(harapan, angan-angan, mimpi,
semuanya bisa menjadi do’a)
Rrrrrrrr.......hhh.......zzz....
Akhirnya mesin motor Meyta mati
setelah tiba-tiba melambat dengan sendirinya. Padahal tadi tidak kenapa-napa
dan baru dua hari lalu dibawa ke bengkel untuk servis rutin. Tadi juga sudah
isi bahan bakar di POM samping kantor.
“Aduh Beb, kenapa kamu tiba-tiba
ngambek sih?” kata Meyta pada motornya sambil mencoba menstater beberapa kali
tapi tetap tidak mau hidup juga. Huft!
Meyta menengok ke kanan dan ke
kiri, ke depan dan ke belakang. Sepi. Tidak terlihat seorangpun di jalan itu.
Mungkin karena habis hujan, orang-orang jadi pada malas keluar rumah.
Meytapun kemudian menuntun
motornya ke tepi jalan sambil berpikir. Kalau di dunia dongeng dan legenda,
biasanya orang yang sedang mengalami musibah seperti ini tuh langsung memohon
begini, ”Barang siapa yang bersedia menolongku menghidupkan motor, kalau cewek akan
kujadikan saudara, kalau cowok akan kujadikan pacar, tapi kalau semi ke laut
ajah... Hihihi....” Meyta geli sendiri.
Memang jalanan yang dilalui Meyta
ini bukanlah jalan utama yang biasa dilaluinya setiap berangkat dan pulang
kerja. Jalan ini adalah jalan alternatif lewat perkampungan dan lahan kosong yang
agak kecil, tetapi aspalnya lebih halus dan yang paling penting adalah tidak
macet.
Rasanya Meyta patah hati sekali ketika
berangkat dan pulang kerja harus mengalami kemacetan yang setiap hari semakin
parah saja. Walaupun sebetulnya wajar sih kalau macet, karena di ujung
pertigaan jalan utama yang biasa dilewatinya itu sedang diadakan pelebaran
jalan untuk akses keluar masuk tol yang baru. Nanti kalau proyeknya sudah kelar
juga bakalan lancar lagi.
Jadiiii...., sebelum proyek itu
kelar, mendingan Meyta mengambil jalur alternatif saja dulu. Dan itu sudah
dilakukannya hampir dua minggu ini. Supaya pikiran dan perasaannya tidak ikutan
ruwet selama di perjalanan, sehingga urusan kantor dan kerjaan tetap lancar
jaya. Karena efeknya ke periuk nasi Cynnn....
Meyta memarkir motornya di depan
sebuah pos ronda yang kebetulan tidak jauh dari motornya mogok tadi, kemudian
duduk di pos ronda itu dan mengeluarkan ponselnya. Dicobanya mencari layanan
servis keliling dari ponselnya, sebab seperti kebanyakan cewek pada umumnya,
Meyta benar-benar buta tentang ilmu permesinan. Kalau mogok ya harus panggil
montir, daripada memeriksa tutup pentil ban yang jelas nggak ada hubungannya
dengan mesin. Nanti malah diketawain kucing.
“Selamat sore Mbak...., kenapa
motornya?” tiba-tiba ada seorang pemuda yang sudah berdiri di samping motor
Meyta.
“Saya lihat tadi motornya
dituntun ya?” sambung pemuda itu.
“Eh sore..., iya Mas..., itu...,
motor saya tiba-tiba mati.” Meyta kaget. Saking asyiknya menggeser-geser layar
ponsel, sampai tidak menyadari ada yang datang. Wow, permohonannya diijabah
ternyata.... Ada penolong yang turun dari langit. Apa dia harus dijadikan
pacar?
“Maaf, boleh saya coba...?” tanya
pemuda itu sambil memberi isyarat akan menstater motor Meyta yang kontaknya
memang masih tergantung.
Meyta mengangguk, “Boleh Mas...,
silahkan...”
Pemuda itupun mencoba menstater
motor Meyta, dan ternyata, “Nggreeeeng.....” langsung nyala.
“Nggak apa-apa tuh Mbak....” kata
pemuda itu sambil menjauh dari motor Meyta yang mesinnya sudah hidup lagi.
“Waah, alhamdulillah, terimakasih
Mas....” Meyta girang. Koq ajaib sih..., tadi distater sendiri kenapa nggak mau
nyala? Jangan-jangan motornya suka sama pemuda ini...., hihihi....
Meyta pura-pura mengamati
motornya, tapi diam-diam mencoba melirik pemuda itu, ingin melihat wajahnya
sekali lagi.
“Orang nggak saya apa-apain koq
Mbak. Tapi lain kali kalau motornya ngadat begitu, jangan berhenti di tempat
sepi begini.... Tuntun saja ke tempat ramai Mbak..., paling tidak di depan
rumah orang.” kata pemuda itu.
“Eh, iya Mas....iya....,
makasih...”
Lagi-lagi Meyta melihat
kanan-kiri yang memang tidak nampak rumah. Kebetulan pos ronda ini berada di
depan lahan kosong.
“Nama saya Langgeng Mbak, rumah
saya di depan situ.....” pemuda itu tiba-tiba menyebutkan namanya. To the point
banget nih orang ngajak kenalannya.
“Boleh pinjam hp-nya Mbak?”
pemuda itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
Meyta mengangguk dan memberikan
ponselnya.
“Saya sudah masukkan kontak saya
Mbak. Kalau misalnya ada apa-apa di sekitar sini, kontak saya saja....,
barangkali saya pas di rumah, jadi saya bisa bantu... Bahaya di sini sendirian.”
pemuda itu mengembalikan ponsel Meyta. Koq dia nggak menanyakan namaku ya,
pikir Meyta.
Seperti tersihir, Meyta menerima
ponselnya dan memasukkan ke dalam tasnya.
“Oke Mas, makasih banyak ya....”
kata Meyta yang hampir terpeleset karena mendadak jadi gugup ketika bersiap
akan menaiki motornya. Dadanya tiba-tiba seolah ingin meledak. Meyta merasa
mukanya seperti terbakar ketika sekali lagi pemuda itu tersenyum padanya.
“Hati-hati Mbak...” jawab pemuda
itu sambil mengangkat tangannya sebagai ganti ucapan selamat jalan.
***** *****
*****
(delapan jam kemudian)
Sudah lewat tengah malam, tapi
Meyta masih berguling ke kanan dan ke kiri di ranjangnya dengan mata segar. Melotot
seperti mata ikan mas koki yang nggak pernah kelilipan.
“Kamu kenapa Mey..., daritadi
Mama dengar suara gedebugan dari dalam kamarmu...” tiba-tiba Meyta melihat kepala
Mamanya yang nongol dari balik pintu.
“Aman Ma..., nggak kenapa-napa
koq..., cuma nggak bisa tidur aja.” jawab Meyta.
“Mau Mama bikinin coklat hangat?”
“Nggak usah Ma, makasih, nanti
malah ngompol...”
“Hus, kamu itu...” Mama Meytapun
hilang di balik pintu.
Sejak tadi pula sudah dicobanya
berjongkok, push-up, senam, lari di tempat, khayang, koprol, dan lain-lain,
kecuali nempel di dinding. Tapi tetap saja matanya tidak juga mau terpejam. Sama
sekali tidak mengantuk dan pikirannya melayang ke peristiwa tadi sore ketika
motornya ngambek, kemudian perjumpaan yang
tidak terduga dengan pemuda tadi.
Pemuda tadi penampakannya lumayan
oke. Dengan sepasang alis mata yang rapi dan tebal mirip bentuk sebatang golok
dan sorot matanya tajam. Kulitnya putih bersih,
berambut hitam lurus, dan lumayan tinggi. Mungkin Meyta hanya setinggi bahunya,
padahal untuk ukuran seorang gadis, 160cm itu kan sudah termasuk tinggi lho.
Sosok pemuda itu mengingatkan
Meyta pada aktor pemeran 007, Pierce Brosnan atau pemeran Mr. Steele dalam tivi
seri lama, Remington Steele. Film kesukaan Mama. Tapi ada visual Asia juga sih,
seperti Jo In Sung, aktor Korea kecintaannya yang keren banget waktu main di
That Winter, the Wind Blows......, huhuhu....
Tapi kalau melihat bentuknya
dengan deskripsi itu, orang mungkin akan menduga kalau pemuda tadi, siapa namanya,
Langgeng..., ya Langgeng, mungkin orang akan menduga kalau suara dan
tindakannyanya dingin serta kasar. Padahal sesungguhnya ternyata orangnya sopan
dan kaleeemmmm. Memory Meyta berputar terus seolah sedang menayangkan adegan
ulang sebuah scene film. Terus menerus menampakkan wajah Langgeng.
Meyta mengambil ponselnya dan
melihat kontak Langgeng yang ditulisnya sendiri tadi. Ada WA-nya, tapi tidak
ada foto profilnya. Hanya gambar orang-orangan bawaan dari aplikasinya.
“Ah, mungkin dia orangnya
pemalu....” pikir Meyta sambil tersenyum sendiri, walaupun sedikit kecewa. Hei...,
padahal mukanya nggak malu-maluin lho.
Senyumannya juga bikin hati langsung meleleh. Yang membuat Meyta tadi seolah tersihir dan langsung menuruti semua kata-katanya.
Senyumannya juga bikin hati langsung meleleh. Yang membuat Meyta tadi seolah tersihir dan langsung menuruti semua kata-katanya.
Heran juga Meyta pada dirinya
sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa sejinak itu pada orang asing yang baru
pertama kali dijumpainya. Melongo seperti monyet terkena sambit.
Coba seandainya pemuda itu
penjahat, pasti motor dan ponselnya sudah raib dibawa kabur. Orang Meyta dengan
sukarela menyerahkannya begitu saja.
“Langgeng memang bukan penjahat
yang mencuri motor atau ponsel, tapi mencuri hatiku dan dibawa kabur entah ke
mana...., hihihi.....” Meyta tersipu sendiri dan menutup wajahnya dengan
selimut.
Membayangkan wajah Langgeng saja,
membuat dada Meyta berdegup dengan kencangnya. Seolah ada lomba memukul
genderang di sana. Semoga ini bukan gejala sakit jantung. Meyta mulai panik dan
meraba dahinya, tidak panas atau keluar keringat dingin koq. Tanpa sadar
Meytapun tertidur dengan membawa seberkas wajah penuh senyum di benaknya.
***** *****
*****
(besok sorenya)
Kali ini sengaja Meyta
melambatkan laju motornya ketika melewati tempat motornya mogok kemarin. Kata
Langgeng kan rumahnya tidak jauh dari pos ronda itu, agak ke depan sedikit.
Barangkali dia ada di rumah, pikir Meyta sambil melemparkan pandang
mencari-cari bangunan rumah di sekitar situ.
Cuaca cerah. Jalanan tidak sesepi
kemarin. Ada beberapa kendaraan yang
melintas, walaupun tidak seramai jalan utama. Dan terlihat juga orang-orang
yang melakukan aktifitas seperti biasa di depan rumahnya.
Meyta masih mencari-cari, sampai
akhirnya..... Itu dia dekat tikungan kecil.
Ada sebuah rumah bergaya
minimalis dengan halaman yang cukup luas. Tampak juga sebuah Jeep berwarna hijau
tua di depan garasi yang sepertinya sedang dicuci. Ada selang yang mengitari
mobil itu, tapi tidak kelihatan orang yang sedang memegang ujung selangnya.
Meyta penasaran sekali sampai
nyaris menghentikan motornya untuk melihat siapa yang sedang mencuci mobil.
Apakah Langgeng? Dug. Dug. Dug. Meyta deg-degan.
Tapi pikiran sehat serta
gengsinya segera menyergap, yang membuatnya terus melajukan motornya dan tidak
jadi berhenti.
“Apa-apaan kamu Meyta..., dasar
tidak tahu malu....” katanya merutuki dirinya sendiri.
Tapi senyuman Langgeng kembali
bermain di benaknya, membuat wajahnya kembali panas dan dadanya berdegub tidak
beraturan. Ini sudah berkali-kali menimpanya hari ini. Membuatnya tidak dapat
berkonsentrasi pada pekerjaannya, padahal berkas Proposal Renovasi Gedung harus
diserahkan ke Atasannya besok pagi.
“Ya ampun...., apa yang sebenarnya
terjadi padaku?” Meyta melajukan motornya seperti ada yang mengejar. Di
tikunganpun dia sampai miring-miring. Rossy aja lewat dah!
“Apakah ini yang namanya jatuh
cinta pada pandangan pertama?” Meyta merasa otaknya ikutan kacau.
Bertemu orangnya juga cuma
sekali. Itupun tidak lama. Siapa dia, apakah masih single atau sudah menikah
juga tidak tahu. Tapi kenapa pesonanya begitu mengikat? Kenapa bayangannya
tidak mau pergi dari kepala? Apakah dia pakai pelet? Hah?!
Meyta menggeleng-gelengkan
kepalanya, mencoba mengusir wajah Langgeng dari benaknya.
Husss...!
Husss...!!
Tidak boleh begini!
Tidak boleh begini!!
***** *****
*****
(delapan jam kemudian)
Berada di tempat tidurnya,
kembali Meyta mengalami hal seperti kemarin. Tidak dapat memejamkan matanya
walaupun dia sudah ingin sekali tidur. Hati dan pikirannya sungguh tidak bisa
diajak kompromi. Ngitung anak ayam turun seribu sampai anak ayamnya bercicit
juga nggak tidur-tidur.
“Baiklah, kucoba sekali aja
deh..., biar nggak penasaran... Nyapa doang....” Meyta mengambil ponselnya dan
mulai mencoba mengirim chatt ke kontak Langgeng via WA.
{Hai....}
{Ini Meyta Mas, yang beberapa
hari lalu motorku mogok dan Mas Langgeng bantuin aku...} Meyta mengetuk tanda
kirim di ponselnya.
Satu detik. Dua detik...., lama
sekali sih......, huft!
Sebetulnya belum juga satu menit,
tapi rasanya Meyta sudah menunggu selama tigabelas tahun. Meyta mempelototi
terus ponselnya, menunggu jawaban. Rasanya lebih menegangkan dibanding menunggu
hasil ujian SIM yang pengujinya galak.
Tingtong tingtong...
Ponsel Meyta berteriak di
tangannya. Meytapun langsung bangun dari rebahan dan melihat ke layar
ponselnya. Yihaaa...!!
{Oh, iya Mbak Meyta..., apa
khabar?}
{Koq belum tidur?} begitu balasan
Langgeng.
{Habis ini tidur koq...}
{Cuma mau ngomong kalau tadi tuh
aku lewat depan rumah Mas Langgeng, dan kebetulan lihat mobil yang sedang
dicuci...} Meyta sengaja membuat kalimat terbuka, biar nggak kentara banget kalau
pingin tahu.
{Iya, aku tadi memang lagi nyuci
mobil...., tapi motornya nggak mogok lagi kan?} jawab Langgeng. Cuhuii...., dia
sudah pakai kata ganti ‘aku’ sekarang. Nggak formal banget kaya kemarin itu,
pikir Meyta.
{Aman mas..., aku selamat sampai
rumah koq...} jawab Meyta.
{Kalau lewat depan rumah lagi,
Mbak Meyta silahkan mampir lho...}
Ternyata Meyta nggak langsung
tidur seperti katanya tadi, sebab obrolan berlanjut sampai hampir dua jam.
Macam-macam yang diobrolkan. Mulai dari a sampai z deh pokoknya.
Dari situ Meyta jadi tahu kalau
Langgeng tinggal sendirian di rumah itu karena sebetulnya rumah itu hanya
semacam rumah peristirahatan. Ya biasalah..., orang-orang yang sibuk dan punya
duit selalu punya tempat untuk melarikan diri dari kejenuhan. Apalagi lokasinya
pinggiran kota di kaki pegunungan seperti ini. Sungguh tempat yang ideal untuk
menyepi.
Semua keluarganya tinggal di
Surabaya. Langgeng sendiri juga sedang
liburan dari kuliah S2nya di London. Dan ini yang paling penting, katanya sih,
saat ini Langgeng sedang Zero alias kosong alias sedang nggak punya pacar,
makanya dia bebas ke mana saja, ngapain saja, sampai berapa lamapun sesukanya.
Ada harapan nih. Setan genit
mulai menggoda. Mengkilik-kilik hati Meyta.
{Berarti nggak lama lagi balik ke
London dong?} Meyta mencoba bertanya biasa saja, padahal tiba-tiba dia merasa
ada batu yang mengganjal di lehernya yang membuatnya jadi sulit bernafas.
{Kira-kira sampai akhir bulan
masih di sini.}
Alamak. Akhir bulan itu nggak
sampai dua minggu lagi, pikir Meyta dengan dada sesak seolah merasa di PhP
pacar.
Malam ini Meyta tidur dengan
mimpi buruk. Mimpi kaki digigit ular, tapi kemudian ularnya mati keracunan
darah Meyta. Jadi bukannya Meyta yang keracunan bisa si ular. Haduuh, dasar
mimpi nggak sopan, bikin cerita sendiri yang nggak sesuai dengan pakem.
***** *****
*****
(besok sorenya)
Meyta memarkir motornya di depan
pagar rumah Langgeng, dan baru akan memencet bel ketika tampak Langgeng keluar
dari garasi.
“Motornya bawa masuk aja,
daripada dibawa orang...” kata Langgeng sambil membuka pintu pagar lebar-lebar
dan mengambil alih menuntun motor Meyta.
Meyta mengikuti Langgeng yang
membawa motornya sampai ke depan garasi.
“Nih, tadi aku sekalian lewat
Mas...” Meyta menaruh dua cup es kopi
susu dan sekotak pisang bolen di meja teras setelah keduanya duduk.
“Kamu bawa bekal sendiri takut
kalau seandainya di sini nggak ada apa-apa ya?” kata Langgeng sambil tertawa.
“Padahal kamu ingin apapun, aku
pasti akan usahakan ada...” sambungnya.
“Ih, kaya Jinnya Alladin
dong...., mau apa tinggal clink.....” Meyta tertawa.
“Yaah, kurang lebih seperti
itulah....” Langgeng tersenyum sambil menatap Meyta.
Ssst..., sejak semalam di chatt,
Langgeng sudah tidak lagi memakai embel-embel ‘mbak’ tiap memanggil nama Meyta.
Pokoknya mereka berdua sekarang sudah akrab gitu deh.
Langit memang seolah akan selalu
berhiaskan pelangi dan bertabur bintang bila dua hati yang berpijar sudah
bersambut dan saling mengait, bukan saling menyambit lho. Semuanya luar biasa,
tidak terkira. Begitu juga yang dirasakan Meyta saat ini.
“Halaman seluas ini, siapa yang
rapihin?” tanya Meyta sambil memandang berkeliling. Rumput yang terpotong rapi,
bunga-bunga juga tampak bermekaran dengan indah. Serta tidak ada sehelai daun
keringpun yang merusak keindahannya. Seperti lukisan.
“Semua kukerjakan sendiri..., kan
aku lagi nganggur. Seharian nggak ngapa-ngapain bosen juga...” jawab Langgeng.
“Ya jangan di rumah terus dong,
sesekali main ke mana gitu...” usul Meyta.
“Sudah. Tadi siang aku main ke
kantormu...” jawab Langgeng santai.
“Hah? Emang tau di mana
kantorku?” tanya Meyta tidak percaya.
“Kan aku ikutin kamu, waktu tadi
pagi berangkat lewat sini...” jawabnya.
“Emang iya?”Meyta masih tidak
percaya, “Koq nggak masuk atau menyapaku?” sambungnya.
“Aku cuma ingin memastikan kalau
perjalananmu aman, selamat sampai tujuan aja...” jawab Langgeng.
Pipi Meyta merona seolah
terbakar. Hati Meytapun seperti ingin meledak karena kegirangan. Senang sekali
rasanya ketika ada seseorang yang mulai mengkhawatirkanmu dan menjagamu supaya
tetap aman.
“Mau lihat-lihat ke dalam?”
Langgeng menawarkan wisata rumahnya, hehehe....
Sekali lagi Meyta kagum dengan
kerapian isi rumah Langgeng. Benar-benar tampak seperti di foto-foto iklan
perumahan atau mebel. Semuanya tertata dan terkomposisi dengan baik. Bukan
mewah, tapi sungguh elegant.
***** *****
*****
(suatu malam, satu minggu
kemudian)
{Besok mau nitip dibawain apa?}
tanya Meyta sebelum mengakhiri chatting mereka.
{Nggak nitip apa-apa dan kamu
juga nggak usah bawa apa-apa...} balas Langgeng.
{Kamu datang aja aku sudah
senang, dan kamu juga tinggal bilang kamu ingin apa, nanti pasti kusiapin}
Meyta yang biasa insomnia, kali
ini kebalikannya.
Ketika Meyta sudah sangat
mengantuk dan matanya berkali-kali merem sendiri, dia tetap saja bertahan untuk
tidak tertidur supaya bisa berlama-lama ngobrol dengan Langgeng. Rasanya sayang
sekali kalau waktu yang ada dipakai untuk tidur. Kalau perlu kelopak mata
diganjel pakai batang korek api.
Konyol memang, karena besok pagi
Meyta kan harus berangkat kerja dan beraktifitas seharian. Tapi namanya orang
sedang jatuh cinta, semua hal konyol itu terasa membahagiakan.
Kalau bisa, waktupun disuruh
berhenti.
Ayam yang mulai berkokokpun
disumpahin.
Aurora yang mulai mengintip
malu-malu segera diusir kembali.
Apollo yang siap menyergap Daphne
diikat dari belakang.
Intinya adalah, waktu ini
janganlah pernah berlalu. Kemesraan ini, janganlah pernah berlalu.
Orang jatuh cinta memang selalu
ingin mengacaukan dunia persilatan. Eh, dunia normal ding.
Kukuruyuuukkkk......
***** *****
*****
(rindu yang tertahan)
(besok sorenya lagi)
“Maaf Mbak, jalannya ditutup
kecuali penghuni. Banyak pohon tumbang karena hujan tadi siang. Sekarang masih
belum selesai dibersihkan. Rumah-rumah juga banyak yang tersapu angin puting
beliung.”
Motor Meyta dihentikan oleh para
warga yang nampak sedang bersama-sama membersihkan jalan alternatif yang biasa
dilewati Meyta akhir-akhir ini.
Tadi siang memang hujan deras
sekali disertai angin puting beliung yang menerjang kota ini secara merata.
Meyta sendiri juga melihat bagaimana seremnya pepohonan yang meliuk-liuk
tersapu badai dari lantai dua kantornya.
Wah, gimana kondisi rumah
Langgeng ya...., semoga dia baik-baik saja. Pikir Meyta sambil memutar kembali
motornya dan terpaksa lewat jalan utama yang sedang macet menyebalkan itu.
Sampai di rumah, Meyta segera
masuk kamar, melemparkan tasnya entah ke mana. Kemudian merebahkan diri di
ranjang dan mengambil ponselnya.
{Mas, aku tadi nggak boleh lewat
jalan depan rumahmu. Katanya banyak pohon tumbang}
{Gimana kondisimu...}
Meyta menunggu jawaban dari
Langgeng yang lamanya seperti tujuhbelas tahun.
{Iya nih..., rumahku kacau balau.
Tertimpa pohon randu yang tumbang} akhirnya jawaban Langgeng masuk juga.
{Tapi kamu nggak apa-apa kan?}
tanya Meyta.
{Aku sih nggak apa-apa...., hanya
harus beberes sedikit}
{Sementara, kamu juga jangan
lewat jalan sini dulu deh, masih berbahaya. Banyak pohon yang rawan tumbang}
{Aku juga lagi mikir, apa pindah
aja ya...}
Meyta membaca chatt Langgeng
sambil berpikir separah apa kondisi rumahnya, koq sampai membuat Langgeng mau
pindah.
Malam ini gimana tidurnya?
Terbayang kembali dalam ingatan
Meyta keindahan dan kerapian rumah Langgeng di semua sudut. Pasti dia tidak
betah melihat kondisi rumahnya yang berantakan. Pasti parah.
Meytapun bertekad, besok pagi
ketika akan berangkat kerja, dia akan nekad lewat jalan itu. Apapun yang
terjadi, dia harus melihat kondisi rumah Langgeng. Kalau motor nggak boleh
masuk, jalan kaki juga nggak apa-apa.
Cie cieee, ....
***** *****
*****
(seperti mimpi di siang bolong)
Meyta sengaja berangkat ke kantor
agak pagi sebab ingin mampir dulu ke rumah Langgeng. Ingin melihat seberapa
parah kerusakan rumahnya. Mungkin dia bisa bantu sesuatu.
Jalanan sudah dibuka. Banyak
kendaraan yang lewat seperti biasanya.
Di kanan kiri jalan tampak
beberapa onggok bekas patahan ranting-ranting pohon dan dedaunan. Sisa
kekacauan kemarin.
“Ciiiit.......” Meyta mengerem
motornya. Lho, koq tiba-tiba motornya sudah sampai di ujung jalan? Rumah
Langgeng mana? Apa Meyta tadi melamun, sampai-sampai nggak terasa kalau rumah
Langgeng sudah terlewat?
Terpaksa Meyta memutar kembali
motornya, berbalik arah menuju rumah Langgeng.
Sampai di tikungan kecil dekat
rumah Langgeng, Meyta melihat sebuah mobil pick-up yang diparkir dan beberapa orang laki-laki yang sedang
memotong pohon randu yang tumbang dengan gergaji mesin.
Benar seperti yang Langgeng
bilang kemarin, ada pohon randu yang tumbang dan jatuh ke rumahnya, Pikir
Meyta.
Tapi mana rumah Langgeng?
Tidak ada apa-apa di lahan kosong
tempat tumbangnya pohon randu itu kecuali semak belukar dan para pekerja itu.
Apa Meyta salah lokasi?
Meyta melemparkan pandangnya
berkeliling mencoba mengingat tanda-tanda yang mungkin dikenalnya.
Tidak salah lagi, pasti di sini
rumah Langgeng. Tapi kenapa tidak ada?
“Maaf Pak, selain ini, apakah ada
pohon randu lagi yang tumbang di jalan ini?” Meyta yang penasaran mencoba
bertanya pada salah seorang pekerja itu.
“Nggak ada Mbak..., pohon randu
di jalan ini ya tinggal ini. Kalau dulu sih memang banyak tumbuh di sepanjang
jalan ini...., tapi sudah pada tumbang atau dipotong...” jawab salah satu
pekerja itu.
“Apa...... di sini tadinya ada
rumahnya Pak?” lirih Meyta mengucapkan kalimat yang sebetulnya, sejujurnya,
tidak ingin didengar jawabannya.
“Nggak ada mbak, dari dulu tanah
ini dibiarkan kosong seperti ini oleh pemiliknya. Saya kan asli sini...”
Dhuarrrr!!
Meyta merasa seolah langit runtuh
di depannya.
Kakinya tiba-tiba terasa lemas,
keringat dingin mengucur deras di seluruh tubuhnya yang gemetar.
“Di mana Langgeng? Siapa dia
sebenarnya?” Pikiran rasional dan irasional Meyta berkelahi sendiri. Saling
mencoba mencari pembenaran masing-masing. Saling menyalahkan masing-masing.
Gustiiiii....., apa yang terjadi?
Akhirnya terucap tanya sebagai
puncak ketidak mampuan diri.
Meyta benar-benar merasa jiwa
raganya sakit, sehingga memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Biarlah hari ini
dia membolos kerja. Percuma juga ke kantor kalau jiwa dan raganya berjalan
sendiri-sendiri.
***** *****
*****
(peperangan)
Sampai di rumah, suasana gelap
dan sepi, sepertinya Mamanya sedang pergi. Meyta segera masuk kamar,
melemparkan tasnya entah kemana. Kemudian merebahkan diri di ranjang dan
melemparkan ponselnya. Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Seisi jagad raya
tidak akan ada yang tahu perasaannya saat ini. Meyta mengambil sehelai
selendang dan mengikat kepalanya.
Jangan berpikir. Jangan berpikir.
Tingtong tingtong....
Ketika sangat tidak diharapkan
berbunyi, kenapa ponselnya sekarang malah berbunyi sendiri?
Meyta enggan melihat ponselnya.
Tapi takut juga kalau orang kantor mencarinya, walaupun tadi dia sudah ijin. Galauuu.
Tingtong tingtong....
Tingtong tingtong....
Berturut-turut ponselnya
berteriak mencari perhatiannya. Meyta melirik ponselnya yang berada di ujung
kasur dengan sudut matanya yang sedikit terbuka.
Terlihat Langgeng mengirim pesan
padanya. Tapi diabaikannya. Ditariknya selimut untuk menutupi seluruh wajahnya.
Meyta bukan gadis penakut. Dia
tidak pernah takut pada jin, hantu, atau yang lainnya. Dia tahu pasti situasai
dan kondisi yang dialaminya saat ini. Sehingga diapun paham batas-batas yang dapat
ditolerir dan membuatnya sulit menerima.
Tingtong tingtong....
Mau apa lagi dia? Siapa dia? Mau
apa lagi dia? Siapa dia? Mau apa lagi dia? Siapa dia? Tidak terasa, sebutir air
bening menetes dari sudut mata Meyta.
Hatinya sakit.
Hatinya sakit.
Pantas saja kondisi rumah
Langgeng begitu asri dan apik bagaikan lukisan, orang semuanya buatan. Apa lagi
itu S2 di London? Prettt!!
***** *****
*****
(semakin memuncak)
Butuh tiga jam buat Meyta untuk
berdamai dengan dirinya sendiri. Butuh tiga jam sampai akhirnya pergolakan
dalam dirinya mencapai titik jenuh.
Senyuman dan suara hangat
Langgeng terus bermain di benaknya. Candanya. Perhatiannya. Semua masih segar
dalam ingatan, serta begitu nyata. Membuat Meyta luluh.
“Please, buka ponselmu.....”
tiba-tiba sebuah suara berdengung dalam hati Meyta.
“Please...”
Akhirnya Meyta bangun dan duduk,
kemudian meraih ponselnya serta membuka pesan dari Langgeng.
{Meyta...}
{Maafkan aku...}
{Aku memang salah sudah
membohongimu}
{Ijinkan aku menemuimu
sekarang...}
{Please...}
Meyta terpekur. Sekali lagi Meyta
bukan gadis penakut. Dia hanya belum siap menerima kalau hal seperti ini harus
dialaminya. Kenapa harus terjadi padanya? Tapi dia butuh kepastian.
{Baiklah...} Meyta mengetuk
tombol kirim.
{Trimakasih....} balas Langgeng.
{Sekarang tolong pejamkan matamu
dan buka perlahan-lahan...}
Meyta memejamkan matanya dan
menarik nafas panjang, kemudian perlahan-lahan membuka matanya.
Clink!!!
Sosok itu ada di sana. Ada tepat
di depan mata Meyta. Di dalam kamarnya. Dan mereka berdua saling bertatapan.
Degub jantung Meyta berdetak
tidak karuan. Kalau bisa melompat, mungkin jantungnya sudah kabur daritadi. Antara
percaya dan tidak percaya. Tapi dia harus percaya.
Penampakannya tetap seperti
biasanya, sorot matanyapun masih tetap seperti Langgeng yang kemarin
dijumpainya.
Meyta beringsut mengunci pintu
kamarnya. Dia tidak ingin Mamanya mati berdiri ketika melihat ada laki-laki
dalam kamarnya saat pulang nanti.
“Kamu sudah tau siapa aku?”
suaranyapun masih tetap seperti kemarin. Meyta mengangguk pasrah.
“Maafkan aku kalau kamu harus
tahu dengan cara seperti ini dan membuatmu terkejut. Aku tidak merencanakan
seperti ini...” Langgeng menarik kursi mendekat ke depan Meyta yang duduk di tepi ranjangnya.
“Apa maumu?” Meyta to the point.
Kepalanya serasa kosong, entah menguap ke mana isinya.
“Aku menyukaimu...”
Karena kepala Meyta masih kosong,
maka diapun tidak dapat langsung mencerna kalimat itu. Dia hanya diam dengan
wajah datar ketika mendengarnya. Bernafaspun sampai lupa caranya. Hanya sepasang
matanya yang berkedip yang menandakan kalau dia masih belum pingsan.
“Sejak hari pertama kamu lewat
jalan itu, aku sudah menyukaimu.... Apa kamu ingat ketika sepulang kantor
selendangmu hampir terlepas dan kamu berhenti di tepi jalan untuk
membetulkannya?” tanya langgeng.
Isi kepala Meyta perlahan-lahan
berdatangan kembali dan mulai memenuhi tengkorak kepalanya sehingga mampu
membuatnya memutar kembali peristiwa hari itu.
Benar. Hari itu adalah hari
pertama Meyta mengambil jalan alternatif. Dan karena terburu-buru waktu pulang
kantor, dia asal mengalungkan begitu saja selendang ke lehernya. Yang kemudian di
tengah perjalanan hampir terlepas.
Meyta ingat berhenti di tepi
jalan untuk membetulkan ikatan selendangnya. Dan sekarang, kalau diingat-ingat
lagi...., tepi jalan itu adalah di bawah pohon randu yang tumbang tadi. Tepat
di depan rumah Langgeng.
Aaaahhh....., Meyta memegang
kepala dengan kedua tangannya.
“Sejak saat itu, aku selalu
menunggumu lewat dan berusaha mencari cara untuk bisa berkenalan denganmu...”
“Sampai akhirnya kutemukan cara
untuk membuat motormu seolah-olah mogok...., maafkan aku ya...”
Jadi kejadian motor mogok itupun
sudah direncanakan? Itu semua ternyata adalah hasil rekayasa? Jahat sekali dia.
Bagaimana kalau saat itu benar-benar ada perampok?
“Aku sudah jatuh hati padamu, aku
benar-benar tidak dapat mengabaikannya. Aku ingin selalu melihatmu dan bersamamu...,
walaupun aku tahu kita berdua berbeda.”
“Apakah kamu tidak punya rasa yang sama?
Walaupun cuma sedikit?” suara Langgeng memelas.
Tidak dapat dipungkiri kalau
Meytapun sebenarnya juga merasakan hal yang sama terhadap Langgeng. Tapi apakah
ini mungkin? Kalau ini mimpi, Meyta ingin segera bangun dari mimpi ini karena
dia sungguh tidak tahu bagaimana harus mengakhirinya.
Meyta sedih dan bingung, yang
tanpa sadar kemudian meneteslah airmatanya , “Beri aku waktu...” akhirnya Meyta
memutuskan.
“Baiklah, tapi jangan menangis....,
aku tidak tahan melihatmu sedih.” Langgeng mengulurkan tangannya dan menghapus
air mata Meyta yang lama-lama sederas air sungai.
“Aku tahu ini semua berat bagimu,
dan aku tidak ingin menjadi beban buatmu. Bolehkah kutunggu sampai besok apakah
kamu mau menerimaku atau tidak?”
Sekali lagi, Meyta hanya sanggup
menganggukkan kepalanya.
“Pakailah cincin ini. Kalau besok
kamu sudah siap menjawab dan menerimaku, gosoklah mata cincin ini sambil
memanggil namaku. Maka aku akan segera muncul di depanmu. Kalau kamu tidak
ingin menjumpai aku lagi, lepaskan cincin ini dan buanglah.” Langgeng memasangkan
sebentuk cincin cantik bermata merah delima ke jari manis tangan kiri Meyta.
***** *****
*****
(akhirnya)
Sudah hampir satu jam Meyta duduk
di ranjang sambil memandangi cincin cantik di jari manisnya dengan perasaan
yang tidak menentu. Angannya kembali melayang ke hari-hari kemarin. Ketika
hatinya dipenuhi bunga-bunga rindu pada Langgeng, dan kemudian rasa bahagia yang
meledak ketika mereka bertemu.
Angannya juga melayang
membayangkan adegan di mata orang lain yang seolah tampak dia berbicara dan
tertawa sendiri, padahal sesungguhnya dia sedang bercengkrama dengan Langgeng.
Pilihan mana yang harus
dibuatnya? Kenapa pilihan cintanya begitu rumit?
Hati atau Nalar?
Akhirnya Meytapun mengambil
keputusan, diciumnya cincin itu sambil mengucap, “Bismillah.....”
*****
selesai ah, terusin sendiri-sendiri*****
Malang, 23 Februari 2020
**) terinspirasi pohon randu dekat rumah yang ditebang.