Melihat dan menjaga orang
terdekat sakit itu benar-benar suatu dilemma. Sungguh sangat serba salah karena
rasa sayang yang kita punya terkadang dapat mengalahkan logika.
Ibuku sudah lama sakit, sudah
bertahun-tahun mengidap sakit Gula atau istilah medisnya adalah Diabetes.
Beberapa tahun terakhir ini tampaknya diabetesnya sudah menyerang ginjal
sehingga ginjal menjadi berkurang fungsinya. Air seni yang harusnya terbuang
keluar menjadi terhambat dan tidak lancar lagi pembuangannya. Perut ibukupun
membesar seperti orang hamil sepuluh bulan, dua belas bulan malah.
Sekitar satu tahun lalu, ibuku
sudah pernah mengalami tindakan medis berupa sedot cairan dengan cara dicoblos secara langsung di bagian
perutnya (aku lupa istilah medisnya apa), selain obat minum yang membuatnya
amat sangat sering buang air kecil tiap malam sehingga dipakaikan diapers
supaya tidak terlalu sering ke kamar mandi. Setelah itu, harusnya tiap 3 bulan
sekali dilakukan ritual coblos perut ini, tapi ibuku selalu mengelak tidak mau
dan mengulur-ulur waktu terus. Ya siapa sih yang mau masuk dan tinggal di RS, orang yang sehat aja bisa jadi sakit, apalagi yang sakit..., bisa lebih parah sakitnya karena bosan.
Selama ibuku sakit, ayahkulah
satu-satunya orang yang selama ini ada dan selalu siap sedia merawat ibuku.
Kami anak-anaknya hanya bisa menyalahkan ayah kalau tiba-tiba ibuku anfal
karena salah makan sesuatu. Kami anak-anaknya selama ini tidak pernah mengetahui
bagaimana perasaan ayahku selama merawat ibu.
Kenapa hanya ayahku saja yang
merawat ibuku? Kenapa anak-anaknya tidak?
Pertanyaan ini dapat sangat telak
mendepak perasaan kami anak-anaknya kalau saja dilontarkan dengan nada
menuntut. Sebab, terus terang saja, bukannya anak-anaknya tidak ada yang mau
merawat ibuku, tetapi adalah karena ibuku sendiri yang hanya merasa nyaman
kalau ayahku yang merawatnya. Misalnya saja kalau ibuku merasa sakit di kaki, hanya ayahku yang cocok dan benar cara memijatnya
menurut ibuku. Ketika ibuku merasa pegal di punggung, hanya ayahku yang tahu
letak pasti sakit itu dan bagaimana cara memijat yang benar. Mau ganti diapers,
mau makan, apa menunya, seberapa ukurannya, semua hanya ayahku yang tahu.
Sebetulnya kasihan ayahku karena
ayahku jadi tidak pernah punya waktu lagi untuk dirinya sendiri, hampir seluruh
waktunya selama 24 jam adalah di sisi ibuku dan mengurusi semua keperluannya.
Beberapa waktu yang lalu, aku
berkesempatan nungguin ibuku yang anfal dan harus nginep selama 10 hari di RS. Padahal aku baru saja 2 minggu balik dari Surabaya ketika adikku mengabari kalau ibu masuk RS. Akupun balik lagi ke Surabaya. (Waktu kutinggal kembali ke Bogor tempo hari, ibuku tampak baik-baik saja,
hanya tampak agak kelelahan karena habis melakukan perjalanan darat PP Surabaya
– Bogor – Surabaya, tetapi rupanya fisiknya tidak kuat menahan lagi rasa lelah itu).
***(Melihat kondisi ibuku yang
sakit, harusnya perjalanan darat dari Surabaya ke rumahku (Bogor) kemarin itu
tidak perlu dilakukan, tapi ibuku yang memaksa. Bahkan, kata adikku, kalau adik-adikku
tidak ada yang bersedia menyupiri mobilnya, mereka berdua (ayah dan ibuku) akan
berangkat sendiri, dan ayahku akan menyupir pelan-pelan…. Gimana coba?!
Terus terang dalam hati juga
sering terpikirkan, kenapa ayahku harus selalu menuruti apa keinginan ibuku?
Bukankah hal-hal semacam itu menurut logika adalah kelewatan? Harusnya kan bisa
ditolak saja, toh ibuku tidak akan mungkin nekad merangkak dari Surabaya ke
Bogor?
Itu tadi adalah pikiran dan
perasaanku yang tidak pernah ikut merawat ibuku selama ini, yang bisanya hanya
menyalahkan ayahku saja)***
Selama menunggu ibu di RS, aku berbagi tugas dengan adikku. Adikku selalu (bertugas) mengajak ayahku
makan di luar RS, sekalian mengistirahatkan sejenak tubuh dan pikiran ayahku dari
rutinitasnya menjaga ibu sehari-hari. Adikku berkata, “Kalau kita nggak datang ke RS, apa
bapak sempat makan ya? Orang ibu sama sekali nggak mau ditinggal bapak….” katanya.
Aku baru tersadar, benar juga ya? Kan RS tidak menyediakan makanan buat
penunggu pasien. Kondisi ibuku pasti baik-baik saja karena ada ayahku yang
menjaga. Tapi kondisi ayahku, apakah terpikirkan?
Tugasku adalah menemani ibuku di
RS dan berusaha mencegahnya melakukan hal-hal diluar control seperti misalnya keinginannya
untuk ‘nggelosor’ tidur di lantai RS karena katanya tidur di kasur RS malah
bikin badannya sakit semua, dan aku juga berusaha memijat bagian-bagian
tubuhnya yang sakit walaupun mungkin pijatanku tidak senyaman pijatan ayahku.
Setiap kali ayah dan adikku pergi,
ibuku selalu merengek minta turun biar bisa tidur di lantai RS. Yang ini aku
benar-benar tidak pernah menurutinya walaupun hatiku sebenarnya tidak tega
melihatnya tidur sambil duduk. Aku kan tidak tahu ada bakteri, kuman, atau
monster apa saja yang bersarang di lantai RS ini.
Ada satu saat, ibuku merengek
terus, menangis minta pulang karena sudah tidak tahan lagi (saat itu albumennya
dianggap masih terlalu rendah, jadi belum bisa diambil tindakan medis dengan
cara coblos perut itu), duduk sakit, berbaring tidak bisa karena perut besar,
nafas sesak karena cairan perut yang sepertinya sudah sampai di ulu hati,
tidurpun tidak pernah lebih dari lima menit, selalu kesakitan di mata kaki
kanannya yang aku takut memijatnya karena kondisi kedua kakinya yang bengkak.
“Ibu sabar ya, ibu ingin apa,
asal jangan minta pulang atau tidur di lantai…., nanti kalau aku tidak kuat
menahan tubuh ibu terus kita nggelundung berdua gimana?” kataku sambil menahan
mataku yang panas. Terus terang dalam hati aku sempat berdoa, kalau seandainya
Allah mau memanggil ibuku sekarang, aku ikhlas, aku benar-benar tidak tega
melihat penderitaannya. Mungkin orang akan menganggapku anak durhaka, ingin
ibunya cepat meninggal, biar saja, mereka tidak tahu apa yang ada di dalam
hatiku.
“Ibu mau jeruk.” jawab ibuku.
Aduuuuh….., kenapa ingin jeruk? Itu adalah makanan yang juga dilarang untuk
ibuku saat ini.
“Kayaknya nggak boleh bu, tapi
nanti coba kutanyakan suster dulu ya, kalau boleh nanti kubelikan jeruk….”
“Boleh-boleh…, dikit aja koq….,
pasti boleh….” katanya memelas. Aku benar-benar tidak tega, karena memang tidak
ada makanan lain yang dapat masuk ke lambungnya dengan cukup. Bubur dua sendok
saja katanya perutnya sudah penuh, nggak muat lagi.
Tidak lama, ada temanku datang menjenguk
ibuku dengan membawa buah-buahan. Diantaranya ada jeruk dan anggur yang tidak
boleh untuk ibuku. Ibuku terlihat menatap penuh nafsu pada buah jeruknya.
“Ibu minta jeruknya dong,
dikiiiiit aja…., Cuma buat nyegerin mulut….” rengeknya ketika kami tinggal
berdua.
“Kamu koq tega sih sama ibu…”
katanya sambil mau nangis.
Akhirnya, sambil menunduk aku mengupaskan
ibuku buah jeruk. Kucoba dulu, ternyata manis, tidak asam koq. “Ini bu, satu
aja ya…. “ kataku sambil menyuapkan ibuku satu potong. Ibuku mengangguk
kegirangan dan menikmati satu potong jeruk itu dengan kebahagiaan yang tampak
jelas di matanya.
“Hmmm, segernyaaa…. Enak sekali…”
desahnya. Aku menunduk menyembunyikan air mataku. Maafkan aku bu…, aku
menyuapimu racun, kataku dalam hati sambil menangis. Gemuruhnya perasaanku
seolah badai di lautan, sungguh sulit diungkapkan.
“Yang lain kusimpan ya bu, nanti
aku dimarahi semua orang….” kataku sambil memasukkan jeruk yang sudah kukupas
tadi ke dalam tasku.
Kurasa seperti inilah perasaan
ayahku setiap ibuku merengek meminta sesuatu yang seharusnya tidak boleh
untuknya. Kualami hal itu sekarang….. Maafkan aku yang selama ini hanya dapat
menyalahkanmu Pak…., kataku dalam hati.
Saat ini kondisi ibuku agak
membaik dibanding sebelum masuk RS. Kalau ditanya apakah ibuku sudah sembuh?
Kurasa kondisi sembuh adalah mukjizat dari Allah, jadi kami sudah cukup
bersyukur dengan kondisi ibu saat ini. Semuanya kuserahkan pada Yang Mengatur,
Sang Pemberi Kehidupan.
Terimakasih pada semua teman,
sahabat, dan saudaraku yang sempat menjenguk ibuku dan turut mendoakan
kesehatannya. Semoga yang kalian lakukan Dibalas pahala yang berlimpah oleh
Allah AWT. Aamiin.
Bogor, 29 Desember 2013
(kembali ke Bogor untuk
ringkes-ringkes)