Lihat ini, ada buntil daun
singkong 4 buah, brengkes (pepes) ikan pindang marning ada 2 bungkus, kemudian
botok tahu tempe 1 bungkus, botok alur 2 bungkus. Cukup banyak kan? Kebanyakan
sebetulnya untuk kumakan seorang diri. Apalagi di bulan puasa begini.
Tapi lihat nih siapa yang jualan?
Seorang nenek-nenek yang
kuperkirakan usianya antara 60-70an, berjalan terseok-seok karena tubuhnya yang
lumayan gemuk. Langkahnya seolah terseret saja diikuti tubuhnya yang mengayun berat.
Beberapa bulan lalu ketika aku
masih baru saja menempati rumah mendiang mertuaku ini, aku mendengar seseorang
menjajakan dagangannya, “Buntil, bothok, bacang….”
Aku memanggilnya karena aku
memang lumayan suka jenis makanan ini, tapi amat sangat ogah buat memasaknya
sendiri, buntil.
Ketika pintu pagar kubuka dan
kupersilahkan si nenek masuk, sempat kulihat rona terkejut di wajahnya walaupun
senyumnya tetap terkembang lebar.
“Maaf nak, mau tanya ya….” katanya
ketika aku selesai membeli beberapa dagangannya yang ternyata juga ada beberapa
jenis jajan pasar.
“Iya, kenapa bu?” jawabku.
“Anak ini apanya mamah yang
tinggal di rumah ini?” tanyanya lagi.
“Oh, saya menantunya bu…, kenapa?”
“Mamahnya kemana?”
“Oh…, ibu mertua saya sudah nggak
ada bu, sudah dua tahun…”
“Inna lillahi wa inna illaihi
roji’un…” katanya, “Rupaya saya sudah lama juga nggak jualan nak…., sampai
mamahnya meninggal dua tahun tapi saya baru tahu…”
“Ibu langganan mertua saya ya?”
tanyaku.
“Saya dulu bekas tetangganya
sebelum pindah ke rumah ini…, dari dulu mamah itu baik sama saya…, saya sering
numpang istirahat di terasnya kalau siang. Waktu sudah pindah di rumah ini juga
gitu, mamah nggak selalu beli dagangan saya, tapi saya boleh numpang duduk di
sini, istirahat sebentar sebelum saya jalan lagi. Capek nak jalan kaki keliling
perumahan gini…. “ katanya.
Ingatanku melayang ke mendiang
ibu mertuaku. Orangnya adalah tipe pekerja keras dan supel. Tidak heran kalau
dulu kenalannya dari berbagai kalangan dan dari berbagai status social. Selain
si ibu ini, ada juga tukang sayur yang
bercerita kalau dulu ibu mertuaku sering memberinya tumisan sayur, lauk, orek
tempe, atau apapun yang dibungkus plastic buat dibawa pulang.
Kita kembali pada penjual lauk
tadi ya….., nah, hampir sama alasanku dengan mendiang ibu mertuaku dulu kalau
tadi aku memanggil si ibu yang berteriak kencang ketika pas di depan rumahku
adalah supaya si ibu sempat duduk dan beristirahat sejenak. Karena sungguh deh,
sebetulnya aku juga tidak tega kalau melihat cara berjalannya yang sudah amat
payah. Tapi lebih dari itu, aku sungguh salut pada perjuangannya, pada
semangatnya untuk tetap melangkah demi sesuap nasi. Mengandalkan dirinya
sendiri dan bukan pada orang lain.
Aku tidak ingin si ibu kehilangan
tempat istirahatnya walaupun ibu mertuaku sudah tidak ada. Biarlah si ibu tetap
mempunyai tempat istirahat di sela-sela perjalanannya menjajakan dagangannya,
dan terus terang aku juga tidak tega melihat dagangannya yang masih lumayan
banyak. Biar sedikit mengurangi beban yang dibawanya. (Walaupun di dalam hati
tadi sempat terpikir, nanti siapa yang mau makan semua ini? Suamiku baru tadi
siang berangkat ke Jakarta, dan anakku yang kecil nggak bakalan doyan semua
jenis makanan yang kubeli tadi)
(Okelah, semoga nanti keponakanku
ada yang mau mengambil makanan ini untuk kutitipkan buat ibu, bapak atau
nenekku)
Semangat ya bu!!
Surabaya, 16 Juli 2014
(sekarang bikin takjil dulu untuk buka puasa anakku)