Sabtu, 21 April 2012

Menonton Berita di TV

Beberapa waktu nggak sempat nonton TV, sungguh membuatku ‘terpesona’ menonton berita yang disiarkan oleh TV-TV ini.

Mulai dari buku LKS anak SD yang isinya membuat kuping merah, kemudian cerita tentang geng motor yang mulai mencekam warga Jakarta, sampai dengan minuman ringan ‘gau-jal’ yang bahan bakunya dibuat dari urine sapi, serta beberapa berita heboh lainnya.

Tentang buku LKS anak SD yang ternyata di dalamnya terdapat cerita-cerita atau kalimat-kalimat yang tidak mendidik itu sebenarnya sudah beberapa kali terjadi dan tidak hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi terjadi juga di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini.

Kalau melihat runtutan prosesnya, menurutku pasti tidak ada unsur kesengajaan dengan tujuan negative dari para mereka yang bersangkutan di dalamnya. Tetapi aku justru melihat bahwa ternyata batas antara baik dan buruk, boleh dan tidak, pantas atau tidak pantas, layak atau tabu dalam persepsi insan masa kini itu menjadi semakin bias, semakin kabur, atau tidak jelas lagi.

Artinya, hal-hal yang pada masaku dulu ketika banyak batasan-batasan moral dalam menjalani hidup ini begitu ketatnya…., tampaknya sekarang kian melonggar saja. Misalnya kalau insan masa kini melihat sesuatu hal sebagai suatu hal yang biasa, lain lagi dengan insan jadul yang seproduk denganku yang mungkin berbeda pendapat dan melihat sesuatu itu tadi sebagai hal yang luar biasa dan keluar dari batasan unsur baik, boleh, pantas atau layak.

Apakah dalam hal ini system patut disalahkan karena membuat insan produk masa kini hanya banyak tau tentang kulit luarnya saja tanpa perlu menjelajahi isinya seperti masaku dulu, ketika banyak hal itu tetap harus dibedah secara detail dan merasuk sampai ke sumsumnya? Jawabnya adalah, tidak tahu!

Tentang geng motor yang membuat kegemparan di beberapa wilayah di Jakarta beberapa waktu ini, konon katanya itu adalah unsur balas dendam karena ada teman mereka yang tewas karena dikeroyok oleh kelompok tertentu.

Balas dendam? Aku jadi ingat film-film kungfu yang sering ditayangkan beberapa stasiun TV kita. Kalau di film-film kungfu itu, biasanya ada anak yang harus membalaskan dendam kematian orangtuanya, ada murid yang membalas dendam untuk gurunya, atau seorang adik /kakak yang membalas dendam untuk saudaranya dan lain-lain. Yang akhirnya pembalasan dendam itu tidak akan pernah ada akhirnya karena selalu dilanjutkan oleh sanak saudara atau keturunannya.

Kenapa harus seperti itu, padahal biarpun setelah membalas dendam… hal yang sudah terjadi itu kan tidak bakalan pernah berubah atau datang lagi. Jadi sebetulnya apa gunanya? Kenapa kita tidak hidup secara damai saja dengan semua orang? Saling memaafkan dan hidup tenang bersama-sama.

Sekarang soal minuman ringan ‘gau-jal’ berbahan dasar urine sapi yang katanya tidak berbau, menyehatkan dan rasanya dapat bersaing dengan minuman berkarbonasi lainnya serta harganya lebih murah dan alami.

Biarpun otak manusia kadang-kadang memang terbalik, tapi aku tetap heran dengan ide pembuatan minuman ini yang menurutku bukan lagi otaknya terbalik, tapi karena memang di dalam kepalanya itu pasti kosong alias tak berotak.

Coba saja, apakah tidak mual membayangkan bahwa isi botol minuman yang kita minum di saat tengah hari bolong, panas dan haus itu adalah pipisnya sapi? Biarpun sudah dimasukkan ke dalam kulkas sekalipun…??? Ooooh…, rasanya aku lebih baik pingsan kehausan saja deh, daripada harus minum pipisnya sapi……

Acara-acara TV lainnya hari itu langsung blank dari kepalaku karena ‘gau-jal’ ini. Mungkin besok atau lusa aku bisa dapatkan lagi memoarku yang hilang ini buat ditulis. Gau-jal gau-jal….



Bogor, 21 April 2012

Selamat Hari Emansipasi, terimakasih pada Ibu Kartini dan pahlawan-pahlawan pejuang wanita lainnya yang sempat agak terlupakan…..

Jumat, 13 April 2012

Satu Lagi Ceritaku Hari Ini

Sepertinya aku pernah menulis kalau di atas KRL itu selalu banyak hal menarik yang bisa dijadiin bahan cerita. Banyak hal yang menggelitik hati dan sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Misalnya kejadian beberapa hari yang lalu, aku bersama temanku naik KRL Ekonomi ke Bogor, walaupun sebetulnya tujuan utama kami tuh ke Jakarta. Maksudnya kami ikut naik KRL ke Bogor dulu adalah supaya ketika kereta ini nanti kembali ke Jakarta, kami berdua dapat tempat duduk, maklum perjalanan ke Jakarta kan lumayan jauh sedang kaki temanku suka sakit karena pengapuran,dan mumpung kami sedang tidak dikejar waktu,… hehehe…

Selepas Stasiun Cilebut, tiba-tiba terdengarlah suara seorang anak perempuan ---menurut anakku yang juga sering naik KRL ke sekolah, anak ini namanya Chika--- yang dengan suara nyaringnya mulai meminta-minta dengan kalimat yang sama setiap harinya, ”Om, Tante… bagi duit dong…. Lapeeerrrr…, kasihan…. Om, Tante….. saya belum makan….“

Karena tiap berangkat kerja aku selalu naik KRL (baik ekonomi maupun commuter line), maka sebetulnya aku juga sudah sering sekali melihat ‘anak perempuan’ ini, yang menurut pengamatanku sebetulnya dia ini bukan anak-anak lagi. Anakku juga menyebutnya sebagai ‘anak-anak berwajah tua’. Aku melihatnya sebagai seseorang yang mengidap mongoloid syndrome atau down syndrome, yang seingatku mereka ini mempunyai IQ antara 20-60. Jadi, kecerdasan mereka memang dibawah normal, tetapi mereka masih mempunyai kemampuan bila terus menerus dilatih dengan penuh kasih sayang dan secara intensif.

Terus terang aku tidak pernah memberi uang pada ‘anak ini’, karena aku tidak suka caranya yang terlalu memaksa, yang notabene aku juga merasa kalau anak ini ada yang memanfaatkan atau menyuruh. Biasanya ‘anak ini’ akan langsung memeluk para bapak dan menggayut dengan kemanjaan yang dibuat-buat, sampai mereka yang menjadi sasaran ini jadi rikuh dan sulit melepaskan pelukan tangannya.

Kembali pada cerita semula, ketika si Chika ini sampai di tempat aku dan temanku berdiri (waktu KRL menuju Bogor, kami belum dapat tempat duduk), temanku langsung menegurnya.

“Kamu tidak boleh minta-minta ya…, harusnya kamu tetap sekolah dan orang tua kamu yang bekerja mencari uang, bukannya malah menyuruh kamu minta-minta seperti ini… Saya pernah lihat kamu di Pasar Minggu bersama ibumu. Ibumu sehat dan gemuk kan?” kata temanku. Langsung saja semua penumpang di sekitar kami diam dan memperhatikan temanku. Sementara si Chika ini hanya tersenyum-senyum nggak jelas, tapi tangannya tetap menjulur ke sana ke mari ke arah para penumpang.

“Nggak ada uang, dengerin kata-kata ibu itu…” kata penumpang yang terus menerus digelayutin oleh Chika sambil berusaha melepaskan diri.. Penumpang-penumpang yang lain juga ikutan menolak memberi uang pada Chika.

“Iya, saya lihat sendiri koq kalau anak ini suka diantar sama ibunya untuk masuk ke satu gerbong, sedang ibunya menunggu di gerbong yang lain. Ibunya sehat dan seger…, harusnya masih bisa cari uang dengan jadi buruh cuci kek, apa kek…. “ kata temanku pada ibu-ibu di depannya. Para penumpang yang lain mengangguk-angguk.

“Sebetulnya rumahnya di Manggarai bu, bapaknya penjudi, dan kadang dia suka diantar abangnya yang juga gemuk. Tadi tuh saya lihat ada abangnya, itu tuh yang pakai kaos coklat.” tiba-tiba ada seorang anak laki-laki berseragam putih merah menyahut dan menunjuk pada seorang anak laki-laki belasan tahun yang memang bertubuh tambun.

“Tuh kan, apa saya bilang… malah ada abangnya juga…. “ kata temanku.

Akhirnya Chika berlalu dari tempat kami sambil berkata, “Koq ibu tahu sih?” katanya sambil tetap tersenyum-senyum nggak jelas.

Sempat terpikir olehku, apakah Chika ini juga masih punya rasa lain selain rasa lapar seperti kata-katanya selalu, ataukah orang-orang terdekatnya tidak pernah memperkenalkan arti kata yang lain padanya, sehingga dia hanya menjadi robot bernyawa tanpa punya pikiran atau kemauan sendiri? Sungguh malang sekali nasibnya, dan seperti apakah masa depannya kelak.

Ketika kereta sampai di Stasiun Bogor dan para penumpang turun, aku dan temankupun memilih tempat duduk yang baru saja ditinggalkan para penumpang. Tapi, acara memilih tempat juga tidak dapat berlangsung lama karena calon penumpang baru juga sudah pada naik serta berebut tempat duduk.

Kalau melihat perjuangan para penumpang ini untuk mendapatkan tempat duduk, maka tidak boleh disalahkan kalau kaum adam juga enggan memberikan tempat duduk yang sudah diperjuangkan dengan gigih oleh mereka pada kaum hawa yang naik belakangan. Jadi jangan salahkan mereka kalau begitu dapat tempat duduk, merekapun akan berpura-pura tidur sampai tujuan…. Hehehe….

Tidak sampai lima belas menit kemudian, kereta mulai bergerak dan melaju menuju Jakarta. Tempat duduk penumpang sudah penuh, dan sudah banyak juga yang berdiri. Tapi suasana masih cukup sepi sehingga para pedagang asongan dapat dengan leluasa mondar-mandir sepanjang gerbong.

Tiba-tiba si Chika lewat dan menoleh pada kami sambil tetap tersenyum nggak jelas. Di belakangnya anak laki-laki tambun berkaos coklat mengikuti. Rupanya ‘abangnya’ sudah berani muncul dan dekat-dekat dengannya. Pasti sudah mau turun.

(Lanjut besok lagi ah, sekarang aku ngantuk berat nih….)

(Lanjutan tulisan semalam)………………….

Penumpang semakin bertambah ketika kereta berhenti di Stasiun Cilebut, dan pasti akan semakin bertambah ketika di Stasiun Bojonggede, Citayam dan Depok. Setelah stasiun-stasiun itu penumpang hanya akan bertambah satu dua orang saja.

Mendekati Stasiun Bojonggede, tiba-tiba ada seorang anak perempuan kumal berambut pendek ikal yang umurnya juga masih belasan, tiba-tiba muncul dari gerbong sebelah dan mulai mencubiti anak laki-laki yang berseragam SMA. Biarpun mencoba menghindar, tapi anak perempuan itu akan terus berusaha mencubit sampai dapat. Kalau sudah dapat, barulah dia berpindah pada anak laki-laki yang lain….

“Eh. Apaan tuh… orang gila ya….” spontan keluar kata-kata itu dari mulut temanku.

SSSRRTTT. Tiba-tiba saja anak perempuan itu berbalik arah dan langsung menghadap ke temanku dengan mata melotot dan siap melemparkan botol plastic berisi air berwarna coklat pada temanku. Tau tuh, air apa yang ada di dalam botol itu, bisa saja kopi susu, atau mungkin air comberan.

Temanku kaget dan panic, karena anak perempuan itu berada dalam posisi mengancam seperti itu lumayan lama…., lebih dari hitungan detik…, mungkin ada sekitar dua atau tiga menit.

“Eh, bukan itu maksudnya…. Anak-anak laki-laki tadi nggak mau diganggu, nanti marah mereka…. “ kata temanku begitu melihat anak perempuan itu tidak beranjak. Anak itu masih tetap seperti itu sampai beberapa saat lagi sampai akhirnya berbalik dan pergi sambil tetap mencubiti anak laki-laki yang berseragam SMA.

“Kenapa anak itu ya…, koq dia ngerti sih?! Gila nggak sih?!” kata temanku.

“Nggak tau deh…” jawabku sambil berpikir, ini buat pelajaran, seharusnya kita memang tahu kapan kita mempergunakan mulut kita. Apakah perlu atau tidak.

Aku juga sempat berpikir, kira-kira apa ya yang menyebabkan anak perempuan itu bertingkah laku seperti itu? Seperti ada traumatis dengan anak laki-laki berseragam SMA, karena memang hanya anak laki-laki yang berseragam SMA saja yang dicubitnya. Tapi aku tidak mau memperpanjang pikiranku, sebab di dunia ini banyak hal yang mungkin terjadi. Biarlah hal itu tetap menjadi mistery saja, kecuali kalau ada data nyata yang mendukung.

Oke, akhirnya kami turun di Stasiun Tebet dan kembali tenggelam dalam tugas serta pekerjaan yang harus kami selesaikan.

Bogor, 14 April 2012