Hari ke tiga tinggal di rumah
tanpa ada target planning kerjaan yang harus selesai hari ini atau besok koq
rasanya aneh juga ya. Maklum, sudah biasa tiap hari dikejar-kejar laporan
laporan dan laporan, hehehe…
Mengharap dapat surprise sms
seperti dua minggu yang lalu rasanya juga nggak mungkin, sebab dari melek mata
subuh tadi hapeku benar-benar anteng, belum bergetar ataupun berteriak-teriak
sama sekali (jadi merasa seperti tidak dibutuhkan lagi).
Akhirnya kuambil sapu dan mulai menyapu
teras serta warnet. Eh, waktu aku masih menyapu
warnet, tidak lama kemudian ada pengamen yang datang. Sebetulnya dalam hati
sempat jengkel juga, masak pagi-pagi sudah ngamen, sedangkan aku nyapu warnet
aja masih belum kelar. Tapi kemudian terpikir olehku satu hal, yaitu, mungkin
pengamen itu sengaja berangkat pagi-pagi supaya tugasnya mencari nafkah hari
ini cepat selesai dan dia bisa pulang lebih cepat sehingga asap di dapur bisa segera
mengepul.
Tentang pengamen ini, sebetulnya
pikiranku bercabang antara negative dan positif. Sebab, beberapa hari lalu
ketika ngobrol dengan teman-teman tentang pengamen dan anak jalanan yang
menguasai angkutan umum di Jakarta, wowww…., agak membuatku takut dan ngeri
mendengarnya, terlebih yang beroperasi malam hari.
Waktu aku pulang malam berdua
dengan temanku, kalau nggak salah sekitar jam sepuluh, kami naik kopaja 75
jurusan Blok M – Pasar Minggu, nanti sampai di Pasar Minggu baru nyambung
kereta yang ke Bogor, di tengah perjalanan ada dua orang anak laki-laki yang
perawakan dan umurnya kukira tidak jauh beda dengan anakku di rumah, kira-kira
masih kelas 5 atau 6 SD. Yang satu naik dari pintu depan sambil membawa
mandolin, yang satu lagi naik dari pintu belakang tanpa membawa apa-apa. Tapi
ketika anak yang di depan mulai menyanyi, si anak satunya yang di pintu
belakang hanya bertepuk tangan mengiringi temannya.
”Tepuk tangan doang lo!” tegur
yang di depan di sela-sela nyanyiannya.
“Iya nih, gue capek!” sahut
temannya sambil tetap bertepuk tangan.
“Jangan mau enaknya aja lo!”
tegur temannya lagi. Waduh, koq mereka jadi bertengkar ya… Akupun menoleh ke
belakang mencoba menghitung berapa banyak penumpang di belakang, sebab yang di
depan kami cuma 6 orang, 8 orang dengan kami dan itupun cewek semua. Ditambah
sopirnya cowok dan keneknya cewek. Ternyata di belakang kami duduk masih ada 2
orang cowok yang duduknya berjauhan.
Aku ngeri membayangkan kalau dua
orang pengamen itu jadi berantem di sini, gimana misahinnya? Sementara hati
kecilku miris juga dengan kenyataan bahwa anak sekecil itu harus berkelahi
dengan waktu (jadi ingat lagunya Iwan Fals).
Tetapi bersyukurlah, ternyata
anak laki-laki yang di pintu belakang kemudian ikut berteriak menyuarakan lagu
dangdut milik orang dewasa yang mungkin sekarang sedang ngetren tapi aku tidak
tau lagu apa itu. Aku kemudian sibuk mencari recehan buat ngisi kantong yang
diedarkan mereka. Kasihan, seharusnya jam segini mereka sudah tidur di rumah.
Kemarin dulu di tempat kerja,
ketika aku dan beberapa teman sedang ngerumpi sambil makan siang, ada yang
bercerita saat dia sedang naik kopaja (ke arah mana aku lupa, tetapi malam hari
juga), pas di lampu merah, tiba-tiba ada dua orang anak remaja tanggung laki-laki yang berpakaian gaya
punk yang melompat naik ke atas bis. Salah seorang dari mereka berteriak ke
penumpang, “Hooiii….., siapa yang tadi ngusir adik-adik gue yang lagi cari
makan turun dari sini?!” katanya sambil menggebrak body dan atap bis dengan
sarung tangan besinya yang berduri-duri itu. Sarung tangan atau senjata apa sih
itu namanya yang dipasang di antara jari-jari tangan dengan duri-duri dari
besi.
“Eh, ada seorang bapak-bapak yang
nyahut, dia ngaku kalau dia tadi yang ngusir anak-anak itu karena mereka tidak
sopan.” kata temanku, “Ya ngamuklah itu anak dengarnya… Dia berteriak teriak
sambil mengancam si bapak di suruh turun. Tapi si bapak nggak mau turun, dan
entah kenapa mereka berdua cuma berteriak-teriak dari pintu doang, bukannya
langsung nyeret si bapak turun.”
“Turun sini lo pak, mati lo sama
gue!!” kata temanku meneruskan ceritanya. Sementara dalam hatinya dia takut
banget dan menyumpahi lampu merah yang nggak hijau-hijau.
“Ya jangan sampai membunuhlah…, eh,
si bapak nyahut lagi. Bego banget tuh si bapak.” katanya lagi. Sementara si
anak jalanan itu tetap teriak-teriak sambil menggedor-gedor bis.
“Kenapa lo nggak turun aja?!” tanya
temanku yang lain.
“Gila lo, ya gue lebih takut lagi
kalau turun. Orang mereka pas berdiri di depan gue…., kalau mereka tambah
ngamuk liat gue turun dan duri besinya itu digoserin ke pipi gue gimana?!”
sahutnya.
“Nah, begitu lampu ijo nyala,
turunlah mereka. Si bapakpun langsung diomelin orang-orang se bis. Dibilang,
lain kali jangan pakai ngusir-ngusir anak jalanan kayak tadi. Biarin aja,
namanya juga anak-anak jalanan, mau disuruh sopan gimana lagi…” kata temanku
dengan emosi.
“Iya, kalau di kendaraan umum ada
anak-anak pengamen atau yang minta-minta seperti itu, mending kasih seribu
daripada bikin masalah. Daripada lo digores siletnya…. Banyak lo yang bawa
silet dan disilet-siletkan ke tangannya sendiri sampai berdarah-darah…, bahkan
kadang siletnya dikunyah buat nakut-nakutin penumpang…” temanku yang lain
menimpali.
“Gue, juga pernah tuh, duduk di
belakang. Pas ada sms, gue balesin kan… eh, cewek sebelah gue nyenggol-nyenggol
kasih isyarat ke gue suruh lihat ke arah
depan. Ternyata ada dua orang anak jalanan yang matanya langsung melotot ke gue
sama hape gue. Langsung tuh hape gue masukin ke tas dan gue dekepin.
Bapak-bapak di kiri gue, gue suruh mepetin gue…, biar nggak ada jarak dan anak
jalanan itu nggak bisa nyelonong duduk di sebelah gue… Singkong mentah yang
tadi gue beli juga gue dekepin di atas tas. Kalau dia mau nusuk, biarin kena
singkongnya dulu…” kata teman yang lain.
“Lo juga yang salah, ngapain
ngeluarin hape di tempat kayak gitu, duduk di belakang lagi. Terus, akhirnya
gimana?” timpal teman yang lain.
“Akhirnya dia turun tapi sambil
nyamperin gue, dan di muka gue dikasih tiga jari tangannya sambil ngatain gue ‘fuck
you’…”
Hmmh…. Padahal, kata anak-anak
punk… mereka kan bukan criminal, mereka hanya berpakaian berbeda saja dengan
orang kebanyakan. Aktifitas dan kegiatan kreatif mereka tidak berbeda dengan
yang lain. Tapi kalau ada anak-anak
jalanan criminal yang kebetulan juga berpenampilan ala punk seperti ini,
mungkin jangan salahkan masyarakat yang jadi apriori terhadap mereka, sebab
kebanyakan orang tidak dapat membedakan dengan jelas, mana anak punk asli dan
mana yang palsu, seperti aku juga sih.
Gimana, ternyata aksi anak
jalanan yang di bis-bis kota itu lebih mengerikan daripada yang beroperasi di
atas kereta ya… Kalau yang di atas
kereta kan paling-paling cuma minta duit sambil mencolekkan tangan dekilnya.
Atau kalau yang nyapuin sampah dan nggak dikasih, paling-paling sampahnya
ditaroh di kaki kita. Nggak ada yang sampai mau membunuh penumpang kayak gitu. Apalagi
pengamennya, nggak ada yang maksa koq. Pengamen di Stasiun Bogor malah banyak
kelihatan yang terpelajar.
Kenapa bisa begitu ya…, aku jadi
mereka-reka sendiri. Mungkin kalau anak-anak jalanan yang beroperasi di
angkutan umum, kalau mereka berbuat kejahatan kan masih bisa lari ke segala
arah. Jadi mereka berani bertindak lebih. Sedangkan yang di atas kereta, mau
lari ke mana kalau kereta sedang melaju? Apa mau melompat dan kehilangan nyawa?
Hehehe…, mungkin itu jawaban terbaik yang bisa kudapatkan kali ini. Besok,
siapa tau aku mungkin dapat pikiran yang lain…., so sekarang udahan dulu ya….
Bogor, 16 September 2012