Minggu, 16 Januari 2011

Betapa Mahalnya Kesehatan

Yang pertama kuraih begitu terbangun adalah hp, untuk melihat jam berapa saat itu. Ternyata pagi ini hpku mati, rupanya semalam lowbatt dan aku tidak menyadarinya.

Sambil ngecharge hp, aku melihat beberapa pesan masuk yang belum terbaca. Ada dua pesan sama yang isinya berita duka cita. Inna lillahi wa inna illaihi roji’un, bekas tetanggaku yang sudah hampir dua bulan dirawat di RS akhirnya dipanggil menghadap Sang Khalik.

Sekitar dua minggu yang lalu ketika aku pulang dari RS untuk menjenguk beliau, aku sudah ingin menulis kesanku, tetapi belum sempat-sempat juga. Ada saja pekerjaan atau kegiatan lain yang harus kulakukan sehingga moodku untuk menulispun ikut berlalu bersama sang waktu.

Sudah satu bulan lebih beliau di RS, tapi aku baru tahu khabarnya karena sudah setahun terakhir ini beliau yang hanya tinggal berdua bersama suaminya pindah ke Depok supaya dekat dengan rumah anak-anaknya. Sedangkan rumahnya yang berada satu RT denganku dikontrakkan. Mulanya mereka tidak mau pindah, tapi pernah kejadian suatu malam mereka berdua jatuh sakit dan benar-benar tidak bisa bangun dari tempat tidur, dan tidak ada orang lain yang tahu. Semalaman mereka berdua terkapar, sampai keesokan harinya baru tetangga ada yang tahu. Sejak itulah anak-anaknya memaksa mereka berdua supaya pindah. (Tentang kehidupan Bapak Ibu tetanggaku ini, akan kutulis di kesempatan yang lain).

Di RS, kami (aku pergi berlima dengan ibu-ibu tetanggaku) bertemu suami dan putri sulung serta salah seorang cucunya yang kemudian mereka bercerita bagaimana awalnya beliau sampai masuk RS, karena tanpa ada tanda-tanda sedikitpun ternyata beliau ini mengidap tumor otak. Selama ini sang ibu selalu hanya mengeluh sakit maag. Tidak pernah serius merasa sakit kepala.

“Kalau seandainya ibu sering mengeluh sakit kepala, pasti akan kita bawa scan. Tapi kan selama ini ibu hanya mengeluh sakit maag saja, dan ternyata kata dokter, sakit maag ibu itu dikarenakan syaraf yang mengendalikan lambung dan usus ibu sudah terganggu tumor tadi…” begitu penjelasan anaknya. Entah bagaimana penjelasan medisnya, tapi terdengarnya memang agak rumit.

Kenapa pula si tumor itu tidak menyerang syaraf sakit kepala untuk mengumumkan keberadaannya, tetapi malah menyerang lambung yang mengakibatkan sakit maag. Kan jauh bangetzzz…. Ini pikiranku yang orang awam.

Singkat cerita, sebelum di RS ini, sebelumnya beliau sudah menjalani perawatan, operasi dan perawatan lagi selama satu bulan di RS yang lain dengan menghabiskan dana lebih dari 400 jeti. Hampir setiap harinya obat yang harus ditebus nilainya antara 10 sampai 15 jeti, belum lagi kamar dan lain-lain.

“Kalau ibu sempat sadar aja, pasti akan kita bawa ke Singapura. Sebab di sana semua pasien langsung ditangani, tidak terlalu lama menunggu ini itu yang membuat biaya RS jadi mahal sekali seperti di sini. Dengan keadaan ibu seperti itu, kalau mau dibawa ke Singapura, dokternya nggak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa. Ya kita takut juga…” kata anaknya lagi.

Sekitar sepuluh hari yang lalu, kondisi beliau setelah operasi sudah membaik. Sudah boleh pulang. Tetapi ketika akan dibawa pulang, tiba-tiba sang ibu muntah. Akhirnya batal pulang, dan setelah diperiksa lagi, ternyata paru-paru ibu penuh cairan. Gimana coba, RS sudah mengijinkan pulang…, ternyata di paru-parunya tiba-tiba penuh cairan. Masak sebelum pasien dinyatakan boleh pulang tuh tidak ada pemeriksaan menyeluruh dulu, mengingat beliau habis operasi tumor otak?

Beberapa hari dirawat tetap tidak ada perubahan, si ibu malah koma. Anak-anaknya berinisiatif memindahkan ibunya ke RS lain, maksudnya supaya mendapat perawatan yang lebih intensif. Karena menurut mereka, selama di RS yang lama, ibunya tidak mendapatkan perawatan dan pelayanan yang memadai.

Ternyata di RS inipun (di ruang ICU), pelayanan perawat membuat mereka jengkel. Setiap hari mereka harus bertengkar dulu dengan perawat supaya dapat mendekati ibunya. Padahal anak-anaknya hanya ingin mengoleskan balsam atau lotion anti nyamuk karena kulit ibunya bentol semua karena habis digigitin nyamuk. Atau sekedar membetulkan kelambu yang menutupi wajah ibunya supaya mukanya tidak digigitin nyamuk.

Memang kalau sudah masuk ruang ICU, kita yang jadi keluarga pasien ini jadi serba salah. Menurut peraturan kita memang tidak boleh masuk ke ruang perawatan pasien, tapi kenyataannya pasien yang di dalam itu tidak tertangani dengan benar, atau kasarnya dicukein. Pengalaman sekitar satu setengah tahun lalu ketika ibuku harus masuk ruang ICU karena tidak sadar (gula darahnya konon sampai seribu), di Surabaya. Keadaannyapun bikin miris anak-anaknya. Ibuku telanjang bulat tidak berbaju, (karena baju dari rumah dikembalikan oleh perawat, katanya ibuku hanya boleh pakai baju RS), dengan dua tangan kaki terikat di ranjang. Selimut yang menutupi tubuhnya sudah entah kemana.

Konon katanya penderita sakit gula itu akan terus menerus kepanasan (gerah) tubuhnya, dan kondisi ibuku saat itu, kondisi kesadarannya kata dokter hanya maximum 40%. Tubuhnya memang tidak pernah bisa diam, bergolek terus kesana kemari… tetapi alam pikirannya tidak dapat kita tembus. Saat itu, setiap aku aku dapat kesempatan mengintip dari celah-celah pintu yang baru saja ada perawat keluar atau masuk, aku selalu melihat kondisi ibuku yang telanjang bulat. Setiap kali itu pula aku selalu minta pada perawatnya supaya tubuh ibuku ditutup lagi dengan selimut. Yah, biarpun ibuku sedang dalam keadaan tidak sadar, tapi mbok ya jangan begitu amat…., dibiarkan telanjang bulat, sedangkan pasien disebelahnya adalah bapak-bapak yang tidak kehilangan kesadaran seperti ibuku saat itu. (Di ruang ICU bercampur antara pasien laki-laki dan perempuan)

Ketika hari ke sepuluh ibuku sadar dan boleh pindah ke kamar rawat biasa, aku mendapati seluruh pantat dan paha bagian belakangnya penuh dengan kotoran yang sudah mengering, “Coba lihat An, sepertinya ibu baru buang air besar…” kata ibuku waktu itu. Ternyata waktu kuperiksa, buang air besarnya entah kapan yang sudah mengering dan menempel di kulit itu….

Kembali pada tetanggaku tadi, di RS ini kata anaknya biaya perawatan sudah tidak semahal RS sebelumnya. Ruang ICU, di sini semalam 3,6 jeti. Total selama sepuluh hari lebih di sini termasuk obat dan lain-lain sekitar 200 jeti, karena obat-obatnya juga nggak puluhan jeti lagi.

Ya ampun….., dari semula mendengar nilai ratusan juta demi untuk mendapatkan kembali kesehatan…., dengkulku sudah gemetar. Betapa mahalnya biaya yang harus ditebus, dan bagaimana pula nasib rakyat biasa seperti aku ini yang tidak punya uang sebanyak itu?

Tetanggaku itu, dengan besarnya biaya yang sudah dikeluarkanpun tetap tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari RS. Lantas, apa yang akan terjadi dengan pasien yang tidak mampu? Apakah si pasien harus diterlantarkan atau ‘disiksa’ dengan keadaannya saat itu?

Aku jadi ingat pada pasien sakit jantung yang juga sama-sama dirawat berbarengan dengan tetanggaku itu. Hari itu anaknya dipanggil dokter dan disuruh menyiapkan alat yang harganya 14 jeti. Dan saat itu mereka tampak sibuk telpon sana telpon sini… mungkin menghubungi saudara-saudara yang lain karena alat tersebut harus tersedia hari itu juga. Ini mending ada yang masih bisa ditelpon untuk meminta bantuan. Kalau misalnya keluarga tidak mampu bagaimana?

Betapa mahalnya kesehatan itu…, biarpun orang mampu, pasti akan terasa berat pada biaya perawatan, operasi, obat dan sebagainya yang sangat tidak manusiawi ini. Maka dari itu, sayangilah diri ini sendiri, jagalah supaya tetap sehat sehingga dapat tetap beraktifitas seperti biasa. Aku juga hanya memohon kesehatan padaMu ya Allah, kesehatan pada seluruh keluargaku, sebab hanya dengan kesehatanlah aku dapat melakukan hal yang lainnya.

Sekarang si ibu bekas tetanggaku itu, beliau sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Beliau pasti akan pergi dengan tenang, melihat betapa orang-orang terdekatnya begitu menyayanginya dan sudah mengupayakan semua cara demi kesembuhannya. Tetapi rupanya Sang Kuasa lebih menyayanginya….

Selamat jalan ibu, semoga Allah menerima semua amal perbuatanmu di dunia ini dan semoga juga diberi ketabahan pada semua keluarga yang ditinggalkan. Amien.

Diiringi rintik hujan yang tiada henti,

Bogor, 16 Januari 2011