Kalau mau berhubungan langsung
dengan berbagai lapisan masyarakat, memang kita harus siap untuk mengalami
berbagai kejadian yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dengan catatan
semua aktifitas ini tidak disetting lebih dulu.
Kalau harus bersentuhan dengan
kalangan menengah ke atas, mungkin tidak akan terlalu sulit untuk menyesuaikan
diri, sebab semua sudah tertata dengan baik, tertib, dan penuh sopan santun,
tinggal kita sendiri saja yang siap atau tidak siap mengikuti alias grogi atau
nggak pede.
Tapi kalau kita harus membaur
langsung ke tengah-tengah masyarakat kalangan menengah ke bawah…., wow… akan
banyak kejadian-kejadian tidak terduga yang mungkin akan membuat mual dan shock
ketika mengalaminya.
Ada beberapa kejadian yang
mengarah ke jorsek dari beberapa contoh pelaku (memang tidak semuanya kalangan
tertentu itu jorsek semua, dan kita tidak boleh menggebyah uyah –bahasa
jawa—atau memukul rata pada semua orang), yang pernah kulihat langsung.
Bagi pembaca yang biasa hidup
beranggun-anggun ria dan tertata, mungkin nggak usah meneruskan membaca
tulisanku selanjutnya karena nanti bisa trauma, hilang nafsu makan, atau bahkan
nggak dapat tidur nyenyak dan mimpi buruk…. (Lebay ya…) Hehehe….
Satu saat, aku akan berangkat
kerja dan naik kereta ekonomi. Karena hari sudah cukup siang, maka penumpangpun
tidak terlalu penuh. Aku dan temankupun dapat tempat duduk. Tapi beberapa saat
sebelum kereta berangkat, tiba-tiba berdiri seorang nenek-nenek berambut putih
di depanku. Tubuhnya masih sehat dan segar. Nenek-nenek ini apakah rambutnya
saja yang sudah putih semua tapi umurnya masih belum terlalu tua, aku tidak
tahu. Yang jelas, karena aku merasa masih belum sekeriput si nenek, ya aku
langsung berdiri serta memberikan tempat dudukku padanya. (Kalau temanku sih
gak bakalan mau bangun karena dia menganggap dirinya sudah manula… hehehe…)
Suasana di dalam kereta ekonomi
sekarang tidak lagi seramai penjual asongan seperti dulu. Sekarang penjual
asongan, pengemis, dan pengamen selalu dirazia petugas. Jadi walaupun masih ada
beberapa yang nekat beraksi di dalam kereta, itupun mereka kucing-kucingan
dengan petugas. Bergerak selincah tupai di atas pohon kelapa dan secerdik
kancil di hutan.
Ketika ada seorang penjual tahu
Sumedang, si nenek yang duduk di depanku itu membeli tahu dua ribu rupiah,
dapat empat buah plus bonus cabe rawit hijau beberapa biji. Makanlah si nenek
itu dengan asyik. Kulihat giginya masih lengkap, walaupun tampak kecoklatan,
dan masih bisa juga menggigit cabe rawit itu dengan sukses.
Setelah habis empat buah tahunya,
si nenek mengeluarkan botol air minum dari dalam tasnya. Wow…, ada yang
terlepas dari perhatianku, yaitu… ternyata seluruh jari-jari si nenek ini
lentik dengan kuku panjangnya yang runcing terpelihara. Aku saja tidak dapat
serapi itu memanjangkan kuku jari tangan, selalu saja patah ketika membuka pintu, mencuci baju, ataupun karena
bebrapa insiden kecil lainnya.
Selesai minum, si nenek mulai
mencongkel-congkel giginya dengan kuku jari tangannya. Rupanya dia selilitan
tahu goreng… hehehe…., aku tertawa sendiri dalam hati.
Ternyata, tahu tadi bandel, si
nenek tidak berhasil mengeluarkan selilitannya.
Kemudian kulihat si nenek meraba
rambutnya yang digelung/disanggul kecil. (kupikir mau memeriksa apakah gelung
rambutnya masih rapi)
Surprise!! Ternyata si nenek
mengeluarkan sebatang tusuk gigi dari dalam gelung rambutnya tadi.
Hahahahaaaaaa…., aku benar-benar ngakak… (dalam hati tapi….), yang kemudian
dengan santainya dia pakailah tusuk gigi itu untuk mengeluarkan serpihan tahu
goreng dari belitan giginya. Sukses, ditelanlah serpihan tahu tadi…
hahahahaaaa…., kan masih dari dalam mulut juga, belum dilepeh, begitu ‘kali
pikirnya…., pikirku juga sih…. Hahahahaaaa….
Kemudian dengan santainya, dia masukkan lagilah sebatang tusuk gigi tadi
ke dalam gelung rambutnya. Slup. Tidak kelihatan, karena terbenam di dalam
rambut putihnya. Hehehehe…..
Kalau malamnya, pas aku dan
temanku mau pulang, kami sengaja mau naik kereta ekonomi karena kami naik dari
Stasiun Kota, pasti dapat tempat duduk, pikir kami. Apalagi kalau jam pulang
kerja begini, kalau naik Commuter sama tersiksanya dengan naik yang Ekonomi,
malah kalau Commuter kan pintunya tertutup, padahal AC dan Kipas Angin sudah
nggak terasa lagi. Kalau Ekonomi kan masih banyak angin dari luar karena
pintunya tidak tertutup dan kaca jendelanya banyak yang bolong karena pecah…
hehehe…
Tapi, tempat duduk cuma ada satu,
itupun karena ada bapak-bapak yang mungkin nggak tega (atau risih) dengar
temanku ngeluh terus tentang kakinya yang pegel dan sakit. Diapun duduk, dan
aku berdiri agak di sampingnya. Suasana kereta gelap karena sebagian lampunya
mati. Kalau sendirian, aku tidak mau naik kereta ini malam-malam, sebab dalam
suasana gelap di tengah kerumunan orang nggak kenal, segala kemungkinan buruk
bisa terjadi.
Aku dapat duduk ketika kereta
mulai meninggalkan Stasiun UI, penumpang wanita yang tadi duduk di samping
temanku rupanya akan turun di Stasiun Pondok Cina. Alhamdulillah, kakiku dapat
beristirahat setelah seharian kusiksa dengan mengelilingi dua pertokoan di
sekitar Jakarta Kota.
Tiba-tiba ada yang menarik
perhatianku. Bapak-bapak yang berdiri di depan penumpang wanita yang duduk di
sebelah kananku tampak bolak-balik mengoleskan tangannya ke dinding kereta
dekat jendela. Ketika kuperhatikan lagi, ternyata dia sedang ngupil. Ya,
ngupil…, dan hasil pancingannya itu tadilah yang dia oles-oleskan ke dinding
kereta… hadewwww….. Mungkin karena gelap, dia pikir nggak ada orang lain yang
memperhatikan. Karena memang pada kenyataannya hampir semua penumpang yang
duduk tampak tertidur, termasuk temanku yang sudah mimpi dari sejak pertama
duduk tadi…. Hehehe… (Kalau membaca
situasinya, sepertinya aku ada di posisi yang bersalah karena mataku kelebihan
pandangan sampai harus melihat orang ngupil di dalam kereta yang gelap, begitu
ya?)
Aku jadi teringat kejadian waktu
aku naik kereta dari Cirebon ke Surabaya
(aku lupa itu dulu kelas bisnis atau
ekonomi, yang jelas saat itu aku berusaha menyempatkan waktu untuk menyusul
anak-anakku yang sudah lebih dulu berangkat untuk liburan), dimana ada peristiwa
yang sampai sekarang masih tergambar dengan jelas di kepalaku.
Seperti biasa, aku sulit sekali
tidur di kendaraan yang sedang melaju kecuali kalau sudah ngantuk banget atau
capek. Hampir semua penumpang sudah tidur di bangkunya masing-masing. Aku
melepaskan pandanganku sejauh yang dapat kutangkap dengan mataku, dan akhirnya
pandanganku berhenti pada seorang ibu yang duduk selisih satu deretan bangku
denganku. Si ibu tampak tertidur sambil tangan kirinya memeluk sebuah tas di
pangkuannya dan tangan kanannya menggenggam tas kresek warna hitam.
Tiba-tiba si ibu terjaga dan
tampak membuka tas kresek di tangannya. Kemudian….., dia tampak meludah ke
dalamnya. Terus dia tidur lagi.
Tidak berselang lama, mungkin
kira-kira lima belas menit kemudian, si ibu terjaga lagi, membuka tas kreseknya
dan meludah lagi.
Hal itu terus menerus
dilakukannya setiap lima belas menit atau dua puluh menit sekali sampai semalaman
dan aku tertidur karena ngantuk. Ketika aku terbangun, si ibu sudah tidak ada
di tempat duduknya lagi, mungkin sudah turun entah di Stasiun/kota apa.
Sampai sekarang kalau
kuingat-ingat kejadian itu, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah
si ibu itu punya suatu penyakit sehingga setiap beberapa waktu harus meludah
dan demi keefesienan maka si ibu itu membawa kresek untuk kantong ludahnya.
Atau si ibu itu memang sengaja membawa tas kresek itu karena tidak mau
meninggalkan tempat duduknya untuk pergi ke toilet karena takut ditempati orang
lain? Sebab, kalau bukan kedua alasan itu, kira-kira apa lagi dong? Bayangin,
dia memegang tas kresek berisi air ludahnya semalaman. Kalau misalnya kantuk membawanya
pada tidur yang sangat lelap dan ketidak sadarannya melemahkan otot tangannya
sehingga pegangannya mengendur? Apa Yang terjadi coba? Pasti air ludahnya
tumpah ke ….. dan……. dan selanjutnya……….. (nggak usah kutulis saja ya, dibayangkan
sendiri-sendiri dan diteruskan sendiri-sendiri saja biar tidak semakin mual membaca
tulisan ini…. Hehehe….)
Beberapa kejadian di atas
hanyalah kejadian jorsek paling ringan yang dapat dijumpai di masyarakat
kalangan tertentu itu yang boleh kutulis
di sini. Kalau kejadian yang lebih parah, misalnya lebih parah dari tayangan
Mr. Bean yang bermain dengan ingusnya, sudah tentu tidak boleh dipublish di
ruang public demi etika dan kesopanan (serta tidak membuat orang lain muntah
pada waktu membacanya).
Bogor, 7 Maret 2013