Sabtu, 28 Mei 2011

Indahnya Duniaku


Ini adalah foto terbaruku bersama teman-temanku… bisa menebak yang mana yang aku kan?


Tahun ini aku berumur 17 tahun. Aku seorang gadis yang dilahirkan dari ayah Keturunan Tionghoa dan ibu dari suku Jawa. Sekarang aku masih duduk di sebuah SMAN di Kota Bogor dan adik lelakiku masih duduk di kelas IV SDN yang tidak jauh dari rumah.

Selama hidupku ini, aku belum pernah mengalami sakit hati yang serius ataupun ejekan yang berhubungan dengan darah Tionghoa yang mengalir di tubuhku, sehingga rasanya sulit membayangkan Peristiwa Kerusuhan Tahun 1998 yang boleh juga dikatakan sebagai Peristiwa Pembantaian Etnis Cina yang diceritakan oleh Mamie.

Saat itu aku masih berumur 4 tahun dan kami tinggal di Daerah Muara Karang, di tempat kerja Papieku. Mamie bercerita bahwa saat itu seluruh kota lumpuh total. Semua Kantor, Toko, Mall dan Gedung-gedung habis di luluh lantakkan massa. Orang-orang Keturunan Cina dikejar-kejar, diperkosa, disiksa dan dibunuh. Ngeri sekali mendengarnya.

Seperti kataku tadi, selama ini hidupku baik-baik saja. Apakah karena bentuk fisikku yang ‘tidak terlalu Chines’, sehingga teman-temanku tidak ada yang memanggilku dengan nada mengejek “Cina”, ataukah karena hal yang lain. Sebab, biasanya setelah mereka tahu kalau dalam tubuhku juga mengalir darah Tionghoa, mereka juga tidak berubah sikap padaku…, dan mereka menyebut “Cina” padaku bukan dengan nada ejekan, tetapi sayang.

Begitu juga kepercayaan dalam keluargaku. Keluarga Besar Papie menganut Agama Katholik, sedang dari Keluarga Besar Mamie semua beragama Islam. Tetapi hubungan kekeluargaan kami baik-baik saja. Kami semua saling menghargai dan menghormati keyakinan masing-masing. Kalau Natalan atau Sinchia aku dapat angpau dari keluarga besar Papie, dan kalau Lebaran aku dapat juga dari Keluarga Besar Mamie.

Selama ini, Mamie sengaja memasukkan aku ke sekolah negri, bukan sekolah-sekolah swasta atau khusus. Sehingga aku mendapatkan pendidikan dan sosialisasi yang netral. Aku tidak mengatakan kalau sekolah-sekolah swasta yang khusus tersebut tidak baik (misalnya dari sekolah berbasis agama A, B, C, D, dan lain-lain), tetapi aku hanya ingin mengungkapkan analisaku pribadi. Mungkin… sekali lagi mungkin.., karena aku bergaul dan bersosialisasi di tempat yang netral, maka perlakuan yang kuterimapun juga netral sifatnya. Ini aku hanya mengungkapkan teori kemungkinan sebab akibat…., kalau misalnya ada yang tidak sependapat denganku ya silahkan. Setiap orang berhak punya pendapat yang berbeda kan?

Aku juga tidak tahu, apakah aku boleh ikut andil dalam ajang ‘Penulisan Jangan Panggil Aku Cina’ ini atau tidak, sebab aku belum pernah mengalami dipanggil dengan nada ejekan itu. Aku juga belum pernah merasa dijauhi atau dihindari oleh teman-temanku hanya karena aku mempunyai darah Chines. Malah, bisa dikatakan kalau hidupku benar-benar indah… berada di antara dua budaya yang berbeda, berada di antara dua agama yang berbeda, berbeda di antara dua cara pandang yang berbeda, dan lain-lainnya…. Yang ternyata semua itu menghasilkan aku yang 'tidak berbeda’ ke sana dan ‘tidak berbeda ‘ ke sini…. Aku sama saja dengan yang lainnya, siapapun kalian…..


Bogor, Di penghujung Mei 20011

Salam,

Rieke Oei



Catatan : Tulisan ini diikutkan Lomba di Komunitas "Jangan Panggil Aku Cina" di Facebook pada akhir Juli 2011, dan berhasil mendapatkan Juara. Komunitas "Jangan Panggil Aku Cina" ini adalah kampanye sosial anti rasis dengan tujuan supaya seluruh rakyat Indonesia semakin kokoh dalam persatuan tanpa memandang SARA.

Kamis, 05 Mei 2011

Menjadi Tua, apakah menakutkan?!

Seperti sang mentari yang berakhir di batas cakrawala selepas senja, begitu juga kisah perjalanan hidup seorang anak manusia yang kelak akan berakhir setelah melewati usia senja.

Ketika sekian dasa warsa terlewati, setelah berhasil mengalahkan segala masa, kini tinggal seleksi alam yang menanti. Renta, Rapuh, Sendiri dan Kesepian. Hidup dalam dunianya sendiri yang tak lagi tersentuh orang lain karena pola pikir yang sudah tak lagi sejalan.

Kehendak hati ingin begini…., tapi kenapa tak ada yang mengerti?

Maksud hati ingin berlari…., tapi kaki tlah kehilangan fungsi….

Semua terasa begitu sunyi…., karena desah angin dan kidung kehidupan mulai berhenti….

Hanya tingkah dan gerak yang masih tampak menari….

***

Kutulis ini semua, ketika beberapa hari ini aku mengamati gerak-gerik nenekku yang kini tinggal denganku. Tahun ini usianya 86 tahun. Kulitnya sudah amat keriput dan beberapa tampak menggayut karena kalah bertarung dengan grafitasi bumi. Matanya masih awas karena masih bisa membaca koran dan menulis beberapa catatan di notesnya untuk hal-hal yang dianggapnya penting.

Pendengarannya agak kurang dan lutut kakinya yang kanan sudah susah ditekuk sehingga berjalannya tertatih dan agak sedikit pincang. Kalau disuruh pakai tongkat, sepertinya dengan terpaksa diturutinya, sebab katanya kalau pakai tongkat jalannya malah semakin lambat.

Ingatannya masih cukup oke untuk beberapa hal yang aku saja sudah hampir tidak ingat lagi. Tampaknya, kejadian-kejadian yang dialaminya masih terasa begitu hangat membekas sehingga ketika menceritakannya kembali, seolah memutar rekaman saja.

Misalnya saja, ketika menceritakan saat umurku baru sembilan bulan. Katanya sore itu aku selesai dimandiin, dipakaikan baju, topi dan sepatu… , kemudian di gendong mau dibawa keluar. Tiba-tiba saja aku muntah dan… berhenti bernafas. Aku meninggal dunia. Hal itu terjadi sampai beberapa jam, sampai akhirnya aku hidup lagi. Mungkin itu yang disebut mati suri.

Kemudian, ketika adik perempuanku sakit kuping sampai menjadi bodoh untuk beberapa waktu, tapi untung segera sembuh dan akhirnya malah semakin cerdas, terus ketika adikku yang nomer tiga stuip, sedangkan dokter tetangga sedang pergi, sehingga istri dokter itu berusaha menolong dengan sambil membuka catatan/buku suaminya, adik ke empat yang lahirnya di RS AL, sampai kejadian meninggalnya adikku yang nomer lima karena tenggelam di pantai. Kemudian adik bungsuku yang lahir paling gendut. Semua kejadian masih diingatnya dengan baik, termasuk semua tanggal lahir anak, cucu dan buyutnya.

Cerita-ceritanya itu semua memang pernah kualami, tetapi sebagian besar ada yang tidak kusadari atau sudah banyak yang pergi dari memoryku, dan baru teringat kembali ketika diceritakannya lagi. Mungkin ini juga salah satu hal yang termasuk dalam pola pikir yang berbeda. Maksudnya, apa yang menjadi prioritas pikirannya ternyata tidak sama dengan yang menjadi prioritas pikir kita saat ini. Sehingga bila diteruskan, mungkin akan terjadi miskomunikasi alias tidak nyambung.

Terkadang ceritanya agak horor, yaitu ketika nenekku menceritakan bahwa tadi sepintas sempat melihat ibu bapaknya, suaminya serta saudara-saudaranya yang semua sudah almarhum tiba-tiba saja pada datang menengoknya. Katanya, mungkin mereka sudah siap menjemput.

Keadaan nenekku saat ini secara lahiriah masih dalam kondisi yang amat baik untuk usianya, walaupun guratan senja itu begitu kental, dan aku harap masih bisa begitu untuk beberapa tahun mendatang yang aku tidak tahu sampai kapan masih diberikan kesempatan bersamanya.

Hanya saja pikiran dan perasaanku bercampur aduk setiap melihatnya sedang duduk sendiri di teras sambil memandang dedaunan, yang kadang juga tampak berbicara sendiri. Aku pernah dengar nenekku berkata pada anakku kalau nenekku suka sekali melihat daun-daun yang tertiup angin sambil menunggunya jatuh karena menguning.

Ini mungkin isyarat, bahwa nenekku sudah pasrah dan tinggal menunggu waktu kapan akan dipanggil menghadapNya. Katanya juga, keinginan terakhirnya untuk bertemu dan ikut tinggal denganku sudah tercapai. Sudah tidak ada lagi yang diinginkannya di dunia ini. Maklumlah, aku adalah cucu pertamanya dan ketika dulu ibuku melahirkan adikku, aku diurus oleh nenekku ini. Aku ingat, sampai kelas lima SD aku masih tidur dengan nenek dan kakekku walaupun serumah juga dengan ayah ibuku.

Sejak menikah, aku pindah ke luar kota dan selama ini nenekku tetap tinggal dengan ibuku di kota kelahiranku, yang aku amat jarang pulang sehingga kami memang sangat jarang bertemu.





Dengan mata yang buram karena penuh air mata, yang aku sendiri juga tidak tau kenapa tiba2 aku sudah menangis......

Bogor, 5 Mei 2011