Memang Ibu Kota sama sekali
bukanlah kota yang ramah, tetapi geliat dan langkah kakiku sudah seirama dengat
ritmenya. Kehidupan yang keras tiap harinya demi sesuap nasi, itu adalah clue-nya.
Setiap bagian dari ujung kaki sampai ubun-ubun, mulai dari sudut hati sampai
bilik-bilik otak, semua aktif bersinergi. Walaupun terkadang aku terjerembab di
sela langkahku, tapi aku sudah terlalu lama terbiasa dengan kondisi ini dan setengah
usiaku sudah kulalui dengan meminum air serta menjejak buminya.
Bahkan akupun seolah menjadi
orang asing di Kota Kelahiranku sendiri, Surabaya. Kota di mana aku dilahirkan
dan memulai setengah perjalanan hidupku. Kotaku ini seolah enggan menerimaku
kembali.
Ketika dalam suatu keadaan aku
harus kembali menjejakkan kaki di Kota Kelahiran ini, aku jadi ragu melangkah.
Aku hanya menoleh ke kanan dan kekiri mengawasi situasi yang sudah amat sangat
berbeda. Bumi seolah mencengkeram erat kedua
kakiku, tak rela melepaskan aku melangkah.
Aku harus bagaimana?
Begitu asingkah aku di Kota ini?
Tidakkah aku dapat diterima kembali? Tidak adakah lagi ruang bagiku?
Aduh,….. aku galau!! (kata bahasa
anak muda sekarang)
Mungkin aku memang belum siap
untuk melangkah di Kota Kelahiranku ini lagi, mungkin aku harus kembali dulu ke
Ibu Kota dan berdamai dengan hatiku supaya aku ikhlas untuk meninggalkannya.
Baiklah Ibu Kota, aku akan
kembali ke pelukanmu dan menikmati kembali belaianmu sebelum aku melepasmu
untuk menerima pelukan Kota Kelahiranku nanti.
Untuk Kotaku, tunggulah sejenak,
aku akan segera datang padamu dan mulai mencumbumu…..
Surabaya, 16 Februari 2013
(Memutuskan ketika otak sudah
amat sangat butek!)