Minggu, 16 September 2012

Tentang Anak Jalanan



Hari ke tiga tinggal di rumah tanpa ada target planning kerjaan yang harus selesai hari ini atau besok koq rasanya aneh juga ya. Maklum, sudah biasa tiap hari dikejar-kejar laporan laporan dan laporan, hehehe…

Mengharap dapat surprise sms seperti dua minggu yang lalu rasanya juga nggak mungkin, sebab dari melek mata subuh tadi hapeku benar-benar anteng, belum bergetar ataupun berteriak-teriak sama sekali (jadi merasa seperti tidak dibutuhkan lagi).

Akhirnya kuambil sapu dan mulai menyapu teras serta warnet. Eh,  waktu aku masih menyapu warnet, tidak lama kemudian ada pengamen yang datang. Sebetulnya dalam hati sempat jengkel juga, masak pagi-pagi sudah ngamen, sedangkan aku nyapu warnet aja masih belum kelar. Tapi kemudian terpikir olehku satu hal, yaitu, mungkin pengamen itu sengaja berangkat pagi-pagi supaya tugasnya mencari nafkah hari ini cepat selesai dan dia bisa pulang lebih cepat sehingga asap di dapur bisa segera mengepul.

Tentang pengamen ini, sebetulnya pikiranku bercabang antara negative dan positif. Sebab, beberapa hari lalu ketika ngobrol dengan teman-teman tentang pengamen dan anak jalanan yang menguasai angkutan umum di Jakarta, wowww…., agak membuatku takut dan ngeri mendengarnya, terlebih yang beroperasi malam hari.

Waktu aku pulang malam berdua dengan temanku, kalau nggak salah sekitar jam sepuluh, kami naik kopaja 75 jurusan Blok M – Pasar Minggu, nanti sampai di Pasar Minggu baru nyambung kereta yang ke Bogor, di tengah perjalanan ada dua orang anak laki-laki yang perawakan dan umurnya kukira tidak jauh beda dengan anakku di rumah, kira-kira masih kelas 5 atau 6 SD. Yang satu naik dari pintu depan sambil membawa mandolin, yang satu lagi naik dari pintu belakang tanpa membawa apa-apa. Tapi ketika anak yang di depan mulai menyanyi, si anak satunya yang di pintu belakang hanya bertepuk tangan mengiringi temannya.
”Tepuk tangan doang lo!” tegur yang di depan di sela-sela nyanyiannya.
“Iya nih, gue capek!” sahut temannya sambil tetap bertepuk tangan.
“Jangan mau enaknya aja lo!” tegur temannya lagi. Waduh, koq mereka jadi bertengkar ya… Akupun menoleh ke belakang mencoba menghitung berapa banyak penumpang di belakang, sebab yang di depan kami cuma 6 orang, 8 orang dengan kami dan itupun cewek semua. Ditambah sopirnya cowok dan keneknya cewek. Ternyata di belakang kami duduk masih ada 2 orang cowok yang duduknya berjauhan.
Aku ngeri membayangkan kalau dua orang pengamen itu jadi berantem di sini, gimana misahinnya? Sementara hati kecilku miris juga dengan kenyataan bahwa anak sekecil itu harus berkelahi dengan waktu (jadi ingat lagunya Iwan Fals).  

Tetapi bersyukurlah, ternyata anak laki-laki yang di pintu belakang kemudian ikut berteriak menyuarakan lagu dangdut milik orang dewasa yang mungkin sekarang sedang ngetren tapi aku tidak tau lagu apa itu. Aku kemudian sibuk mencari recehan buat ngisi kantong yang diedarkan mereka. Kasihan, seharusnya jam segini mereka sudah tidur di rumah.

Kemarin dulu di tempat kerja, ketika aku dan beberapa teman sedang ngerumpi sambil makan siang, ada yang bercerita saat dia sedang naik kopaja (ke arah mana aku lupa, tetapi malam hari juga), pas di lampu merah, tiba-tiba ada dua orang anak  remaja tanggung laki-laki yang berpakaian gaya punk yang melompat naik ke atas bis. Salah seorang dari mereka berteriak ke penumpang, “Hooiii….., siapa yang tadi ngusir adik-adik gue yang lagi cari makan turun dari sini?!” katanya sambil menggebrak body dan atap bis dengan sarung tangan besinya yang berduri-duri itu. Sarung tangan atau senjata apa sih itu namanya yang dipasang di antara jari-jari tangan dengan duri-duri dari besi.
“Eh, ada seorang bapak-bapak yang nyahut, dia ngaku kalau dia tadi yang ngusir anak-anak itu karena mereka tidak sopan.” kata temanku, “Ya ngamuklah itu anak dengarnya… Dia berteriak teriak sambil mengancam si bapak di suruh turun. Tapi si bapak nggak mau turun, dan entah kenapa mereka berdua cuma berteriak-teriak dari pintu doang, bukannya langsung nyeret si bapak turun.”
“Turun sini lo pak, mati lo sama gue!!” kata temanku meneruskan ceritanya. Sementara dalam hatinya dia takut banget dan menyumpahi lampu merah yang nggak hijau-hijau.
“Ya jangan sampai membunuhlah…, eh, si bapak nyahut lagi. Bego banget tuh si bapak.” katanya lagi. Sementara si anak jalanan itu tetap teriak-teriak sambil menggedor-gedor bis.
“Kenapa lo nggak turun aja?!” tanya temanku yang lain.
“Gila lo, ya gue lebih takut lagi kalau turun. Orang mereka pas berdiri di depan gue…., kalau mereka tambah ngamuk liat gue turun dan duri besinya itu digoserin ke pipi gue gimana?!” sahutnya.
“Nah, begitu lampu ijo nyala, turunlah mereka. Si bapakpun langsung diomelin orang-orang se bis. Dibilang, lain kali jangan pakai ngusir-ngusir anak jalanan kayak tadi. Biarin aja, namanya juga anak-anak jalanan, mau disuruh sopan gimana lagi…” kata temanku dengan emosi.
“Iya, kalau di kendaraan umum ada anak-anak pengamen atau yang minta-minta seperti itu, mending kasih seribu daripada bikin masalah. Daripada lo digores siletnya…. Banyak lo yang bawa silet dan disilet-siletkan ke tangannya sendiri sampai berdarah-darah…, bahkan kadang siletnya dikunyah buat nakut-nakutin penumpang…” temanku yang lain menimpali.
“Gue, juga pernah tuh, duduk di belakang. Pas ada sms, gue balesin kan… eh, cewek sebelah gue nyenggol-nyenggol  kasih isyarat ke gue suruh lihat ke arah depan. Ternyata ada dua orang anak jalanan yang matanya langsung melotot ke gue sama hape gue. Langsung tuh hape gue masukin ke tas dan gue dekepin. Bapak-bapak di kiri gue, gue suruh mepetin gue…, biar nggak ada jarak dan anak jalanan itu nggak bisa nyelonong duduk di sebelah gue… Singkong mentah yang tadi gue beli juga gue dekepin di atas tas. Kalau dia mau nusuk, biarin kena singkongnya dulu…” kata teman yang lain.  
“Lo juga yang salah, ngapain ngeluarin hape di tempat kayak gitu, duduk di belakang lagi. Terus, akhirnya gimana?” timpal teman yang lain.
“Akhirnya dia turun tapi sambil nyamperin gue, dan di muka gue dikasih tiga jari tangannya sambil ngatain gue ‘fuck you’…”
Hmmh…. Padahal, kata anak-anak punk… mereka kan bukan criminal, mereka hanya berpakaian berbeda saja dengan orang kebanyakan. Aktifitas dan kegiatan kreatif mereka tidak berbeda dengan yang lain.  Tapi kalau ada anak-anak jalanan criminal yang kebetulan juga berpenampilan ala punk seperti ini, mungkin jangan salahkan masyarakat yang jadi apriori terhadap mereka, sebab kebanyakan orang tidak dapat membedakan dengan jelas, mana anak punk asli dan mana yang palsu, seperti aku juga sih.

Gimana, ternyata aksi anak jalanan yang di bis-bis kota itu lebih mengerikan daripada yang beroperasi di atas kereta ya…  Kalau yang di atas kereta kan paling-paling cuma minta duit sambil mencolekkan tangan dekilnya. Atau kalau yang nyapuin sampah dan nggak dikasih, paling-paling sampahnya ditaroh di kaki kita. Nggak ada yang sampai mau membunuh penumpang kayak gitu. Apalagi pengamennya, nggak ada yang maksa koq. Pengamen di Stasiun Bogor malah banyak kelihatan yang terpelajar.

Kenapa bisa begitu ya…, aku jadi mereka-reka sendiri. Mungkin kalau anak-anak jalanan yang beroperasi di angkutan umum, kalau mereka berbuat kejahatan kan masih bisa lari ke segala arah. Jadi mereka berani bertindak lebih. Sedangkan yang di atas kereta, mau lari ke mana kalau kereta sedang melaju? Apa mau melompat dan kehilangan nyawa? Hehehe…, mungkin itu jawaban terbaik yang bisa kudapatkan kali ini. Besok, siapa tau aku mungkin dapat pikiran yang lain…., so sekarang udahan dulu ya….




Bogor, 16 September 2012