Minggu, 23 Oktober 2011

Duniaku Kacau Balau

“PLN goblok!!”

“Dasar, PLN kurang ajar!!”

“Bener, PLN geblek!!”

“Nggak usah dibayar aja…”

“Mana bisa, kalau telat bayar aja yang ada juga kita langsung diputus…!”

Kalimat-kalimat di atas itu adalah serentetan kalimat mutiara yang keluar dari sekelompok ibu-ibu tetanggaku pagi tadi yang kudengar begitu aku keluar dari rumah.

Memang bener sih, PLN ngeselin banget. Bayangin aja, tanpa pengumuman, tanpa geledek atau petir yang mengiringi… (memang sempat gerimis sih, tapi nggak lama dan nggak ada geluduk, guntur ataupun petir) , tiba-tiba aja semalam mati lampu kira-kira dari jam setengah delapan malam sampai setengah delapan pagi ini. Dua belas jam. Gila kan?!

Aku baru masukin air ke mesin cuci, baru dapat setengah dan berniat mencuci baju ketika tiba-tiba saja kegelapan menyelimuti. Orang-orang yang lagi pada ngenet di tempatkupun jadi pada udahan…. (rugi deh…). Es batu di kulkas buat jualan es juga pasti ikutan mencair lagi.

Kupikir nggak lama tuh matinya, kayak biasanya… kalau nggak ada pengumuman ya paling lama cuma satu jam, jadi nanti kalau sudah nyala baru nerusin nyuci. Soalnya aku kan nyucinya seminggu sekali, dengan kata lain malam ini aku harus nyuci karena baju seragam anak-anak juga belum pada dicuci, padahal besok pagi kan mereka harus sekolah.

Ternyataaaaaaaa…………………………………………………., listriknya nggak kunjung menyala sampai aku ngantuk dan tertidur, kemudian terbangun lagi ketika adzan subuh terdengar. Wah, sudah nyala pikirku. Tapi aku salah, ternyata lampunya masih mati. (Masjid sih punya diesel, jadi adzan masih bisa terdengar).

Gimana ini, baju anak-anak belum dicuci. Yang lama, harus bongkar lemari dulu deh padahal lampunya mati, mana kelihatan dan pasti lecek banget. Baju atasan kakak yang kubeli beberapa saat sebelum lampu mati semalam juga masih lecek lipatan toko. Diapain dong ini? Coba seandainya aku punya setrikaan jaman dulu yang dalamnya diisi arang tuh.

Tiba-tiba aku teringat film Boboho di TV yang ditonton anakku beberapa waktu yang lalu. Saat itu baju Boboho basah kuyup, terus sama si paman digosok pakai panci bergagang panjang yang diisi air mendidih yang terus-terusan ditaruh di atas kompor (maksudnya pasti supaya airnya mendidih terus gitu…)

Hehehe…, good idea! Coba kupraktekkan ide itu, pikirku sambil menyalakan kompor dan memasak air di panci bergagang panjang. Kemudian menyiapkan alas gosokan dan baju si kakak.

Setelah air mendidih, kucoba menghaluskan lengan baju dengan jalan kutiban pake panci berisi air mendidih itu. Kuangkat pancinya, kupinggirkan….., koq masih lecek? Kupanasi lagi airnya, mungkin nibannya kurang lama, pikirku. Kucoba lagi meletakkan panci itu dengan waktu yang lebih lama, terus kulihat hasilnya….., ternyata tetap lecek! Kenapa bajunya nggak mau licin ya? Padahal di TV tempo hari bisa tuh…..

Akhirnya aku menyerah. Ide itu ternyata gagal buatku. Akupun membangunkan anakku dan bertanya apa dia mau ke sekolah pakai baju yang belum disetrika? Sudah tentu jawabnya tidak mau, padahal si kakak hari ini harusnya jadi dirigent di upacara sekolah.

Yah, mau gimana lagi dong. Listriknya belum juga nyala dan aku juga sudah mencoba cara lain yang terlintas di benakku yang ternyata gagal. Jadi bukannya aku nggak berusaha lho…..

Listrik, salah satu tekhnologi utama tempat kita menggantungkan hidup saat ini. Betul-betul tergantung! Coba saja ditelusuri satu-satu. Aku mencuci baju pakai mesin cuci yang mengoperasikannya harus pakai listrik. Air yang akan kupakai mencuci baju itu disedot dari sumur bor sedalam 28 meter pakai pompa air yang pakai listrik karena aku nggak punya tendon air. Setelah dicuci, kering, setrika juga pakai setrikaan listrik.

Aku jualan es yang harus dicampur es batu yang dibekukan kulkas bertenaga listrik dan blendernya juga pakai listrik. Aku juga membuka usaha warnet yang PCnya pakai listrik. Memasak nasi juga pakai rice cooker yang dicolokin ke listrik. HPku juga jadi mati karena kemarin lupa di charge, sedang malamnya lampu mati dan nggak ada listrik.

Kalau lagi bengong, nonton drama korea sampai melihat kecelakaan tragis Simoncelly di TV juga pakai listrik. Aku ngetik sekarang juga pakai PC yang nyambung ke listrik.

Coba, apa ya yang kulakukan sehari-hari tanpa listrik? Tidur mungkin? Tidak juga…, aku tidak bisa tidur kalau tidak ada kipas angin. Sebab bagiku kipas angin ini dwifungsi, yaitu sebagai pembantu pergantian sirkulasi udara (ngipasin maksudnya), dan sebagai pengusir nyamuk.

Ini harus pakai listrik, itu juga harus pakai listrik. Pokoknya hampir semua alat bantu hidup harus pakai listrik. Kenapa sih sekarang kita harus terjebak dalam situasi seperti ini, tergantung hidup pada listrik? Seandainya kita masih hidup seperti masyarakat di pedalaman, seperti masyarakat baduy dalam misalnya. Hidup damai bersahabat dengan alam. Tapi apakah kita mau?

Kalau hanya untuk sekedar berganti suasana dari kejenuhan sehari-hari dan mencoba mengalaminya selama beberapa hari sih mungkin oke-oke saja. Tapi jika dalam kurun waktu yang panjang (atau malah selamanya), pasti jawabannya ‘nggak janji deh…!!’

Jawaban itu tidak boleh dilarang, sebab memang sudah suratan, kalau sesuatu hal yang menyenangkan/memudahkan/mengenakkan dan lain sebangsanya itu adalah hal yang amat mudah untuk diadaptasi dan diamalkan dalam hidup sehari-hari. Sedangkan untuk kebalikannya, yaitu hal yang tidak menyenangkan/sulit/tidak enak dan lain sejenisnya itu adalah hal yang agak sulit untuk diterima, apalagi diamalkan dalam hidup sehari-hari…. Betul kan?

Yah, intinya aku menulis ini semua adalah menceritakan hidupku yang kacau karena lampu mati semalaman. Pagiku jadi acak adul nggak karuan dan perasaan galau yang menyiksa karena anakku minta aku sms wali kelasnya untuk minta ijin hari ini nggak bisa masuk sekolah karena lampu mati dari semalam yang mengakibatkan baju belum dicuci, belum disetrika dan tidak ada air buat mandi.

Sampai saat menulis ini, aku belum sms wali kelas anakku, karena masih juga sibuk berpikir apakah alasan ijin tidak masuk yang akan kukemukakan itu bukan alasan konyol… (atau amat konyol?). Kira-kira apa nanti pikiran atau komentar wali kelas anakku kalau aku mengirimkan sms itu?

(Oh, ya… saat aku menulis ini, sempat terlintas di benakku yaitu bila baju atasan anakku yang tadi mau kusetrika pakai panci itu dibasahi dulu, mungkin ide di film Boboho itu akan berhasil….., mungkinkah?!)

Bogor, 24 Oktober 2011

Rabu, 28 September 2011

Ceritaku Hari Ini

Kali ini aku ingin menuliskan semua yang kualami hari ini. Anggap saja sedang membaca diaryku ya…., hehehe……

Kumulai saja dengan ketika pagi ini tetanggaku datang nyamperin aku ke rumah untuk berangkat ke Jakarta sama-sama (kami mau training kerja). Dari depan rumahku, kami memanggil dua ojek yang sedang mangkal. Maka datanglah dua motor ke arah kami.

“Yaah, dia lagi…..!” kataku begitu melihat dua tukang ojek yang menghampiri.

“Hah, kenapa?!......” tetanggaku menyahut. Aku tidak menjawab, tapi memberi isyarat dengan mataku supaya dia melihat ke arah ojek yang akan kutumpangi.

“Oh,.. dia lagi! Bodo’ ah…!!” katanya setengah geli sambil naik ke boncengan ojek yang akan membawanya.

Pasrah, akupun naik ke boncengan tukang ojekku yang rambut gondrongnya sudah melewati punggung, dan dikuncir satu. Motornya motor laki yang sudah lumayan berumur dengan suara yang cempreng dan menyakitkan telinga.

Tapi, masalah pokoknya bukan pada penampilan tukang ojek dan motor bututnya. Masalahnya adalah si tukang ojek itu beberapa waktu yang lalu sempat terdeteksi sebagai orang yang agak kurang waras. Sempat ditahan di kantor polisi karena nggebukin ibunya, dan bapaknya sendiri yang melaporkan. Konon katanya saat itu dia sedang ‘mencari ilmu’ tapi nggak kuat sehingga jadi miring. Kemudian sempat terlihat lontang lantung ke sana ke mari tanpa arah, dan malah ada yang bilang kalau dia sempat jadi copet di KRL, dan entah apa lagi.

Semua informasi itu rasanya sudah cukup untuk membuat semua orang meragukannya, apakah dia ‘sudah bener’, koq sekarang jadi tukang ojek?! Termasuk aku dong, sebagai seorang calon penumpang ojek…. Sehingga, ketika tempo hari untuk pertama kalinya aku dibonceng dia, sepanjang perjalanan aku waspada…., jangan-jangan nanti aku diceburin ke kali atau parit. Atau malah akan disungkurkan ke bakaran tukang sate.

Bisa saja kan, kalau tiba-tiba saja stressnya kumat di tengah jalan pada saat menghadapi jalanan macet yang tingkat kemacetannya lumayan parah dan sulit ditolerir? Orang sopir angkot yang waras saja mendadak bisa jadi gila kalau menghadapi macet yang parah, gimana dia yang pernah gila?

Tapi Alhamdulillah, tempo hari aku selamat sampai di stasiun dan tidak diceburkan ke parit. Begitu juga dengan tadi pagi. Aku selamat sampai di stasiun, walaupun waktu melewati jembatan yang lebarnya cuma kira-kira semeter tadi nyawaku sudah tinggal separuh.

Sampai di stasiun, KRL yang standby adalah ekonomi. Ya sudah, kita berdua langsung naik diantara jejalan penumpang yang keretanya juga sudah hampir jalan. Kami mengejar waktu, makanya kami nekat naik kereta yang ini. Saat itu sudah hampir setengah delapan, sedangkan kami sudah harus sampai di Tebet setengah sembilan pagi. Jadi waktunya memang sudah mepet banget.

“Masuk ke dalam, jangan di pintu ya…, bahaya.” kata tetanggaku.

Ternyata, kami tidak dapat masuk ke dalam saking penuhnya penumpang. Jadi ya kami terpaksa berdiri di situ saja. Maklum, ini masih sibuk-sibuknya orang berangkat kerja. Jadi jangan pernah bermimpi mendapatkan keadaan kereta yang lega dan nyaman serta sesuai keinginan kita.

Tidak terasa, kereta sudah sampai stasiun berikutnya. Keretapun berhenti lagi untuk mengangkut (lagi) penumpang. Bayangin saja, kereta yang sudah amat sesak itu, masih akan terus menerus mengangkut penumpang menuju Jakarta dan tidak ada yang turun di jarak-jarak dekat ini.

Tanpa kami sadar, kamipun otomatis terdorong agak masuk. Tapi ya cuma sampai di situ saja. Eh, ada beberapa perempuan muda sekitar empat atau lima orang yang umurnya antara duapuluh sampai duapuluh limaan gitu yang naik.

“Maaf saya mau masuk…” kata salah satunya.

“Nggak bisa mbak, saya juga pinginnya masuk.” kata tetanggaku.

“Nggak bisa gimana, kalau ibu memang nggak mau masuk, ya biar saya aja yang masuk. Orang saya juga biasanya bisa masuk koq.” jawabnya sambil mencoba mendesak dari belakangku. Tapi keadaannya yang memang sudah kayak jejeran bandeng di presto itu tidak memungkinkan lagi. Bapak-bapak di belakangku malah seolah tampak mendorong balik mereka yang mau merangsek masuk itu.

“Ya coba aja masuk!! Masuk tuh…, masuk aja terus!! Dibilangi koq ngeyel. Lewat atas tuh!” kata tetanggaku.

“Udah…” kataku.

“Biarin aja, gua lagi nggak enak hati koq dikasih gara-gara..” jawabnya.

“Kayaknya keretanya telat deh, makanya penumpang commuter pada naik sini. Makanya nggak mau disenggol.” sindir anak perempuan yang lain.

Tetanggaku langsung nyolot mendengar itu. Dan terjadilah perang mulut yang seru.

“Kalau nggak terima, ayo turun. Segede apa sih nyali lu!! Gue jabanin sekarang…., balik lu, ngadep sini kalau ngomong. Jangan Cuma berani dari belakang aja!!” kata tetanggaku. Perlu dicatat, bahwa tetanggaku ini memang tomboy. Rambutnya dipotong laki dan lahir serta besar di Jakarta. Biasa nelen orang, hehehe……

Begitulah suasana riuh dan gegap gempita di KRL ekonomi pagi. Kurasa, keadaan di dalam commuter line yang pagipun (masih jam-jam sibuk orang berangkat kerja) pasti juga seperti itu. Empet-empetan kayak pindang. Tapi mungkin, sekali lagi mungkin…. suasananya agak lain…. Tidak akan semudah itu menyulut dan tersulut emosi karena kan ada ACnya (walaupun sering nggak jalan dan hanya diganti fan) sehingga hawanya kan agak adem. Atau ada hubungannya dengan status social, ekonomi dan pendidikan? Masak iya sih? Sepertinya harus dibuat penelitian dulu nih….. hehehe….

Pulangnya, kami sudah standby di stasiun Tebet sekitar jam tujuh malam, tapi KRL terdekat yang menuju Bogor masih di Cikini. Itu commuter line. Tapi aku pesimis kita akan bisa masuk kereta.

Ternyata betul sekali perkiraanku. Kereta sudah full full full dan full!! Bahkan beberapa pintunya tidak dapat tertutup lagi.

Selanjutnya kereta yang datang adalah ekonomi dengan kondisi kepadatan penumpang yang lebih parah karena seperti biasa, kalau penumpang kereta ekonomi pasti banyak yang naik di atapnya.

Kereta selanjutnya adalah commuter line jurusan Depok. Jadi hanya sampai Depok Lama. Ini sudah hampir jam delapan malam, keapadatan penumpang masih bisa disisipi kita bertiga (ada satu orang teman yang tinggal di Citayam dan pulangnya selalu bareng kami).

Di dalam kereta gerbong khusus wanita, ternyata ada seorang ibu-ibu yang membawa anak juga ikut naik dari stasiun Tebet tadi. Bayangkanlah si anak perempuan yang umurnya sekitar lima atau tujuh tahunan itu ikut berhimpit ria dengan penumpang dewasa.

Ada seseorang yang menyarankan supaya si ibu mencari tempat sudut atau ke arah tempat duduk, mungkin akan ada yang mau memberikan tempat duduknya. Si ibu dan anaknyapun dengan susah payah berusaha mendekati arah tempat duduk, dan sampai di tempat yang dituju.

Ternyata, si ibu itupun tidak berhasil mendapatkan tempat duduk, karenaaa…… semua penumpang yang mendapat tempat duduk itu semuanya sedang tidurrrrr……………… (atau pura-pura tidur).

Maka berkomentarlah seseorang, “Ya beginilah…. Terkadang antara sesama perempuan justru tidak ada toleransinya….”

“Iya, betul…. Seringkali ibu-ibu yang sedang hamilpun dibiarkan saja tanpa diberikan tempat duduk.” Jawab yang lain.

“Betul, di kereta seperti ini dengan penampilan yang tidak sembarangan, dapat dipastikan kalau dia juga pasti punya posisi pekerjaan yang tidak sembarangan di kantornya, dan dapat dipastikan kalau pendidikannya juga pasti tinggi. Tetapi sayang otak dan nuraninya ditaruh di telapak kaki.” jawab yang lain lagi.

Serta beberapa lagi kalimat senada saling bersahutan. Tidak terdengar kalimat-kalimat bantahan, dan si ibu beserta anaknya masih tetap berdiri. Para penumpang dengan tempat dudukpun masih tetap tertidur.

Sampai di Depok Baru, suasana agak lumayan lega dalam artian kaki kiri dan kanan masih pada tempatnya masing-masing, tidak tertukar dengan kaki orang lain, aku menengok ke arah si ibu dan anaknya yang ternyata sudah duduk. Entah sejak kapan mereka duduk, aku juga tidak tahu.

Sebetulnya setiap peristiwa di dunia ini semua mengikuti scenario yang sudah ada, yang telah ditulis oleh Yang Maha Pencipta, dan kita tinggal menjalaninya. Tapi sungguh, kisah-kisah yang terjadi di KRL selalu membuat hatiku tergelitik untuk menulisnya karena selalu meninggalkan kesan di hati.

Mungkin buat banyak orang, cerita-cerita yang kutulis itu biasa saja. Tidak berkesan dan tidak berarti apa-apa. Tapi buatku, semua peristiwa itu menarik. Menarik untuk ditulis, menarik untuk diceritakan kembali, atau bahkan menarik hanya untuk didengarkan saja. Yah, hitung-hitung untuk memperkaya reverensi ceritaku……..

Sampai di rumah, hampir jam sembilan malam. Anakku yang kecil sudah tidur dan ternyata belum pada makan. Akupun akhirnya keluar lagi untuk mencari tukang nasi goreng. Seharian pergi meninggalkan rumah, anak-anakku kelaparan. Ah, sungguh cerita yang lengkap untuk hari ini.

Kutulis keesokan harinya, karena semalam sudah terlalu capek.

Bogor, 28 September 2011

Rabu, 21 September 2011

Selera

Kepala boleh sama hitam, tapi isinya pasti beda-beda. Selera masing-masing orang pasti tidak sama, ini jelas sekali terlihat ketika kemarin malam aku pergi ke warung untuk beli tissue.

Kira-kira lima meter dari warung, langkahku kontan menyurut. Berat mengayun menuju warung itu. Aku ragu-ragu melangkah karena pandangan mataku tiba-tiba tertumbuk pada makhluk itu. Hitam legam, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dari ujung moncong sampai ujung ekornya. Benar-benar hitam dan hitam, tanpa setitik warna lain di sana.

Sorot matanya yang berkilat menatapku, membuatku merinding dan ngeri. Benar-benar membuat bulu kudukku meremang. Langkah kakiku seolah terseret, karena separuh dari jiwaku menolak untuk terus maju.

Makhluk itu memang hanya diam menatapku tanpa berusaha menerkamku. Tapi kehadirannya seolah menyelimutiku dengan sesuatu yang ghaib, sesuatu yang gelap, kematian?! Entahlah.

Akupun menguatkan tekat untuk tetap dapat sampai ke warung itu, walaupun di emper terasnya terdapat makhluk mengerikan itu, dan dadaku berdegup kencang sekali.

Sampai akhirnya aku melihat seorang laki-laki tinggi besar, berambut keriting dan beranting sebelah keluar dari warung yang lantas menaiki motor yang diparkir di depan pintu.

“hsh…hsh…hsh….” Laki-laki itu memacu motornya sambil mengeluarkan suara tidak jelas.

Ternyataaaa………………., suara itu adalah cara memanggil makhluk itu untuk mengikutinya yang dengan patuh serta tanpa suara, makhluk itu mulai mengejar tuannya. Anjing itu mengikuti tuannya pulang.

Ya, makhluk mengerikan yang kuceritakan di atas tadi adalah seekor anjing. Seekor anjing sebesar kambing yang benar-benar hitam legam seluruh tubuhnya.

Aku tidak punya anjing, aku juga tidak pernah punya niat untuk memeliharanya. Tetapi, aku juga tahu kalau di dunia ini banyak anjing-anjing dengan berbagai ras, bentuk dan tingkah polahnya yang lucu-lucu, sehingga akupun tidak merasa aneh pada mereka yang sampai harus mengeluarkan dana berjeti-jeti yang seolah tidak masuk akal karena hanya untuk keperluan seekor anjing.

Misalnya saja, tantenya suamiku punya anjing-anjing kecil yang bulunya panjang-panjang dan warnanya seputih salju (aku lupa mereka jenis anjing apa). Kalau habis disisir dan dikuncir rambutnya, sang tante suka menaruhnya di atas buffet disamping pajangan-pajangan yang lain. Ajaibnya, si anjing itu ya diam saja diletakkan di sana. Sumprit lucu banget dan kalau orang tidak tahu, mungkin akan disangka boneka atau kotak tissue.

Ada lagi, bekas tetangga yang sudah pindah. Mereka sekeluarga suka memelihara anjing yang fisiknya besar-besar, gagah tapi tetap lucu…. Anjingnya besar, bulunya panjang dan berwarna keemasan. Yang ini juga tampak lucu dan tidak menakutkan. Walaupun anjing itu terpaksa harus mati muda karena sakit jantung.

Di TV, di film-film, di majalah, di internet, atau di manapun, kita dengan mudah akan menemukan banyak gambar anjing yang lucu-lucu. Aku juga suka menikmati itu semua.

Tapi, kalau yang ini tadi……. Fuih,…., benar-benar menakutkan dengan aura mistisnya. Seringainya seolah menghipnotisku dan menyeretku masuk ke dalam belahan bumi yang kelam.

Aku sama sekali tidak punya hak untuk melarang orang lain memelihara apa, tapi kenapa harus anjing hitam kelam yang mengerikan yang dipelihara? Di mana letak lucunya? Di mana letak keindahannya? Apanya yang harus dinikmati?

Seperti judul tulisan ini bahwa setiap manusia pasti punya selera yang berbeda, maka sebenarnyapun, seharusnyapun dan apapun itu, aku tetap harus menghormati pilihan orang lain yang kebetulan suka pada penampakan seekor anjing hitam.

(Walaupun dalam hati aku tetap saja mempertanyakan alias nggak puas, kenapa harus seekor anjing hitam yang menjadi pilihan?) Bagaimana menurut anda?

Bogor, 20 September 2011

Kamis, 11 Agustus 2011

Masa Iya Aku Kena Hipnotis?

Kemarin aku janji ketemuan dengan seorang teman yang kukenal lewat chatting di sebuah situs. Dia seorang pemuda berumur 26 tahun yang berasal dari South Africa (Itu ngakunya). Tempat pertemuan ditetapkan di sebuah Mall di Jakarta sekitar jam dua belas siang.

Karena dia yang datang lebih dulu, maka dia menungguku di Food Court lantai 4, kalau tidak salah. Aku lupa lantai berapa, sebab ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Mall ini. Tadinya rencanaku, kalau aku yang datang lebih dulu, aku bermaksud menunggu di Bookstore yang ada di lantai 1 (Aku sudah bertanya pada mbah google, apa saja isi Mall itu).

Aku tidak terlalu sulit menemukannya diantara para pengunjung Food Court. Penampakan orang dari Africa tentu agak berbeda dengan kita yang orang Indonesia.

Melihatku datang menghampiri tempat duduknya, dia berdiri menyambutku dan kami bersalaman. Akupun duduk di depannya dan dia menawarkan menu padaku.

“No, thank’s. I’m fasting.” Jawabku. (Eh, bener nggak sih ngomong Inggrisku?)

“Oh, I’m sorry……., saya tidak tahu.” Katanya,”Maybe, better kita jalan-jalan saja di bawah sambil tunggu the Lady call me.” Katanya dia sudah satu setengah tahun tinggal di Jakarta, makanya Bahasa Indonesianyapun cukup lancar.

“It’s okey.” Jawabku, “Nggak apa-apa.”

“Tapi kasihan you lihat orang makan, pasti…..” dia tidak meneruskan kata-katanya, tapi mengisyaratkan orang yang terlihat ‘kepingin’.

“Saya sudah biasa puasa dari kecil, tidak masalah. I’m fasting not you.” Kataku.

Akhirnya kami tetap mengobrol di tempat sambil menunggu telpon dari kenalannya yang ingin dikenalkan padaku, seorang Lady dari Kanada. Konon The Lady ini akan give me job, yang sekarang masih meeting.

Tidak lama kemudian, HP-nya berbunyi dan terdengar dia berbicara dalam bahasa Inggris campur Perancis yang aku nggak ngerti.

Setelah itu, baru dia mengajakku keluar dari Food Court, turun ke lantai dasar, kemudian keluar dari Mall, menyebrang jalan, berjalan melewati air mancur dan menuju sebuah apartemen di kiri jalan.

Di apartemen itu kami ketemu seorang wanita kulit hitam tinggi besar seperti yang biasa kulihat di film-film TV Amerika. Rambutnya dicat warna pirang, tapi masih tampak keriting. Kuku tangannya bercat warna merah dengan motif hiasan putih di tengahnya.

Sampai di kamar The Lady, kamipun ngobrol. Aku setengah blank, sebab The Lady sama sekali tidak bisa bahasa Indonesia dan kadang kata-katanya cepat sekali. Kalau sudah begitu, aku tinggal menoleh ke teman Africaku berharap dia menstranslate buatku. Hehehe…

“I told you, aku ajari kamu bahasa inggris, Perancis, Mandarin kalau kamu mau. Tapi kamu malas. Please jangan malas dong baby… “ kata teman Africaku setiap kali melihatku tampak bengong. Memang, dia ngakunya padaku sih adalah seorang guru privat bahasa Inggris dan Perancis.

Setelah The Lady banyak bertanya tentang latar belakangku, pendidikan, pekerjaan, bisnis apa yang kujalankan, dan lain-lain. Akhirnya diapun menceritakan keinginannya untuk membuka bisnis di Indonesia, yang katanya perlu partner orang Indonesia asli untuk melancarkan berbagai macam perijinan, pendanaan yang berhubungan dengan Bank, pajak, dan lain-lain.

Tetapi, untuk saat ini dia belum memegang uang tunai. Keterbatasan membawa uang tunai antar negara, katanya hanya bisa membuatnya membawa dua ratus ribu dolar saja.

Singkat kata, The Lady akhirnya mendemokan sesuatu di depanku yang membuatku tercengang. Sungguh, tadinya aku sama sekali tidak mengerti maksudnya. Sampai hal yang menakjubkan itupun terjadi. Akupun terpesona.

Sampai di rumah, aku ceritakan semuanya pada suamiku, dan tau apa tanggapannya atas ceritaku tadi? “Mamie ini tadi pasti sudah kena hipnotis.” Katanya.

“Hipnotis dari mana? Disentuh aja nggak.” Jawabku. Tapi sambil mengingat-ingat kalau tadi aku sempat bersalaman dengan teman Africaku, dan ketika bertemu The Lady, kami saling temple pipi. Kapan menghipnotisnya?

“Lagian, buat apa dia menghipnotis mamie? Orang mamie nggak kehilangan apa-apa, malah dia kasih mamie sesuatu….” Kataku sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetku, “Nih!”

“Tapi kan mamie jadi percaya dan menelan bulat-bulat semua omongan orang-orang itu.” Katanya. Ah, apa iya…., pikirku. Orang aku hanya menceritakan apa yang tadi kulihat saja koq.

“Coba aja mamie telpon teman mamie dan tanyain tentang itu, pasti jawabannya sama dengan papie” kata suamiku.

Penasaran, aku telpon seorang temanku yang dimaksud suamiku dan kurasa pasti tahu tentang hal-hal yang berhubungan dengan itu.

“Yang seperti itu memang ada benar, dan bukan bohongan. Hanya saja be carefull, sebab itu bermain dengan hal-hal yang banyak, besar dan melibatkan oknum-oknum tertentu yang berhubungan dengan pemerintahan. Bisa juga sindikat tertentu.” Kata temenku.

“Gimana?” Tanya suamiku.

“Dia bilang beneran tuh.” Jawabku. Suamiku terdiam, kalah suara.

Keesokan harinya, iseng-iseng aku tanya temenku yang lain tentang yang kualami itu, dan apa jawabannya?

“Sampean pasti sudah kena hipnotis mbakyu…., Itu penipuan. Orang sana kan sudah terkenal punya reputasi yang tidak baik. Mulai dari Narkoba sampai tukang tipu.” Kata temenku.

“Lho, maksudnya nipu tuh ngapain? Orang aku nggak kehilangan sesuatu koq. Malah dia kasih aku sesuatu.” Jawabku.

“Dari cerita njenengan itu semua sungguh tidak masuk logika. Nggak ada sama sekali, sungguh…” katanya dengan nada meyakinkan.

“Tapi kata “X” yang seperti itu tuh beneran.” Aku masih ngotot.

“Dasar “X” itu ngawur. Mungkin dia memang pernah melakukan penipuan seperti itu ke orang lain atau malah pernah jadi korbannya.” Katanya.

Sekarang aku pusing, kondisi jadi dua sama. Gimana dong…………………………………………………t.o.l.o.n.g..!!



Dengan hati dan pikiran yang tidak saling kompak,

Bogor, 11 Agustus 2011