Kemarin petang waktu pulang
kerja, ketika kereta comuter yang kutumpangi hampir memasuki Stasiun UI,
tiba-tiba kudengar suara temanku yang berdiri di dekat pintu, “Tolong dong,
minta tempat duduknya… ini ada yang mau pingsan…” teriaknya.
Dalam kondisi yang bergerak saja
susah, kami, para penumpang lain
berusaha melongok mencari tahu siapa yang mau pingsan itu.
Tiba-tiba saja, “Glodak…!!” suara
seseorang yang jatuh ke pintu.
Aku masih belum kelihatan tuh,
siapa yang pingsan. Tapi sepertinya seseorang yang duduk dekat situ sudah
memberikan tempatnya. Posisiku jauh di tengah-tengah dan tidak dapat bergeser
sedikitpun, padahal tadi tuh aku juga berdiri dekat pintu dengan temanku yang
berteriak tadi. Maklumlah, kalau pulang di jam kerja begini, jangan berharap
bisa bergandengan terus dengan temanmu, karena dorongan dari penumpang yang
terus-terusan naik akan mendesakmu dan pelan-pelan akan membuatmu berada di
mana dan temanmu ada di mana….
Biasanya kalau sampai pingsan di
kereta itu, alasannya adalah mungkin jarang naik kereta dan tidak biasa dengan
kondisi pindang memindang di kereta, atau juga karena kondisi tidak fit,
sehingga perut serasa diaduk-aduk serta pandangan sering menggelap. Kondisi
terakhir itu sempat beberapa kali menimpaku karena mau sakit atau justru
setelah sakit. Kalau pas dalam kondisi seperti itu sih, biasanya aku langsung
jongkok, tidak menunggu sampai jatuh…, bodo amat mau diinjak orang kek,
pokoknya jongkok dulu.
Sejak kereta ekonomi dihapuskan
dan diberlakukan e-ticketing ini, kondisi kereta sama sekali tidak pernah sepi,
terutama di jam-jam kerja begini. Semua kereta selalu penuh sesak dengan
penumpang, karena semua penumpang sekarang tidak dapat memilih. Semua sama.
(kebayang kan bagaimana kondisi kereta ekonomi dulu?)
Yang aku agak heran adalah, di
jam-jam padat seperti ini, masih saja ada ibu-ibu yang pergi dengan membawa
anak balitanya…, yang terkadang anaknya bukan hanya yang digendong saja, tapi
masih ada juga yang digandeng.
Aku tidak tahu, apakah si ibu ini
terlalu polos dan naïf, sehingga tidak tahu kondisi kereta, atau memang nekad
dengan pikiran, kan bawa anak, pasti nanti akan diberi tempat duduk oleh
penumpang yang lain.
Halllooowww…, ini bukan masalah
diberi tempat duduk atau tidak ibu-ibu yang cantik…, tapi masalahnya akan
membuat repot yang lain ketika ibu yang menggendong bayi akan turun di Stasiun
tujuan yang bukan Stasiun Akhir. Ibu akan kesulitan menuju pintu dan tidak bisa
turun karena padatnya penumpang. Bahkan di jam kerja begini, masing-masing
orang sudah sibuk menjaga kakinya supaya tidak tertukar, makanya tolonglah
hindari bepergian di jam berangkat dan pulang kerja.
Seperti yang terjadi kemarin
juga, aku dengar ada ibu-ibu yang bicara pada seseorang ketika kereta memasuki
Stasiun Cawang.
“Mbak, nanti kalau sudah lewat
Stasiun Kalibata, berdiri ya…, siap-siap… nanti nggak bisa keluar lho…” katanya
pada seorang ibu muda yang sedang duduk dan menggendong anaknya serta seorang
lagi dipangkunya. Gile, aku menggelengkan kepala…
“mau turun di mana?!” kudengar
suara yang menimpali.
“Dia mau turun di Pasar Minggu,
tolong kasih jalan, nanti nggak bisa keluar…” kata si ibu yang pertama.
Mau kasih jalan gimana coba,
sedangkan ibu-ibu yang mau turun saja sampai harus miring-miring, nyelip-nyelip,
menahan nafas, dan menaruh tas serta bawaannya di atas kepala supaya bisa
menuju pintu. Belum lagi anaknya yang digandeng menangis karena
terhimpit-himpit dan mungkin pusing melihat pindang manusia.
“Emangnya tadi dari mana koq
pulang jam segini?” ada ibu-ibu lain yang bertanya.
“Dari Rumah Sakit Husada…” jawab
si ibu polos.
“Siapa yang sakit?” tanya suara
yang lain.
“ Tetangga, tadi habis bezoek
orang sakit…”
“Ya ampun, kenapa harus pulang
jam segini…, lain kali kalau dari mana-mana dan bawa anak begini jangan pulang
jam segini…”
“Kan jam bezoeknya memang jam
segini…” jawabnya tanpa dosa. Kudengar suara-suara tidak jelas yang menimpali.
Mungkin menggerutu atau apa tidak jelas, seperti suara lebah mendengung… ngung
ngung ngung…
“Terus ini hanya pergi bertiga?”
“Ada bapaknya di gerbong
sebelah…” jawab si ibu polos. (Gerbong yang kami naiki adalah gerbong terdepan,
khusus wanita dan anak-anak)
Oh, bapaknya juga o’on, pikirku.
Masak iya sih mereka tidak tahu kondisi kereta. Paling tidak masak tidak punya
tetangga yang suka naik kereta sehingga bisa bercerita kondisinya.
Aku jadi ingat beberapa waktu
yang lalu juga ada kejadian yang hampir sama. Bedanya, kereta baru mulai
berangkat dari Bogor, tapi semakin ke arah Jakarta kan semakin padat, namanya
juga masih hari kerja dan jam kerja.
Tiba-tiba pas kereta mau masuk
Stasiun Depok, ada nenek-nenek yang diminta berdiri oleh anaknya karena sudah
mau turun. Nenek-nenek naik kereta memang biasa, tapi ada yang rrruuuaaarrrrr
biasa dengan nenek ini, yaitu ternyata dia membawa 3 buah koper besar-besar dan
1 buah tas buesaaarrr…… Si anak itu sendiri adalah seorang ibu muda yang memakai pakaian santai plus topi besar (seperti mau
piknik tuh) dengan warna senada baju serta menggendong anak balita. Pada akhirnya, pas mau turun, itu letak topi sudah amburadul dan nggak jelas nangkring di mana, kepala atau punggung.... (Saranku buat yang begini nih, lain kali kalau naik kereta nggak usah dandan macem-macem, berdandanlah seolah siap perang, sebab di kereta nggak ada yang merhatiin koq..., sudah sibuk dengan diri masing-masing. Peace!!)
“Ya ampun, itu kemana lakinya
sih…” kudengar suara ibu-ibu di sampingku.
“Pak! Pak…!! Tolong ini ada yang
mau turun bawa barang banyak…” kudengar seorang ibu-ibu memanggil petugas.
Petugas menghampiri dan menaruh barang-barang ibu itu di dekat pintu.
“Mau turun di mana?!” tanya
petugas.
“Di UI….”
Terus kudengar si anak bercakap
bahasa Padang dengan ibunya dan seseorang lain, tampaknya menceritakan kalau si
nenek tadi baru datang dari kampuang.
Aku terus berpikir, kalau si
nenek bawa tas-tas besar dari kampuang, itu artinya tadi baru turun dari DAMRI
dari Bandara Soetta di Baranangsiang dan dijemput oleh anak dan cucu ini.
Tapi kenapa pula mereka harus
merepotkan diri naik turun kereta sedangkan jarak hanya Bogor – Depok? Setahuku
kalau dari Baranangsiang ke Stasiun Bogor, mereka tadi pasti naik angkot atau
mungkin taxi ke Stasiun, baru mereka naik kereta ini. Gimana tadi cara bawa
tas-tas itu ya? Apa pake kurir?
Padahal nih, dari Baranangsiang
itu ada bis yang langsung menuju Terminal Depok, nah mereka kan dari terminal
Depok tinggal naik taxi ke rumah, tidak perlu naik turun kereta dengan bawaan
seperti itu. Mana cuma berdua…, eh, bertiga dengan balita…. (bener kata si ibu
sebelahku, ‘kemana lakinya? Apa tidak memberikan solusi transportasi terbaik
untuk menjemput sang nenek?’)
Tau nggak, letak Stasiun UI itu lumayan jauh dari jalan raya, dan di sana tidak ada kurir seperti di Stasiun-stasiun luar kota. Gimana coba mereka bawa barang-barang itu ke halte UI? (sepintas kudengar mereka akan ke halte UI). Hfft...
Tau nggak, letak Stasiun UI itu lumayan jauh dari jalan raya, dan di sana tidak ada kurir seperti di Stasiun-stasiun luar kota. Gimana coba mereka bawa barang-barang itu ke halte UI? (sepintas kudengar mereka akan ke halte UI). Hfft...
Kondisi kereta seperti ini juga
yang tempohari sempat membuatku nyaris batal ngantor hanya gara-gara disuruh ke
kantor pakai rok. Aku sih mending tidur di rumah atau jaga warnet saja daripada
ngantor pakai rok padahal harus naik turun ojek dan kereta. (Alasan lainnya
adalah aku tidak punya rok…., hehehe….)
Untungnya permintaan pakai rok
segera diralat, “Boleh pakai celana panjang asal bukan bahan jeans..” sehingga
akupun tetap dapat ngantor dengan enjoy….. hehehe….
Bogor, 11 Oktober 2013