Ada moment yang terlewatkan untuk
kujadikan bahan tulisan, yaitu saat ada peristiwa tanah longsor sekitar dua
minggu lalu yang mengakibatkan jalur kereta dari Jakarta – Bogor dan sebaliknya
Bogor – Jakarta mengalami gangguan, sehingga rute itu menjadi Jakarta –
Bojonggede dan sebaliknya Bojonggede – Jakarta karena longsor itu terjadi di
antara Stasiun Bojonggede dan Stasiun Bogor.
Stasiun Bogor sebagai Stasiun
Tujuan akhir memang adalah Stasiun Besar dan dikondisikan untuk menampung
ribuan penumpang setiap saat, beda halnya dengan Stasiun Bojonggede yang hanya
sebagai Stasiun Kecil dan belum dikondisikan untuk menampung ribuan penumpang yang
turun dari kereta di jam-jam pulang kerja yang frekwensinya setiap sekian puluh
menit sekali.
Stasiun Bojonggede yang hanya terletak
di sebuah jalan kelas tiga di Wilayah Kecamatan, selama ini hanya menampung
sekian persen jumlah penumpang kereta. Para penumpang itu adalah para karyawan penghuni
perumahan yang berada di sekitar Kecamatan Bojonggede.
Nah, ketika longsor itu terjadi,
semua jadwal kereta kacau balau. Tetapi sebagai sarana utama transportasi
masyarakat, kereta harus tetap difungsikan dengan tujuan akhir dari Jakarta
menuju Bogor hanya sampai di Stasiun Bojonggede saja, yaitu dua stasiun lagi sebelum
Stasiun Akhir Bogor.
Frekwensi kedatangan kereta yang
cukup sering di setiap sore sampai malam hari dengan jumlah penumpang yang
turun ribuan orang yang sebagaian besarnya masih harus menyambung dengan angkot
ke Bogor, benar-benar membuat jalan di sepanjang depan Stasiun Bojong menjadi
macet total. Para penumpang yang masih harus melanjutkan perjalanannya ke Bogor
saling berebut angkot, dan angkot-angkotnya sendiri sampai kuwalahan melayani
membludaknya kebutuhan penumpang. Belum lagi ditambah beberapa kendaraan lain
yang kebetulan lewat depan Stasiun Bojonggede, orang-orang yang belum berhasil
mendapatkan angkot dan kemudian berjalan di sepanjang jalan menambah penuhnya
jalanan itu.
Seorang tetanggaku bercerita
ketika suatu saat dia baru pulang kerja. (Tetanggaku ini biasa membawa motor
sendiri dari rumah dan diparkir di Tempat Parkiran sekitar stasiun yang
banyaknya seperti jamur di musim hujan. Setiap halaman rumah atau sedikit lahan
yang agak lengang pasti langsung disulap jadi tempat parker). Ternyata situasi
macet parahnya di jalanan sepanjang Stasiun Bojonggede itu sungguh luar biasa.
Jarak yang dalam situasi normal
biasanya hanya ditempuh sekitar lima menit saja, ketika macet itu dia baru
sampai di rumah kira-kira satu jam kemudian. Hadewww… Aku sendiri memilih naik ojek dari
Stasiun ke rumah karena tukang ojek yang nota bene adalah penduduk asli di
Bojonggede ini pasti kan tahu jalan-jalan tikus yang dapat dilaluinya untuk
sampai ke rumahku, sehingga aku tidak perlu ikut terjebak kemacetan di antara
orang-orang Kota Bogor yang terpaksa terdampar di Bojonggede ini.
Terganggunya rute dan perjalanan
KRL dari Jakarta – Bogor dan sebaliknya Bogor – Jakarta, sungguh besar sekali
dampaknya ke hal-hal yang lain. Salah satunya adalah kios-kios pedagang kaki
lima mulai yang jualan pulsa sampai jualan sayuran dan ikan mentah yang tadinya
berada di dalam Area Stasiun dan menjadikan Lokasi Stasiun menjadi mirip pasar,
sekarang sudah tidak ada lagi. Suasana Stasiun Bojonggede jadi lega dan terang
benderang….. hehehehe…. (Susahnya, aku tadi mau beli tissue dan permen saja nggak jadi karena nggak ada lagi orang yang
jualan. Kasihan, mereka jadi jualan di mana ya….).
Memang setiap hal kan selalu ada
resikonya, baik resiko bagus atau resiko jelek. Seperti sebuah pilihan, selalu
ada yang harus diabaikan. Sedih memang kalau harus ada yang dikorbankan. Tapi
mau bagaimana lagi, sekali lagi hidup ini adalah pilihan.
Bogor, 7 Desember 2012