Selasa, 15 Januari 2013

Be-te



Kemarin siang, setelah satu jam lamanya nongkrong di stasiun tanpa ada kepastian datangnya kereta yang akan kunaiki ke Jakarta, akhirnya terdengar juga pengumuman dari pengeras suara stasiun yang kurang lebih bunyinya begini, “Kepada para penumpang Tujuan Jakarta ataupun Bogor, kami mohon maaf karena untuk sementara ini belum ada kereta yang dapat diberangkatkan dari Stasiun Bogor ke a rah Jakarta, maupun dari Stasiun UI ke arah Bogor karena sedang ada demo mahasiswa yang menyabotase rel di antara Stasiun UI dan Stasiun Pondok Cina sehingga tidak dapat dilalui oleh kereta.”

Hadew! Apa-apain sih ini?!
Aku bukan melarang mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdemo yang katanya mereka sedang memperjuangkan nasib para pedagang dan pemilik kios-kios yang berada di sekitar Stasiun, tapi aku justru menyayangkan cara mereka menyabotase fasilitas umum sehingga merugikan atau mengabaikan kepentingan masyarakat yang lain yang menurutku sungguh bukan tindakan yang wise.

Semua demo-demo ini bermula ketika pihak PT KAI mengadakan perubahan besar-besaran terhadap penampakan seluruh Stasiun KRL sepanjang Bogor ke Jakarta (Aku tidak tahu apakah stasiun-stasiun dari Bekasi dan tangerang juga mengalami hal yang sama), yaitu membersihkan semua Stasiun dari kios-kios dan pedagang asongan yang ada di sekitar Stasiun. Semua yang semula seperti pasar kecil di dalam stasiun, sekarang jadi plong, terang, legaaa….

Sebetulnya kasihan juga para pedagang asongan dan kios-kios yang sudah sekian tahun menggantungkan hidup dari sini harus di usir begitu saja, sebab kenyataannya memang para pedagang itu amat sangat membantu para penumpang, terlebih kaum ibu yang pulang kerja sudah malam, sedangkan kewajiban sebagai ibu rumah tangga juga harus tetap dipenuhi yaitu menyediakan hidangan untuk keluarganya, mereka jadi tidak perlu repot-repot pergi ke pasar lebih dulu sebab di stasiun semua kebutuhan sudah ada (mulai dari bumbu, sayuran basah/mentah sampai ayam potong). Mereka juga menjual dengan harga yang bersaing dengan pasar tradisional, atau dengan kata lain : murah. Tapi di pihak lain, ketika stasiun mulai membongkar kios-kios itu, pemandangan yang segar, bersih dan tertata mulai tampak menyenangkan juga.

Nah, ketika acara gusur-menggusur pedagang dan kios-kios ini akan sampai di Stasiun UI, terjadilah demo dari para mahasiswa yang tidak ingin sarana kebutuhan mereka (seperti warnet, fotocopy, dan lain-lain) ini diratakan dengan tanah, yang mana dalam konteks lain mereka juga ingin membela para pedagang ini dari penggusuran pihak PT KAI yang dianggap sewenang-wenang. Aku sempat melihat beberapa kertas bertulisan “Kami Bukan PKL” yang tertempel di kios-kios di Stasiun UI yang belum juga dibongkar ketika seluruh Stasiun yang lain sudah melaksanakan pembongkaran.

Yang agak dipertanyakan adalah kenapa demo itu hanya dilakukan saat-saat pembongkaran untuk wilayah  Stasiun UI saja, kenapa tidak dilakukan pada saat rencana itu baru dimulai yaitu ketika PT KAI mulai menggusur kios-kios dari Stasiun yang lain? Kan kesannya jadi tidak fair dan tidak adil untuk pedagang yang lain sedangkan kondisi seluruh pedagang itu juga sama? Mereka sama-sama membayar untuk sewa kios dan sama-sama tidak mendapatkan ganti rugi apapun.

Dalam hal ini permasalahannya sudah sangat kompleks, sudah terlalu lama kondisi kios-kios itu berada di sana dan itu semua adalah ulah oknum petugas yang mengkomersialkan area stasiun sehingga menjadi kumuh seperti kondisi terakhir, yang sudah tentu uang sewa kios itu tidaklah masuk ke dalam kas Negara.

Masyarakat kita juga begitu, budaya selalu ingin dilayani selalu saja mengedepan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Budaya ingin dilayani ini tercermin dari adanya para pedagang asongan yang datang menghampiri pembeli. Tidak perlu bersusah payah berjalan sekian meter ke toko tertentu atau ke pasar untuk membeli kebutuhannya, semua disorongkan tepat sampai ke depan hidung pembeli.

Terus terang selama ini aku juga menikmati semua kemudahan itu, sekedar membeli tissue ataupun permen saja tidak mau berjalan, tapi diam di tempat sambil menunggu pedagang asongan datang menghampiri. Malas! Sehingga ketika semua itu tidak ada, sempat terkaget-kaget juga, harus mencari-cari dulu, di mana tempat terdekat untuk membeli semua kebutuhan itu.

Untuk melakukan perubahan dari yang sudah ada menjadi hal yang lain, selalu ada yang harus dikorbankan, dan sayangnya sekali lagi memang harus masyarakat kecillah yang menjadi korban kondisi ini. Kondisi oknum-oknum yang korup yang menyalah gunakan kekuasaan dan akhirnya menyengsarakan masyarakat. Aturan dibuat sendiri dengan imbalan sekian rupiah yang ujungnya juga tidak bertanggung jawab.

Jadi, kalau memang mahasiswa itu mau berdemo, demolah instansi atau oknumnya yang membuat semua ini terjadi, bukan menghambat atau menyabotase jalur kereta yang penumpangnya tidak ada kepentingan langsung dengan aturan itu. Apakah tidak terpikirkan oleh mereka bahwa penumpang kereta itu semua punya kepentingan juga yang harus tetap mereka lakukan? Yang akhirnya harus berantakan karena adanya sabotase itu? Yang akhirnya harus merobah semua jalan kehidupan mereka, padahal mereka sungguh tidak bersalah?



Bogor, 15 Januari 2013
(Sambil nulis ini aku masih be-te, padahal kata seorang teman, untuk meredam ke be-teanku, sehari tadi aku disuruh mlungker aja di rumah)

Sabtu, 12 Januari 2013

Serba Salah atau Memang Harus Begitu?



Tadi aku pulang naik Comuter Line Kereta Khusus Wanita, jadi rangkaian kereta sebanyak 8 gerbong ini penumpangnya wanita semua dan balita. Hari Sabtu, jam tiga sore, keretanya sudah lumayan penuh walaupun tidak sepadat kalau gerbong campuran. Sudah banyak ibu-ibu yang duduk di lantai kereta beralaskan koran di bagian pintu yang tidak terbuka (seperti kelakuanku).

Aku berdiri sampai sekitar stasiun UI Depok, sebab ibu-ibu yang duduk di depanku tampaknya akan turun di Pondok Cina. Akupun duduk di tempat ibu-ibu tadi, lumayanlah masih lima stasiun lagi untuk sampai di tempat tujuanku.

Aku melepaskan pandanganku ke seluruh ruangan/gerbong. Semua penumpang adalah wanita termasuk kondekturnya, kecuali petugas keamanan kereta dan beberapa anak laki-laki kecil (balita). Sebab ketika ada seorang ibu membawa anak laki-laki yang berusia 6 tahunpun dipersilahkan turun oleh petugas. Diberitahu untuk naik kereta berikutnya saja yang campuran.

Hal seperti itu beberapa kali kutemui ketika aku naik kereta rangkaian khusus wanita ini, anak laki-laki di atas 5 tahun tidak boleh naik. Makanya suatu ketika, waktu aku mengajak anakku yang laki-laki (usianya 11 tahun), dan terpaksa naik ke gerbong khusus wanita karena saat itu kereta sudah mau jalan, akupun berusaha mencari jalan untuk pindah ke gerbong campuran. Tapi ada ibu-ibu yang bertanya padaku, “Mau kemana Bu?”
“Mau ke gerbong sebelah Bu, anak saya kan laki-laki…” jawabku.
“Ah, sudahlah di sini saja, tidak apa-apa…, orang masih kecil gitu…” jawab ibu itu. Kudengar beberapa orang juga menyatakan setuju.
“Iya Bu, nggak papa… di sini saja…”
Akhirnya akupun tetap di gerbong itu. Dan kulihat ibu-ibu yang lain juga tidak merasa keberatan. Mereka akan tampak keberatan kalau ada anak laki-laki yang tampaknya ABG atau yang usianya mungkin usia anak-anak SMP ke atas. (Ya iyalaaahhhh…, itu sih bukan anak-anak lagi, tapi laki-laki dewasa…. Hehehe…)

Waktu melihat ibu-ibu dengan anak laki-laki umur 6 tahun yang dipersilahkan turun di stasiun berikutnya oleh petugas, beberapa ibu-ibu tampak membicarakannya, “Kasihan,” kata mereka.

Iya sih, aku juga merasa kasihan sebetulnya. Tapi itu peraturan, dan di kereta rangkaian khusus wanita ini memang peraturannya agak ketat dalam artian betul-betul berusaha memenuhi semua aturan yang ada. Kursi prioritas untuk Ibu Hamil, Membawa Balita, Manula ataupun Penyandang Kekurangan Fisik, adalah kursi yang paling terakhir terisi. Bila terisipun pasti akan diminta bila ada penumpang dalam kondisi tersebut naik. (Penumpang yang tiap hari naik kereta akan sebisa mungkin menghindari kursi tersebut karena sudah tahu konsekwensinya kalau duduk di situ, yaitu bakalan diminta pindah…. Hehehe…)

Nah, tadi ketika di Stasiun Citayam ada ibu-ibu yang membawa tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil naik ke kereta yang kutumpangi dan berdiri di depanku, akupun berdiri. Ada dua alasanku untuk berdiri, pertama karena anak-anak itu semua masih balita (berentet deh pokoknya, mungkin setahun sekali ibu itu melahirkan), yang ke dua karena tujuanku juga tinggal satu stasiun lagi.

Ketika kondektur menghampiri si ibu untuk menanyakan tiketnya, si ibu menjawab, “Saya numpang ke Bojong Bu…”
“TIdak bisa begitu bu, ini kereta Comuter, ibu tidak bisa menumpang begitu saja. Ini anak ibu semua? Tiga orang? Ibu dikenakan denda 50 ribu.” kata kondektur. Si Ibu itu diam saja.
“Biarpun cuma satu stasiun, ibu tetap harus beli tiket. Kecuali ibu naik ekonomi, ibu masih bisa numpang-numpang begitu.” si Ibu diam saja. Yah, mungkin pikir si ibu kalau mau diturunin ya turunin saja, orang tujuannya memang cuma satu stasiun.

Ketika kondektur meninggalkan tempat si ibu dan mencari temannya, mungkin mau melapor, kudengar anak si ibu yang paling besar mengatakan pada ibunya kalau dia takut. Ibunya membentaknya sambil mengatakan, kenapa begitu saja takut?

Aku jadi pusing melihat pemandangan ini. Untung aku bukan kondektur kereta yang mungkin akan sering sekali mengalami hal seperti itu setiap harinya. Kalau dibilang kasihan ya memang kasihan, apalagi melihat anak-anaknya yang berentet begitu. Tapi kalau melihat dari sisi kondektur tadi ya memang tidak boleh begitu, karena kalau dilanggar sedikit-sedikit nanti jadi kebiasaan dan peraturan itu lama-lama hanya akan berupa peraturan saja tanpa makna.

Tak lama kemudian kereta sampai di stasiun Bojonggede.  Aku turun, si Ibu dan anak-anaknya juga turun di belakangku. Sudah sampai. Mau apa lagi?



Bogor, 12 Januari 2013