Senin, 29 Juli 2013

Cobaan




Pengeras suara di Stasiun Pasar Minggu memberitahu kalau Kereta Comuter Line jurusan Bogor masih belum berangkat dari Stasiun Jakarta Kota, tapi Comuter Line yang hanya sampai Stasiun Depok Lama sudah berangkat dari Stasiun Cawang dan Stasiun Juanda. Oke deh, aku naik Kereta yang ke Depok ini aja, pikirku sambil melihat jam di HP-ku yang menunjukkan waktu sekitar jam sepuluh malam lebih.

Maka sekitar setengah jam kemudian akupun turun di Stasiun Depok Lama menunggu Kereta jurusan Bogor. Aku duduk di bangku peron 4 yang terbuat dari potongan rel. Pandanganku kuputar sejauh mataku dapat memandang. Masih lumayan banyak calon penumpang yang sedang menunggu Kereta ke Bogor sepertiku, baik laki-laki maupun perempuan. Beda banget dengan suasana Stasiun Senen kalau malam hari. Suasananya sepi, calon penumpang hanya bertiga termasuk aku, lampunyapun merah sehingga meninggalkan suasana seram. Waktu itu aku malah berpikir kalau aku sedang ikut uji nyali, hehehe….

Tidak lama kemudian, Kereta tujuan terakhir Depok Lama kembali masuk. Para penumpangpun keluar. Ada yang sebagian langsung menuju pintu keluar, tapi ada juga yang mencari tempat duduk menunggu Kereta selanjutnya yang tujuan Bogor. Termasuk dua orang wanita muda yang duduk di sampingku. Salah satunya yang berambut pendek menggendong bayi yang tampaknya masih bayi banget, sedang yang berambut panjang membawa tiga tas, termasuk tas bayi dan botol-botol susu.

Aku menengok kepala bayi yang dekat di sebelah kananku dan membantu menutupkan ubun-ubunnya dengan selimut karena agak terbuka. Kasihan, sudah malam, nanti masuk angin.
Tiba-tiba si ibu yang menggendong bayi terisak, aku kaget. “Sudah, jangan nangis ya… sabar…” kata teman jalannya tadi yang sekarang berdiri di depan si ibu sambil mengusap air matanya.
Aku belum sempat bersuara ketika ibu-ibu di sebelah kanannya bertanya, “Umur berapa bayinya?”
“Dua bulan bu….” jawab keduanya.
“Kenapa nangis? Anaknya sakit?” tanya si ibu lagi.
“Ini baru keluar dari Rumah Sakit bu, pulang paksa…” jawab yang berdiri dan agak mudaan dari si ibu yang menggendong bayi, mungkin adiknya, saudara, atau tetangganya.
“Koq pulang paksa? Sakit apa?”
“Dua hari mencret-mencret, kata dokter harus opname…, jadi dari kemarin diopname, tapi hari ini terpaksa harus pulang sebab kakaknya meninggal bu….” kata yang muda.
“Anak saya meninggal bu….” Samar-samar kudengar lirih suara si ibu di sela isaknya.
“Inna Lillahi Wa’inna Illaihi Roji’un, kakaknya siapa yang meninggal?” tanya si ibu lagi. Dalam hati aku juga mengucapkan Inna Lillahi Wa’inna Illaihi Roji’un.
“Kakaknya si bayi, anak pertama ibu ini…” kata yang muda lagi. Sementara si ibu yang menggendong bayi itu masih tetap terisak-isak. Aku hanya mendengar tanpa kata.
“Jadi ceritanya, waktu si bayi harus opname, kakaknya dititipkan ke rumah saudara di Tebet. Saya nemani di Rumah Sakit, bapaknya kalau siang kerja. Nah, pas tadi sore saya ke Tebet mau ambil buat saya ajak ke Rumah Sakit, ternyata anaknya nggak ada. Kata saudara dia pulang sendiri naik Kereta ke Citayam…”
“Umur berapa kakaknya itu?”
“Umur 6 tahun, tapi dia memang sudah berani naik Kereta sendiri. Makanya tadi saya langsung nyusul ke Citayam. Ternyata sampai di Citayam saya dikasih tau pak RT kalau dia meninggal hanyut di kali pas mandi sama teman-temannya. Mayatnya masih di rumah pak RT belum di apa-apain. Saya langsung balik lagi ke Rumah Sakit ngabarin ini ke ibunya. Sekarang bapaknya juga dalam perjalanan ke Citayam naik motor.”

Ya Allah, aku terhenyak mendengar cerita itu. Seperti cerita sinetron rohani ketika musibah datang bertubi-tubi tanpa kita dapat mencegahnya dan hanya berharap keikhlasan serta kesabaran kita dalam menghadapinya. Tapi ini nyata! Sungguh terjadi di depan mataku….. Apakah aku akan dengan gampangnya mengucapkan kata itu; sabar, tabah, ikhlaskan? Aku tahu benar bagaimana perasaan si ibu saat ini. Aku tahu betapa hancur hatinya…. Akupun semakin terdiam.

“Sabar ya,….. jangan terlalu sedih, kasihan bayinya yang sedang sakit…” ternyata si ibu di seberang sana mampu mengucapkan kata itu. Diam-diam aku berdiri dari tempat dudukku dan menjauh. Aku tak ingin ada orang yang melihat buram mataku. Hanya do’aku saja di dalam hati, semoga ibu itu tabah menghadapi semua cobaan ini. Percayalah kalau Allah pasti punya rencana indah yang kita tidak pernah tahu. Semoga juga si bayi cepat sembuh sehingga dapat sedikit menutupi lobang di hati ibunya. Aamiin.


Bogor, 30 Juli 2013
(sedang mengorek kembali peristiwa yang sempat terlupakan karena keterbatasan waktu)