Cerpen
: Di Ujung Tanjakan Cinta
Jug
ijag-ijug ijag-ijug..... Jug ijag-ijug ijag-ijug....
Commuter Line yang kunaiki mulai melambat
ketika memasuki area Stasiun Bogor. Aaaah...., akhirnya aku menginjakkan kaki
lagi di kota ini, pikirku dengan rasa hati yang sulit diungkapkan dengan
kata-kata.
“Kita
ga jemput Lo di Jakarta ya..., kita tunggu aja di Stasiun Bogor.” Semalam chat dari Indah memastikan kalau aku
harus otw sendiri menuju Bogor
setelah turun dari kereta yang membawaku dari Malang.
Kejam
nian mereka!! Membiarkan aku menggendong sendiri carrier 60 liter di punggungku sambil membawa beberapa tentengan
berisi Kripik Tempe, Coklat Tempe, Almond
Cookies, dan Pia pesanan mereka. Minta
oleh-olehnya maruk, tapi nggak mau
jemput.
Hawa
panaspun secara nggak sopan langsung menyergap ketika kulangkahkan kaki menuju
pintu keluar stasiun, sungguh berbanding terbalik dengan suasana di dalam Commuter Line yang sejuk damai sejahtera karena ber AC. Membuat wajah imutku
serasa terbakar.
Suasananya
sih masih sama seperti dulu. Bedanya
kalau dulu ada penjual Kue Gemblong
di dekat pintu keluar, sekarang area stasiun benar-benar steril dari pedagang asongan. Tanpa sadar aku mengernyitkan dahi.
Silau men!
Di
pagar pembatas pintu keluar, tampak berderet wajah ceria makhluk-makhluk
tersayangku sejak di SMA dulu. Mereka adalah Indah, Silva, Fani, Fahmi,
Septian, dan .....Rendy! Lho, koq ada Rendy?!
“Nunaaa.....,
kangen ih sama Looo....” Indah,
Silva, dan Fani serentak memelukku erat-erat begitu aku berdiri di depan
mereka.. Kamipun berpelukan ala-alay
sambil tertawa-tawa.....
Puas
berpelukan, kami menghampiri para cowok yang menunggu dengan sabar di dekat
loket. Akupun kembali memandang heran pada Rendy. Kenapa Rendy ada di sini?
“Buntut Lo
pingin ngikut katanya...” Bisik Indah yang melihat keherananku. Haah?!! Rendy
mau ikut?
“Kenapa
Lo ada di sini sih?” Tanyaku pada Rendy yang seharusnya dia ada di Bandung.
“Emang
ga boleh?” Balasnya bertanya. Rendy
ini memang bagaikan buntutku karena
sejak SD kami sudah berteman dekat. Bahkan ketika SMP dan SMA kami berbeda, dia
tetap saja beredar di sekitarku. Makanya jangan heran kalau diapun mengenal
baik sobat-sobitku di SMA.
“Kenapa
pertanyaanku dijawab dengan tanya?” Jawabku.
“Jadi
harus dijawab nih?” Katanya tetap dengan nada bertanya.
“Ya
udah sih, biarin aja Rendy ikut. Dia
sanggup nyetir sendiri sampai ke sono...” Sahut Fahmi.
“Nyetir
sendiri? Kita bukannya pakai motor?” Tanyaku. Aku benar-benar tidak tahu
perubahan rencana terakhir ini, yang tiba-tiba saja ada Rendy juga.
Dulu,
sejak SMA, setiap tahun aku and the gank
ini selalu merefresh hati dan pikiran
dengan jalan-jalan ke Perkampungan Baduy
di Kabupaten Lebak Banten, karena kebetulan kami sama-sama anggota Pecinta Alam
di Sekolah.
Tapi
sejak aku kuliah di Malang dan keluargaku ikut menyusul pindah beberapa tahun
lalu, aktivitas tahunan itupun jadi terlewatkan olehku. Aku jarang sekali main
lagi ke Bogor. Di banyak kesempatan, terutama liburan, aku sibuk menyatroni wilayah Bromo Tengger Semeru
buat nganterin tamu, aku nge-guide
nih ceritanya.
Sampai
akhirnya beberapa hari lalu, tiba-tiba my
gank menyuruhku mampir ke Bogor, terus ke Baduy dulu sebelum aku berniat nyamperin Rendy di Bandung yang minggu
depan mau wisuda.
“Pakai
motor aja..., biar pulangnya santai, nggak harus dikejar-kejar jadwal kereta
dari Rangkasbitung. Start dari Bogor kita lewat Jasinga.” Kata Septian beberapa
hari lalu di group my gank. Rencana
perjalanan dan pembagian tugas sudah deal
sejak itu.
Terus,
gimana ceritanya si Rendy tiba-tiba ngikut
dan bawa mobil? Itu pertanyaannya.
“Kita
naik mobil aja yaaa...., biar Lo
nggak capek ngegendong carrier.” Rendy
menjawab pertanyaanku tadi sambil melepas carrier
dari punggungku. My gank spontan
terkena batuk berjamaah melihat perlakuan Rendy padaku. Uhuk. Uhuk. Huk. Huk. Huk.
“Tapi
Lo kan belum pernah main ke hutan.
Ngapain ikut?” Jawabku mengacuhkan suara batuk yang saling menyalak bersahutan.
“Makanya
sekarang gue mau ikut. Nanti kalau
pulangnya Lo pingin langsung balik ke
Malang juga gapapa deh...” Kata Rendy sambil merengkuh
bahuku dan mengajak jalan ke tempat parkir.
“Kenapa
gue nggak boleh ke Bandung? Apakah
harus ada yang gue curigai?” Sergahku.
“Siapa
bilang nggak boleh?” Selalu tanya yang berbalas tanya. Huh.
“Hoiiii,
kita tetap jalan bareng atau pulang ke rumah masing-masing aja nih?” Kata Fahmi menyindir. Hehehe..., maafkeun ya gank.... Rendy ini memang kadang suka lebay gini.
“Mi,
Lo apa Septian aja deh yang duduk depan, nemenin gue melek.”
Kata Rendy ketika melihat Fahmi dan Septian yang memposisikan diri mengambil
tempat duduk di bangku paling belakang.
“Ogah,
gue mau tidur.” Jawab Fahmi, yang
disambut anggukan setuju oleh Septian.
“Lhah
gue kagak tau jalan....” Kata Rendy
sambil menyalakan musik. Teman Hidup by Tulus.
“Pakai maps!
Susah amat sih hidup Lo!” Sahut Indah sambil menyusul Silva
dan Fani yang duduk di bangku tengah.
Dia indah meretas gundah, Dia yang selama ini
kunanti/Memanja sejuk, memanja rasa/Dia
yang selalu ada untukku/
Nada-nadanya
memang harus aku yang duduk di depan menemani Rendy melek dan nyetir. Hoaahhmmm...., padahal aku juga ngantuk karena
semalam di kereta nggak bisa tidur gegara ada yang nyalain musik kencang-kencang.
Berisik banget. Nggak seperti suara Tulus ini nih.
Di
dekatnya aku lebih tenang/Bersamanya jalan lebih terang/
“Kita
ke Rangkasbitung ya Mi?” Tanya Rendy sambil mengaktifkan maps di hpnya.
“Iyaaaa!!”
Fani dan Silva serentak menjawab.
“Eit,
ngapain....?! Langsung aja tujuan Ciboleger.” Sahut Septian.
“Kan
biasanya kita ke Rangkas dulu...” Kata
Indah.
“Itu
kalau naik angkutan umum, kita ke terminal Rangkas buat cari kendaraan yang ke
Ciboleger.” Kata Septian.
“Jadi,
langsung ke Ciboleger nih....” Rendy memandang padaku minta persetujuan.
“Iya
‘kali....” Aku mengangguk tak pasti.
“Gimana
sih....” Sungut Rendy sambil mendengus, “Nyasar
bodo amat nih ya.” Katanya sambil
mulai menjalankan mobilnya menyibak mentari yang menyengat.
Tetaplah
bersamaku jadi teman hidupku/ Berdua kita hadapi dunia/Kau milikku ku milikmu
kita satukan tuju/Bersama arungi derasnya waktu/
Bila
di depan nanti/Banyak cobaan untuk kisah cinta kita/Jangan cepat menyerah/Kau
punya aku, ku punya kamu, selamanya kan begitu/
Suara
Tulus membuat kantukku semakin menggayut ketika sejauh mata memandang, di depan
mata adalah lautan mobil pribadi dan angkot yang sedang saling berebut jalan.
Macet.
“Makan
dulu yuk!! Gue lemes nih...” Aku
hampir melompat mendengar suara Rendy
yang tiba-tiba membelah mimpi. Bagaikan suara petir Dewa Zeus yang menggelegar di siang bolong menyambar kepalaku. Eh,
bukan ding...., ternyata tangan Rendy
yang menyentuh kepala membangunkanku.
Aku
mengerjabkan mataku. Yihaa!! Ajaib!! Baru
juga sekerjaban mata, ternyata kami sudah sampai di....., tunggu, kulihat dulu
sekeliling....., ternyata ada di depan Tugu Singa! Artinya kami sudah sampai di
Jasinga, dan Rendy juga sudah memarkir mobilnya di depan sebuah warung lalapan.
“Cepet
amat sampai sini, baru juga berkedip.” Kataku dengan mata berat.
“Enak
aja berkedip!! Lo ngorok sejak masuk
mobil...” Sahut Indah dari belakang kupingku. Ah, apa iya?! Terus siapa dong yang nemenin Rendy melek? Aku mengikuti langkah kaki mereka
memasuki warung lalapan.
Ajaib!!
Lagi-lagi ajaib!. Ternyata setelah perut kenyang mataku jadi melotot lebar,
sedangkan menurut teori, biasanya kalau perut kenyang kan mata jadi ngantuk. Sepertinya dunia sedang berbalik 180 derajat
buatku. Semoga ini awal yang baik. Aamiin.
“Yuk
kita lanjuuut, masih setengah perjalanan lagi kan ke Ciboleger?” Kataku bersemangat.
“Iya
yuk, buruan...., biar ga kemalaman nyampenya...” Fani menimpali sambil bergegas
naik ke mobil.
“Kita
keburu kan Mi?” Tanyaku pada Fahmi
sambil melirik Rendy. Posisi duduk di mobil masih seperti tadi.
“Kalau
menurut langkah kaki gue sih insha Allah keburu. Maximum maghrib deh...” Jawab Fahmi.
Langkah
kaki penduduk lokal pasti keburu, jalan mereka cepat sekali. Langkah kaki Fahmi
dan Septian insha Allah keburu. Langkah kakiku, Indah, dan Fani, semoga juga keburu.
Terus langkah kaki Rendy? Aduuuh....., gimana nanti langkah kaki si Rendy
ini???? Perjalanan pakai kaki nanti bisa 4 sampai 5 jam lho....
Rasa
galau memikirkan bagaimana langkah
kaki Rendy nanti sedikit terobati dengan tersajinya pemandangan elok nan
rupawan dari negeriku tercinta ini. Hawa sejuk khas alam pegunungan sungguh
membuat hatiku berbunga-bunga. Melupakan segala lara yang ada. Bukit
berbunga..., bukit yang indah... Kalau tidak salah, jaman dulu ada
syair lagu seperti itu, jamannya mamaku.
Waktu
terus merangkak, dan tidak seperti tadi ketika aku berkedip sekali tiba-tiba
sudah setengah perjalanan, kali ini sudah sampai berkejab-kejabpun ternyata
belum nyampai juga. Berarti tadi aku tertidur lumayan lama ya..., hehehe...
Sorry Rennn...., kedua mata cantikku tidak mampu menahan kantuk.
*** ***
Ciboleger.
Gerbang menuju Bumi Kanekes tegap
menyapa. Seolah memanggil semua jiwa untuk berbahagia ketika melewatinya. Ada
rindu yang membiru, menggayut di ujung ranting bambu malu-malu. Membuat hati
tidak tahan untuk tidak mencintainya.
Suasana
Baduy sudah terasa kental sekali,
terlebih ketika di toko-toko sepanjang jalan menuju gerbang masuk rata-rata
memajang kain ikat kepala tradisional masyarakat
Baduy yang berwarna biru dengan corak
khas mereka.
“Sep,
Lo cari si Aa’ yang biasa nemenin
kita, gue udah kontak dia kemarin,
sekarang gue ke Jaro dulu...” Kata Fahmi pada Septian. Septian mengangguk dan
berjalan menuju sekelompok laki-laki berikat kepala warna putih dan berbaju
putih atau hitam. Di bahunya tergantung tas tradisional khas Baduy. Mereka adalah orang Baduy
Dalam yang siap mengantar pelancong-pelancong menembus hutan dan huma menuju pekampungan mereka.
“Mobil
diparkir sini aja nih?” Tanya Rendy sambil membuka pintu bagasi dan
mengeluarkan bawaan kami.
“Harusnya
sih jangan ditinggal di sini.
Harusnya Lo gendong naik sampai ke atas...” Jawabku. Indah, Silva, dan Fani
ngakak mendengar kata-kataku.
“Daritadi
jawaban Lo ke gue ngeselin abis dah...”
Kata Rendy sambil melotot dari balik kaca mata minusnya.
“Iya...,
gue juga perhatiin tuh...” Timpal
Silva sambil senyum-senyum kompor. Indah dan Fani mengangguk-angguk. Aku
mendengus lirih. Mereka tahu kalau aku pasti kesal memikirkan nasib Rendy
nanti. Kalau kami kan memang sudah
biasa berkutat dengan alam lepas, mau ke gunung kek, hutan kek, no problemo. Lha ini, Rendy, si Tuan Arsitek
yang biasanya cuma berkutat dengan diktat, proyek, dan mall, eeeh...., tiba-tiba ikut! Haduuuhhh.....
“Mana
Septian, belum balik dia?” Tiba-tiba Fahmi muncul. Kami menggeleng. Septian
belum nampak.
“Mi,
ini yang mau dibawa yang mana aja nih?” Rendy menunjuk bawaan kami.
“Semua,
kecuali carrier Nuna sama
oleh-olehnya .... Tapi terserah sih, ‘kali aja anak-anak mau bawa....” Jawab
Fahmi.
Biasanya
kami memang tidak membawa banyak perlengkapan tiap jalan ke sini, paling juga
sepasang baju cadangan, jaket, snack,
dan air. Kan besok juga sudah balik.
Setelah
menitipkan mobil ke petugas pengelola parkir, kami mulai berjalan pelan-pelan
memasuki gerbang wilayah Baduy,
sambil nunggu Septian yang belum juga nongol. Di kanan-kiri jalan setapak dekat
gerbang ini, ada rumah-rumah tradisional beratap jerami, berdinding anyaman
bambu, berbentuk panggung yang menjual pernak-pernik
dan asesoris khas Baduy. Mulai dari
gelang, gantungan kunci, teko, gelas, sendok garpu, tas, selendang, kaos, dan
lain-lain yang semuanya dibuat dari bahan-bahan alami seperti serat kayu dan
batok kelapa. Di beberapa rumah juga tampak ada ibu-ibu yang sedang menenun
selendang dengan alat pintal tradisional. Sungguh pemandangan yang menyejukkan
hati.
“Hoii...,
kita langsung jalan nih?” Tiba-tiba Septian muncul dari arah belakang bersama
si Aa’dan seorang anak kecil sekitar umur sepuluh tahunan.
“Maaf,
tadi lagi di toko sekalian belanja...” Kata si Aa’sambil menyalami kami satu
persatu. Begitu juga si anak laki-laki tadi.
Aa’ini dulunya tinggal di Baduy Dalam, tapi setelah menikah tinggal di Baduy Luar. Orangtuanya masih tinggal di Baduy dalam, dan anak laki-laki kecil itu adalah adiknya.
Aa’ini dulunya tinggal di Baduy Dalam, tapi setelah menikah tinggal di Baduy Luar. Orangtuanya masih tinggal di Baduy dalam, dan anak laki-laki kecil itu adalah adiknya.
“Ah,
nggak apa-apa A’.... Oke, kita langsung jalan aja deh...., ya guys?!” Kata
Fahmi sambil memberi isyarat pada kami untuk mulai jalan.
Si
Aa’ jalan di depan bareng Fahmi, terus diikuti Fani, Silva, Indah, Aku, Rendy,
Septian, dan terakhir adalah adik si Aa’.
“Si
Rendy tanggung jawab Lo ya...”
Septian sempat berbisik padaku sebelum kemudian dia menempati formasi di belakang Rendy. Aku hanya
mengangguk pasrah.
Jalanan
berbatu dengan tanjakan dan tikungan tajam saling silih berganti. Huma dan hutan sesekali juga silih berganti.
Pemandangan luar biasa mempesona saja yang selalu setia mengiringi kami.
Untuk
menghemat nafas, kami juga tidak banyak bicara. Semuanya fokus pada langkah
kaki masing-masing.
Perjalanan
satu jam masih terlampaui dengan mulus. Masuk hitungan dua jam, ritme langkah kaki Indah mulai kendor.
Aku dan Rendy mengganti posisinya. Indah melangkah di belakang Rendy.
Masuk
jam ketiga, iring-iringan kami mulai berjarak. Tidak sengaja terbentuk kelompok-kelompok kecil yang mulai sering berhenti untuk
beristirahat.
Si
Aa’, Fahmi, Fani, dan Silva tetap konsisten
dalam langkah di depan. Indah yang dijaga Septian dan adik si Aa’ semakin
melambat. Aku dan Rendy di tengah-tengah dengan kondisi juga mulai melambat.
Entah
kenapa, tiba-tiba saja perutku terasa mual dan kepalaku jadi berat. Otomatis
dua hal itu membuat irama langkahku tidak sinkron
lagi dengan otakku. Tapi gengsiku lebih mengalahkan lunglaiku. Masa’ kalah sama
Rendy yang baru sekali ini seumur hidupnya menggunakan sepasang kakinya untuk
berjalan jauh mendaki bukit menuruni lembah? Jadi ingat Ninja Hatori film kartun di TV jaman dulu.
“Na...,
semalam gue mimpi dihadang Harimau
Putih waktu jalan begini. Kira-kira ngaruh nggak sama perjalanan kita ini?” Tanya
Rendy.
“Nggak
ada hubungannya sama sekali. Mimpi itu kan
waktu Lo tidur...., nah sekarang Lo
jalan kaki beneran, bukan tidur. Lagian, di sini ga ada binatang buas, apalagi harimau.” Jawabku.
“Mungkin
ada mitos-mitos apa gitu?” Tanya Rendy
lagi.
“Ga ada Reeennn.... Cuma selama di sini
ya kita harus ikuti aturan-aturan mereka. Mereka punya kearifan lokal yang terjaga secara turun temurun dari nenek
moyangnya...” Jawabku.
“Paling
nanti tuh, di Tanjakan Cinta depan situ tuh. Katanya, kalau Lo bisa ngelewatinnya dengan lancar,
maka kisah cinta Lo nantinya juga
bakalan lancar...” Sambungku.
“Emang
iya gitu?! Kata siapa?”
“Kata
gueee...., kan barusan juga gue yang bilang...” Sahutku sambil
menahan mual yang rasanya semakin mengaduk-aduk perut.
Langkahkupun
semakin berat karena kepalaku semakin pusing. Kelompok Fahmi menghilang di
tikungan depan, kelompok Indah terhalang tikungan di belakangku. Kakiku
melemas, aku terduduk di sebuah batu, hampir muntah. Rendy segera melepas tas
punggungku dan meraba dahiku.
“Perut
gue Ren.... Sama kepala gue....“ Aku mengernyit menahan sakit.
“Minum
dulu nih!” Rendy menarik tubuhku menyender ke dia dan memaksaku minum. Aku
minum seteguk.
“Lo masuk angin ini. Istirahat aja
dulu..., lurusin kaki...” Katanya sambil tetap memaksaku bersender padanya dan
menuangkan minyak kayu putih ke tanganku. “Gosokin di perut.” Katanya.
Aku
menurut dan memejamkan kedua mataku. Sejenak, dua jenak. Kenapa rasanya nyaman
sekali berada dalam dekapan Rendy? Tidak ada rasa canggung, tidak ada rasa
gengsi, tidak ada yang kupikirkan lagi. Rasanya ingin begini terus. Seolah
berasa di rumah.
Tapi
itu tidak mungkin terus kulakukan. Aku harus bangun. Perjalanan masih panjang.
Masih harus melewati tanjakan terheboh itu, Tanjakan Cinta yang panjangnya
sekitar setengah kiloan.
“Jalan
lagi yuk, gue sudah enakan koq...”
Kataku sambil bangkit dari zona nyaman
dan meraih tas punggungku.
“Sudah,
biarin sama gue....” Rendy
menggendong tas punggungku di depan dadanya.
“Ini
yang tadi gue bilang Tanjakan
Cinta...., Lo jalan duluan deh. Gue
ngerangkak aja pelan-pelan...” Aku mendorong tubuh Rendy supaya berjalan lebih
dulu ketika kami sampai di depan tanjakan.
Tapi
Rendy meraih tanganku dan setengah ditariknya supaya aku tetap melangkahkan
kakiku bersamanya melewati tanjakan cinta yang seolah tak berujung. Genggaman
tangannya kokoh dan mantap menggenggam tanganku.
Dua
kali aku terpeleset dan tiga kali hampir tiarap kalau saja Rendy tidak menahan
tubuhku. Kenapa Rendy si anak kota ini tiba-tiba sekarang jadi Superman di
pedalaman ini? Kenapa ternyata tenaganya tidak setipis tubuhnya? Kenapa juga
dia seolah tahu apa yang harus dilakukannya di tempat seperti ini? Bukankan ini
adalah pengalaman pertamanya? Kepalaku pusing lagi memikirkan berbagai pertanyaan
tentang Rendy. Nyut nyut nyut.
Akhirnyaa!!
Ulalaaa!!!
Tanjakan
Cinta yang seolah tak berujung inipun sampai pada ujungnya, dan kemudian
menampakkan wajah- wajah yang tadi sudah jauh di depan kami, Fahmi cs yang sedang duduk beristirahat sambil
makan-minum dengan santainya.
“Lo kenapa Na?” Tanya Silva yang mungkin
melihat pucatnya wajahku.
“Mau
pingsan dia...” Jawab Rendy. Siapa juga yang pingsan, pikirku. Tapi aku malas
membantah, jadi aku diam saja, sibuk mengatur nafas yang tinggal satu-satu.
Aku
merebahkan tubuhku di rerumputan. Dengkulku mau copot. Rendy duduk di sampingku
sambil memijit telapak tangan dan jari-jariku. Lumayan juga, sakit kepalaku
jadi berkurang. Sampai akhirnya Indah cs
tiba dan ikutan tiarap tidak jauh dariku. Warna mukanya sudah merah seperti
kepiting rebus.
“Gimana,
termasuk lancarkah langkah gue ketika
tadi melewati Tanjakan Cinta?” Tanya Rendy ketika aku nyaris tertidur. Aku
mengangguk dengan mata terpejam.
“Berarti
kisah cinta gue nanti lancar dong?”
Tanya Rendy lagi. Aku mengangguk lagi sambil mata tetap terpejam.
“Apakah
dalam mitosmu juga disebutkan, kalo
yang ngelewatin adalah cowok-cewek, apa nanti mereka bakalan jadian?” Tanyanya lagi. Aku melotot. Haahhh??!!
“Mitos darimana itu?!” Fani yang
mendengar kalimat Rendy langsung menyahut.
“Mitosnya Nuna...” Jawab Rendy.
“Tapi
gue nggak bilang ada acara jadian segala...” Sanggahku sambil bangun dari
rebahan dan duduk. “Minyak kayu putihnya tadi mana?” pintaku ke Rendy.
“Jadi
maksudnya Lo nggak mau jadian sama gue?” Tanya Rendy sambil memberikan
botol minyak kayu putih.
“Lo gila ya?!” Balasku.
“Serius
ini.... Lo mau ga kalo kita jadian?” Rendy menatapku sambil tersenyum. Aku
terhenyak. Masih belum yakin dengan kupingku. Jadi ceritanya si Rendy nembak
aku nih? Nggak ngasih coklat, nggak ngasih bunga.... Malah ngasih botol minyak
kayu putih. Nggak romantis amat!!
Kulihat
wajah para sohibku tampak tidak
terkejut. Mereka cuma senyam-senyum nggak jelas. Aku jadi curiga mereka memang
sudah tahu.
“Abaikan
dulu mereka, jawab gue..., mau
nggak?!” Desak Rendy.
“Lo berharap gue jawab apa?”.Aku masih berusaha mengelak.
“Jawaban
apa itu, jelas aku maunya kamu jawab iya.”
Kata Rendy.
Lho...,
koq dia jadi menyebut aku dan kamu,
bukan Lo gue lagi....
“Aku
maunya besok kamu datang ke wisudaku sebagai pasanganku, bukan sekedar teman
kecilku. Apa selama ini kamu nggak pernah sedikitpun punya rasa yang berbeda
padaku? Nggak pernah sekalipun mencoba menganggap aku sebagai orang yang lain?
Padahal mereka aja tahu kalau aku suka sama kamu, masak kamu nggak ngerasa sih?” Sambungnya panjang lebar. Edan
dia, ini semua dikatakan di depan publik men!
“Perjalanan
ini sudah direncanakan sejak sebulan lalu, termasuk Fahmi jalan jauh di depan
dan Indah jadi lelet. Sejak itu juga aku
joging tiap hari. Latihan fisik. Biar nanti di sini minimum aku nggak bikin
kamu jengkel... Eh, ternyata kamu pakai acara masuk angin segala, jadi deh
rencanaku biar nampak keren di matamu makin mulus. Aku tadi keren kan?”
“Iya,
keren! Tapi apa kamu pikir aku akan menjawab tidak, koq kamu ngomongnya jadi banyak banget gitu?” Aku berusaha menahan
malu ketika akhirnya mengatakan itu. Kurasakan pipiku panas sekali seperti
terkena tamparan, tapi tamparan cinta lho yaaaa....
“Artinya
kamu mau?”
Aku
mengangguk. Tersipu. “Iya. Aku kan bukan
robot yang nggak bisa merasa...” Jawabku. Selama ini aku memang merasa nyaman
dengannya. Nyaman dengan semua perlakuannya padaku, sehingga tidak merasa perlu
mencari orang lain dalam banyak hal. Mungkinkah itu cinta?
“Yessss!!!! Makasih sudah mau menjawab
Iya.” Rendy mengacaukan rambutku dengan
gemas.
Horeee....,
cie-cieee....., suit-suittt.....
Rame sekali sambutan pemirsa melihat tontonan live di depan mata. Kecurigaanku terbukti, mereka sudah tahu tujuan
Rendy ikut kali ini dan mendukungnya. Dasar, sekongkolik....!!
Tetaplah
bersamaku jadi teman hidupku/ Berdua kita hadapi dunia/Kau milikku ku milikmu
kita satukan tuju/Bersama arungi derasnya waktu/
Kau
milikku, ku milikmu/Kau jiwa yang selalu aku puja/
*** selesai ***
2
Nopember 2018