Semalam, pulang dari warung aku
ke rumah tetangga di seberang jalan kembar yang memisahkan gang rumah kami. Aku
tinggal di sisi timur, tetanggaku ini di sisi barat.
Tidak ada acara khusus, aku hanya
bersilaturahmi sambil mengucapkan terima kasih karena tadi pagi putranya
mengirimkan beberapa liter minyak goreng dan beras ke rumahku.
“Trimakasih banyak Bu....,
kirimannya tadi pagi sudah saya terima. Itu banyak sekali..., alhamdulillah.”
kataku mengawali perbincangan kami.
“Nggak apa-apa, saya cuma minta tolong
dibantu menghabiskannya...” katanya.
Dua minggu lalu, suaminya
tiba-tiba dipanggil menghadap ke hadiratNya ketika sedang bermain Bulu Tangkis
di Lapangan Kantornya. Jantung. Dan sembako yang diberikan padaku itu adalah
sebagian tali kasih dari sanak kerabatnya yang katanya alhamdulillah banyak
sekali.
“Sebetulnya sudah beberapa hari
lalu anak saya ke rumah njenengan, tapi katanya rumah kosong...” katanya lagi.
“Oh ya...., maaf jadi ngrepotin.
Memang sekarang kalau siang rumah kadang kosong..., sebab sudah seminggu ini
saya coba buka warung lagi, dan anak-anak suka ikut nyusul ke warung...”
kataku.
“Gimana kondisinya, sudah normal lagikah?”
tanyanya.
“Alhamdulillah masih ada satu dua
yang ngopi Bu....” jawabku sambil secara tidak sadar menghela nafas panjang.
Beliau tersenyum melihatku.
“Ya memang kondisinya sekarang
sedang begini..., harus sabar.”
“Betul Bu. Sepertinya orang-orang
sudah merasa nyaman tinggal di rumah dan memenuhi hampir semua kebutuhannya via
online.”
Si Ibu tetanggaku ini secara usia,
sama denganku. Tapi pengalaman dan pemahaman spiritualnya sungguh jauh sekali
di atasku. Terlebih beliau juga pengajar di sebuah sekolah berbasis Islam.
Kalau aku kan masih pecicilan dan hidup sesuka-suka aku mau. Malu ya? Malu sih
sebetulnya.....
“Manusia hidup itu sebetulnya
butuhnya apa saja sih, semua kan sudah ada takarannya. Misalnya saja kita butuh
satu gelas untuk hidup satu hari, ya Insya Allah satu gelas itu pasti dipenuhi
oleh Allah. Dan seandainya hari ini kita dapatnya satu panci...., ya jangan
dituang semua ke gelas tadi. Malah luber, terbuang sia-sia. Taruhlah di gelas
yang lain dan segera berikan pada yang membutuhkan..., biar bermanfaat.” katanya.
“Begitu juga yang terjadi pada
saya hari ini. Rejeki yang harusnya saya dapat dari warung itu sebelumnya sudah
tertutupi dari kiriman Ibu...., jadi saya masih bisa hidup untuk hari ini, dan
bahkan besok. Alhamdulillah.” kataku sambil tersenyum-senyum sendiri. Perumpamaan yang digambarkan si Ibu ini
sungguh tepat sekali.
“Beberapa hari lalu saya sempat
gamang. Limbung. Nggak ada gairah. Saya kaget karena kondisi ini tiba-tiba.
Walaupun saya tahu pasti kalau ini memang sudah takdir. Mau bagaimanapun kalau
Allah sudah memanggil, ya dengan jalan apapun pasti terambil juga. Tapi saya
kan juga manusia.” katanya.
“Kemudian saya berdoa
lamaaaa....., saya mohon kekuatan padaNya. Eh...., tiba-tiba sorenya datang
kenalan lama saya ke sini. Dia ini beberapa tahun lalu juga ditinggal suaminya
secara tiba-tiba di saat ketiga anaknya masih duduk di SD, dengan kondisi dia
tidak bekerja. Dan ternyata dia kuat, bisa tetap bertahan sampai saat ini, saat
anak-anaknya sudah remaja semua.”
“Itulah jawaban doa saya.....
Kalau kenalan saya itu bisa, kenapa saya tidak bisa? Sedangkan kondisi saya
saat ini jauuuuh lebih baik dari saat dia ditinggalkan suaminya dulu.”
“Berserah diri dan bersyukur pada
semua yang digariskan olehNya.... Semua sudah ada yang mengatur.” katanya.
Aku jadi teringat bahwa tiga hari
sebelum suaminya dipanggil Allah, kami berdua sempat ngobrol lamaaaa di depan rumahku.
Saat itu beliau ini sedang
jalan-jalan pagi ke arah kanan rumahku yang memang berumput tebal sekali.
Katanya ingin melihat tanaman apa saja yang tumbuh rimbun itu.
“Kita tidak pernah tahu apa yang
terjadi besok, bahkan kita juga tidak tahu apakah besok kita masih bisa ketemu
lagi.... Kita jalani saja. Saya juga
sudah berpesan begitu ke anak-anak saya....” katanya waktu itu.
“Iya Bu, seorang sahabat saya
juga mengatakan kalau saya tidak perlu memikirkan hal-hal yang bukan urusan
saya. Waktu itu saya sedang bersama dia parkir mobil di halaman sebuah masjid.
Dia akan sholat, dan saya menunggu di mobil. Waktu dia mematikan mobil dan akan
keluar, lampu menyala. Langsung saya berkomentar: koq lampunya nyala sih?”
“Sahabat saya masuk lagi ke mobil
dan bilang kalau hal-hal yang seperti itu juga tidak perlu saya pikirkan. Itu
urusan si mobil. Begitu juga dengan hidupmu. Nggak usah terlalu ruwet
memikirkannya. Semua sudah ada yang mengatur. Sudah ditulis bahkan sebelum kamu
lahir... , kata sahabat saya waktu itu...”
Hari itu bahkan kami berdua tidak
mengira sedikitpun bahwa tiga hari kemudian suaminya berpulang.
Innalillahi wainna Illaihi roji’un.
Semuanya berasal dari Allah dan
akan kembali pada Allah.
Bersyukur sekali hari ini aku
masih bisa menghirup udara pagi, mengetik tulisan ini, dan bersiap akan
berangkat ke warung.
Aku tidak akan memikirkan apa
yang mungkin akan terjadi, karena seperti sahabatku bilang : Masa depan milik
Allah. Semua terserah padaNya.
Bismillah.
Malang, 1 Juli 2020