Kamis, 28 Maret 2013

KRL Ekonomi Dihapus



Hmm…, harus ngomong apa ya tentang kebijakan yang satu ini?! Serba salah memang. Sebagai salah satu manusia pengguna KRL, mau yang ekonomi ataupun comutter dalam keseharianku, aku jadi pusing harus bagaimana menyikapinya.

Sekarang begini, pihak Pemerintah atau dalam hal ini PT KAI, beralasan kondisi KRL Ekonomi yang sudah tidak layak jalan dan susah dicari spare partnya karena usianya yang sudah mencapai tujuh puluhan lebih akan diganti dengan kereta yang lebih baik dengan kondisi ber AC semua, tetapi dengan konsekwensi harganya harus naik. Harus naik berapa persen? Masihkah tarif itu nanti dapat dijangkau oleh mayoritas pengguna kereta yang notabene memang dari kalangan masyarakat menengah ke bawah? Yang untuk ongkos berangkat bekerja setiap harinya harus diperhitungkan sedemikian rupa supaya tidak kedodoran di tengah bulan? Bahkan yang ongkos KRL itu masih harus ditambah ongkos angkot beberapa kali lagi supaya sampai di tempat tujuan?

Siapa pula yang menginginkan kondisi KRL Ekonomi harus ber AC? Sehingga alasan untuk menaikkan tariff itu akan dilegalkan? Tidak ada koq. Bener.
Masyarakat juga tahu diri dan tidak meminta yang berlebihan. Kipas Angin/Fan di dalam KRL  Ekonomi juga rasanya sudah bagus asalkan semua berfungsi dengan baik. Tidak seperti kondisi KRL Ekonomi saat ini, di mana Kop/Kepala Kipas Anginnya muter sendiri tanpa ada baling-balingnya, atau terkadang ada baling-balingnya tapi tidak dapat berputar lagi dan kepalanya saja yang menengok sana menengok sini. Belum lagi atapnya yang bocor kalau hujan.

Memang sih, bila dipandang dari sisi tarif, harga tiket KRL Ekonomi yang hanya dua ribu rupiah untuk jarak Jakarta-Bogor itu ya agak terlalu murah. Bolehlah di sesuaikan naik seribu dua ribu rupiah dengan kondisi KRL yang agak nyaman tapi tidak perlu ber AC bila nanti dengan AC harganya lebih dari empat ribu rupiah. (Kalau dengan AC harganya maksimum empat ribu rupiah sih boleh saja kurasa).

Mungkin juga perlu diberlakukan beberapa perjalanan seksekutif seperti dulu, yang tidak perlu berhenti di setiap stasiun dan tariff yang lebih mahal untuk mereka yang benar-benar mengejar waktu. Nggak apa-apa. Mereka yang menggunakan KRL jenis itu adalah para penumpang yang berduit. Ongkos lebih mahal sepuluh ribu rupiah buat mereka juga bukan masalah. Yang bermasalah kan para penumpang seperti aku ini.

Jadi, kuharap ada keajaiban, ada pencerahan pada para petinggi PT KAI itu sebelum mereka memberlakukan kebijakan baru ini. Apakah masyarakat sanggup mengikuti atau terpaksa mengikuti dengan konsekwensi mereka akan babak belur di akhir bulan. Kenapa tidak diadakan survey lebih dulu sih? Jangan hanya mengira-ngira saja atau setuju apa kata bawahan. Ambillah keputusan yang terbaik untuk masyarakat, bukan untuk orang perorang.


Bogor, 28 Maret 2013

Kamis, 21 Maret 2013

Lemah-lembut=Lelet?



Sebagai seorang wanita, bersikap lemah lembut dan gerak-gerik terjaga tentu indah dan sedap dipandang mata. Apalagi bila hal itu untuk melayani suami dan menghadapi anak-anaknya. Suami tentu akan semakin gemas dan sayang bila istrinya gemulai dan selembut penari. Anak-anak juga pasti akan adem hatinya bila melihat ibunya yang selalu lembut dan santun di setiap gerakannya.

Tetapi menurutku nih…, semua kegemulaian dan kelembutan itu sebaiknya hanya diungkapkan di rumah atau di lingkungan terbatas saja. Kalau sudah di luar rumah dan berbaur dengan masyarakat luas…, sebaiknya bersikap cekatanlah, jangan terlalu lemah-lembut dan gemulai.   Sebab itu malah akan merugikan diri sendiri. Apalagi bila ke mana-mana harus menggunakan kendaraan umum seperti aku ini, hidup di luar itu keras.

Tadi aku berkesempatan pulang lebih awal alias siang karena ke kantor hanya menyerahkan laporan saja. Biasanya kan malam hari baru sampai rumah. Jadi aku menunggu kereta ekonomi yang menurut perkiraanku pasti masih kosong, maklum baru setengah dua belas siang.

Ternyata dugaanku tepat, masih banyak bangku kosong ketika aku naik ke dalam gerbong kereta. Akupun duduk dengan santai dan perasan berbunga-bunga… (hehehe… ini efek karena jarang dapat tempat duduk kalau pulang kerja).

Setelah duduk, aku melihat seorang wanita yang memakai baju panjang dan kerudung panjang yang berjalan santai menggandeng anak perempuan ke arah pintu. Gerakannya sungguh lemah-lembut ketika melangkah. Tiba-tiba saja bapak-bapak yang duduk di sebelahku berteriak, “Ibu cepetan kalau mau turun…., yaah… si ibu mah…, lelet amat sih jadi orang…. Tuh kan…!!” katanya.
Aku baru ngeh kalau ibu dan anaknya itu mau turun dari kereta. Ya ampun….., pantas saja si bapak yang duduk di sebelahku itu gemas campur jengkel melihatnya, gerakan si ibu memang lelet banget, terlalu menjaga tindakan, padahal harap diketahui, KRL ini setiap berhenti di stasiun untuk menaik turunkan penumpang itu tidak lebih dari tiga menit, kecuali bila memang sedang menunggu signal stasiun.
Yang lebih berbahaya lagi, kereta ekonomi seperti ini tidak ada pintunya, jadi kalau mau jalan ya langsung jalan, tidak ada tanda-tandanya sama sekali. Kalau yang commuter kan sebelum jalan pintunya tertutup dulu, jadi lebih save.

Nah, kembali ke ibu tadi, begitu dia menginjakkan kakinya di peron stasiun, kereta jalan… jadi pada detik terakhirlah kaki  anaknya keluar dari kereta. Untungnya kereta nggak langsung ngebut. Nyaris sekali!

“Si ibu tadi belum pernah naik kereta atau gimana sih, masak nggak tahu kalau kereta cuma berhenti sebentar, mana bajunya panjang…. Kalau tersandung gimana coba….” kudengar si bapak masih ngomong sendiri.

Kegemasan si bapak itu pada ibu tadi adalah bentuk keperdulian seseorang pada orang lainnya yang tidak ingin melihat orang lain celaka. Memang benar si bapak tadi tidak suka pada gerak-gerik si ibu yang dianggapnya lelet, hidup di luar rumah itu tidak senyaman dan sehangat di rumah. Banyak hal yang harus dilakukan dengan sigap. Kalau tidak dapat mengikuti arus ini ya sebaiknya tinggal di rumah saja daripada celaka.

Hal seperti ini juga mungkin yang mendasari banyaknya para wanita pekerja yang memakai setelan celana panjang ketika berangkat bekerja. Itu semua demi efisiensi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan alasan untuk menarik lawan jenis. Aku pernah iseng menghitung perbandingan pemakai setelan celana panjang dan rok panjang/pendek di dalam gerbong khusus wanita. Hasilnya, sejauh pandanganku dapat menangkap sosok penumpang ini karena padatnya penumpang sehingga terhalang penumpang lain, maka ternyata diantara 65 orang wanita itu, hanya ada satu yang memakai rok panjang. Lainnya memakai setelan celana panjang. Itu artinya para wanita pekerja ini sudah siap tempur dalam berebut kesempatan. Kesempatan apa saja, termasuk kesempatan mengejar kereta supaya tidak tertinggal sehingga cepat sampai tujuan.

Percaya tidak, kalau aku pernah membaca sebuah artikel kesehatan yang menyatakan bahwa tingkat kepikunan seseorang itu berhubungan dengan kesigapan seseorang dalam beraktifitas/bergerak sehari-hari. Jadi semakin lambat dam semakin sedikit gerakan seseorang, katanya semakin mempercepat kepikunan datang padanya. Maka dari itu, kalau tidak mau cepat pikun, ya harus sigap dan cekatan dalam bergerak. Oke?! Semangat!!


Bogor, 21 Maret 2013

Senin, 18 Maret 2013

Pedagang Lebay



Yang namanya para pedagang, di mana saja lokasinya berjualan memang terkadang agak lebay saat menjajakan dagangannya. Tapi menurutku itu semua biasa saja karena untuk menarik pembeli supaya dagangannya laku. Demikian juga halnya dengan pedagang asongan di KRL Ekonomi, byuh…., hebat-hebat euy….

Contohnya begini, “Donat-donat, isi 5 buah cuma sepuluh ribu, tahan sampai besok dan kuat menahan rasa lapar tiga hari….”
Atau begini, “Jeruk bu jeruk pak…, manis-manis…, biar kecil tapi manis kayak saya…” (padahal yang jual tuh, si abang-abang itu nggak ada manis-manisnya sama sekali, malah berewokan iya…hehehe…)

Nah, ini ada lagi yang super heboh, “Bapak-bapak ibu-ibu, Negara kita semakin lama semakin miskin karena setiap hari digerogotin para koruptor. Pancasila semakin tidak ada artinya karena ternyata banyak para pejabat yang tidak hafal bunyi ‘Pancasila’ itu sendiri. Kereta Ekonomi inipun sedikit demi sedikit akan menghilang dari peredaran. Akan seperti apa nasib kita nantinya….. Maka dari itu bapak-bapak ibu-ibu, marilah kita bantai tikus-tikus itu secara beramai-ramai, mari kita selamatkan hidup anak cucu kita dari ancaman tikus yang meraja lela….”

Tahukah kira-kira pedagang apa itu yang pakai acara berpidato panjang lebar seperti itu? Yang belum pernah mendengarnya berjualan mungkin akan mengira dia sedang melakukan kegiatan teater dengan cara ber-orasi seperti itu dan tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh semua yang dikatakan pedagang itu. Tapi kalau yang sudah sering mendengar seperti aku, mungkin akan diam saja dan merasa biasa (tidak mendengarkan lagi, maksudnya), atau ada juga yang tersenyum-senyum setelah tahu apa yang dijual pedagang itu.

Kasih tahu nggak ya, pedagang apakah orang itu?
Hehehe…., pedagang itu adalah penjual racun tikus. Ya, dia menjual racun tikus yang sebungkus harganya tujuh ribu rupiah.

Entah apa pendapat orang lain tentang penjual racun tikus ini, mungkin ada yang menganggapnya lebay, menghibur, atau justru menyebalkan?
Tetapi memang seperti itulah, memang banyak hal yang terjadi di atas KRL ini, banyak aktifitas yang terjadi di sana dan hampir semua orang menikmatinya. Mulai dengan terjadinya jual-beli, hiburan, pengemis, sampai pencopetpun ada semua di sana.

Termasuk kejadian menyebalkan kalau kereta sedang penuh-penuhnya, seperti yang kualami kemarin. Aku sedang berada di posisi berdiri dengan berpegangan pada pegangan kereta, berusaha menahan tubuh supaya tidak oleng atau terjatuh karena goncangan kereta. Eeeh…., manusia (laki-laki) di belakangku yang sedang ngerumpiin salah satu teman kantornya dengan temannya, kurasakan koq semakin merapat ke belakangku. Punggungku terasa semakin berat (untungnya tas ranselnya berada di antara aku dan orang itu, jadi kami tidak bersentuhan langsung), rupanya orang itu berdirinya menyender padaku. Enak saja, dipikir nggak berat apa?! Aku yang berusaha menahan tubuhku sendiri saja sudah repot, eh… disenderi!

Maka, akupun umek terus, aku bergerak terus, ke kanan-ke kiri, menggeliat… pokoknya umek deh….., yang akhirnya membuat dia merasa/tersadar  dan kemudian berdiri tegak serta agak minggir ke samping kiriku. (aku nggak tahu, apakah dia ganti bersender pada bapak-bapak di samping kiriku itu atau tidak….., yang penting aku bebas….)

Menurut rencana (kebijakan baru yang amat sangat terlambat, karena sudah terlanjur mengakar), nantinya bakalan nggak ada lagi tuh pedagang asongan yang beroperasi di atas KRL, karena sejak sekarangpun mereka --para pedagang asongan-- itu sudah dikejar-kejar oleh petugas dan dilarang berjualan di atas KRL lagi. Pasti bakalan ada sesuatu yang hilang. Moment dan sensasi yang tidak ada di tempat lain.


Bogor, 18 Maret 2013
(semoga para pedagang asongan itu sudah memikirkan/mendapatkan tempat lain sebagai lahannya mencari nafkah)

Selasa, 12 Maret 2013

Sedih, Haru, atau Kagum?



Beberapa hari lalu waktu berangkat  bekerja, aku melihat beberapa orang ibu hamil tua yang masih juga berangkat bekerja naik kereta.

Memang setiap ibu hamil, manula, ibu membawa anak balita ataupun penyandang disabilitas mendapatkan tempat duduk khusus yaitu di setiap ujung gerbong, tapi kalau pada jam-jam sibuk atau jam-jam orang berangkat dan pulang kerja tuh, perjuangan untuk masuk ke dalam keretanya saja sudah luar biasa. Walaupun terkadang ada bapak-bapak yang berteriak “Orang hamil orang hamil, kasih jalan kasih jalan!!”

Nah waktu pulang kerja sekitar jam tujuhan gitu, ternyata aku melihat masih saja ada ibu-ibu hamil yang baru pulang. Padahal ini kan sudah malam. Mungkin mereka baru sampai rumah sekitar jam delapan atau Sembilan malam, terus besok paginya mereka sudah harus bangun pagi dan bersiap berangkat kerja lagi.

Akhirnya dalam otakku timbul pikiran seperti ini, pernyataan atau pertanyaan apakah yang tepat untuk mereka ini? ‘Kasihan’, ‘Hebat’, atau ‘Kenapa mereka harus memaksakan diri?’
Sebab tidak mungkin suami, orangtua ataupun keluarga yang lain tidak pernah menganjurkannya untuk mengambil cuti kalau melihat perut yang sudah demikian besar itu. Mereka pasti tidak akan tega melihat istri atau anaknya merasa tidak nyaman.

Contohnya saja nih, saat aku melhat ibu hamil tua yang duduk di depanku. Tubuhnya bersender ke kaca jendela dengan lunglai, kedua matanya terpejam tidur karena (pasti) kecapekan, gerah, dan perutnya yang membuncit itu aku rasa sudah tinggal menunggu hari saja. Aku yakin itu karena aku juga pernah hamil dan merasakan bagaimana kondisi tubuh saat hamil.

Dulu, waktu aku hamil anak pertama dan masih bekerja di usia kehamilan tujuh bulan, setiap pulang kerja tuh, aku hanya menunggu saat maghrib saja. Tanpa mandi lebih dulu, aku langsung tertidur sampai nanti kira-kira jam sepuluh atau sebelas malam.
Ketika terbangun jam sepuluh malam itu, tulang punggungku seolah lengket dengan kasur, susah banget diajak bangun….. sakit semua. Padahal jarak antara tempat tinggal dan tempat kerjaku saat itu tidak terlalu jauh. Aku tinggal di Muara Karang dan tempat kerjaku di Pluit, hanya sekitar 3 atau 4 kilometer yang terkadang kutempuh dengan berjalan kaki.  Saat itu, setiap malam rasanya seluruh tulangku sedang bermusuhan dengan dagingku sehingga seolah mereka ingin saling meninggalkan. Akhirnya aku mengambil cuti dan pulang ke rumah ibuku di Surabaya begitu usia kehamilanku 8 bulan…., yang ternyata seminggu kemudian aku melahirkan anak pertamaku. (Kedua anakku tidak ada yang betah menunggu sampai usia sembilan bulan sepuluh hari di dalam perutku, sehingga mereka sudah pada nongol ke dunia ini di usia delapan bulan lewat)

Apalagi ibu-ibu yang kerja di Jakarta dan pulangnya ke Depok atau Bogor seperti yang kulihat saat ini. Kebayang banget gimana rasanya kondisi tubuh pada saat hamil tua. (Ini bukan maksudku mengeluhkan kondisi tubuh saat hamil dan tidak ikhlas, tapi pada kenyataannya memang seperti itulah fungsi anggota tubuh pada saat hamil tua, jadi supaya para lelaki itu tau sehingga dapat lebih menyayangi istrinya)

Saat memperhatikan si ibu hamil di depanku, tiba-tiba saja aku teringat berita yang kulihat di TV atau kubaca di Koran online aku lupa, tentang seorang ibu hamil yang sedang berjalan-jalan di Mall dan tiba-tiba perutnya mules dan melahirkan di toilet. Waduh, gimana ya kalau misalnya tiba-tiba si ibu ini melahirkan di kereta? Aku harus bagaimana, kan dia ada di depanku….?!

Ternyata si ibu hamil turun di UI, maka aku dapat tempat duduk. Akupun duduk di tempat prioritas itu, biarpun aku tidak hamil, tidak bawa anak balita, belum manula dan bukan penyandang disabled, karena aku wanita yang kebetulan sedang berada di gerbong campuran…. Hehehe….

Ketika kereta meninggalkan Stasiun Depok Baru, penumpang sudah banyak berkurang sehingga aku dapat melihat berkeliling. Di seberang tempat dudukku kulihat tempat duduk itu dipenuhi tiga orang ibu-ibu yang ternyata juga sedang hamil tua. Subhanallah.



Bogor, 13 Maret 2013

Kamis, 07 Maret 2013

Jorsek



Kalau mau berhubungan langsung dengan berbagai lapisan masyarakat, memang kita harus siap untuk mengalami berbagai kejadian yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dengan catatan semua aktifitas ini tidak disetting lebih dulu.

Kalau harus bersentuhan dengan kalangan menengah ke atas, mungkin tidak akan terlalu sulit untuk menyesuaikan diri, sebab semua sudah tertata dengan baik, tertib, dan penuh sopan santun, tinggal kita sendiri saja yang siap atau tidak siap mengikuti alias grogi atau nggak pede.

Tapi kalau kita harus membaur langsung ke tengah-tengah masyarakat kalangan menengah ke bawah…., wow… akan banyak kejadian-kejadian tidak terduga yang mungkin akan membuat mual dan shock ketika mengalaminya.

Ada beberapa kejadian yang mengarah ke jorsek dari beberapa contoh pelaku (memang tidak semuanya kalangan tertentu itu jorsek semua, dan kita tidak boleh menggebyah uyah –bahasa jawa—atau memukul rata pada semua orang), yang pernah kulihat langsung.

Bagi pembaca yang biasa hidup beranggun-anggun ria dan tertata, mungkin nggak usah meneruskan membaca tulisanku selanjutnya karena nanti bisa trauma, hilang nafsu makan, atau bahkan nggak dapat tidur nyenyak dan mimpi buruk…. (Lebay ya…)  Hehehe….

Satu saat, aku akan berangkat kerja dan naik kereta ekonomi. Karena hari sudah cukup siang, maka penumpangpun tidak terlalu penuh. Aku dan temankupun dapat tempat duduk. Tapi beberapa saat sebelum kereta berangkat, tiba-tiba berdiri seorang nenek-nenek berambut putih di depanku. Tubuhnya masih sehat dan segar. Nenek-nenek ini apakah rambutnya saja yang sudah putih semua tapi umurnya masih belum terlalu tua, aku tidak tahu. Yang jelas, karena aku merasa masih belum sekeriput si nenek, ya aku langsung berdiri serta memberikan tempat dudukku padanya. (Kalau temanku sih gak bakalan mau bangun karena dia menganggap dirinya sudah manula… hehehe…)

Suasana di dalam kereta ekonomi sekarang tidak lagi seramai penjual asongan seperti dulu. Sekarang penjual asongan, pengemis, dan pengamen selalu dirazia petugas. Jadi walaupun masih ada beberapa yang nekat beraksi di dalam kereta, itupun mereka kucing-kucingan dengan petugas. Bergerak selincah tupai di atas pohon kelapa dan secerdik kancil di hutan.

Ketika ada seorang penjual tahu Sumedang, si nenek yang duduk di depanku itu membeli tahu dua ribu rupiah, dapat empat buah plus bonus cabe rawit hijau beberapa biji. Makanlah si nenek itu dengan asyik. Kulihat giginya masih lengkap, walaupun tampak kecoklatan, dan masih bisa juga menggigit cabe rawit itu dengan sukses.

Setelah habis empat buah tahunya, si nenek mengeluarkan botol air minum dari dalam tasnya. Wow…, ada yang terlepas dari perhatianku, yaitu… ternyata seluruh jari-jari si nenek ini lentik dengan kuku panjangnya yang runcing terpelihara. Aku saja tidak dapat serapi itu memanjangkan kuku jari tangan, selalu saja patah ketika  membuka pintu, mencuci baju, ataupun karena bebrapa insiden kecil lainnya.

Selesai minum, si nenek mulai mencongkel-congkel giginya dengan kuku jari tangannya. Rupanya dia selilitan tahu goreng… hehehe…., aku tertawa sendiri dalam hati.
Ternyata, tahu tadi bandel, si nenek tidak berhasil mengeluarkan selilitannya.
Kemudian kulihat si nenek meraba rambutnya yang digelung/disanggul kecil. (kupikir mau memeriksa apakah gelung rambutnya masih rapi)

Surprise!! Ternyata si nenek mengeluarkan sebatang tusuk gigi dari dalam gelung rambutnya tadi. Hahahahaaaaaa…., aku benar-benar ngakak… (dalam hati tapi….), yang kemudian dengan santainya dia pakailah tusuk gigi itu untuk mengeluarkan serpihan tahu goreng dari belitan giginya. Sukses, ditelanlah serpihan tahu tadi… hahahahaaaa…., kan masih dari dalam mulut juga, belum dilepeh, begitu ‘kali pikirnya…., pikirku juga sih…. Hahahahaaaa….
Kemudian dengan santainya,  dia masukkan lagilah sebatang tusuk gigi tadi ke dalam gelung rambutnya. Slup. Tidak kelihatan, karena terbenam di dalam rambut putihnya. Hehehehe…..

Kalau malamnya, pas aku dan temanku mau pulang, kami sengaja mau naik kereta ekonomi karena kami naik dari Stasiun Kota, pasti dapat tempat duduk, pikir kami. Apalagi kalau jam pulang kerja begini, kalau naik Commuter sama tersiksanya dengan naik yang Ekonomi, malah kalau Commuter kan pintunya tertutup, padahal AC dan Kipas Angin sudah nggak terasa lagi. Kalau Ekonomi kan masih banyak angin dari luar karena pintunya tidak tertutup dan kaca jendelanya banyak yang bolong karena pecah… hehehe…
Tapi, tempat duduk cuma ada satu, itupun karena ada bapak-bapak yang mungkin nggak tega (atau risih) dengar temanku ngeluh terus tentang kakinya yang pegel dan sakit. Diapun duduk, dan aku berdiri agak di sampingnya. Suasana kereta gelap karena sebagian lampunya mati. Kalau sendirian, aku tidak mau naik kereta ini malam-malam, sebab dalam suasana gelap di tengah kerumunan orang nggak kenal, segala kemungkinan buruk bisa terjadi.

Aku dapat duduk ketika kereta mulai meninggalkan Stasiun UI, penumpang wanita yang tadi duduk di samping temanku rupanya akan turun di Stasiun Pondok Cina. Alhamdulillah, kakiku dapat beristirahat setelah seharian kusiksa dengan mengelilingi dua pertokoan di sekitar Jakarta Kota.

Tiba-tiba ada yang menarik perhatianku. Bapak-bapak yang berdiri di depan penumpang wanita yang duduk di sebelah kananku tampak bolak-balik mengoleskan tangannya ke dinding kereta dekat jendela. Ketika kuperhatikan lagi, ternyata dia sedang ngupil. Ya, ngupil…, dan hasil pancingannya itu tadilah yang dia oles-oleskan ke dinding kereta… hadewwww….. Mungkin karena gelap, dia pikir nggak ada orang lain yang memperhatikan. Karena memang pada kenyataannya hampir semua penumpang yang duduk tampak tertidur, termasuk temanku yang sudah mimpi dari sejak pertama duduk  tadi…. Hehehe… (Kalau membaca situasinya, sepertinya aku ada di posisi yang bersalah karena mataku kelebihan pandangan sampai harus melihat orang ngupil di dalam kereta yang gelap, begitu ya?)

Aku jadi teringat kejadian waktu aku naik kereta dari Cirebon  ke Surabaya (aku  lupa itu dulu kelas bisnis atau ekonomi, yang jelas saat itu aku berusaha menyempatkan waktu untuk menyusul anak-anakku yang sudah lebih dulu berangkat untuk liburan), dimana ada peristiwa yang sampai sekarang masih tergambar dengan jelas di kepalaku.

Seperti biasa, aku sulit sekali tidur di kendaraan yang sedang melaju kecuali kalau sudah ngantuk banget atau capek. Hampir semua penumpang sudah tidur di bangkunya masing-masing. Aku melepaskan pandanganku sejauh yang dapat kutangkap dengan mataku, dan akhirnya pandanganku berhenti pada seorang ibu yang duduk selisih satu deretan bangku denganku. Si ibu tampak tertidur sambil tangan kirinya memeluk sebuah tas di pangkuannya dan tangan kanannya menggenggam tas kresek warna hitam.

Tiba-tiba si ibu terjaga dan tampak membuka tas kresek di tangannya. Kemudian….., dia tampak meludah ke dalamnya. Terus  dia tidur lagi.
Tidak berselang lama, mungkin kira-kira lima belas menit kemudian, si ibu terjaga lagi, membuka tas kreseknya dan meludah lagi.
Hal itu terus menerus dilakukannya setiap lima belas menit atau dua puluh menit sekali sampai semalaman dan aku tertidur karena ngantuk. Ketika aku terbangun, si ibu sudah tidak ada di tempat duduknya lagi, mungkin sudah turun entah di Stasiun/kota apa.

Sampai sekarang kalau kuingat-ingat kejadian itu, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah si ibu itu punya suatu penyakit sehingga setiap beberapa waktu harus meludah dan demi keefesienan maka si ibu itu membawa kresek untuk kantong ludahnya. Atau si ibu itu memang sengaja membawa tas kresek itu karena tidak mau meninggalkan tempat duduknya untuk pergi ke toilet karena takut ditempati orang lain? Sebab, kalau bukan kedua alasan itu, kira-kira apa lagi dong? Bayangin, dia memegang tas kresek berisi air ludahnya semalaman. Kalau misalnya kantuk membawanya pada tidur yang sangat lelap dan ketidak sadarannya melemahkan otot tangannya sehingga pegangannya mengendur? Apa Yang terjadi coba? Pasti air ludahnya tumpah ke ….. dan……. dan selanjutnya……….. (nggak usah kutulis saja ya, dibayangkan sendiri-sendiri dan diteruskan sendiri-sendiri saja biar tidak semakin mual membaca tulisan ini…. Hehehe….)

Beberapa kejadian di atas hanyalah kejadian jorsek paling ringan yang dapat dijumpai di masyarakat kalangan tertentu itu yang boleh  kutulis di sini. Kalau kejadian yang lebih parah, misalnya lebih parah dari tayangan Mr. Bean yang bermain dengan ingusnya, sudah tentu tidak boleh dipublish di ruang public demi etika dan kesopanan (serta tidak membuat orang lain muntah pada waktu membacanya).



Bogor, 7 Maret 2013