Rabu, 28 Agustus 2013

Sekolah Negeri




Tadi pagi sempat ngerumpi sebentar dengan beberapa orang tetanggaku. Ada yang masih pegang sapu karena baru saja selesai beres-beres rumah, ada yang menenteng belanjaan karena baru pulang dari warung, ada juga yang baru pulang mengantarkan anaknya berangkat ke sekolah. (Kalau aku, kebetulan saja sedang membuka pintu pagar karena baru bangun tidur…., hehehe…)

Obrolan ringan dan candaan yang awalnya mewarnai rumpian kami pagi ini, lama-kelamaan menjadi agak serius juga ketika mulai membahas sekolah anak-anak. Mulanya sih karena aku menanyakan kenapa koq anak tetangga depan rumahku itu nggak sekolah.
“Masuk siang, jam sebelas…” jawab tetanggaku.
“Jam sebelas? Tanggung amat…, emang pulangnya jam berapa?” tanyaku.
“Teorinya sih jam satu siang, tapi biasanya sebelum jam satu dia juga sudah pulang.” jawab tetanggaku.
“Hah,  sekolah apaan masuk jam sebelas pulang jam dua belas? Emang kelas berapa sih?!” tanyaku heran.
“Kelas dua. Kan gentian sama kelas satu…” jawab tetanggaku.
“Koq jam sebelas sih masuknya. Seingatku dulu, kelas dua masuk jam sepuluh…”
“Kenyataannya sekarang begitu. Itupun dari kemarin-kemarin ini belum belajar bener. Malah waktu hari apa tuh, saya baru masukin motor, eh… nggak lama anaknya sudah nongol di pintu. Katanya gurunya kondangan, jadi begitu masuk kelas dan buka buku…, katanya bukunya suruh tutup lagi terus pulang…” katanya.

Tetangga depan rumahku ini masih tergolong keluarga muda, karena anak tertuanya baru kelas 5 SD, yang ke dua kelas 2 SD, dan yang ke tiga masih umur setahun lebih. Tadinya dia menyekolahkan kedua anaknya di Sekolah Swasta berbasis agama  yang lokasinya lumayan jauh dari rumah. Berangkat dan pulang sekolah anak-anaknya naik mobil jemputan yang penumpangnya berasal dari berbagai lokasi perumahan, sehingga anak-anaknya sampai rumah seringkali sudah lewat maghrib. (padahal dijemput pagi jam setengah enam) Makanya diapun memindahkan anak-anaknya ke Sekolah Negeri yang ada di depan Gerbang Kompleks Perumahan kami. (sekolahan anak ke duaku waktu SD kemarin).

Rupanya dia kaget dengan cara belajar di Sekolah Dasar Negeri yang ini. Beda jauh dengan apa yang selama ini dialaminya ketika anak-anaknya masih bersekolah di Sekolah Swasta.
“Di Sekolahnya yang lama, nggak ada tuh anak-anak pulang sekolah sebelum waktunya kecuali ada surat pemberitahuan dari sekolah.” katanya.
“Belum lagi sekelas isinya 51 anak…., gimana belajarnya coba!”
“Gurunya juga diam aja tuh biarpun anak-anaknya berisik sendiri…”

Hihihi…, dia kaget rupanya. Kekagetan yang sama yang ditunjukkan oleh suamiku ketika pertama kali mengantarkan anak pertamaku masuk sekolah ke Sekolah Dasar Negeri.
“Koq begitu ya sekolahnya Mie?!” katanya waktu itu.
“Gitu gimana?!” tanyaku yang merasa biasa saja, karena terus terang aku yang sejak SD, SMP, SMA dan Kuliah di Negeri terus,  tidak merasakan hal yang aneh. Dari dulu yang namanya sekolah itu ya begitu. (Karena aku tidak pernah sekolah di swasta, jadi tidak punya pembanding. Eh, pernah sih, waktu SD, dua tahun terakhir aku bersekolah di SD Swasta milik TNI AU karena pindah rumah, tapi suasananya tidak beda jauh sih…).
“Masak anak-anaknya lari-larian ke sana kemari, bahkan ada yang naik ke meja, tapi gurunya cuek aja. Tetap asyik di mejanya nggak tahu lagi ngerjain apa. Muridnya kebanyakan kali….” kata suamiku waktu itu. Selama hidupnya suamiku ini bersekolah di Sekolah Swasta yang berbasis agama dengan disiplin yang terkenal amat ketat. Tidak ada cerita santai atau tidak sopan. Semua tertata dengan cermat dan sanksi-sanksi tertentu.

Hhhh…, kalau sudah begini, otakku jadi ikutan muter deh. Tentang sarana nih, kata Pemerintah kan Program Wajib Belajar itu 9 tahun. Terdiri dari 6 Tahun di Pendidikan Dasar dan 3 tahun di Pendidikan Menengah. Nah, kalau namanya wajib, harusnya kan sarana untuk membuat ‘kewajiban’ itu terpenuhi juga sudah tersedia dengan oke ya?... Dalam artian, Gedung Sekolah Negeri yang cukup tersedia jumlahnya serta layak, jangan yang nyaris roboh. (Mohon yang berada di atas sana jangan tidur melulu pada saat rapat di Gedung Terhormat itu, pikirkan nasib anak negri pliiisssss...)

Misalnya saja, berapa banyak penduduk di satu wilayah kecamatan atau kelurahan tertentu bukannya itu termasuk salah satu item untuk membangun sebuah Sekolah Negeri ya?. Sehingga, perkembangan wilayah itu juga harus diikuti dengan pertambahan jumlah Sekolah Negeri yang tersedia. Apalagi di pinggiran-pinggiran kota besar dimana pertumbuhan perumahan saling bersaing dan penghuninya adalah rata-rata keluarga muda. Jumlah anak-anak usia sekolah dasar dan menengah pertama  itu bener-bener wuaduh jumlahnya…., buanyak banget.

Seperti di daerah tempat tinggalku ini. Hanya wilayah Kecamatan di pinggiran kota besar, tetapi setiap harinya selalu bertambah Pengembang-pengembang Perumahan Baru yang dengan segera terisi penuh. Tetapi jumlah Sekolah Dasar Negrinya tidak sebanding dengan jumlah peminat, termasuk jumlah Lokal-nya yang pas-pasan, sehingga terpaksalah setiap kelas rata-rata harus diisi murid lebih dari 50 siswa dengan jumlah guru cuma satu orang. Untuk Sekolah Dasar Swasta, lokasinya tidak ada yang dekat, semua jauh-jauh, jadi kalau tidak punya kendaraan sendiri ya harus ikut mobil jemputan dengan resiko, anak berangkat pagi-pagi sekali dan pulang lewat maghrib.

Begitu juga jumlah Sekolah Menengah Pertama Negri. Jumlahnya dapat dihitung dengan sebelah tangan saja, itupun belum penuh dari jari kelingking sampai jempol.  Akibatnya anak-anak harus bersekolah di tempat yang jauh dari rumah yang otomatis di luar wilayah tempat tinggal. (Kedua anakku sudah mengalaminya, yang pertama dulu harus berangkat dan pulang sekolah naik kereta, sekarang yang kedua terpaksa naik jemputan karena tidak ada kereta ke sana... hehehe...)

Kalau saja tiap wilayah punya jumlah Sekolah Negri yang memadai dan kualitas pendidikan yang merata, mungkin ini juga akan menghindari tumbuhnya salah satu sekolah menjadi Sekolah Favorit dan yang lain menjadi Bukan Sekolah Favorit. Sayangnya aku tidak tahu, berapa perbandingan ideal sebuah wilayah dengan pertumbuhan penduduk relative tinggi, ekonomi juga tinggi dengan jumlah Sekolah Negri yang harusnya ada.

Ada satu lagi tambahan, aku baca salah satu artikel di http://www.pendidikankarakter.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/....., sebaiknya Pendidikan Karakter mulai dimasukkan ke dalam kurikulum, kurasa good idea tuh….. !!



Bogor, 29 Agustus 2013