Senin, 24 September 2012

Pagi Ini…




Baru sekali ini di warnetku ada yang nonstop ngenet selama 15 jam lebih, mulai kemarin jam 19.00 WIB sampai pagi ini jam 10.40 WIB belum selesai juga. Dia pelanggan baruku yang baru sekitar dua bulan belakangan ini rajin datang ke warnetku.

Biasanya memang ada juga yang ngenet sampai menjelang subuh, tapi pas adzan subuh… pulang deh tuh. Terus warnet tutup sebentar. Jam 06.00 WIB atau jam 07.00 WIB buka lagi, suka-suka hatiku atau sesuai permintaan. (Biasanya ada anak sekolah yang pagi-pagi mau ngeprint)

Tapi sekali ini…., aku heran deh, apa pantat dan punggungnya nggak pegel, duduk sekian jam cuma main fb sambil dengerin lagu-lagu. Lucunya, dia sering sekali cekikikan sendiri atau kadang malah tertawa lumayan kencang  sampai penyewa yang lain menoleh. Tapi pernah juga beberapa malam yang lalu dia ngenet sambil sesenggukan di computer sebelahku. Waktu kulirik, sepertinya dia sedang menulis di sebuah note atau curhat ke seseorang….

Memang ibu ini (yang ngenet ini perempuan lho, ibu-ibu yang usianya sekitar 40 tahunan) pernah cerita ke aku kalau saat ini dia sedang ada permasalahan. Di sini dia tinggal menumpang di rumah kakak iparnya. Suami dan dua orang anaknya tinggal di salah satu kota di Jawa barat. Suaminya Pegawai Negri yang suka sekali main perempuan, dan parahnya perempuan-perempuan yang dipacari suaminya itu adalah rekan kerjanya yang juga sudah pada berkeluarga. Katanya sudah berkali-kali hal itu terjadi, dan dia sudah capek. Sekarang ini dia meninggalkan rumah dengan tujuan cooling down dulu. Menjajagi apakah jalan yang harus ditempuh ke depannya. Apakah harus pisah atau terus dengan perbaikan di kedua belah pihak.

Tapi si ibu ini pernah juga cerita ke aku kalau teman fb-nya ada yang naksir dia.. Minta jawaban dari dia segera. Temen fb-nya itu anggota DPRD katanya. Terus terang  aku juga agak bengong sih waktu mendengarnya.  Habis,  katanya dia belum cerai dengan suaminya? Katanya mereka sedang masa tenggang….  Lha ini koq?

Pernah juga dia ngomong gini, “Bu, saya nggak papa kan sering-sering ke sini…, ngenet lama-lama di sini?” tanyanya.
“Nggak papa…, silahkan aja…” jawabku. Masak iya aku nolak pelanggan, orang dia datang bawa duit koq.
“Daripada saya keluyuran ke mana-mana, khan mending saya ngenet aja di sini ya bu?!” katanya.
“Pokoknya kalau di rumah nggak ada pelanggan, saya pasti ke sini. Keciali saya memang pergi.” katanya lagi. Di rumah kakaknya itu dia buka salon yang semua perlengkapannya dia bawa dari rumahnya. Tapi sepertinya pelanggannya sedikit, sebab hampir tiap hari dia ada di warnetku selama berjam-jam.

Setiap manusia punya permasalahan dan ujian yang berbeda-beda. Dari luar saja tampaknya semua baik-baik saja, tetapi ternyata di dalamnya mereka juga punya beban hidup yang tidak mudah. Demikian juga masing-masing orang punya cara sendiri untuk mengatasi permasalahannya yang menurutnya baik. Kita tidak perlu menjudge apakah cara seseorang yang ini baik atau cara seseorang yang itu tidak baik dalam menyelesaikan permasalahannya. Masing-masing sudah punya takaran dan rambu-rambu sendiri.

Tadi pagi, sekitar jam empat subuh, suamiku masuk ke dalam sambil bilang kalau si ibu ini belum pulang. “Katanya mau sampai jam enam pagi.” kata suamiku. Kalau malam, dan bila suamiku ada di rumah, memang dia yang bagian jaga malam.
“Kenapa tadi nggak ditinggal tidur aja?” tanyaku.
“Orang bilangnya aja barusan. Tau gitu dari semalam kutinggal tidur.” Jawabnya.

Waktu aku menyiapkan seragam sekolah anakku, sekitar setengah enam pagi, aku sempat melihat dari jendela kalau kepala si ibu ada di atas meja computer. Rupanya dia sedang tidur. Kubiarkan saja.
Ketika anakku berangkat sekolah jam enam pagi, dia sudah bangun dan terlihat melanjutkan ngenet lagi. Sampai sekarang. Dan si ibu ini juga sudah beberapa kali ke warung depan rumahku untuk beli roti dan minuman dingin.  Oh, ya… ada yang terlupa kusebutkan…. Selama ngenet itu dia benar-benar seperti lokomotif, rokoknya tidak pernah berhenti berasap….

Yaaah, biar sajalah. Mungkin dengan begitu dia dapat sejenak melupakan permasalahan hidupnya, dan semoga dia segera mendapatkan jalan keluar yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Seperti katanya sendiri. Semoga.


Bogor, 25 September 2012
(aku duduk di computer 1, dia ada di computer 3)

Rabu, 19 September 2012

Haruskah?



Sepulang sekolah, anak lelakiku berkata kalau dia dikatai anak-anak tetangga sebagai banci karena dia tidak mau bermain seperti mereka. Mereka itu bermain kejar-kejaran, berantem-beranteman (kadang jadi beneran dan salah satu ada yang menangis karena kesakitan), ataupun bermain sabet-sabetan. Entah pakai kain sarung, ikat pinggang ataupun pelepah daun pisang (yang kalau kena bagian tubuh bisa biru seperti melepuh gitu).
“Mamie, katanya besok Ndiek ditunggu di TM sepulang sekolah.” Kata anakku.
“Apa itu TM dan mau apa ditunggu di sana?” tanyaku.
“TM itu Tanah merah, lapangan di belakang blok F, dan Ndiek ditunggu buat diajak berantem.” katanya.
“Memangnya Ndiek berbuat apa, koq diajak berantem? Apa Ndiek nantangin mereka?” tanyaku lagi.
“Justru karena Ndiek gak pernah ladenin kalau dikata-katain itulah, mereka jadi jengkel. Jadinya besok diajak berantem deh.” kata anakku.

Anakku ini sekarang kelas 6 SD, dan sedari kecil memang dia tidak begitu suka aktifitas seperti anak laki-laki yang lain. Dia lebih suka membuat mainan dari kertas, kartoon ataupun menggambar di rumah. Mainan itu kemudian dia mainkan sampai bosan. Kalau sudah bosan, dia membuat yang lainnya. Setiap hari memang seperti itu, jadi jangan heran kalau isi staples, lak ban, selotif, lem, cat acrylikku,  ataupun kertas jadi cepat habis. (Sekali-sekali memang kadang dia ikut juga dengan mereka, malah sampai ikut mandi di kali segala…, tapi itu jarang sekali)
Kalau kebetulan ada anak-anak tetangga yang usianya lebih muda dari dia datang dan ikut main ke rumahku, dia biasanya mengajak mereka bermain dengan tema tertentu, dan dia jadi dalang serta penulis scenarionya.

Anakku pernah bilang kalau anak-anak yang lain itu bermainnya kasar, bahasanya juga kotor dan nakal.
“Sebetulnya mereka itu bukan nakal Dek…, anak laki-laki ya memang mainnya seperti itu… berantem, lari-larian, main bola, dan sebagainya… Ndiek aja yang mainnya masih seperti anak kecil.” kataku.
“Memangnya anak kecil suka bikin mainan sendiri? Lagian mamie mau Ndiek main sama mereka yang ngomongnya jorok-jorok dan kalau buka internet sukanya cari gambar-gambar jorok?” katanya.
“Masak iya, anak kecil-kecil begitu pada ngomong jorok?” kataku.
“Mamie, setiap ngomong ataupun bermain, mereka itu selalu meyebut alat kelamin perempuan. Ngatain anak perempuan juga begitu…. Ndiek sih tau tentang vagina, penis dan sebagainya karena di sekolah juga sudah diajari pelajaran alat-alat reproduksi, tapi Ndiek tau mana yang pelajaran dan mana yang bukan.” kata anakku.

Aku jadi terdiam mendengar kata-kata anakku. Aku juga tidak menganggap anakku paling bener ataupun paling suci dan jauh dari nakal. Tapi mendengar alasannya, aku jadi berpikir. Apakah aku terima alasannya atau aku harus beradu argumentasi dengan dia?
Sebab, terus terang sebetulnya aku tidak ingin dia kehilangan waktu kanak-kanaknya hanya dengan bermain sendiri di rumah, ataupun hanya bermain dengan anak-anak yang usianya jauh di bawahnya. Aku juga ingin dia aktif dan bermain dengan teman-teman sebayanya supaya cara berpikirnya juga tidak terlalu kekanakan.
Bayangin aja, waktu ada tugas kelompok dari sekolah dan dikerjakan di rumahku, teman anakku ini sudah ada yang datang dengan mengendarai motor sendiri dan penampilannya bergaya ala anak ABG… pakai celana panjang dan kaos serta kemeja yang tidak dikancing begitu. Sementara anakku masih sibuk memakai pakaian robot yang dia buat sendiri dan tidak perduli dengan penampilannya.

Seorang tetanggaku pernah bilang kalau anakku ini menuruni jiwa seni dariku, dia calon seniman, jadi perasaan dan tingkah lakunya halus. Semua dilakukan dengan perasaan, tidak suka yang keras-keras dan kasar.
Apa iya, pikirku. Apa seniman itu tidak suka kekerasan ya? Tetapi, anakku ini juga suka banget sama semua yang berbau tentara. Kalau di TV ada acara tentang tentara, dia pasti tidak mau bergeming dari tempatnya. Dia akan dengan fasih menyebutkan jenis-jenis pesawat, senjata maupun kendaraan tentara. (Dia memang pernah bilang kalau besar pingin juga jadi tentara)

Aku jadi ingat pada seorang  temanku yang berjiwa seni yang jadi tentara. Tetapi aku kan tidak tahu bagaimana masa kecilnya, apakah dia dulunya juga tidak suka berantem seperti anakku? Sebab setahuku, waktu SMA dulu dia termasuk bandel juga, bandelnya anak laki-laki gitu. Hanya saja,  sejak jadi tentara, jiwa seninya tadi harus banyak ditekan supaya tidak muncul ke permukaan. (Bisa bayangin sendiri bagaimana kalau seniman beraksi kan?! Hehehe…)

Nah, sekarang aku harus bagaimana? Sebab ketika hari dan jam yang kata anakku dia ditunggu untuk berantem itu tiba, ternyata anakku pergi sendiri ke sana.
“Ngapain harus ke sana Dek?” tanyaku.
“Ya biar mereka tau kalau Ndiek bukan banci. Tapi ternyata mereka nggak ada di sana koq Mie…” jawab anakku.

Hadohhhh, gimana ini, apa benar semua anak laki-laki harus melewati masa-masa berantem lebih dulu sebelum akhirnya mereka menyadari kalau adu jotos itu tidak ada gunanya?




Bogor, 19 September 2012
Galau……

Minggu, 16 September 2012

Tentang Anak Jalanan



Hari ke tiga tinggal di rumah tanpa ada target planning kerjaan yang harus selesai hari ini atau besok koq rasanya aneh juga ya. Maklum, sudah biasa tiap hari dikejar-kejar laporan laporan dan laporan, hehehe…

Mengharap dapat surprise sms seperti dua minggu yang lalu rasanya juga nggak mungkin, sebab dari melek mata subuh tadi hapeku benar-benar anteng, belum bergetar ataupun berteriak-teriak sama sekali (jadi merasa seperti tidak dibutuhkan lagi).

Akhirnya kuambil sapu dan mulai menyapu teras serta warnet. Eh,  waktu aku masih menyapu warnet, tidak lama kemudian ada pengamen yang datang. Sebetulnya dalam hati sempat jengkel juga, masak pagi-pagi sudah ngamen, sedangkan aku nyapu warnet aja masih belum kelar. Tapi kemudian terpikir olehku satu hal, yaitu, mungkin pengamen itu sengaja berangkat pagi-pagi supaya tugasnya mencari nafkah hari ini cepat selesai dan dia bisa pulang lebih cepat sehingga asap di dapur bisa segera mengepul.

Tentang pengamen ini, sebetulnya pikiranku bercabang antara negative dan positif. Sebab, beberapa hari lalu ketika ngobrol dengan teman-teman tentang pengamen dan anak jalanan yang menguasai angkutan umum di Jakarta, wowww…., agak membuatku takut dan ngeri mendengarnya, terlebih yang beroperasi malam hari.

Waktu aku pulang malam berdua dengan temanku, kalau nggak salah sekitar jam sepuluh, kami naik kopaja 75 jurusan Blok M – Pasar Minggu, nanti sampai di Pasar Minggu baru nyambung kereta yang ke Bogor, di tengah perjalanan ada dua orang anak laki-laki yang perawakan dan umurnya kukira tidak jauh beda dengan anakku di rumah, kira-kira masih kelas 5 atau 6 SD. Yang satu naik dari pintu depan sambil membawa mandolin, yang satu lagi naik dari pintu belakang tanpa membawa apa-apa. Tapi ketika anak yang di depan mulai menyanyi, si anak satunya yang di pintu belakang hanya bertepuk tangan mengiringi temannya.
”Tepuk tangan doang lo!” tegur yang di depan di sela-sela nyanyiannya.
“Iya nih, gue capek!” sahut temannya sambil tetap bertepuk tangan.
“Jangan mau enaknya aja lo!” tegur temannya lagi. Waduh, koq mereka jadi bertengkar ya… Akupun menoleh ke belakang mencoba menghitung berapa banyak penumpang di belakang, sebab yang di depan kami cuma 6 orang, 8 orang dengan kami dan itupun cewek semua. Ditambah sopirnya cowok dan keneknya cewek. Ternyata di belakang kami duduk masih ada 2 orang cowok yang duduknya berjauhan.
Aku ngeri membayangkan kalau dua orang pengamen itu jadi berantem di sini, gimana misahinnya? Sementara hati kecilku miris juga dengan kenyataan bahwa anak sekecil itu harus berkelahi dengan waktu (jadi ingat lagunya Iwan Fals).  

Tetapi bersyukurlah, ternyata anak laki-laki yang di pintu belakang kemudian ikut berteriak menyuarakan lagu dangdut milik orang dewasa yang mungkin sekarang sedang ngetren tapi aku tidak tau lagu apa itu. Aku kemudian sibuk mencari recehan buat ngisi kantong yang diedarkan mereka. Kasihan, seharusnya jam segini mereka sudah tidur di rumah.

Kemarin dulu di tempat kerja, ketika aku dan beberapa teman sedang ngerumpi sambil makan siang, ada yang bercerita saat dia sedang naik kopaja (ke arah mana aku lupa, tetapi malam hari juga), pas di lampu merah, tiba-tiba ada dua orang anak  remaja tanggung laki-laki yang berpakaian gaya punk yang melompat naik ke atas bis. Salah seorang dari mereka berteriak ke penumpang, “Hooiii….., siapa yang tadi ngusir adik-adik gue yang lagi cari makan turun dari sini?!” katanya sambil menggebrak body dan atap bis dengan sarung tangan besinya yang berduri-duri itu. Sarung tangan atau senjata apa sih itu namanya yang dipasang di antara jari-jari tangan dengan duri-duri dari besi.
“Eh, ada seorang bapak-bapak yang nyahut, dia ngaku kalau dia tadi yang ngusir anak-anak itu karena mereka tidak sopan.” kata temanku, “Ya ngamuklah itu anak dengarnya… Dia berteriak teriak sambil mengancam si bapak di suruh turun. Tapi si bapak nggak mau turun, dan entah kenapa mereka berdua cuma berteriak-teriak dari pintu doang, bukannya langsung nyeret si bapak turun.”
“Turun sini lo pak, mati lo sama gue!!” kata temanku meneruskan ceritanya. Sementara dalam hatinya dia takut banget dan menyumpahi lampu merah yang nggak hijau-hijau.
“Ya jangan sampai membunuhlah…, eh, si bapak nyahut lagi. Bego banget tuh si bapak.” katanya lagi. Sementara si anak jalanan itu tetap teriak-teriak sambil menggedor-gedor bis.
“Kenapa lo nggak turun aja?!” tanya temanku yang lain.
“Gila lo, ya gue lebih takut lagi kalau turun. Orang mereka pas berdiri di depan gue…., kalau mereka tambah ngamuk liat gue turun dan duri besinya itu digoserin ke pipi gue gimana?!” sahutnya.
“Nah, begitu lampu ijo nyala, turunlah mereka. Si bapakpun langsung diomelin orang-orang se bis. Dibilang, lain kali jangan pakai ngusir-ngusir anak jalanan kayak tadi. Biarin aja, namanya juga anak-anak jalanan, mau disuruh sopan gimana lagi…” kata temanku dengan emosi.
“Iya, kalau di kendaraan umum ada anak-anak pengamen atau yang minta-minta seperti itu, mending kasih seribu daripada bikin masalah. Daripada lo digores siletnya…. Banyak lo yang bawa silet dan disilet-siletkan ke tangannya sendiri sampai berdarah-darah…, bahkan kadang siletnya dikunyah buat nakut-nakutin penumpang…” temanku yang lain menimpali.
“Gue, juga pernah tuh, duduk di belakang. Pas ada sms, gue balesin kan… eh, cewek sebelah gue nyenggol-nyenggol  kasih isyarat ke gue suruh lihat ke arah depan. Ternyata ada dua orang anak jalanan yang matanya langsung melotot ke gue sama hape gue. Langsung tuh hape gue masukin ke tas dan gue dekepin. Bapak-bapak di kiri gue, gue suruh mepetin gue…, biar nggak ada jarak dan anak jalanan itu nggak bisa nyelonong duduk di sebelah gue… Singkong mentah yang tadi gue beli juga gue dekepin di atas tas. Kalau dia mau nusuk, biarin kena singkongnya dulu…” kata teman yang lain.  
“Lo juga yang salah, ngapain ngeluarin hape di tempat kayak gitu, duduk di belakang lagi. Terus, akhirnya gimana?” timpal teman yang lain.
“Akhirnya dia turun tapi sambil nyamperin gue, dan di muka gue dikasih tiga jari tangannya sambil ngatain gue ‘fuck you’…”
Hmmh…. Padahal, kata anak-anak punk… mereka kan bukan criminal, mereka hanya berpakaian berbeda saja dengan orang kebanyakan. Aktifitas dan kegiatan kreatif mereka tidak berbeda dengan yang lain.  Tapi kalau ada anak-anak jalanan criminal yang kebetulan juga berpenampilan ala punk seperti ini, mungkin jangan salahkan masyarakat yang jadi apriori terhadap mereka, sebab kebanyakan orang tidak dapat membedakan dengan jelas, mana anak punk asli dan mana yang palsu, seperti aku juga sih.

Gimana, ternyata aksi anak jalanan yang di bis-bis kota itu lebih mengerikan daripada yang beroperasi di atas kereta ya…  Kalau yang di atas kereta kan paling-paling cuma minta duit sambil mencolekkan tangan dekilnya. Atau kalau yang nyapuin sampah dan nggak dikasih, paling-paling sampahnya ditaroh di kaki kita. Nggak ada yang sampai mau membunuh penumpang kayak gitu. Apalagi pengamennya, nggak ada yang maksa koq. Pengamen di Stasiun Bogor malah banyak kelihatan yang terpelajar.

Kenapa bisa begitu ya…, aku jadi mereka-reka sendiri. Mungkin kalau anak-anak jalanan yang beroperasi di angkutan umum, kalau mereka berbuat kejahatan kan masih bisa lari ke segala arah. Jadi mereka berani bertindak lebih. Sedangkan yang di atas kereta, mau lari ke mana kalau kereta sedang melaju? Apa mau melompat dan kehilangan nyawa? Hehehe…, mungkin itu jawaban terbaik yang bisa kudapatkan kali ini. Besok, siapa tau aku mungkin dapat pikiran yang lain…., so sekarang udahan dulu ya….




Bogor, 16 September 2012

Sabtu, 15 September 2012

Menata Hati



Saat sang bayu tak lagi
sampaikan salam rindu darinya
Kurasa  harus mulai bersiap diri
menata hati yang mulai poranda

Saat sang bayu tak lagi
sampaikan cerita apapun darinya
Kurasa harus mendekap mimpi
menata hati yang semakin lara

Saat sang bayu tak lagi
menjanjikan apa-apa
Apakah harus berlari
‘tuk sekedar menjemput asa?



Bogor, 15 September 2012
sambil menata hatiku di dalam kulkas (patah hati lagi deh!)