Senin, 26 April 2010

Cukup satu jam saja


Memasuki Stasiun Bogor sudah ada KRL yang siap berangkat ke arah Jakarta di jalur 6. Tapi jangan ditanya bagaimana kondisinya, sebab saat itu kereta sudah amat sangat padat. Sebetulnya tujuanku tidak terlalu jauh, hanya dua stasiun saja dari Stasiun Bogor ini, jadi sebetulnya nggak masalah kereta penuh, tapi karena aku lagi capek, ya aku malas saja ikut berdesak-desakan. Toh aku tidak sedang diburu waktu. Jadi kuputuskan naik kereta di jalur 7 yang masih lengang. Masih banyak tempat duduk yang kosong.

“Kereta ini mogok neng, nggak jalan. Tapi kalau mau numpang duduk dan ngadem sebentar ya nggak apa-apa.” kata seorang Aki-aki begitu aku duduk di sebelahnya.

“Oh, yang ini nggak jalan Ki?” tanyaku.

“Iya, tadi diumumkan, makanya penumpangnya pada pindah ke jalur 6 itu.” katanya sambil menunjuk kereta yang penuh sesak, “Kalau saya sih nggak mau naik yang itu sebab sudah nggak kuat berdiri lama-lama.” sambungnya.

“Ya udah deh Ki, nggak apa-apa. Saya juga numpang duduk aja di sini sambil nunggu kereta yang lain.” jawabku.

Nggak lama kemudian, kereta di jalur 6 mulai bergerak dan jalan. Sekarang para calon penumpang dan pedagang asongan mulai memenuhi kereta yang kunaiki. Padahal kata si Aki-aki, kereta ini mogok. Koq semua pada naik ke sini? Biasanya pedagang asongan suka kasih tahu ke calon penumpang kalau ada kereta yang lagi mogok. Tapi, ya sutralah…, mungkin mereka juga sekedar ngadem dan numpang duduk kayak aku sekarang, pikirku.

Sementara di jalur 3 ada Kereta Pakuan yang juga mulai dipenuhi penumpang. Tetapi biarpun penuh dan harus berdiri, kalau naik kereta ini sih masih tetap nyaman, ada AC-nya. Sayang, harganya mahal dan nggak berhenti di semua stasiun. Sebetulnya aku juga bisa naik kereta itu sebab nanti di Stasiun tempatku turun, dia akan berhenti sebentar mengambil penumpang, tapi ya itu tadi, harganya mahal, tidak tergantung jarak, pokoknya sebelas ribu. Sedang Kereta Ekonomi yang kunaiki cuma seribu lima ratus, sesuai jarak yang kutuju.

Dari pengeras suara, Petugas Stasiun berkali-kali mengumumkan kalau Kereta Pakuan ini hanya akan berhenti di beberapa stasiun saja, termasuk di Pasar Minggu. Koq, Pasar Minggu berhenti ya…, biasanya Pasar Minggu nggak berhenti. Apa aku salah dengar?

“Oh, kereta itu berhenti di Pasar minggu juga ya…?” kata si Aki-aki yang duduk di sebelahku. Tuh kan, berarti tadi aku nggak salah dengar.

“Sepertinya iya Ki..., Aki mau ke Pasar Minggu?” tanyaku.

“Iya. Tapi saya nggak beli karcis, biarin aja, sudah tua ini…. Emang kalau ketangkep mau diapain…” katanya seolah bicara pada dirinya sendiri.

Aku bengong mendengarnya. Memang sih setiap penumpang harus beli karcis, tanpa karcis bakalan kena sangsi. Tapi kalau melihat penampilan si Aki-aki yang sudah renta begini, apa kondektur atau petugas lainnya tega mau nangkap si kakek dan memberinya sangsi?

“Saya mau pindah kereta aja neng, mau naik yang itu saja. Kan Pasar Minggu juga berhenti.” katanya. Aku mengangguk saja mengiyakan.

Si Akipun bangkit dan tertatih-tatih turun dari kereta. Melihat jalannya yang sudah amat susah begitu, aku jadi surprise sendiri mengingat kalau pendengarannya masih sangat bagus dan dapat menyerap informasi secara gamblang. Aku terus mengikutinya dengan mataku. Sesekali terhalang pedagang asongan dan calon penumpang.

Akhirnya aku melihat si Aki sampai juga di pintu Kereta Pakuan. Kulihat ada seseorang yang membantunya naik. Mereka berbicara sebentar, dan kemudian si Aki tidak terlihat mencari tempat duduk di kereta, tapi turun lagi di pintu seberang sana dan duduk di kursi stasiun. Aneh, kenapa si Aki tidak jadi naik kereta itu ya…

Karena tampaknya Kereta Pakuan itu sudah akan berangkat, orangpun berlari-larian menaikinya. Semua beradu cepat, siapa tahu masih ada tempat duduk yang kosong.

Kemudian aku melihat seorang wanita muda yang juga bergegas naik, dan saking terburu-burunya, kulihat ada sesuatu benda yang melompat dari tubuhnya. Seperti HP atau dompet gitu, aku kurang jelas. Maklum, agak jauh dan beberapa kali terhalang orang yang lalu-lalang.

Seorang pedagang asongan yang kebetulan sedang berdiri dekat pintu itu, langsung memungutnya dan tampak berlari dari luar kereta mengejar perempuan muda itu. Ajaib, di kondisi sekarang ini…, di tempat umum seperti ini, masih ada juga orang yang jujur. Seorang pedagang asongan lagi…, yang notabene pasti juga tidak dalam kondisi ‘berlebih.’ Alhamdulillah!

Kereta Pakuan sudah jalan. Si Aki terlihat duduk sendiri di kursi stasiun sambil mengamati sekitarnya. Sekarang aku juga mulai mengamati sekelilingku. Ada seorang anak muda yang lumayan tinggi, kurasa lebih dari 180 cm, dan cakep kayak ‘Kevin Viera’, berdiri tidak jauh dari tempat dudukku. Pakai kaos hitam, celana jeans biru tua, sepatu sport hitam putih dan tas ransel di dadanya. Di kedua kupingnya tergantung kabel headphone. Sementara di seberang tempat dudukku ada tiga orang gadis tanggung yang tampak berusaha menarik perhatian si ‘Kevin’. Mereka berbisik-bisik, cekikikan dan sering mencuri pandang padanya. Begitu juga dua orang cewek yang berdiri tidak jauh dari si ‘Kevin’.

Akhirnya, si ‘Kevin’ risih juga. Rupanya dia merasa kalau jadi pusat perhatian cewek-cewek tanggung di sekitar situ, dan memutuskan untuk berpindah tempat. Dia berjalan ke-arah gerbong depan dan berhenti di pintu kereta. Huu...kecewa deh cewek-cewek itu…, aku tersenyum sendiri. Ingat anak gadisku, apa dia juga seperti ini kalau lihat cowok cakep? Hm, mudah-mudahan tidak se-ekstrim itu.

Ada serombongan pengamen naik. Koq nggak ada yang kayak ‘Qhibil’-nya Changcutters ya? Kata anakku yang kalau sekolah tiap hari naik KRL ini, pengamennya rombongan yang itu-itu terus, ada yang mirip Qhibil dan lagunya itu-itu juga, cuma tiga lagu. Kali ini, pengamennya koq lain. Ada yang bawa Bass gede dan orangnya berambut gondrong sepunggung. Mungkin rombongan si Qhibil lagi ngapalin lagu baru sebab kemarin anakku cerita kalau temannya ada yang complaint ke para pengamen itu gara-gara lagunya itu-itu melulu. Pengamen yang ini lagi nyanyiin I’m Your’s-nya Jason Mraz. Wow… keren juga.

Tepat di depanku, berdiri sepasang sejoli. Tampaknya masih pacaran, sebab terlihat ceweknya sering bergelayut manja pada yang cowok, serta sesekali lengan si cowok nangkring di pundak ceweknya. Apa mereka nggak kegerahan ya…melekat erat satu sama lain, sedangkan cuaca begini panas dan keretapun tak ber-AC.

Teh poci yang dipegang si cewek tampak sudah habis, tinggal seonggok es batu di dalamnya, “Air…” katanya dengan nada manja.

Si cowok mengambil tasnya dan mengeluarkan sebotol air mineral yang kemudian dituang ke gelas teh poci ceweknya. Gentle sekali sikap cowok ini, selalu siap melayani permintaan ceweknya dengan mesra. Hm…., masih pacaran sih…

Tiba-tiba ada seorang gadis naik, dan wow….seluruh sorot mata penumpang tampak tertuju padanya. Para lelaki menatap dengan pandangan yang mungkin menyegarkan buat mereka. Sebab si gadis mngenakan baju putih dan celana yang super-super pendek warna putih, sehingga jelas sekali memamerkan paha mulusnya. Sebuah pemandangan yang agak aneh sebab tersaji di KRL yang seperti ini. Mungkin kalau dia naik-turun mobil pribadi dan jalan-jalan di Mall, orang tidak akan melemparkan tatapan seperti itu. Suatu penempatan yang agak kurang tepat, menurutku. Naudzubillah, mudah-mudahan anak gadisku tidak seperti itu.

Akhirnya kereta mulai bergerak, tapi koq mundur…? Terus maju sedikit, berhenti lagi. Mundur lagi. Maju lagi, terus berhenti lagi. Oh, mungkin masih dicoba, kan kata si Aki tadi, kereta ini sebetulnya lagi mogok. Aku melihat arlojiku, ternyata sudah hampir satu jam aku duduk di sini dan kereta belum juga jalan.

Tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki berjenggot, bertopi hitam, berkaca-mata hitam dan berjaket jeans yang baru aja naik. Umurnya sekitar empat puluhan. Tubuhnya tinggi besar, dengan wajah yang lebar mirip-mirip buronan yang disiarkan di TV. Imajinasiku langsung bereaksi, jangan-jangan dia teroris yang sedang dicari-cari polisi? Aah,…aku cepat-cepat mengusir sikap ‘parno’-ku. Ini pasti gara-gara kepanasan dan capek nungguin kereta yang nggak jalan-jalan.

Beruntung, dibatas limit jenuh, tiba-tiba kereta mulai bergerak lagi. Maju. Rupanya kali ini benar-benar jalan. Alhamdulillah, akhirnya jalan juga…. Sungguh satu jam yang penuh cerita. Kutelpon suamiku minta dijemput di stasiun tujuan.

--sampai di sini dulu—

Bogor, awal Agustus 2009.

LAMPU MATI

Barusan lampu mati, untung ada bulan yang terang bersinar… sehingga malam tak begitu pekat. Di depan rumah banyak anak-anak yang bermain kejar-kejaran. Ramai sekali… membawa anganku melayang ke masa kecilku dulu.

Ketika itu pesawat televisi masih amat sangat langka, hanya orang-orang kaya saja yang sudah punya, maka kami, anak-anak kecil hampir setiap malam selalu ramai bermain di luar rumah. Sedang para orangtuapun ngobrol akrab dengan para tetangga.

Aku ingat, suatu saat, ketika kami para anak-anak sedang bermain ular naga, aku mendengar salah seorang bapak-bapak yang nyeletuk, “Besok tombokin gambar ular aja…., tuh anak-anak sedang main ular-ularan…”

“Wah, bener itu….jangan-jangan besok yang keluar gambar ular…” timpal seorang bapak-bapak yang lain. Aku tersenyum sendiri membayangkan masa-masa itu…

Saat itu, memang perjudian semacam itu masih marak dan belum dilarang. Terlebih lagi, pendalaman agama yang agak kurang. Sehingga urusan tombok-menombok itu seperti sudah amat sangat biasa, dan hampir dilakukan oleh semua orang.

Kalau sekarang, melihat anak-anak bermain di luar rumah selewat maghrib, adalah hal yang sangat langka, kecuali ada lampu mati seperti sekarang ini. Yang seperti inipun tidak berlaku buat semua tempat, Hanya kebetulan saja karena tempat tinggalku adalah Sebuah Perumahan yang terletak di Pinggiran Kota maka hal ini masih bisa kulihat.

Bagi yang tinggal di kota-kota besar, yah… mungkin masih bisa melihat lewat televisi aja, sebab bisa dipastikan hal yang seperti ini adalah suguhan yang sangat mahal. Mengingat lahan dan suasana lingkungan yang sudah tidak lagi mendukung.

Para orangtuapun sekarang sudah tidak ada lagi yang berkumpul tiap malam untuk sekedar ngobrol atau tuker-tukeran kode buntut seperti dulu, karena sekarang segala bentuk perjudian sudah dilarang. Mereka lebih asik nonton sinetron di TV ataupun main internet, chatting.

Anak-anakku sendiri tidak ikutan bermain bersama anak-anak itu. Yang besar sibuk dengan HP-nya, sedang yang kecil sudah berangkat tidur karena pasti kecapek’an sudah main seharian. Aku sendiri…sedang berusaha menangkap kembali aura romantis dari terangnya bulan malam ini.

Selamat malam semuanya, have a nice dream.

Bogor, 26 April 2010