Rabu, 20 Juli 2011

MEMAKAN SESAMA, sebegitu parahnyakah?

Kecerdasan, keberuntungan, kelebihan, dan berbagai macam kenikmatan yang lain itu adalah anugrah dari Yang Kuasa. Tetapi kenapa mereka yang mendapatkan kenikmatan itu malah mempergunakannya untuk memperdaya yang lain? Apakah mereka tidak ingin kalau apa yang dipunyainya itu menjadi berkah, sehingga dengan gampangnya mencoba mengeksploitasi yang lain yang menjadikan semuanya itu tidak berkah lagi buat mereka sendiri.

Sungguh disayangkan bahwa otak yang mereka punyai itu setiap hari dipaksa untuk mencari berbagai macam cara untuk mengelabuhi yang kurang beruntung. Kasihan otaknya, kelak mereka akan bersaksi jelek buat pemiliknya.

Semua ini tidak ada hubungannya dengan para politikus yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat luas. Sudah terlalu banyak orang yang membicarakannya, jadi tidak perlu lagi membuang energy untuk mereka.

Ada banyak hal lain yang juga patut menjadi bahan pemikiran, misalnya saja para pembuat lowongan pekerjaan yang banyak tersebar di berbagai media cetak ataupun elektronik yang lebih kerennya adalah lewat internet.

Betapa banyak tawaran-tawaran yang menggoda, tetapi bila ditindak lanjuti ternyata isinya penuh dengan tepu-tepu alias kebohongan. Sungguh kasihan para pencari kerja yang benar-benar amat membutuhkan pekerjaan. Waktu, tenaga dan materi terbuang percuma. Apa mereka-mereka para pembuat tipuan ini tidak berpikir bahwa semua hal itu amat berharga buat para korban.

Satu hal yang membuat penasaran yaitu, apakah para tukang tepu ini setiap harinya tetap dapat makan enak dan tidur nyenyak setelah siangnya berhasil mendapatkan korban? Apakah tidak ada rasa penyesalan sedikitpun di hati mereka pada perbuatan ini? Ataukah seluruh nurani sudah mati karena dikalahkan oleh dewa materi?

Kasihan juga keluarga di rumah yang diberi rejeki tidak halal, karena seluruh darah dan dagingnya terbuat dari hasil menipu yang juga pasti tidak berkah. Berbagai macam penyakit akan dengan mudah menyerang karena ketidak berkahan itu. Dengan kata lain, tubuhpun sebetulnya ingin merenovasi dan membuang bagian yang tidak berkah itu dari tubuhnya lewat berbagai macam penyakit yang menjangkit.

Alangkah enaknya bila semua hal dikerjakan berdasarkan kejujuran. Biarpun hasil sedikit, tetapi semua orang dapat menjalankan masing-masing perannya dengan bebas dan bahagia. Mulanya memang sulit, tetapi bila diniatkan dari dalam hati pasti semuanya akan baik-baik saja.

Semoga setelah membaca tulisan ini, ada orang-orang pilihan yang tergerak hatinya dan membuat perubahan, minimal buat dirinya sendiri. Sehingga akan mengurangi jumlah orang yang terdzolimi. Semoga.

Bogor, 20 Juli 2011

(dengan hati yang jengkel dan geram yang sudah berusaha diredam)

Minggu, 17 Juli 2011

BILA LUKISAN INDAH ITU RUSAK

Apa yang kamu lakukan bila lukisan indahmu dirusak? Kalimat itu kubaca semalam di kaskus, yang aku lupa siapa penulisnya tetapi isinya begitu membekas buatku. Intinya penulis itu menyatakan bahwa kita manusia ini menjalani hidup bagaikan pelukis yang melukis sebuah lukisan.

Seorang pelukis, akan menuangkan semua ide, cita dan angan-angannya dalam sebuah lukisan yang indah, yang setiap saat akan terus direnovasi dan diupayakan untuk semakin indah. Ketika pada suatu saat si pelukis merasa lukisannya sudah cukup indah, dia akan berhenti sejenak untuk sekedar menikmatinya.

Dikisahkan, ada seorang pelukis yang sudah pada taraf tersebut. Dia begitu menikmati lukisannya, mulai dari jarak dekat sampai tanpa disadarinya dia mulai melangkah mundur, mundur, mundur lagi semakin jauh dan nyaris terjatuh dari dinding tinggi tempatnya melukis. Dalam keadaan seperti itu, orang lain tentu akan menjadi serba salah untuk mengingatkan keadaan genting tersebut. Bila diteriakin, kemungkinan besar si pelukis jadi kaget dan malah terjungkal ke bawah. Mau dihampiri, bisa jadi akan terlambat.

Tiba-tiba, tanpa diduga-duga… majulah seseorang menghampiri lukisan si pelukis dan langsung mencoret-coretnya. Melihat lukisannya yang indah jadi rusak, si pelukis langsung terhenti langkah mundurnya dan sontak merasa marah pada orang yang telah merusak lukisannya itu. Diapun maju kembali menghampiri lukisannya.

Tetapi, ketika si pelukis akan meluapkan amarahnya pada si perusak lukisan, ada orang lain yang segera memberitahukan kondisinya. Bahwa saat itu dia sedang berada di titik kritis, dan hanya dengan merusak lukisannya sajalah nyawanya dapat diselamatkan.

Begitu juga dengan kita. Dalam menjalani kehidupan, ketika kita sudah melukiskan semua keinginan hidup dalam sebuah lukisan indah yang siap dibingkai anggun, tetapi tiba-tiba saja Allah merusak lukisan indah itu, misalnya dengan sebuah kegagalan atau musibah yang menimpa. Mungkin kita akan marah pada Allah karena sudah mengacaukan semua impian itu. Tetapi hendaknya kita ingat, bahwa Allah merusak lukisan itu tentu dengan maksud yang lain di dalamnya. Yang justru akan menyelamatkan kita dari kehancuran yang kita buat sendiri.

Tulisan ini kubuat untuk seorang sahabat, yang pada hari ini kehilangan suaminya, kekasih hatinya yang begitu tiba-tiba dipanggil olehNya karena serangan jantung. Semoga cerita ini dapat sedikit mengobati rasa sakit itu dan menemukan hikmah di baliknya. Selama hidupnya, alharhum adalah orang yang baik dan taat beribadah. Allah pasti menyiapkan tempat yang indah untuknya. Aamiin.


Dengan rasa duka cita yang mendalam,

Bogor, 17 Juli 2011

Jumat, 08 Juli 2011

Mengintip Dunia Lain

Kalau hidup yang nyaman itu ibarat hidup dalam kepompong yang hangat, maka kebanyakan dari kita pasti sudah mengalami dan menikmatinya. Hidup dengan segala ketersediaan yang kadang berlebihan. Tapi pernahkah terlintas sekejab saja dalam benak untuk sekali saja mencoba keluar dari kepompong itu dan mencoba dunia baru yang amat berbeda dengan keseharian kini. Tidak perlu harus masuk ke dalamnya, cukup mengintip sedikit saja. Sekedar tahu.

Pasti tidak pernah terlintas ya? Lagipula untuk apa juga harus meninggalkan kepompong hangat kita untuk suatu hal yang tidak pasti di luar sana? Dunia baru dan asing yang mungkin tidak akan ramah pada kita.

Beberapa kali aku pernah mencobanya, dan aku suka sekali berada di setiap tempat itu. Banyak hal-hal baru yang dapat ikut serta meramaikan sel-sel kelabu dalam benakku serta mengisi kantong-kantong hati yang masih tersisa.

Satu contoh, ketika di sebuah situs pertemanan, ada seorang wanita dari Jerman, usianya sebayaku. Saat ini kebetulan dia ditugaskan perusahaan tempatnya bekerja untuk berada di Indonesia selama satu tahun, dan dia baru datang sekitar dua bulan yang lalu. Dia menawari aku untuk mencoba sesuatu yang ‘different’. Ceritanya, dia bercerai dengan suaminya karena dia memergoki suaminya tidur dengan pembantu rumahtangganya. Sejak itu dia tidak percaya lagi ataupun mau menjalin hubungan dengan pria.

“Maybe some times.” Katanya. Tapi untuk sekarang, No!

Aku tahu dan paham benar maksudnya, tapi aku tidak serta merta menolak berkomunikasi lagi dengan dia. Beberapa hari kami ngobrol, beberapa hari itu dia terus menerus membujukku untuk mencoba hal yang baru dengan dia. Beberapa hari itu pula aku berusaha untuk membujuknya supaya tetap mau berkomunikasi dengan aku sebagai sahabat atau saudara.

“”I want ** with you. Are you understand? I want to k*** you, play…..zzzsensorzzz… dan seterusnya. ”

Aku jawab, aku mengerti, aku juga ‘open mind’ pada hal seperti itu untuk dia dan orang lain. Tapi untukku sendiri, aku tidak bisa. Aku juga tetap menawarkan persahabatan padanya, tapi dia menolak. Dia bilang dia memang butuh teman, sahabat, tapi dia mau lebih intim dari itu.

Ketika aku tanya, artinya apa? Dia jawab, “Means it goodbye…. “

Sudah. Sejak hari itu dia tidak pernah lagi menghubungiku, padahal aku sudah beberapa kali mencoba menghubunginya. Jujur saja aku merasa sedikit kehilangan. Karena beberapa hari ngobrol, aku seperti mendapat sahabat baru, saling bercerita dan bercanda. Tetapi setiap kali pembicaraan sampai pada masalah ‘itu’…., mentok dah!

Itu salah satu cerita. Ada satu contoh lagi, kali ini aku mengajak serta anak-anakku untuk ‘mencoba sesuatu yang berbeda’ dalam konteks kehidupan sehari-harinya. Sesuatu yang mudah-mudahan dapat diambil pelajarannya oleh mereka.

Aku mengajak kedua anakku ‘naik kereta ekonomi’ jurusan Jakarta – Surabaya. Satu hal yang belum pernah dialami mereka. Sudah pernah menggunakannya?! Oke, kapan? Duluuuu…… sekaliii… Pasti bukan akhir-akhir ini kan, di saat semua yang terbaik sudah berada dalam genggaman.

Anak-anakku yang tidak pernah tahu keadaan kereta ekonomi jarak jauh sih menjawab ‘YA’ dengan antusias yang tinggi ketika aku menawarkan pilihan itu. Aku yang sudah tahu keadaannya, mempersiapkan berbagai macam snack dan minuman (sampai satu tas), untuk berjaga-jaga kalau mereka tidak bisa tidur atau tidak doyan makanan yang dijajakan di atas kereta.

Mereka bahkan minta beli burger, kentang goreng dan milk shake di A*, restorant cepat saji dari Amerika yang ada di Stasiun Kota. Aku turutin saja. Setelah itu kami menuju Stasiun Senen, tempat pemberangkatan keretanya.

Waktu melihat para calon penumpang, anak-anakku pada geli melihat cara berpakaian para calon penumpang itu. (Sebetulnya aku sendiri juga merasa gimana gitu, ketika melihat cara berpakaian mereka). Ada anak perempuan kecil yang berpakaian dan didandanin seperti mau ke pesta. Kemudian remaja tanggung (ABG) yang berdandan seperti mau nyanyi rock di panggung. Dan lain-lain.

“Heh, nggak boleh tertawa. Itu adalah hal yang terbaik menurut mereka. Mungkin mereka juga tertawa melihat penampilan kalian yang cuma pake t-shirt.” Kataku.

Begitu mulai masuk kereta dan melihat cara para calon penumpang itu naik, anak-anakku sudah mulai was-was. Rasa was-was itupun kemudian berubah menjadi shock ketika kami sudah berada di dalam kereta. Kami pergi bertiga, tapi aku beli karcisnya 4. Maksudku supaya bisa gentian tidur. Tapi ternyataaaa……. Kursi/nomor yang kubeli itu bahkan tidak bisa kami pakai. Sudah langsung ditempati orang, dan orang-orang itu tidak perduli apakah kursi itu ada yang punya atau tidak. Pokoknya kosong, ya hajar saja!

Sepanjang malam anak-anakku tidak bisa tidur. Bagaimana mau tidur, para penjual asongan itu setiap detik tiap waktu berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Padahal keadaan sudah penuh sesak, bahkan jalanpun susah, tapi mereka masih saja bisa lewat dan hilir mudik.

Kedua anakku, selain tidak bisa tidur, merekapun tidak mampu menelan bekal yang dibawa. Mereka berdua terdiam tanpa kata. Muka pucat dan merasa tidak nyaman. Tetapi mereka tidak berani protes padaku. (Protesnya ketika sudah sampai di rumah Ibuku, hehehe…)

“Mamie, toiletnya ada sepedanya.” Kata anakku yang besar, ketika kembali dari toilet. Itupun aku ikut mengawasi dari tempat dudukku yang memang tidak jauh dari pintu, maklum di pintunya banyak laki-lakinya. Aku tersenyum.

Ketika giliran anakku yang kecil minta ke toilet, aku yang mengantar dengan melompati berpuluh-puluh manusia yang duduk di jalanan kereta itu. Pintu toilet terbuka, dan bekas kaleng cat besar yang mungkin tadinya adalah tempat air, sudah di tengkurepin dan dipakai duduk oleh orang.

“Maaf pak, boleh pakai toiletnya? “ kataku pada bapak-bapak yang lagi duduk sambil ngerokok itu. Bapak-bapak itu bangun dan kembali duduk lagi setelah anakku selesai. Gile, apa hidungnya buntu ya? Duduk sepanjang malam di depan toilet yang pasti tidak disiram karena tempat airnya saja sudah dijungkir.

“Mamie parah!” kata anakku,”Nanti pulangnya nggak mau naik kereta itu lagi!”

“Hehehe…, sesekali kalian harus juga merasakan suasana yang lain dari yang biasa kalian alami. Kalian juga harus tahu bahwa ada kehidupan lain di luar dunia kalian. Untuk itu, kalian harus pandai bersyukur atas apa yang selama ini kalian dapatkan. Jangan mengeluh saja. Kalian harus jadi orang yang kuat, yang bisa menghadapi segala jenis keadaan. Mamie tidak mau kalian kelak jadi orang yang cengeng.”

Begitu sebagian ceritaku tentang keluar dari kepompong dan menikmati sedikit kehidupan yang berbeda dari dunia kita. Sungguh mengasyikkan. Tapi memang butuh sedikit keberanian untuk semua itu. Berani kehilangan, berani sedikit tersesat, berani malu, dan berani lain-lainnya……

Di tengah teriknya Matahari Bogor,

Bogor, 7 Juli 2011

Selasa, 05 Juli 2011

Semalam Penumpang Keretanya Habis Ronda Semua?

Tadi aku ada urusan ke Jakarta, naik Commuter Line (baca: Kereta Ekonomi AC yang dinaikkan tarifnya) dengan jam berangkat pk 08.28 pagi dari stasiun. Sudah dapat dipastikan kalau berangkat jam sekian dan bukan dari stasiun awal, hasilnya adalah berdiri. Itu sudah biasa.

Aku berdiri tidak jauh dari pintu supaya dapat berpegangan pada tiang dan tidak perlu bergelantungan. Iseng, seperti biasa…. Pikiran isengku mulai bergejolak, mencari-cari sampai akhirnya aku menemukan hal yang menggelitik hatiku…..

Aku perhatikan sekelilingku (Kereta tidak terlalu padat, karena ini jurusan Tanah abang. Kalau saja ini arah ke Kota, aku pasti tidak akan bisa melihat berkeliling), kaum adam yang mendapat tempat duduk itu ternyata semuanya sedang tertidur atau pura-pura tidur. Ada juga sih kaum hawa yang juga tidur.

Menurutku, jam sekian itu bukanlah waktu mengantuk yang amat sangat. Kecuali kalau semalam habis kena giliran ronda. Tapi masak iya sih penumpang satu gerbong (mungkin satu kereta) yang berjenis kaum adam yang dapat tempat duduk itu semalam dapat giliran ronda bareng-bareng? Udah gitu, ternyata mereka ini sakti-sakti lho, bisa terbangun tepat sebelum stasiun tujuan.... Hehehehe.....

Sebetulnya alasan utama mereka tidur atau pura-pura tidur itu kan karena tidak enak hati pada kaum hawa yang berdiri. Mau memberikan begitu saja tempat duduknya pada kaum hawa koq ya sayang, orang sama-sama bayarnya… (Iya nggak pak, mas, bang,…. Hehehe…). Tapi kalau tidak memberikan tempat duduknya koq ya kebangetan, sehingga jadi tidak enak hati deh…. Makanya yang paling aman, ya tidur saja.

Padahal, padahal nih bapak-bapak, mas-mas, abang-abang dan apapun sebutan lainnya…., kaum hawa yang sudah setiap hari naik kereta ini juga sudah biasa berdiri koq. Mereka juga sudah tau sejak awal kalau pasti tidak akan dapat tempat duduk. Mereka sudah menyiapkan fisik dan mental dalam menggunakan jasa kereta ini. Jadi nggak perlu pura-pura tidur lagi deh, santai saja!

Para kaum hawa ini juga ‘tidak terlalu’ berharap mendapatkan tempat duduk koq, kecuali ada ‘dermawan’ terpaksa ataupun tidak terpaksa yang mau melepaskan tempat duduknya. Biarpun dalam hatinya juga agak dongkol sih kalau melihat bapak-bapak, mas-mas ataupun abang-abang yang dapat duduk dengan santai…. Hehehe…..

Tapi, mungkin juga memang ada yang ngantuk beneran karena semalam nggak tidur, ya mohon maaf. Dapat dimengerti dengan baik sebab kan memang ada karyawan yang masuk shift malam. Golongan yang ini bebas sentilan deh. Tapi yang mana orangnya ya?!

Tulisan ini tidak bermaksud apa-apa dan tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa, sebab ini hanya sekedar sharing saja. Sekedar mengisi waktu supaya selama menuju tempat tujuan, pikiran tidak kosong. Sebab kalau pikiran kosong, kata nenekku dulu, nanti gampang kerasukan/kesambet. Hehehe…. Tapi kalau misalnya ada yang sempat tersinggung, sekali lagi ya mohon dimaafkan… sungguh tidak ada maksud begitu. Have fun saja ya….. Oce?.... Oce!!!!



Bogor, 5 Juli 2011