Senin, 24 Februari 2014

Selamat Jalan Ustadz



Sekitar seminggu yang lalu, kalau tidak salah tanggal 17 Februari 2014 siang, aku lupa tepatnya jam berapa, ada SMS dari tetangga di Bogor yang mengabarkan berita duka.
“Inna Lillahi Wa’inna Illaihi Roji’un, telah berpulang ke Rahmatulloh Ustadz Toha Anwar…..” isi SMS itu. Aku kaget dan menanyakan sakitnya apa, sebab aku koq nggak pernah dengar beliau sakit. Ternyata katanya gulanya naik sampai 400 dan sempat jatuh di depan rumahnya, kemudian dibawa ke RS dan meninggal.
Sorenya tetanggaku SMS lagi, “Alhamdulillah Mamie Itek, yang mensholatkan Pak Toha tadi banyaknya seperti Sholat Tarawih hari pertama, banyak banget…” katanya.
“Alhamdulillah, beliau memang orang baik…” jawabku di SMS.

Pak Toha ini (begitu aku biasa memanggil beliau), adalah salah satu Ustadz yang tinggal di Lingkungan Perumahan kami dan kebetulan juga adalah salah seorang pelanggan setia warnetku sewaktu aku masih membuka warnet kemarin.
Biasanya Pak Toha datang ke warnet antara jam 10.00-11.00 pagi atau terkadang juga sore setelah sholat ashar. Kalau pagi yang dibuka adalah situs Koran-koran online baik Dalam Negri maupun dari Luar Negri untuk mencari bahan ceramah maupun kuliah karena kebetulan beliau juga mengajar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di seputaran Depok. Kalau sore biasanya download ataupun buka e-mail.

Kalau kebetulan hari itu aku sedang tidak jalan, biasanya aku menemaninya ngobrol di warnet. Banyak banget topic bahasan kami  karena kebetulan kami berdua sama-sama doyan ngobrol, hehehe…. Mulai dari ceritanya waktu masih muda, kuliah, mendapat bea siswa dan tinggal di Luar Negri, tentang putri-putrinya yang juga mendapat bea siswa, sampai ke bahan kuliah untuk mahasiswanya.

Ada satu topic bahasan mata kuliah yang pernah diceritakannya padaku yang tetap kuingat dengan jelas sampai sekarang, yaitu bagaimana tidak setujunya beliau pada Bank-Bank yang menggunakan embel-embel Syariah saat ini.
Menurut beliau, semua Bank-Bank Syariah saat ini bukanlah Syariah. Mereka hanya mengganti nama dan sebutan-sebutan atau istilahnya saja tetapi pada prinsipnya ya sama saja dengan Bank-Bank yang lain. Mereka tidak menerapkan apa yang disebut Syariah itu dalam pengoperasiannya.
“Salah satu contohnya, sebagai Bank Syariah, seharusnya mereka mau membantu memberikan pinjaman atau menyalurkan kredit kepada masyarakat  atau pedagang kecil tanpa agunan dan tanpa embel-embel bahwa orang tersebut harus sudah punya usaha yang sama selama sekian tahun. Itu yang namanya membantu masyarakat kecil, tapi kalau yang dibantu hanya yang sudah punya usaha, terus mereka yang belum punya usaha harus minta bantuan kemana?  Kemudian kalau Bank tersebut takut uangnya tidak kembali, ya bantulah orang atau pedagang  tersebut dalam hal pemasarannya, ambil semua hasil produknya dan jualkan atau paling tidak memfasilitasi penjualannya… Seperti Program Anak Angkat itulah….” katanya.
“Tapi karena saya tidak punya kekuatan untuk merealisasikan pemikiran itu saat ini, maka yang saya lakukan sekarang adalah mencoba meracuni mahasiswa saya dengan ide-ide seperti itu…, supaya kelak merekalah yang dapat mewujudkan pemikiran itu.” katanya lagi.

Aku tidak tahu beliau mengajar mata kuliah apa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta itu, tapi semoga diantara mahasiswanya ada yang sempat teracuni pikirannya dan kelak ketika menjadi  salah seorang ‘Pengambil Keputusan’, mereka dapat mewujudkan ide-ide mulia almarhum dosennya ini.

Ada lagi pola pikir dari Pak Toha ini yang sempat diutarakannya padaku, yaitu ketika aku menceritakan  seorang keponakan tetanggaku yang meninggal dunia dan kebetulan tinggalnya juga di Perumahan yang sama dengan kami.
“Koq saya nggak dengar ada orang yang meninggal ya….” katanya.
“Yang meninggal bukan muslim pak, jadi biasanya pemberitahuannya terbatas…” jawabku.
“Harusnya nggak apa-apa diumumkan di Masjid kalau ada yang meninggal biarpun bukan muslim…, sebut saja ‘Mendiang’ adalah Bapak A yang tinggal di Blok D, atau ‘Mendiang’ adalah  Ibu B yang tinggal di Blok N, dan seterusnya, nggak usah disebut ‘Almarhum’ atau ‘Almarhumah’ karena sebutan itu sebetulnya adalah untuk muslim.”
“Emang bisa pak?” tanyaku.
“Kenapa nggak bisa? Kalau menurut saya, Masjid itu seharusnya dapat menjadi pusat informasi dan pusat aktifitas social dalam bermasyarakat….” jawabnya.
“Iya ya Pak, bahkan lampu mati saja diumumkan di Masjid ya Pak…” kataku.
“Lha itu, lampu mati, anak hilang, pemilu, semua diumumkan di Masjid, kenapa yang sesama manusia meninggal nggak boleh diumumkan di Masjid?” katanya.

Aku tidak tahu, apakah pemikiran beliau yang open mind itu sudah dari sononya, ataukah hasil terkontaminasi waktu tinggal di luar Negri, ataukah memang sudah seharusnya begitu?! Yang jelas, banyak hal-hal yang tadinya aku tidak tahu, akhirnya menjadi jelas ketika aku ngobrol dengan beliau.

Satu lagi, waktu aku berniat menutup warnetku, terus terang beliau ini adalah termasuk yang memberatkanku dan ada dalam pikiranku. “Kalau kututup warnet ini, nanti Pak Toha ngenetnya di mana ya?”

Aku sama sekali tidak menyombongkan diri dengan mengatakan kalau warnetku adalah satu-satunya yang terbaik. Sama sekali tidak. Sebab sebetulnyapun beliau punya Lap Top dan Modem yang dapat digunakannya untuk mengakses internet, tapi katanya kalau pakai Lap Top dan Modem suka lelet, terus kalau ada yang beliau nggak faham (misalnya mau download atau copas suatu artikel) kan biasanya bisa langsung nanya ke suamiku, atau kadang malah Lap Topnya sedang dipakai putrinya.
Warnet di lingkungan perumahanku kalau nggak salah ada 4 dan jadi 5 dengan warnetku, tapi beliau tidak nyaman pergi ke 4 warnet tadi karena mereka semua membuka game online yang selalu penuh dengan anak-anak dan berisik. Di tempatku tidak ada game online dan yang ngenet hanya anak-anak yang mengerjakan tugas sekolah, karyawan yang mengerjakan kerjaannya, atau orang-orang yang membuat program/design, atau sekedar browsing dan FB-an. Ada juga sih anak-anak perempuan kecil yang main game dari google dan biasanya nggak berisik karena mereka biasa main game masak-masakan atau Barbie.

Ternyata, tidak sampai dua bulan sejak aku menutup warnetku, beliau sudah dipanggil menghadapNya. Beliau sudah tidak perlu lagi ngenet mencari bahan untuk berceramah, beliau sudah tidak perlu lagi mengirim e-mail pada rekan sejawatnya atau harus berpusing ria membuat soal ujian untuk mahasiswanya. Perjalannya cukup sampai di sini. Semoga semua ilmu dan pemikiran yang pernah diberikannya pada kami semua  menjadi pahala yang dapat membantu memperlancar jalannya menghadap Yang Kuasa Allah SWT. Aamiin.

Selamat Jalan Ustadz M. Toha Anwar.


Surabaya, 24 Februari 2014