Kamis, 29 November 2012

Udin dan Wuri, Rrruarrrr Biasa






Tentang dua orang anak manusia ini, aku dulu juga sudah pernah menulisnya. Waktu itu aku begitu kagum dengan kisah cinta mereka yang kudapat hanya dari cerita beberapa teman dan juga dari katanya si ini katanya si itu. Dulu cerita tentang mereka kutulis dengan judul Cupid Bekerja Dengan Rahasia.

Kuanggap kisah cinta mereka begitu rrruarrrr biasa, sehingga aku tidak bisa tidur kalau belum menuangkannya dari dalam kepalaku. Sebuah kisah cinta yang bukan bermula dari jatuh cinta pada pandangan pertama, bukan pula cinta buta menggebu-gebu yang dapat melahirkan kalimat ‘sampai tidak bisa bernafas tanpamu’. Ini hanyalah kisah cinta sederhana yang tumbuh karena ketulusan hati, dari kebutuhan saling melindungi, tetapi hasilnya adalah cinta gila yang rrruarrrr biasa.

Kemarin, nyaris seharian aku bersama mereka yang kebetulan sedang datang ke Indonesia untuk mengambil data di beberapa kota (sekalian liburan, katanya) guna kuliahnya di University of Hull, Negara Ratu Elizabeth sana. Nah, selama makan siang (sampai waktunya makan malam juga lewat), sambil ngobrolin apa saja mulai dari nostalgia sampai hal-hal terkini itulah aku benar-benar melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa apa yang selama ini kudengar tentang kisah mereka itu memang begitulah adanya. Malah yang kudengar hanya lewat cerita saja rasanya menjadi kurang lengkap, padahal biasanya yang namanya gossip itu kan lebay ya…., hehehe…

Mulanya waktu aku dan Iis temanku masih berada di dalam taxi yang baru akan merapat ke Plaza Senayan, kami melihat pemandangan di sebelah kiri yang selama ini sudah tidak asing lagi di benakku, karena aku memang belum pernah melihat mereka dalam keadaan berdua secara langsung. Yaitu pemandangan Udin yang sedang mendorong kursi roda Wuri dengan penuh kasih. (Cerita mereka bermula ketika aku sudah lulus dan tidak pernah datang lagi ke kampus)

Aku dan temanku langsung meminta sopir taxi berhenti dan kamipun melompat keluar, mengejar mereka berdua. Tadinya kami mau mengikuti saja mereka dari belakang, tapi rupanya mereka mendengar suara ribut kami sehingga merekapun menoleh.

Haaa….,  wajah-wajah surprise kami karena rindu yang menahun, pasti asyik sekali kalau ada yang mengabadikan. Dua puluh tahun lebih tak pernah bersua dan hanya berbincang lewat dunia maya. Pelukan dan ciuman serasa lebih panas dari teriknya matahari Jakarta di atas kami saat itu. Hhhh….. lepasssss………

Setelah puas saling menatap, kamipun meneruskan langkah memasuki Plaza Senayan yang sejuk karena AC dari aliran listrik sekian ribu watt yang mungkin juga ada yang menunggak ke PLN, sehingga imbasnya rumahku yang tak ber AC harus siap sedia dicabut kalau telat membayar rekening tiap bulannya,… hehehe….

Kita kembali pada Udin dan Wuri yang selalu membuatku kagum pada cinta mereka.  Setelah mencari-cari tempat yang nyaman di foodcourt lantai tiga, kamipun membooking sebuah meja di depan ‘Masakan Padang’ karena kami ingin makan sayuran. Dari sini respectku pada mereka berdua semakin bertambah.

Mulai mengambil makanan nih, Udin sudah langsung mengambilkan apa saja yang akan menjadi santap siang Wuri tanpa menanyakan mau makan apa, minum apa? Kemudian segelas es buah yang mereka nikmati berdua. Sebotol air mineral yang mereka nikmati berdua. Se cup es krim yang tadinya dinikmati sendiri oleh Wuri akhirnya disikat pula oleh Udin.

Sekarang tentang bahan pembicaraan nih, betapa kudengar mereka saling melengkapi setiap kalimat yang keluar dari bibir masing-masing. Begitu juga halnya tentang prinsip, visi, dan isi otak mereka berdua yang kurasa benar-benar sama.

Tentu saja hal ini membuatku terkagum-kagum. Amazing, kata Tukul. Begitu kompaknya mereka, dua kepala dan dua jiwa yang berbeda, bisa menjadi satu. Ketulusan itu benar-benar tampak diantara mereka karena keduanya adalah pemegang prinsip putih adalah putih, hitam adalah hitam, tidak ada dalam kamus mereka yang namanya abu-abu. Semua harus terang benderang dan berjalan di relnya masing-masing.

Tulisan ini kubuat sebagai ucapan selamat jalan buat mereka berdua yang akan segera kembali ke Inggris, tempat Wuri masih harus menyelesaikan 2 tahun lagi masa studynya di sana. Aku tidak tahu kapan kami dapat bertemu lagi, walaupun dalam asa selalu terucap kata, semoga masih ada umur kita untuk bertemu lagi. Terima kasih untuk waktu yang indah kemarin, Udin dan Wuri. Love you.


Bogor, 30 November 2012

Selasa, 27 November 2012

Wanita Keren



Seseorang memintaku menulis dengan judul ‘Wanita Keren’ kalau aku akan menulis lagi. Terus terang permintaan yang agak berat, sebab semua juga pasti tahu kalau konotasi yang dimaksud dengan ‘Wanita Keren’ di sini pastilah bukan dalam hal penampilannya. Bukan karena tongkrongannya. Bukan pula dalam hal indah dipandang mata lahiriah. Pasti yang dimaksud adalah indah dipandang mata bathiniah.

Nah sekarang yang jadi masalah adalah aku belum menemukan obyek untuk bahan tulisanku itu. Sebab biasanya ideku untuk menulis kan spontan saja karena melihat sesuatu atau merasakan hal yang sempat menggelitik hatiku. Makanya aku jadi harus lebih teliti lagi dalam mengamati suasana di sekelilingku.

Tadi waktu aku berangkat kerja, aku sengaja naik Commuter Line supaya bisa mengamati banyak wanita di gerbong khusus wanita, mungkin bisa kudapatkan sesuatu yang dapat diolah menjadi tulisan dari  sana, pikirku.  Padahal biasanya kalau sedang tidak diburu waktu seperti hari ini, aku sering juga menunggu kereta ekonomi biar lebih irit.

Suasana kereta ketika aku naik masih agak lengang, jadi aku masih bisa mendapatkan tempat duduk dan menikmati kenyamanan berkereta api. Ini karena jalur rel dari Bogor sampai Bojonggede tempatku masih belum dapat dioperasikan, sehingga setiap naik kereta, kesempatan untuk mendapatkan tempat duduk masih lumayan besar. (Selalu ada nilai plus dari kejadian negative yang terjadi, selalu ada keuntungan dari pihak tertentu dari kerugian beberapa pihak yang lainnya. Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa).

Aku mulai mengamati setiap penumpang di gerbong wanita dengan seksama. Kuperhatikan mulai dari penampilannya sampai  tingkah lakunya selama di kereta. Penampilan mereka ternyata amat beragam, walaupun ternyata dari hasil pengamatanku, sebagian besar penumpang wanita yang berpergian ini  hampir seluruhnya memakai celana panjang  dengan setelan blouse/kemeja/kaos, dan lain-lain. Ada juga sih yang terlihat memakai rok, tapi dari sejauh mataku dapat menangkap para penumpang di sekitarku ini, setelah kuhitung, ternyata dari setiap sekitar empat  puluh orang lebih itu hanya satu yang memakai rok. Kalau alas kaki atau sepatu bertumit sih masih lumayan banyak, padahal kalau sekitar satu jam berdiri di kereta dengan alas kaki berhak tinggi begitu, apa kakinya tidak capek ya? Apa pembuluh darah di ujung kakinya tidak pecah karena harus menahan bobot tubuh yang lumayan beratnya itu ya?

Ada seorang wanita cantik dengan make up yang lengkap, rambut tersisir rapi,  dandanan busana yang juga rapi, serta sepatu berhak 7 cm yang elegan duduk di arah seberang tidak jauh dari tempatku. Kurasa untuk penampilan, boleh juga nih wanita ini masuk nominasiku. Usianya kurasa masih sekitar tiga puluh tahunan. Masih relative muda dan segar.

Tetapi, penilaianku terhadap wanita ini jadi berkurang ketika di sebuah Stasiun ada penumpang ibu-ibu yang menggendong anak kecil naik dan melintas di depan wanita tersebut tanpa coba ditawari tempat duduknya. Coba kalau wanita cantik itu berdiri dan menawarkan tempat duduknya pada ibu-ibu tadi, pastilah dia akan masuk dalam kategori ‘Wanita Keren’ itu, karena ternyata hatinya juga secantik wajahnya.

Gagal mendapatkan obyek di perjalanan berangkat, kucoba lagi untuk mencari di perjalanan pulangku dengan kereta Commuter Line juga. Di gerbong yang juga khusus untuk para wanita saja.

Suasana kereta sudah agak penuh, tapi tidak terlalu padat. Aku memutar pandanganku ke segala arah. Kulihat ada ibu-ibu yang sudah cukup umur duduk di lantai kereta bersandar di salah satu pintu kereta (yang sisi itu tidak akan terbuka sampai nanti kalau sudah tiba di Stasiun Depok Lama), dan di kursi kereta yang empuk duduklah dengan manisnya anak-anak gadis ataupun wanita-wanita yang umurnya jauh lebih muda dari si ibu. Mereka semua asyik dengan HP-nya masing-masing.

Aaah,….. coreeettttt!!! Semua wanita di gerbong wanita saat itu tidak ada lagi yang masuk dalam daftarku. Aku juga sengaja mengambil posisi berdiri di depan anak-anak gadis umur belasan tahun. Ingin tahu reaksi mereka kalau melihatku, ibu-ibu yang berdiri di depan mereka. Apakah mereka akan menawarkan tempat duduknya padaku?

Hehehe…, ternyata jawabnya adalah ‘tidak’. Ya, mereka tetap dengan asyiknya bergumul dengan HP-nya masing-masing, tidak perduli orang di sekitarnya. Malah yang sedang berdiripun tampaknya siap berebut denganku kalau  misalnya ada tempat duduk yang kososng di depanku,  hehehe…. Aku sempat juga melihat ulang penampilan diriku sendiri. Apakah penampilanku yang ‘beda’ ini membuat orang lain, khususnya anak muda tidak mau menawarkan tempat duduknya padaku yang pastilah seumuran dengan ibu mereka di rumah? Apakah aku yang salah dengan penampilan seperti ini?

Akhirnya sampai aku turun dari kereta, aku belum dapat juga tokoh ‘Wanita Keren’ untuk bahan tulisanku. Ya bagaimana lagi, biarlah ini akan kujadikan PR saja dulu. Semoga tidak lama lagi aku dapat menemukan tokoh, ide maupun sesuatu  tentang ‘Wanita Keren’ itu. Kan aku setiap hari akan selalu bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter, masak dari sekian banyak yang kujumpai nanti tidak akan kutemukan sosok itu?


Bogor, 27 November 2012
(Buat Yang Pesan, sorry… belum dapat kupenuhi keinginanmu)

Senin, 26 November 2012

Kenangan Cinta Seorang Sahabat



Kemarin aku mengunjungi seorang sahabat yang baru pulang dari tanah suci. Banyak cerita yang dibaginya denganku selama di tanah suci, dan di sela-sela ceritanya itu, dia selalu menyebut almarhum suaminya yang sudah meninggal kira-kira satu setengah tahun yang lalu.

Dari setiap kata dan kalimatnya ketika menyebut nama almarhum suaminya, tampak sekali kalau cintanya pada almarhum begitu dalam. Di antara kata-katanya itu, terkadang aku  melihat matanya yang agak meredup dan sedikit berkaca-kaca.

Beberapa kali aku mendengarnya menceritakan saat-saat terakhirnya bersama almarhum, yang terus terang aku tidak berani banyak berkomentar. Aku takut akan membuatnya kembali terluka karena kata-kataku yang tidak tepat. Aku selalu mendengarkan saja ceritanya dengan rasa haru dan kagum karena dia masih menyimpan kenangan dan besarnya rasa cinta yang tidak berubah sampai saat ini.

Dia tidak pernah mengatakan bahwa dia tidak akan dapat hidup tanpa almarhum suaminya itu seperti cerita-cerita di sinetron TV, sebab dibalik kelembutannya, ternyata dia adalah sosok yang sangat tegar dan kuat untuk menerima cobaan dari Allah dalam bentuk kehilangan suami di usianya yang relative masih muda seperti ini. Dia tetap dapat hidup dan melanjutkan melangkah.
“Saya masih kurang lama merawat almarhum…” katanya setiap ada yang bercanda untuk segera memulai hari baru dengan membuka diri.
“Selama ini saya sering didatangi dalam mimpi, tapi dia tidak pernah berbicara sepatah katapun. Hanya saya yang selalu mengajaknya berbincang, walaupun dia tetap diam. Tapi waktu di Mekah kemarin, dia kembali datang dalam mimpi saya dan kali ini dia berbicara pada saya….” katanya dengan mata menerawang.

Saat ini sahabatku itu bekerja di kantor tempat almarhum suaminya dulu bekerja dan bercerita kalau waktu pertama kali datang ke kantor itu untuk bekerja, isinya adalah tangis-tangisan dengan  rekan kerja suaminya yang sudah dikenalnya semua.
“Tapi setelah itu sih, sudah mulai biasa… Bahkan di lantai yang sama dengan tempat saya bekerja, ada seorang teman yang namanya sama dengan almarhum. Bayangkan saya yang harus setiap saat memanggil namanya….., belum lagi ada juga yang suara bersinnya itu mirip banget dengan almarhum.”
“Saya rasa Allah yang melakukan semua ini untuk saya supaya saya harus tetap kuat dan terbiasa dengan keadaan tanpa almarhum.” katanya.

“Ada kalanya saya merasa hampa. Saya tidak bersemangat lagi hidup di Jakarta ini, saya ingin pulang saja ke kampung halaman.” katanya kemarin. Sahabatku ini satu daerah denganku, bukan asli Jakarta.

Aku bingung harus menjawab apa. Sebab aku dapat membayangkan rasa sepinya itu, ditinggal suami sebelum sempat dikaruniai momongan, dan seorang diri tinggal di rantau setelah sekian lama kemana-mana selalu berdua dengan suami. Cintanya masih utuh belum terbagi.

“Aku pulang dulu ya, hati-hati di rumah cuma berdua, jaga kesehatan dan keep strong.” kataku ketika hari sudah mulai malam dan akupun harus kembali pulang. Sahabatku ini hanya berdua dengan pembantunya yang katanya akhir bulan juga mau pamit pulang karena mau menikah.
“Nggak nginep aja?” tanyanya.
“Lain kali deh…, cucianku menunggu.” jawabku.

Sepanjang perjalanan pulang aku masih saja membayangkan wajahnya ketika menyebut nama almarhum suaminya. Betapa wajah itu masih begitu menyiratkan rasa cinta.
Hhh…., aku menghela nafas panjang. Tetaplah kuat sahabat, tataplah dunia dengan senyuman. Semua kerabat dan handai taulan yang kau sayang selalu ada di sisimu. Kami selalu bersamamu.


Bogor, 26 November 2012

Jumat, 23 November 2012

Antara Kasihan dan Takut




Waktu aku harus menemui seseorang di Lebak Bulus, aku kan naik kereta dulu ke Depok, setelah itu baru naik Deborah menuju Lebak Bulus. Bis kecil itu masih kosong waktu aku naik, sampai aku bingung sendiri mau milih duduk di mana. (Biasa, manusia nggak ada puasnya. Bis penuh bingung cari kursi kosong, giliran bis kosong bingung milih mau duduk di mana). Akhirnya aku milih duduk di dekat pintu  depan supaya keluarnya nanti nggak susah, pikirku.

Ketika bis sudah dalam kondisi 90% penuh, bispun mulai berjalan keluar terminal. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki tanggung yang (tampaknya, karena aku nggak menengok) masuk dari pintu belakang.
“Permisi bapak sopir, selamat siang. Selamat siang juga pada para penumpang deh…. Saya ditugaskan oleh Allah…., dst… dst… “ aku nggak nyimak lagi.
Tapi begitu botol plastic bekas air mineral yang diisi beras itu mulai digoyang, aku menoleh. Habis, bunyinya berisik sih, bukan berirama gitu. Jadi, aku yang nggak ngerti music ini makin risih aja mendengarnya.
“Permisi deh,…  bapak ibu sekalian deh…, saya anak tidak punya dan cacat ingin mencari nafkah deh…. Allah juga sayang, Allah juga bapak, Allah juga saudara, Allah juga…. (entah apa lagi, aku lupa).  Hanya orang kaya yang sombong deh, yang  pelit deh…. Nanti mati juga tidak dibawa hartanya deh….” Wadoooh……, kalimatnya dalam lagu buatannya sendiri itu bener-bener nggak nyambung blas dan nggak enak di dengar banget deh. Meletakkan kata ’deh’nya sungguh maksa banget.

Eh, setelah nyanyi yang nggak karuan itu, rupa-rupanya dia juga ingin berceramah yang lagi-lagi kalimatnya nggak jelas dan nggak nyambung sama sekali. Apalagi waktu dia sempat menyinggung kata-kata ‘cacat’ lagi dalam kalimatnya. Kutengok, ternyata tangan kanannya memang agak mengecil dibanding yang kiri, dan ada bekas luka yang belum kering benar di situ.

Sebetulnya kejadian hari itu tidak terlalu membekas di kepalaku bila hal ini tidak terulang lagi keesokan harinya di atas kendaraan yang berbeda. Aku sampai kaget dan spontan menengok ke belakang ketika aku yang duduk di depan (aku naik angkot dari Tanjung Barat ke arah Kampung Rambutan), mendengar kalimat awal yang sama, “Selamat siang bapak sopir. Selamat Siang juga pada para penumpang deh……”

Ternyata memang anak yang sama dengan yang kemarin di atas bis jurusan Lebak Bulus. Lagunya juga sama dengan yang kemarin. Pakaian yang dipakainya juga masih sama seperti yang kemarin.

Ketika aku turun dari angkot danmenyebrang jalan melewati semacam taman, tiba-tiba kudengar suara anak itu di belakangku.
“Orang-orang kaya memang pelit deh. Uang kan nggak dibawa mati deh…., dst……dst….” katanya. Entah ngomong dengan siapa atau ngomong sendiri aku tidak berani menengok ke belakang. Takut. Aku mempercepat langkahku supaya segera keluar dari taman  dan sampai di seberang. Siapa yang tahu isi hati anak-anak seperti ini, yang kalau dilihat dari wajahnya  kurasa ada sedikit tanda-tanda agak kurang waras…. Atau low IQ? Down Sindrom? Pokoknya campur-campur deh…..

Sebetulnya aku kasihan pada anak-anak seperti ini, yang pasti berusaha sendiri untuk mencari uang tanpa bimbingan. Mungkin kalau sesama pengamen atau anak jalanan yang lain ada mengajarinya membuat lagu yang agak sedikit lebih bagus liriknya, pasti yang mendengarnya juga nggak sebel-sebel amat. Tapi aku juga agak takut, karena anak-anak yang seperti ini tiba-tiba saja dapat berubah jadi anarkhis kalau lagi marah. Gimana dong…. (tapiiiiiii….., untuk catatan nih, bila saja aku memang berada dalam posisi ‘harus’ berinteraksi langsung dengan anak-anak semacam ini, aku yakin kalau aku dapat membuang rasa takutku pada mereka dan dapat lebih daripada sekedar ber-empathi saja ….)


Bogor, 24 November 2012
Hujan deressss

Senin, 12 November 2012

Bahaya Yang Mengintai



Beberapa hari ini, perjalananku ngubek-ngubek kota Jakarta dan sekitarnya membawa oleh-oleh cerita dan pengalaman yang tidak enak. Banyak kejadian di jalan raya yang menakutkan, salah satunya adalah cerita tentang kecelakaan.

Waktu aku harus menemui seseorang di Jalan Raya Narogong Km 19, Bantar Gebang Bekasi beberapa hari lalu, angkotku macet beberapa kilo sebelum  RS. MH Thamrin. Namanya juga angkot, dalam keadaan macet begitu tetap saja berusaha maju ke depan dengan segala cara…., termasuk jalan di wilayah arus sebaliknya, atau sebelah kanan dari antrian mobil-mobil yang sebagian besar adalah mobil-mobil kelas berat sebangsa truk tronton dan teman-temannya.

Ketika akhirnya angkot yang kunaiki terpaksa harus berhenti karena sudah tidak dapat maju lagi. Aku melihat di tengah jalan ada bangku yang ditaruhnya pas di tengah-tengah, dan kerumunan orang-orang yang sepertinya satu kampung ngumpul semua di sana. Kebetulan aku duduk di bangku bagian kanan di belakang sopir angkot, jadi aku bisa melihat ke depan dengan jelas.

Ternyata ada kecelakaan motor yang dihajar truk gede pengangkut tanah. Aku sempat melihat beberapa orang tampak mengangkat kantong mayat yang terlihat sangat berat ke pinggir jalan. Inna lillahi wa inna illaihi roji’un, korbannya tewas seketika. Setelah itu, bangku yang tadi berada di tengah jalan dipinggirkan dan jalananpun dibuka kembali. Kerumunan orang-orangpun menipis. Mereka minggir semua.

Angkot yang kutumpangipun melanjutkan perjalanan, dan aku melihat di tepi sebelah kanan jalan ada seonggok ‘bekas’ helm berwarna putih yang sudah berantakan nyaris tidak berbentuk serta genangan darah yang  cukup lebar dan terlihat menyembul dari beberapa lembar kardus/kartoon yang tampaknya tidak dapat menutupi semuanya. Astagfirullah al adzim.

Ketika aku sampai di tempat tujuan dan terlambat beberapa menit dari waktu yang dijanjikan, aku sempat meminta maaf dan bercerita kalau tadi jalanan sempat macet karena ada kecelakaan beberapa kilo meter dari situ. Si Bapak yang kujumpai ini menghela nafas panjang.
“Motor dengan apa?” tanyanya.
“Motor dihajar truk tanah Pak…” jawabku.
“Yah, itulah…. Saya sering ngeri melihat para pengendara motor yang seolah punya sembilan nyawa kalau di jalanan. Apalagi usaha saya  berhubungan dengan kendaraan besar-besar seperti ini. Jadi serba salah menghadapinya.” katanya sambil bergidik ngeri. Si bapak yang adalah pengusaha penyewaan kendaraan gede-gede ini orangnya sangat baik dan ramah sekali. Padahal dia pengusaha besar dan lahan tempat usahanya ini  luas sekali.
“Betul pak, kalau di jalanan kan biarpun yang salah motornya, tetap aja mobilnya yang salah dan kalah.” Jawabku. Si bapak mengangguk-angguk.

Ketika aku bercerita pada teman kerjaku, dia juga mengatakan hal yang kurang lebih sama, yaitu ‘para pengendara motor yang tidak sayang nyawanya sendiri’
“Orang-orang yang naik motor itu harusnya jangan sembarangan aja nyerobot sana nyerobot sini kalau ada mobil-mobil gede kayak gitu. Mobil-mobil gede itu kan posisi sopirnya di atas, spion paling-paling cuma bisa lihat mobil ataupun motor dari jauh. Kalau sudah dekat, mana kelihatan lagi… Nanti kalau kesenggol rodanya, mobilnya yang disalahin…” katanya. Iya juga sih, pikirku.

Waktu dalam perjalanan pulang dari bertemu si bapak tadi, aku kan kembali naik angkot dengan arah sebaliknya. Ternyata sopir dan kenek/temannya yang duduk di depan masih pada ngobrolin kecelakaan tadi. Karena penasaran, aku jadi ikutan nimbrung dalam pembicaraan mereka.
“Tadi tuh korbannya laki-laki atau perempuan sih mas?” tanyaku.
“Laki-laki bu, saya sih nggak lihat mukanya sebab sudah ditutup kardus, tapi saya sempat lihat badannya dan  pakai celana tanggung, kakinya kaki orang laki-laki. Ibu tadi lihat juga ya…” kata sopir angkotnya.
“Saya cuma lihat dari jauh pas orang-orang ngangkat kantong mayatnya ke pinggir.” jawabku.
(Kalimat di bawah kalimat ini  di sensor ya…. Tuiiiiinnnggggggg, jangan dibaca buat yang nggak kuat. Lewati saja sampai kalimat selanjutnya)
“Itu kondisinya ngeri banget bu, jadi posisinya miring masih dalam keadaan pegang stir motor dan kelindes bareng sama motornya juga. Jadi mayatnya nyatu sama motornya bu…” katanya. Astagfirullah al adzim, ngeri banget.

Besoknya, tidak jauh dari kantor tempat kerjaku, ketika aku akan menyebrang jalan, tiba-tiba “Gubrrraakkkkk!!!”
“Astaghfirullah, apa itu…” aku menengok kea rah suara tadi.
Ternyata ada motor dan motor yang saling beradu. Entah bagaimana asalnya sebab ini kan jalur satu arah. (Tapi memang jalanan di bawah jembatan layang di sekitar Stasiun Tebet ini termasuk parah, motor-motor saling berseliweran memotong arus, satu ke sana satu ke mari satu lagi ke situ…., byuh, ruwet deh pokoknya)
Orang-orang berlarian menolong, sebab ternyata salah satunya pengendaranya cewek dan membonceng seorang anak laki-laki yang sempat terlempar tapi untungnya anak itu masih bisa bangun sendiri dan menghampiri si cewek yang tidak bisa bangun karena tampaknya kakinya sakit.

Siangnya, ketika aku pulang dari bertemu seseorang di Asrama Polisi di Cipinang, eh,… pas posisi beberapa kendaraan masih di atas rel, tiba-tiba sirene palang pintu berbunyi, sedangkan kendaraan terdepan masih menunggu jeda mobil yang berjalan lurus yang tidak mau dipotong lajunya.
Sopir angkot yang kutumpangi berteriak-teriak, “Hoeeee…., maju! Maju! Di belakang ada kereta mau lewat… Maju! Maju Buu!!!!” teriaknya pada mobil sedan di sebelah kanan angkot.
Kutengok, si ibu yang diteriaki oleh sopir angkotku sedang santai nyupir sambil bertelepon dengan hapenya. Baguuussss….., karena asyik bertelepon, jadinya tidak dengar, tidak tau, tidak sadar atau tidak perduli  kalau ada sirene palang pintu kereta berbunyi dan beberapa mobil di belakangnya masih berada di atas rel siap dihantam maut.

Benar-benar kehidupan dan aktifitas yang menegangkan bila sering berada di jalanan. Setiap saat dapat terjadi hal yang tidak kita inginkan. So, jangan salahkan sopir-sopir angkutan umum yang bertemperamen keras dan kasar  yang seolah tidak punya hati itu, karena setiap saat mereka bergaul dengan maut.


Bogor, 12 November 2012
(kagum pada mereka yang setiap saat berada di jalanan dan tidak jadi gila)