Jumat, 11 Oktober 2013

Sesuaikan Diri pada Kondisi




Kemarin petang waktu pulang kerja, ketika kereta comuter yang kutumpangi hampir memasuki Stasiun UI, tiba-tiba kudengar suara temanku yang berdiri di dekat pintu, “Tolong dong, minta tempat duduknya… ini ada yang mau pingsan…” teriaknya.
Dalam kondisi yang bergerak saja susah, kami, para penumpang  lain berusaha melongok mencari tahu siapa yang mau pingsan itu.
Tiba-tiba saja, “Glodak…!!” suara seseorang yang jatuh ke pintu.
Aku masih belum kelihatan tuh, siapa yang pingsan. Tapi sepertinya seseorang yang duduk dekat situ sudah memberikan tempatnya. Posisiku jauh di tengah-tengah dan tidak dapat bergeser sedikitpun, padahal tadi tuh aku juga berdiri dekat pintu dengan temanku yang berteriak tadi. Maklumlah, kalau pulang di jam kerja begini, jangan berharap bisa bergandengan terus dengan temanmu, karena dorongan dari penumpang yang terus-terusan naik akan mendesakmu dan pelan-pelan akan membuatmu berada di mana dan temanmu ada di mana….

Biasanya kalau sampai pingsan di kereta itu, alasannya adalah mungkin jarang naik kereta dan tidak biasa dengan kondisi pindang memindang di kereta, atau juga karena kondisi tidak fit, sehingga perut serasa diaduk-aduk serta pandangan sering menggelap. Kondisi terakhir itu sempat beberapa kali menimpaku karena mau sakit atau justru setelah sakit. Kalau pas dalam kondisi seperti itu sih, biasanya aku langsung jongkok, tidak menunggu sampai jatuh…, bodo amat mau diinjak orang kek, pokoknya jongkok dulu.

Sejak kereta ekonomi dihapuskan dan diberlakukan e-ticketing ini, kondisi kereta sama sekali tidak pernah sepi, terutama di jam-jam kerja begini. Semua kereta selalu penuh sesak dengan penumpang, karena semua penumpang sekarang tidak dapat memilih. Semua sama. (kebayang kan bagaimana kondisi kereta ekonomi dulu?)

Yang aku agak heran adalah, di jam-jam padat seperti ini, masih saja ada ibu-ibu yang pergi dengan membawa anak balitanya…, yang terkadang anaknya bukan hanya yang digendong saja, tapi masih ada juga yang digandeng.
Aku tidak tahu, apakah si ibu ini terlalu polos dan naïf, sehingga tidak tahu kondisi kereta, atau memang nekad dengan pikiran, kan bawa anak, pasti nanti akan diberi tempat duduk oleh penumpang yang lain.
Halllooowww…, ini bukan masalah diberi tempat duduk atau tidak ibu-ibu yang cantik…, tapi masalahnya akan membuat repot yang lain ketika ibu yang menggendong bayi akan turun di Stasiun tujuan yang bukan Stasiun Akhir. Ibu akan kesulitan menuju pintu dan tidak bisa turun karena padatnya penumpang. Bahkan di jam kerja begini, masing-masing orang sudah sibuk menjaga kakinya supaya tidak tertukar, makanya tolonglah hindari bepergian di jam berangkat dan pulang kerja.

Seperti yang terjadi kemarin juga, aku dengar ada ibu-ibu yang bicara pada seseorang ketika kereta memasuki Stasiun Cawang.
“Mbak, nanti kalau sudah lewat Stasiun Kalibata, berdiri ya…, siap-siap… nanti nggak bisa keluar lho…” katanya pada seorang ibu muda yang sedang duduk dan menggendong anaknya serta seorang lagi dipangkunya. Gile, aku menggelengkan kepala…
“mau turun di mana?!” kudengar suara yang menimpali.
“Dia mau turun di Pasar Minggu, tolong kasih jalan, nanti nggak bisa keluar…” kata si ibu yang pertama.
Mau kasih jalan gimana coba, sedangkan ibu-ibu yang mau turun saja sampai harus miring-miring, nyelip-nyelip, menahan nafas, dan menaruh tas serta bawaannya di atas kepala supaya bisa menuju pintu. Belum lagi anaknya yang digandeng menangis karena terhimpit-himpit dan mungkin pusing melihat pindang manusia.
“Emangnya tadi dari mana koq pulang jam segini?” ada ibu-ibu lain yang bertanya.
“Dari Rumah Sakit Husada…” jawab si ibu polos.
“Siapa yang sakit?” tanya suara yang lain.
“ Tetangga, tadi habis bezoek orang sakit…”
“Ya ampun, kenapa harus pulang jam segini…, lain kali kalau dari mana-mana dan bawa anak begini jangan pulang jam segini…”
“Kan jam bezoeknya memang jam segini…” jawabnya tanpa dosa. Kudengar suara-suara tidak jelas yang menimpali. Mungkin menggerutu atau apa tidak jelas, seperti suara lebah mendengung… ngung ngung ngung…
“Terus ini hanya pergi bertiga?”
“Ada bapaknya di gerbong sebelah…” jawab si ibu polos. (Gerbong yang kami naiki adalah gerbong terdepan, khusus wanita dan anak-anak)
Oh, bapaknya juga o’on, pikirku. Masak iya sih mereka tidak tahu kondisi kereta. Paling tidak masak tidak punya tetangga yang suka naik kereta sehingga bisa bercerita kondisinya.

Aku jadi ingat beberapa waktu yang lalu juga ada kejadian yang hampir sama. Bedanya, kereta baru mulai berangkat dari Bogor, tapi semakin ke arah Jakarta kan semakin padat, namanya juga masih hari kerja dan jam kerja.
Tiba-tiba pas kereta mau masuk Stasiun Depok, ada nenek-nenek yang diminta berdiri oleh anaknya karena sudah mau turun. Nenek-nenek naik kereta memang biasa, tapi ada yang rrruuuaaarrrrr biasa dengan nenek ini, yaitu ternyata dia membawa 3 buah koper besar-besar dan 1 buah tas buesaaarrr…… Si anak itu sendiri adalah seorang ibu muda yang  memakai pakaian santai plus topi besar (seperti mau piknik tuh) dengan warna senada baju serta menggendong anak balita. Pada akhirnya, pas mau turun, itu letak topi sudah amburadul dan nggak jelas nangkring di mana, kepala atau punggung.... (Saranku buat yang begini nih, lain kali kalau naik kereta nggak usah dandan macem-macem, berdandanlah seolah siap perang, sebab di kereta nggak ada yang merhatiin koq..., sudah sibuk dengan diri masing-masing. Peace!!)

“Ya ampun, itu kemana lakinya sih…” kudengar suara ibu-ibu di sampingku.
“Pak! Pak…!! Tolong ini ada yang mau turun bawa barang banyak…” kudengar seorang ibu-ibu memanggil petugas. Petugas menghampiri dan menaruh barang-barang ibu itu di dekat pintu.
“Mau turun di mana?!” tanya petugas.
“Di UI….”
Terus kudengar si anak bercakap bahasa Padang dengan ibunya dan seseorang lain, tampaknya menceritakan kalau si nenek tadi baru datang dari kampuang.

Aku terus berpikir, kalau si nenek bawa tas-tas besar dari kampuang, itu artinya tadi baru turun dari DAMRI dari Bandara Soetta di Baranangsiang dan dijemput oleh anak dan cucu ini.
Tapi kenapa pula mereka harus merepotkan diri naik turun  kereta sedangkan jarak hanya Bogor – Depok? Setahuku kalau dari Baranangsiang ke Stasiun Bogor, mereka tadi pasti naik angkot atau mungkin taxi ke Stasiun, baru mereka naik kereta ini. Gimana tadi cara bawa tas-tas itu ya? Apa pake kurir?
Padahal nih, dari Baranangsiang itu ada bis yang langsung menuju Terminal Depok, nah mereka kan dari terminal Depok tinggal naik taxi ke rumah, tidak perlu naik turun kereta dengan bawaan seperti itu. Mana cuma berdua…, eh, bertiga dengan balita…. (bener kata si ibu sebelahku, ‘kemana lakinya? Apa tidak memberikan solusi transportasi terbaik untuk menjemput sang nenek?’)
Tau nggak, letak Stasiun UI itu lumayan jauh dari jalan raya, dan di sana tidak ada kurir seperti di Stasiun-stasiun luar kota. Gimana coba mereka bawa barang-barang itu ke halte UI? (sepintas kudengar mereka akan ke halte UI). Hfft...

Kondisi kereta seperti ini juga yang tempohari sempat membuatku nyaris batal ngantor hanya gara-gara disuruh ke kantor pakai rok. Aku sih mending tidur di rumah atau jaga warnet saja daripada ngantor pakai rok padahal harus naik turun ojek dan kereta. (Alasan lainnya adalah aku tidak punya rok…., hehehe….)
Untungnya permintaan pakai rok segera diralat, “Boleh pakai celana panjang asal bukan bahan jeans..” sehingga akupun tetap dapat ngantor dengan enjoy….. hehehe….


Bogor, 11 Oktober 2013