Sekitar seminggu yang lalu, kalau
tidak salah tanggal 17 Februari 2014 siang, aku lupa tepatnya jam berapa, ada
SMS dari tetangga di Bogor yang mengabarkan berita duka.
“Inna Lillahi Wa’inna Illaihi
Roji’un, telah berpulang ke Rahmatulloh Ustadz Toha Anwar…..” isi SMS itu. Aku
kaget dan menanyakan sakitnya apa, sebab aku koq nggak pernah dengar beliau
sakit. Ternyata katanya gulanya naik sampai 400 dan sempat jatuh di depan
rumahnya, kemudian dibawa ke RS dan meninggal.
Sorenya tetanggaku SMS lagi,
“Alhamdulillah Mamie Itek, yang mensholatkan Pak Toha tadi banyaknya seperti Sholat
Tarawih hari pertama, banyak banget…” katanya.
“Alhamdulillah, beliau memang
orang baik…” jawabku di SMS.
Pak Toha ini (begitu aku biasa
memanggil beliau), adalah salah satu Ustadz yang tinggal di Lingkungan
Perumahan kami dan kebetulan juga adalah salah seorang pelanggan setia warnetku
sewaktu aku masih membuka warnet kemarin.
Biasanya Pak Toha datang ke
warnet antara jam 10.00-11.00 pagi atau terkadang juga sore setelah sholat
ashar. Kalau pagi yang dibuka adalah situs Koran-koran online baik Dalam Negri
maupun dari Luar Negri untuk mencari bahan ceramah maupun kuliah karena
kebetulan beliau juga mengajar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di
seputaran Depok. Kalau sore biasanya download ataupun buka e-mail.
Kalau kebetulan hari itu aku
sedang tidak jalan, biasanya aku menemaninya ngobrol di warnet. Banyak banget
topic bahasan kami karena kebetulan kami
berdua sama-sama doyan ngobrol, hehehe…. Mulai dari ceritanya waktu masih muda,
kuliah, mendapat bea siswa dan tinggal di Luar Negri, tentang putri-putrinya
yang juga mendapat bea siswa, sampai ke bahan kuliah untuk mahasiswanya.
Ada satu topic bahasan mata
kuliah yang pernah diceritakannya padaku yang tetap kuingat dengan jelas sampai
sekarang, yaitu bagaimana tidak setujunya beliau pada Bank-Bank yang
menggunakan embel-embel Syariah saat ini.
Menurut beliau, semua Bank-Bank
Syariah saat ini bukanlah Syariah. Mereka hanya mengganti nama dan
sebutan-sebutan atau istilahnya saja tetapi pada prinsipnya ya sama saja dengan
Bank-Bank yang lain. Mereka tidak menerapkan apa yang disebut Syariah itu dalam
pengoperasiannya.
“Salah satu contohnya, sebagai
Bank Syariah, seharusnya mereka mau membantu memberikan pinjaman atau menyalurkan
kredit kepada masyarakat atau pedagang kecil
tanpa agunan dan tanpa embel-embel bahwa orang tersebut harus sudah punya usaha
yang sama selama sekian tahun. Itu yang namanya membantu masyarakat kecil, tapi
kalau yang dibantu hanya yang sudah punya usaha, terus mereka yang belum punya
usaha harus minta bantuan kemana? Kemudian kalau Bank tersebut takut uangnya
tidak kembali, ya bantulah orang atau pedagang tersebut dalam hal pemasarannya, ambil semua
hasil produknya dan jualkan atau paling tidak memfasilitasi penjualannya…
Seperti Program Anak Angkat itulah….” katanya.
“Tapi karena saya tidak punya
kekuatan untuk merealisasikan pemikiran itu saat ini, maka yang saya lakukan
sekarang adalah mencoba meracuni mahasiswa saya dengan ide-ide seperti itu…,
supaya kelak merekalah yang dapat mewujudkan pemikiran itu.” katanya lagi.
Aku tidak tahu beliau mengajar
mata kuliah apa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta itu, tapi semoga diantara
mahasiswanya ada yang sempat teracuni pikirannya dan kelak ketika menjadi salah seorang ‘Pengambil Keputusan’, mereka
dapat mewujudkan ide-ide mulia almarhum dosennya ini.
Ada lagi pola pikir dari Pak Toha
ini yang sempat diutarakannya padaku, yaitu ketika aku menceritakan seorang keponakan tetanggaku yang meninggal
dunia dan kebetulan tinggalnya juga di Perumahan yang sama dengan kami.
“Koq saya nggak dengar ada orang
yang meninggal ya….” katanya.
“Yang meninggal bukan muslim pak,
jadi biasanya pemberitahuannya terbatas…” jawabku.
“Harusnya nggak apa-apa
diumumkan di Masjid kalau ada yang meninggal biarpun bukan muslim…, sebut saja
‘Mendiang’ adalah Bapak A yang tinggal di Blok D, atau ‘Mendiang’ adalah Ibu B yang tinggal di Blok N, dan seterusnya,
nggak usah disebut ‘Almarhum’ atau ‘Almarhumah’ karena sebutan itu sebetulnya
adalah untuk muslim.”
“Emang bisa pak?” tanyaku.
“Kenapa nggak bisa? Kalau menurut
saya, Masjid itu seharusnya dapat menjadi pusat informasi dan pusat aktifitas
social dalam bermasyarakat….” jawabnya.
“Iya ya Pak, bahkan lampu mati
saja diumumkan di Masjid ya Pak…” kataku.
“Lha itu, lampu mati, anak
hilang, pemilu, semua diumumkan di Masjid, kenapa yang sesama manusia meninggal
nggak boleh diumumkan di Masjid?” katanya.
Aku tidak tahu, apakah pemikiran
beliau yang open mind itu sudah dari sononya, ataukah hasil terkontaminasi
waktu tinggal di luar Negri, ataukah memang sudah seharusnya begitu?! Yang
jelas, banyak hal-hal yang tadinya aku tidak tahu, akhirnya menjadi jelas
ketika aku ngobrol dengan beliau.
Satu lagi, waktu aku berniat
menutup warnetku, terus terang beliau ini adalah termasuk yang memberatkanku
dan ada dalam pikiranku. “Kalau kututup warnet ini, nanti Pak Toha ngenetnya di
mana ya?”
Aku sama sekali tidak
menyombongkan diri dengan mengatakan kalau warnetku adalah satu-satunya yang
terbaik. Sama sekali tidak. Sebab sebetulnyapun beliau punya Lap Top dan Modem
yang dapat digunakannya untuk mengakses internet, tapi katanya kalau pakai Lap
Top dan Modem suka lelet, terus kalau ada yang beliau nggak faham (misalnya mau
download atau copas suatu artikel) kan biasanya bisa langsung nanya ke suamiku,
atau kadang malah Lap Topnya sedang dipakai putrinya.
Warnet di lingkungan perumahanku
kalau nggak salah ada 4 dan jadi 5 dengan warnetku, tapi beliau tidak nyaman
pergi ke 4 warnet tadi karena mereka semua membuka game online yang selalu
penuh dengan anak-anak dan berisik. Di tempatku tidak ada game online dan yang
ngenet hanya anak-anak yang mengerjakan tugas sekolah, karyawan yang
mengerjakan kerjaannya, atau orang-orang yang membuat program/design, atau
sekedar browsing dan FB-an. Ada juga sih anak-anak perempuan kecil yang main
game dari google dan biasanya nggak berisik karena mereka biasa main game
masak-masakan atau Barbie.
Ternyata, tidak sampai dua bulan
sejak aku menutup warnetku, beliau sudah dipanggil menghadapNya. Beliau sudah
tidak perlu lagi ngenet mencari bahan untuk berceramah, beliau sudah tidak
perlu lagi mengirim e-mail pada rekan sejawatnya atau harus berpusing ria membuat
soal ujian untuk mahasiswanya. Perjalannya cukup sampai di sini. Semoga semua
ilmu dan pemikiran yang pernah diberikannya pada kami semua menjadi pahala yang dapat membantu
memperlancar jalannya menghadap Yang Kuasa Allah SWT. Aamiin.
Selamat Jalan Ustadz M. Toha
Anwar.
Surabaya, 24 Februari 2014