang tertawa, yang  sekarang semakin nyempluk, serta masih suka tertawa, dan dikuti tubuhnya yang lumayan agak mengembang… hehehe….

Kalau aku, kata mereka aku sekarangpun jauh lebih nyempluk daripada dulu, tubuhkupun sudah mengalami pemuaian dan kegosongan karena sering terkena panas… (maklum, kerjaan interviewer kan memang di jalanan terus, menjadi anak matahari…….)

Tapi apapun chasing kami sekarang ini, isi hati kami tetap seperti dulu, saling sayang sebagai sebuah keluarga besar dari terakibatnya kutukan yang membanggakan, yaitu sebagai anggota Pecinta Alam UA, yang semoga tidak akan terkudeta oleh labil hati, hihihi…. Salah ya, labil ekonomi…..

Foto kami bertiga itu sengaja pakai auto kamera, karena kata Iswanti kami nggak pede kalau harus minta tolong mbak-mbak atau mas-mas yang jaga di sana, sebab takut kelihatan bulet. Tapi aku protes lihat hasilnya, karena pipiku tampak nyempluk banget di situ….., itu karena kesalahan posisi dan kamera…. Sehingga tidak sesuai aslinya…. Hehehe…. (karena aku yang jepret, jadi aku kan paling dekat tuh…, jadi nyempluk deh….)



Bogor, 19 September 2013

Senin, 02 September 2013

Melongok Sedikit ke Belakang




Beberapa hari lalu aku menerima SMS dari sahabat lama, --- teman nongkrong di DKS (Dewan Kesenian Surabaya) puluhan tahun silam ketika aku masih kuliah, yaitu seorang penulis yang bernama Henri Nurcahyo (http://radiobuku.com/2010/03/henri-nurcahyo-sepuluh-lembar-untuk-sahabat-pena/), --- yang isinya mengatakan kalau dia sedang ada di Bogor sampai 3 hari ke depan untuk meliput Pameran Bonsai Nasional yang diadakan di halaman Bekas Kantor Kabupaten Bogor di Jl. Veteran Bogor.

Mumpung kerjaanku agak bisa kucuekin, maka akupun mencuri waktu dan menyempatkan diri untuk menemui sahabat lamaku ini.  Sehingga ketika pulang dari kantor  aku langsung bablas ke Bogor tidak turun di Stasiun tempat tinggalku yang masih dua stasiun lagi ke Bogor.

Kalau kuingat-ingat, ternyata  cukup lama juga aku tidak menginjakkan kaki di Stasiun Bogor, yang mengakibatkan aku ketinggalan jaman dan  tidak tahu perubahan terakhirnya seperti apa, teristimewa sejak terjadi perombakan pengelolaan atau istilah kasarnya pembersihan pedagang-pedagang dari area stasiun seluruh wilayah Jabodetabek.

Hasilnya, akupun  lumayan kaget melihat suasana Stasiun Bogor yang sekarang tampak benar-benar seperti Stasiun Kereta betulan, bukan Pasar seperti biasanya… hehehe…
Dulu, suasana di dalam stasiun seperti berada di dalam suatu tempat tertutup karena di sepanjang kanan dan kiri tertutup bangunan-bangunan/warung-warung/toko-toko/kios-kios, dan lain-lain.
Sekarang, suasana stasiun terasa lega sekali. Tidak ada bangunan pedagang yang selama ini membuat suasana seperti terisolir. Tempat itu sekarang menjadi area parkir kendaraan bermotor (mobil dan motor) yang luas. Bahkan jembatan penyebrangan dan jalan raya di depan kantor PLN itu terlihat jelas.

Aku berjalan  kaki ke arah Jembatan Merah kemudian menyeberang jalan dan meneruskan perjalanan menuju Mall Bogor Trade World yang dulu…..,  ketika aku masih sering mengantarkan anakku sekolah di Jalan Polisi, bangunan ini belum ada.

Akhirnya kutemukan juga sahabat lamaku itu. Memakai baju putih, topi pet, dan memegang kamera, penampilan khas wartawan… hehehe…. (dia dulu memang wartawan beberapa media cetak terkemuka di Surabaya).
Masih seperti dulu…., hanya rambut putihnyalah yang membedakan bahwa kami sekarang sudah berada di jaman yang berbeda pula…. (Dia boleh jadi tua dan beruban, tapi kalau aku, aku masih merasa berumur 18 tahun tuh…. Hehehe….)

Obrolan tak berujung tak berpangkalpun bergulir lepas. Membahas semua-mua….., mulai dari keluarga, pekerjaan, teman-teman dari masa lalu, sampai hal-hal sekarang, hal-hal nanti, dan apa-apa yang masih jadi mimpi buat kami…

Nostalgia, mengorek kembali semua kenangan masa lalu itu sungguh indah. Masa-masa baru mulai belajar hidup dan mengais pelajaran dari sana-sini.
Terus terang, masa kuliahku dulu kurasa hanya 20% belajar di kampus (akademis), 30% di Sekretariat Pecinta Alam Wanala, 30% di DKS, 20% di mana-mana….
“Kerjaanmu sekarang ini kan kerjaan jaman mahasiswa dulu, kenapa koq sampai sekarang masih kamu kerjakan. Harusnya kan kamu anteng di kantor…. “ katanya.
“Waduh, kayaknya aku gak cocok jadi orang kantoran deh…, sudah beberapa kali pernah kucoba dan ternyata gak betah….. Malah, ada saatnya aku malah harus berantem dengan seseorang gara-gara cara mikir yang gak sama…” jawabku.
“Yang sekarang ini sudah berapa lama, koq betah lho?!” tanyanya lagi.
“Di sini belum ada yang nggarai…, lagian ini kan bukan kerja kantoran…” jawabku.
“Hahahahaaaa……” kami tertawa bareng. Mungkin dia menertawakan kekeras-kepalaanku, aku sendiri menertawakan apa ya?! Ah, pokoknya tertawa sajalah….
Obrolan kami banyak memakai bahasa Suroboyoan, jadi orang-orang yang mendengar obrolan kami pasti tahu kalau kami orang Surabaya. Bahasa Derah yang khas, meledak-ledak, ramai, dan ekspresif…. (Bangga banget aku!)

Hari menjelang gelap, lampu-lampupun mulai menggantikan tugas matahari.  Itu semua mengingatkan pada kami bahwa kamipun harus menyudahi pertemuan ini untuk kembali ke asal masing-masing, hehehe….


Bogor, 1 September 2013