Biasanya kalau aku berangkat
kerja di hari sabtu atau minggu, suasana di kereta memang agak beda. Banyak
anak-anak dan orang tua (manula) yang naik, sehingga suasananya jadi ribet
banget deh. Ada yang nangis, ada yang teriak-teriak, ada yang bercanda. Pokoknya
ribet.
Tapi ketika hari itu aku naik
kereta ekonomi jam 10.00 pagi dan bukan hari libur, karena masih hari kamis dan
lebaran haji masih seminggu lagi, ternyata suasana di dalam gerbong hiruk pikuk
banget dengan suara anak-anak. Malahan ada yang duduk-duduk di lantai kereta
dan bermain-main bersama teman atau saudaranya seolah di rumah sendiri. Ini bisa
terjadi karena suasana kereta yang tidak terlalu penuh karena sudah lewat jam
orang berangkat kerja.
Di antara anak-anak yang bermain
di lantai kereta itu, ada tiga orang yang masih batita. Ya ampun…., ibunya
gimana sih. Koq anak-anaknya dibiarin di lantai begitu. Kulihat, di bangku
tidak jauh dari tempat anak-anak itu bermain, ada tiga orang ibu-ibu yang
masing-masing membawa kain gendongan di pundaknya. Mereka sedang duduk santai,
ngobrol dengan kupingnya dipasangi headset dan memegang HP di tangan. “Oh, itu
ibu mereka…” pikirku.
“Goblok lu, tolol, bego!! Masak
jagain adiknya aja kagak bisa!!” teriak salah seorang ibu ketika melihat salah
seorang anak batita ada yang tiba-tiba nyungsep karena laju kereta yang tidak
stabil. Hmm…., bahasa yang ‘indah’ untuk mengatai anak sendiri. Aku jadi ingat
waktu di stasiun ada juga ibu-ibu yang mengatai anaknya ‘monyet’ ketika sang
anak (yang juga masih sekitar satu tahun umurnya), tanpa sengaja menjatuhkan
sendalnya ke luar pagar station.
Pernah juga aku mendengar seorang
ibu muda yang kelihatannya sayang banget pada anaknya yang masih batita, tapi begitu
anaknya mau makan kertas yang dipegangnya, si ibu langsung berteriak, “Eh, awas
ya… nanti kalau dimakan, mama gaplok deh!” Wah..wah.. wah.., kekerasan dalam
berkomunikasi nih…, hehehe…..
Kembali ke suasana anak-anak yang
bermain di lantai kereta tadi ya…., eh ternyata, mereka sedang bernyanyi. Ketika
kuperhatikan lagi, nyanyian mereka ternyata lagu dangdut orang dewasa…., ketika
semakin kuperhatikan lagi…, ternyata aku mengenali salah seorang anak perempuan
kecil berambut keriting itu sebagai pengamen (umurnya kukira tidak lebih dari
lima tahun) yang sering mengamen dengan adiknya yang juga sama-sama kecilnya.
Ya ampuuun, jadi ini tadi
ternyata adalah keluarga pengamen yang sedang berlatih menyanyi. Kuarahkan
pandanganku pada ketiga ibu mereka yang berpenampilan gaya seperti orang yang
mau pergi jalan-jalan, tapi ternyata menyuruh anak-anaknya untuk mengamen di
atas kereta. Kenapa mereka harus menyuruh anak-anak itu untuk mengamen yang
kalau dilihat dari penampilan mereka, bahwa mengamen itu bukanlah suatu
keterpaksaan untuk sekedar bertahan hidup.
Hhhhh…………….., aku menghela nafas
panjang. Bagaimana anak-anak itu kelak dapat mengelak dari ‘cara hidup’ yang
serba keras bila sejak dini memang hanya cara berkomunikasi dan hidup keraslah
yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekatnya setiap hari.
Bahasa menunjukkan Bangsa,
menunjukkan Kualitas, menunjukkan Karakter, menunjukkan apa lagi ya….?! Yang
jelas memang aku merasa harus mengatakan WOW dan KOPROL berguling-guling karena
mendengar cara orang-orang seperti ini berkomunikasi dengan anak-anaknya.
Bogor, 26 Oktober 2012
(sudah koprol tiga kali)