Senin, 11 Mei 2015

Tentang Dua Ekor Anak Kucing


Ada kisah pendek tentang dua ekor anak kucing ini. Hanya kisah biasa sih, tapi daripada terlupa kalau tidak ditulis, mending kutulis saja ya….

Beberapa hari yang lalu, ibuku bercerita kalau ada serombongan kecil keluarga kucing yang mengikuti langkah kaki orang yang lewat depan rumah. Tapi ketika sampai depan rumah ibuku, kedua ekor anak kucing itu tiba-tiba berhenti dan ikut masuk ibuku ke dalam rumah.

Dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah kasihan dan mungkin dapat mengusir tikus-tikus yang sudah membuat kerajaan sendiri di rumah ibuku ini, diterimalah kedatangan kedua ekor anak kucing itu dengan hati lapang.

Hari kedua si kucings ada di rumah, datanglah seekor kucing betina dengan putting susu yang menggayut seolah masih menyusui. Sambil mengeong-ngeong, dia mungkin memanggil kedua ekor anak kucing itu. Tapi kedua ekor anak kucing itu malahlari ketakutan.

Hari ketiga, si kucing betina datang lagi. Kali ini kedua ekor anak kucing menghadapi kucing betina itu dengan menggeram, memberdirikan (bahasa apa ini?!) seluruh bulu di tubuhnya sampai badannya melengkung posisi siaga siap menyerang atau membela diri.

Lho, koq gitu?
Kenapa kedua anak kucing ini menjadi dua ekor anak kucing yang durhaka?
Kenapa setelah mendapatkan tempat yang layak, mereka jadi lupa dan tidak mengakui lagi pada induknya?!
“Ooooh, kenapa kalian jadi malin kundang kucing anak-anakku……” kira-kira begitulah sedu sedan si kucing betina ketika berjalan pergi keluar dari halaman rumah ibuku.
(ini drama yang kubuat)

Ternyata, malam pertama mereka di rumah ibuku, seekor kucing dewasa jantan telah menyerang keduanya sampai dedel duwel. Kedua anak kucing itu terluka di kepala, perut, paha sampai berdarah-darah.

Kemarin, kata ibuku malah yang seekor sempat tercebur di got karena lari menyelamatkan diri dari kejaran tikus tong-tong yang gedenya dua kali lipat tubuh mereka. Hahahahaaaa….., yang ini aku jadi terpingkal-pingkal mendengarnya. Lha koq jadi terbalik?
It’s okey, tidak apa-apa. Kan kedua anak kucing ini masih kecil, masih bocah….., nggak imbanglah melawan tikus bangkotan yang sudah nyaris botak kepalanya. Tunggu beberapa waktu lagi.
(tapi sampai kapan?! Keburu kerajaan tikus di rumah ibu ini melebarkan sayapnya menyerang dan menduduki kamarku yang kebetulan terletak di belakang di sebelah dapur)

Nah, yang lucu tadi pagi….
Ketika terdengar hiruk pikuk di luar kamar, akupun keluar.
Kulihat beberapa ekor tikus tong-tong berseliweran di garasi, berlarian kabur ke got melihat kedatanganku, sementara dua ekor anak kucing itu berdiri berhimpitan ketakutan.
(mungkin waktu aku belum datang ke garasi tadi, mereka berdua sedang mendapat ancaman dari para tikus tong-tong sampai mereka berdua pucat dan gemetaran…., hihihi…., ini juga hasil rekaanku…)

Di atas itu foto kedua ekor anak kucing  yang sedang ketakutan berdua, agak kurang jelas memang, karena kufoto dari dapur sedangkan hp ku tidak mampu mengambil focus obyek sejauh itu (kira-kira 4 meter).

Sudah. Itu saja tentang kedua ekor anak kucing itu untuk hari ini.



Surabaya, 12 Mei 2015

Senin, 20 April 2015

Ini Mistery atau Horor?





Mistery. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, mistery adalah bagian dalam hidup ini. Hampir di setiap hal, kesempatan, moment apapun, mistery ikut andil di dalamnya. Mistery itu rahasia Yang Punya Hidup, itu menurutku, dan aku percaya.

Beberapa waktu yang lalu adik suamiku meninggal dunia. Di detik-detik terakhir hidupnya, seolah dia sudah mempersiapkan diri dengan siap untuk meninggal dunia. Kata istrinya, sekitar lima menit sebelum roh nya pergi meninggalkan tubuhnya, adik suamiku ini meluruskan kedua kakinya, kedua tangannya sedakep, terus dia minta ijin pada istri, adik dan kakaknya yang menunggui untuk melepaskan selang oksigen dari hidungnya. Dia minta maaf karena sudah tidak kuat lagi, jadi setelah itu minta dituntun doa dan tidak sampai lima menit, diapun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Tentang adik iparku ini, aku tidak mau memikirkannya secara ekstreem, apakah dia bunuh diri atau tidak. Sebab kata istrinya, sejak sakit, setiap diajak ke RS, dia selalu menolak dan mengatakan kalau dia ke RS, besoknya pasti dia akan meninggal. Dan ketika akhirnya harus dibawa ke RS, malamnya, sebelum besok paginya dia meninggal dunia, dia beberapa kali melepas selang oksigen dari hidungnya sambil bilang, “Kalau selang ini kucopot, aku mati lho…”

Tentu saja istrinya bilang, “Ya kalau gitu jangan dicopot lho, nggak kasihan sama aku? Aku nanti sama siapa?”

Terlepas dari dia menentukan sendiri kapan harus melepas selang oksigen yang dipasang, aku dan kami semua (keluarga) sudah mengikhlaskannya untuk kembali ke pangkuan Illahi Robbi.

Menjelang kepergian adik suamiku yang ke 40 harinya. Omnya bercerita, bahwa sebelum istri adik iparku ini menelponnya, beliau sudah mendapat telepon dari nomer yang sama tetapi ketika diangkat tidak ada suaranya. (Nomer itu adalah nomer HP adik suamiku yang meninggal yang akhirnya dibawa istrinya)

“Waktu kamu nelpon Om kemarin itu jam berapa?” Tanya Om waktu kami semua datang di acara doa 40 hari meninggalnya adik iparku ini.
“Lupa Om, mungkin jam delapan lebih…” katanya.
“Sebelum nelpon Om yang langsung Om terima itu, apakah kamu sudah pernah mencoba menelpon sebelumnya?”
“Enggak Om, karena HP nya nggak ada pulsanya. Jadi saya beli pulsa dulu baru nelpon Om, dan langsung Om terima itu…”
“Tuh kan…, jadi HP nya nelpon sendiri ke Om ya?...... Mungkin dia memang mau pamitan, sebab malam sebelumnya waktu Om sedang doa, pintu kamar Om diketuk dari luar, dan ketika dibuka, tidak ada siapa-siapa….. Tante kan sedang ke Tiongkok, control, anak-anak juga nggak ada di rumah…. Dulu waktu mamimu mau 40 hari, pintu kamar Om juga diketuk dari luar dan ketika dibuka, tidak ada siapa-siapa….”

Kami semua yang mendengar ceritanya terdiam. Sebab kami yang lain tidak mengalami yang terjadi pada Om.

Kemudian istrinya bercerita, bahwa di hari suaminya meninggal, dia sempat pulang ke rumahnya (saat itu jenazah suaminya ada di rumah duka Adiyasa Surabaya) untuk mengambil beberapa baju suaminya yang akan dimasukkan ke peti jenazah.

Tiba-tiba HP nya berbunyi, dan ketika dilihat, ternyata nomer suaminya memanggil, padahal HP suaminya saat itu juga sedang dia pegang. Maka diapun berkata ke kerabat yang mengantarnya saat  itu bahwa suaminya menelpon. (sayangnya dia tidak mengangkat telepon itu…, sejujurnya aku penasaran….)

Waktu sedang ada urusan ke rumah kakak suaminya (kakak suamiku juga), kembali hal tersebut berulang. HP nya berbunyi dan ketika dilihat, nomer mendiang suaminya memanggil. Dia sempat memberitahu istri kakaknya kalau suaminya menelpon, padahal HP nya juga sedang dia pegang. Sekali lagi, dia juga tidak mengangkat telepon itu dan langsung mematikannya. (dan sekali lagi, aku makin penasaran)

Kalau cerita dari adikku lain lagi. Istrinya kan juga meninggal kira-kira 50 hari sebelum adik suamiku ini meninggal.

Istrinya sama sekali tidak meninggalkan pesan apapun sebelum meninggal, karena di saat-saat terakhir sebelum kondisinya koma, dia dan istrinya masih ngobrol dan bercanda dengan tamu  yang bezoek. Ketika kemudian suster memasukkan obat ke infusnya, saat itu juga istrinya mengeluh dadanya sakit, tidak dapat bernafas, biru, pingsan, koma……, sampai esok paginya meninggal dunia.

Kondisi shock seolah tidak percaya istrinya sudah tidak ada, menjadi beban pikirannya selama berhari-hari (karena begitu tiba-tiba). Mulut pasti bilang ikhlas, tapi dalam hati kecilnya dia pasti merintih, bertanya-tanya kenapa… Kesedihannya dapat termaklumi walaupun kita tidak dapat merasakan seperti apa yang dia rasa.

Setiap hari sejak istrinya meninggal, dia tiap hari pergi ke makam. Sambil bertanya di dalam hatinya, apakah ini nyata? Kenapa istrinya tidak memberi tanda sedikitpun padanya? Kenapa istrinya tidak berpamitan padanya? Mimpi atau apalah, dia sangat ingin bertemu istrinya untuk terakhir kalinya….

Ketika acara tahlilan hari yang ke sekian, aku lupa hari ke berapa…, sepertinya menjelang ke 7 hari, adikku bercerita kalau salah seorang kawan dekatnya seolah mendengar bisikan di telinganya, sepertinya itu adalah istrinya yang minta tolong disampaikan ke dia  untuk menyiapkan baju gantinya setiap pagi.

Adikku menangis, karena dia tidak mendapatkan pesan itu langsung dari almarhumah. Tapi disiapkannya baju ganti 4 setel di tepi tempat tidur seperti biasanya ketika dia sedang merawat istrinya yang sakit.
“Aku tidak tau dia ingin pakai yang mana, makanya kusiapkan 4 setel biar dia memilih sendiri…” kata adikku.
“Waktu selesai sholat shubuh, ketika sedang berdoa….., tiba-tiba sekelebatan aku melihat dia lewat seolah memberi tahu kalau mau ke kamar mandi dengan memakai salah satu baju yang sudah kusiapkan…. Akupun membuka pintu kamar mandi dan menyemprotnya dengan disinfectan seperti biasa tiap dia mau ke kamar mandi sejak sakit itu….”
“Sekarang hatiku sudah plong, aku lega dia sudah berpamitan padaku. Aku benar-benar ikhlas melepasnya menghadap Sang Khalik, karena aku percaya bahwa kami akan dipertemukan kembali kelak….” Katanya sambil berkaca-kaca.

Karena pada dasarnya aku memang cengeng, jadi setiap mendengar cerita-cerita seperti ini, banjir bandang tidak dapat lagi kuhindari. (Pun saat aku menulis ini…., ujung bajuku sudah kuyup karena air mata bercampur ingus)
Aku hanya bisa mengerti tanpa dapat ikut merasakan kesedihannya. Kesedihan dan rasa sakit itu murni miliknya. Kesedihanku ketika adik suamiku meninggal dan istri adikku adalah kesedihan berbeda. Sakitnya berbeda dengan yang mereka rasakan.

Kalau cerita selanjutnya bukan mistery kesedihan, tapi lebih ke mencekam ke rasa (hati) dan pikiran. Ini bermula ketika aku dan anak laki-lakiku hanya berdua menginap di rumah baru kami di Malang.

Siangnya adalah saat membawa sebagian perabotan dari rumah Ibu ke rumah baruku ini. Sorenya semua pengantar yang terdiri dari Ibu, Bapak, Adik-adikku, beberapa orang Teman, dan para tukang pada pulang. Tinggal kami berdua.

Di suasana yang sepi itu, aku mematikan semua lampu kecuali teras dan kamar mandi karena takut kalau misalnya ada orang jahat yang tahu kalau ternyata di rumah ini hanya aku berdua anakku dan timbul niat jahat isengnya.

Aku nyaris terlelap karena capek, ketika tiba-tiba anakku membangunkanku.
“Mie, mamie…. Dengerin deh….” bisiknya.
Sayup-sayup tadinya aku memang mendengar suara gemeresek di luar kamar sebelum anakku membangunkanku, tapi kucuekin karena mengantuk. Ternyata anakku terbangun dan mendengar juga.
Sayup kudengar suara ‘dep’, seperti orang yang meloncat. ‘Deg’ jantungku hampir copot. Aku takut ada orang yang datang.
Kemudian suara langkah seperti hilir mudik dan bunyi tas kresek yang berisik seolah orang sedang sibuk banget berbenah atau membungkus sesuatu.
“Biarin aja dek, paling tikus atau kucing…” jawabku menenangkan anakku. Akupun pura-pura tidur suapaya anakku juga tidak ketakutan. Tapi diam-diam kuintip dari sela-sela bulu mataku. Kulihat dia melek, tapi diam tidak bergerak. Tegang mendengarkan suara berisik di luar kamar.
Akhirnya kupeluk dia, dan diapun miring menghadap tembok.
Dalam diamku aku berpikir sendiri. Apa iya itu tikus atau kucing yang sedang berisik di luar kamar?
Kalau tikus, tikus dari mana? Apa iya, kebawa di antara barang-barang dari rumah ibu? (agak mustahil)
Kalau kucing, kucing dari mana? Pintu dari ruang belakang sudah kututup, jadi misalnya kucing itu lompat dari atap terbuka (hanya teralis) ke dapur, pasti tidak dapat masuk ke ruang tengah dan mengeong-ngeong karena tidak bisa balik lompat ke atas. (jadi inipun mustahil)
Kalau orang, masuknya darimana? Belakang sudah tertutup atap dan teralis, pintu depan tadi sudah kuganjal sapu, kursi, beserta perabotan yang pasti berisik kalau dibuka paksa dari luar. (ini juga mustahil)
Jadi, hanya ada dua kemungkinan yang kira-kira dapat menghasilkan suara itu, yaitu; pertama adalah serangga dan sebangsanya yang terjebak di dalam tas kresek, atau yang kedua yaitu ‘sesuatu’ yang ingin kenalan dan mengucapkan selamat datang padaku dan anakku. Walaupun sejujurnya, selama hidupku ini, belum pernah sekalipun aku mengalami langsung interaksi dengan ‘sesuatu’ itu, kecuali sekarang, kalau itu memang benar ‘sesuatu’.

Akupun mulai melafalkan ayat kursi entah berapa ribu kali, yang jelas sampai aku tertidur. Ketika aku kembali terbangun, kulihat jam di HP ku sekitar pukul 23.15 WIB. Oh, belum jam dua belas malam, pikirku. Suara-suara berisik tadipun sudah tidak ada lagi. Suasana sunyi senyap. Kulihat anakkupun sudah tertidur pulas.

Kuambil HP ku dan membaca beberapa pesan yang masuk serta membalasnya, dan tidak tahu jam berapa, akupun tertidur lagi sampai tiba-tiba kulihat suasana yang terang dari arah dapur (jendela kamar yang terhubung ke dapur). Subuhpun terlewat dengan sukses, astaghfirullah al adziim.

Aku keluar kamar. Sudah pagi ternyata.
Kuperiksa barikade yang kubuat di pintu depan masih utuh. Tas kresek berisi mie cup instan juga bersih, tidak ada serangga apapun yang kemungkinan terjebak di dalamnya….
So? Harap disimpulkan sendiri kira-kira suara apa yang kudengar tadi malam, sebab akupun tidak tahu…. Hanya ada sedikit tambahan, “Mie, lain kali mamie pasang cctv dong biar tau suara apa tadi malam.” Kata anakku.
“Ngapain pakai pasang cctv dek, lain kali kalau kita di sini dan bunyi lagi, ya langsung kita lihat aja, kita intip…” jawabku.
“Kalau diintip nanti suaranya berhenti…” jawab anakku.
Aku tersenyum sendiri. Berarti anakku semalam juga tidak percaya waktu kujawab: kalau nggak tikus ya kucing……
Hehehe…..


Surabaya, 21 April 2015
(Kondisi kegerahan karena tidak ada AC), Surabaya panas bingiiiitttssss……

Minggu, 01 Maret 2015

Jagoanku









Tidak terasa sudah 14 tahun kau datang pada kami
Sebagai hadiah terindah yang kami miliki
Hari-hari kemarin sampai saat ini kami masih mendampingi
Hari-hari esok semua adalah rahasia Illahi

Oleh karena itu sayangku
Petiklah olehmu apa saja yang ada di depanmu
Kelak sebagai bekal hidupmu
Di saat kami tak lagi bersamamu

Melangkah yang kuat dan pasti anakku
Harapan masa depan ada dalam genggammu
Dan dalam setiap helaan nafasku
Selalu mengalun sebuah doa untukmu

Selamat Ulang Tahun Randie Ardhia Saputra anakku sayang,
ambang pintu kedewasaan menanti langkahmu memasuki gerbang
Hidup yang baru segera kau jelang
Tetap semangat dan selamat berjuang!!


Surabaya, 2 Maret 2015

Kamis, 15 Januari 2015

Selamat Jalan






Biasanya aku cuma dengar cerita dari kenalan, sahabat dan handai taulan yang mengisahkan kondisi seseorang yang sedang sakit keras, kemudian tiba-tiba membaik, adalah tanda-tandanya kalau dia akan pergi.

Katanya seseorang yang akan pergi itu, Diberikan kesempatan untuk memberikan kesan terbaiknya kepada keluarga dan semua orang tercintanya sebagai tanda berpamitan. Supaya kelak yang akan selalu teringat dalam memory adalah kesan terakhir bertemu yang sangat indah.

Dua hari sebelum berakhirnya tahun 2014, bulan Desember 2014, aku menghubungi adikku yang tinggal di Malang dan memberitahunya kalau tanggal 1 Januari aku akan ke Malang karena ada urusan.
Adikku bilang, silahkan datang, tapi dia tidak dapat mengantarkan aku mengurus keperluanku sebab dia sedang menunggui istrinya di RS.
Tanggal 1 Januari 2015, akupun berangkat ke Malang bersama suami, adikku, dan seorang anakku. Kami berangkat dari pagi sebab takut terjebak macet karena ini tahun baru.
Alhamdulillah perjalanan lancar dan kami tiba di Malang sekitar jam 08.00 pagi. Kami langsung menuju RS Syaiful Anwar tempat adik iparku dirawat.
Tidak boleh masuk. Karena ternyata jam bezook baru dibuka jam 10.00 pagi.
Kuhubungi adikku dan mengatakan kalau kami sudah di Lobby RS tapi tidak boleh masuk. Ternyata adikku kemudian keluar menemui kami.
Jam masih menunjukkan pukul 08.30 pagi, masih lama sekali waktu buat bezook. Akhirnya aku dan adikku minta ijin ke penjaga menanyakan apakah aku boleh masuk sekarang karena dari luar kota dan akan pergi lagi untuk urusan berbeda. Yang lain nggak usah masuk nggak apa-apa. Jawabnya tidak boleh.
Sempat hampir lima menit bernegosisi dengan penjaga tapi tetap tidak diijinkan, akhirnya kubilang, “Kalau misalnya saya saja yang masuk dan adik saya ini tunggu di sini gimana pak?”
“Iya, biar kakak saya pakai kartu untuk penunggu pasien punya saya ini…, yang sakit itu istri saya pak, dan ini kakak saya sendiri pak.” kata adikku.
Akhirnya, mungkin karena si petugas capek dengar berbagai alasan yang kami kemukakan atau dia kasihan padaku, akupun boleh masuk dan adikku tunggu diluar dengan suamiku, anakku dan adikku yang lain.

Aku masuk sendiri mencari letak ruang rawat inap yang ditunjukkan padaku. Ketemu. Tapi gerbangnya belum dibuka. Aku berjalan ke lorong lainnya, mencari jalan lewat belakang. (pengalaman waktu menunggu ibuku di RS, aku dan adikku kalau malam sering keluar masuk lewat pintu belakang)
Kulewati ruang perawat dengan pe-de, seolah sudah sering, jadi akupun tidak dicegat. Plosss…, Lolos!
Kucari nomer kamar adik iparku, ketemu. Pintunya sedikit tertutup. Kubuka perlahan, dan astaghfirullah al adzim. Aku kaget banget lihat kondisinya.
Dia duduk di atas tempat tidur dengan dua lengan disanggakan ke tepi tempat tidur. Selang infuse dan oksigen menghiasi tubuhnya. Seluruh tubuhnya bengkak. Tidak dapat bergerak, hanya kepalanya dan sorot matanya saja yang bereaksi. Kondisinya duduk, karena dipunggungnya diganjal berbagai bantal.
Airmataku kontan mengalir dengan derasnya, tidak dapat kutahan lagi. (pada dasarnya aku memang cengeng, tidak kubantah itu)
Beberapa saat aku tidak dapat berkata-kata, hanya mengelus-elus punggung dan tangannya. Air mataku benar-benar tidak sopan, nggak bisa dicegah.
Setelah agak tenang, sambil masih terisak, kutanyakan apa keluhannya, jawabnya lirih, “Sesak mbak…”
“Kamu nggak bisa rebahan?” tanyaku membayangkan betapa capeknya terduduk dalam kondisi seperti itu berhari-hari. Dia menggeleng.
“Aku nggak kuat bicara mbak…” katanya lirih sambil terbata-bata.
“Kamu nggak usah ngomong, biarkan aku aja yang ngomong…” kataku disela-sela mewekku. Dia mengangguk.
Akupun bercerita sedikit kapan aku datang dari Jakarta, kenapa hari ini ke Malang, dan seterusnya. Dia mengangguk-angguk mendengarkan karena dia memang tahu urusanku di Malang sejak tahun lalu, selama ini dia dan adikku yang selalu mengantarkan aku selama di Malang.
Selama bercerita, aku tidak mengambil posisi di depannya karena aku tidak mau dia sedih melihatku mewek terus, jadi aku berada di sampingnya sambil memeluk bahunya.
Sekitar sepuluh menit, aku berpamitan padanya. Kubilang kalau aku mau pergi dulu, biar adikku (suaminya)  yang menemaninya lagi.
“Sabar dan tetap semangat ya…” kataku. Dia mengangguk. Kucium kedua pipinya dan cepat-cepat keluar dari sana. Sungguh aku tidak tega melihat keadaannya. Adik iparku ini terkena kanker payudara dan sudah mencapai stadium 4. Kata Dokter, kankernya sudah menyerang paru-paru dan kanker itu menghasilkan cairan yang memenuhi paru-parunya terus menerus sehingga membuatnya sesak nafas dan seluruh tubuhnya bengkak.
Beberapa hari kemudian, walaupun aku belum menjenguknya lagi ke Malang, tapi aku tetap mendapat informasi perkembangan kondisi adik iparku ini dari adikku.
Katanya salah satu paru-parunya sudah disedot dan berhasil membuang cairan sebanyak 7 liter. Subhanallah. Cairan sebanyak itu selama ini ngumpet di mana saja, pikirku galau.
Tangan dan kakinya sudah mulai susut bengkaknya sehingga sudah agak leluasa begerak dan mulai dapat tidur, walaupun kalau malam sekitar jam 02.00-03.00 dinihari seringkali mengigau atau ngelindur dalam bahasa jawanya.
Adikku bilang kalau malam dia tidak berani tidur karena takut istrinya ngelindur dan dia tidak tahu sehingga membahayakan dirinya sendiri. Sebab sudah dua kali adikku ketiduran dan bangun-bangun adikku mendapati istrinya duduk terbengong-bengong dengan kondisi seluruh infuse, perban, dan baju sudah terlucuti. Ketika ditanya kenapa semua dicopotin, jawabnya: tadi ada suster yang nyuruh. Katanya kalau mau pulang ya harus dicopoti semua.
Aku sedih tidak dapat menemani adikku menjaga istrinya. Kasihan, dia juga pasti capek sekali. Siang malam dia harus selalu ready untuk istrinya yang akhir-akhir ini malah sama sekali tidak mau ditinggal adikku.
Hampir setiap hari adikku bilang kalau dua hari lagi istrinya sudah boleh pulang. Tapi dua harinya ternyata sampai berkali-kali. Ibuku ingin menengok menantunya, tapi karena kondisinya sendiri yang sudah tidak terlalu bagus, maka kamipun menunggu kondisi ibuku agak bagus ketika kami ke Malang. (walaupun ibuku harus tetap duduk di kursi roda yang didorong bapakku)

Selasa tanggal 13 Januari 2015,  aku, ibuku, bapakku, anakku, dan adikku yang bungsu menengok ke RS. Aku sempat membawa rebusan singkong yang dipesan adikku, yang konon berkhasiat membunuh sel kanker.
Beberapa hari sebelumnya, secara tidak sengaja aku membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa singkong rebus dan rebusan daun sirsak adalah obat kanker yang paling mudah di dapat di sekitar kita. Di situ dikatakan, bahwa sel kanker sebenarnya adalah sel yang belum jadi, nah singkong yang mengandung B17 itu adalah zat yang dapat menghambat sel tadi menjadi bibit kanker. Dimakan @100gr tiga kali sehari selama satu bulan, boleh juga ditambah 7 lembar daun sirsak yang direbus dengan dua gelas air sampai menjadi satu gelas saja.  Ini linknya semoga bermanfaat juga buat yang lain

Ketika kami datang, di kamar adik iparku sedang banyak tamu. Rupanya teman-teman mamanya datang juga dari Surabaya untuk menjenguknya. Adikku sendiri sedang tidak ditempat, sedang menjemput anaknya yang katanya kangen ke mamanya.
Melihat kami datang, ibu dan bapakku dipersilahkankan masuk, gantian sama tamu mamanya. Aku menunggu diluar.
Aku ingat kecengenganku tempohari, jadi aku sengaja tidak mau masuk karena takut mewek lagi kalau nanti lihat kondisi adik iparku ini. Beberapa kali dipanggil masuk, aku masih beralasan.
Akhirnya akupun masuk ketika katanya adik iparku ini menanyakan aku.
Subhanallah.
Kulihat dia duduk dengan santainya di atas tempat tidur, bercerita dan tertawa dengan ceria, bergerak dengan leluasa seolah tidak terganggu dengan selang infuse di salah satu lengannya. Tidak ada selang oksigen di wajahnya.  Wajahnya segar seolah dia tidak sedang sakit.
Aku takjub.
Kubayangkan kondisinya membaik seperti kata adikku, tapi sungguh aku tidak membayangkan kalau kondisinya sehebat sekarang. Allahu Akbar.
Kuberitahu kalau aku bawa singkong rebus pesanan suaminya, supaya dimakan.
“Emang mbak Rini sekarang sudah bisa makan?” tanya adik bungsuku.
“Sudah Dimas, malah aku sekarang laperan…, sebentar-sebentar minta makan sampai mas Dodi bingung cari makanan.” katanya. Padahal waktu aku nengok tempohari, jangankan makan, ngomong aja susah, makanya makanan diberikan lewat infuse.
“Mbak, koq Rieke nggak ikut…, dia kemarin pas kesini bilang katanya hari ini mau kesini lagi” katanya padaku.
“Waduh, aku sekarang nggak tahu jadwal kerjanya Rin…, aku juga belum kontak dia…” jawabku.
“Kalau lancar, dua hari lagi aku sudah boleh pulang…” katanya senang. Kebayang, dua minggu di rumah sakit sudah pasti jenuh.
Aku tidak menangis, karena suasana gembira sungguh terasa. Begitu juga ketika adikku datang dengan anaknya yang baru saja dijemputnya dari rumah, kami juga tetap bercerita dengan lepas. Hampir rancu dalam pikiranku kalau ingat sebetulnya adik iparku ini sedang sakit apa…..

Menjelang jam bezook habis adalah waktunya maghrib, kamipun pamit pulang. Jalanan agak macet, sehingga kami sampai di Surabaya sudah lewat jam 21.00 malam.

Besok siangnyanya adikku memberitahu kalau pas bangun tidur siang istrinya demam, awalnya 38’     terus 39’, kondisinya kritis. Minta bantuan doa. Adikku juga memberitahu kalau ada temanku (yang baru kutahu kalau bekerja di RS tempat adik iparku ini dirawat) menjenguk istrinya.
Deg. Perasaanku tidak enak. Pikiranku berloncatan ke banyak hal jelek, dan aku sungguh tidak suka itu. Terngiang-ngiang terus di telingaku waktu adik iparku kemarin mengatakan kalau dua hari lagi sudah boleh pulang dengan senangnya. Aku langsung mengabari bapak dan ibuku minta bantuan doa.
Waktu dua hari itu adalah besok pagi.
Malamnya, adikku yang di Jakarta menelpon, katanya teman adikku yang sekarang menemani adikku jaga di RS minta dikirim pulsa karena dia dan adikku tidak bisa keluar beli pulsa, kondisi adik iparku semakin memburuk dan sudah dibawa ke ruang ICU.
Terus terang aku tidak berani menelpon adikku. Aku nggak tega mendengar suaranya. Aku takut nanti aku nangis duluan….  Aku sudah membayangkan kalau adikku ini pasti sambil menangis kalau menelpon. Jadi aku selalu menanyakan kondisi terakhir ke temannya yang menemaninya di RS.

Sekitar jam empat pagi, teman adikku mengirim SMS;”Kondisinya semakin drop. Aku dan Dodi sudah menunggu terus di sampingnya.”
Aku langsung menelpon ke rumah Ibuku dan bilang kalau aku mau ke Malang, “Kalau Dimas nggak bisa nganterin, aku naik kereta aja nggak apa-apa…” kataku.
Sekitar jam lima ibuku menelpon bilang kalau adikku bisa ngantar ke Malang, jadi aku nggak usah naik kereta.
Oke, aku tunggu anakku berangkat sekolah dulu baru nanti berangkat ke Malang.
Hampir jam tujuh pagi ketika adikku menjemput. Kamipun langsung berangkat. Kuminta dia berhenti sebentar di pinggir jalan buat beli nasi bungkus. Aku belum makan dari tadi malam.        Adikku menghentikan kendaraan di tepi jalan Menur, ada yang jual nasi pecel.
Aku beli 4 bungkus. Yang tiga bungkus rencanaku buat adikku dan temannya yang menemani  di RS yang mungkin belum sarapan serta adikku yang mengantar aku.
Sambil makan nasi pecel, aku menghubungi suamiku dan bilang kalau aku sedang perjalanan ke Malang. Itu sekitar jam 08.14 pagi. Kami sudah lewatin Jemursari. Agak macet.  Tiba-tiba HP ku satunya berbunyi, adik perempuanku menelpon, “Mbak An, sudah sampai mana? Rini barusan meninggal dunia, tolong balik jemput Bapak. Bapak mau ikut.” Katanya.
Inna Lillahi wa Inna Illaihi Roji’un.
“Dim, Rini sudah nggak ada. Kita balik jemput Bapak…” kataku dengan mata mengabur.
Hpku yang satu berbunyi juga, khabar dari adikku yang mengatakan istrinya sudah nggak ada. Kukhabarin suamiku, anakku, temanku yang tau tentang adikku ini.
Hari ini adalah dua hari dari kemarin ketika dia bilang sudah boleh pulang.....

Hidup (Aku ) adalah milikMu,
Purwaning Dyah Puspitarini, 11 Januari 1975 – 15 Januari 2015.
(Baru beberapa hari yang lalu dia merayakan ulang tahunnya yang ke 40)
Semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat terbaikNya. (Aamiin)
Terimakasih telah menjadi istri terbaik dan tercinta buat adikku Dodi Ariaguna dan  bagi buah hati kalian Rafi Arya Atmaja.
Terimakasih telah menjadi menantu, adik ipar, tante yang baik bagi kami Keluarga Dana Aries beserta putra-putrinya dan cucu-cucunya.
Kami semua sayang padamu, tapi Allah ternyata lebih menyayangimu.
Kau telah meninggalkan kesan terbaikmu,
Selamat jalan adikku….




Surabaya, 16 januari 2015