Jumat, 07 Desember 2012

Stasiun Bojonggede



Ada moment yang terlewatkan untuk kujadikan bahan tulisan, yaitu saat ada peristiwa tanah longsor sekitar dua minggu lalu yang mengakibatkan jalur kereta dari Jakarta – Bogor dan sebaliknya Bogor – Jakarta mengalami gangguan, sehingga rute itu menjadi Jakarta – Bojonggede dan sebaliknya Bojonggede – Jakarta karena longsor itu terjadi di antara Stasiun Bojonggede dan Stasiun Bogor.

Stasiun Bogor sebagai Stasiun Tujuan akhir memang adalah Stasiun Besar dan dikondisikan untuk menampung ribuan penumpang setiap saat, beda halnya dengan Stasiun Bojonggede yang hanya sebagai Stasiun Kecil dan belum dikondisikan untuk menampung ribuan penumpang yang turun dari kereta di jam-jam pulang kerja yang frekwensinya setiap sekian puluh menit sekali.

Stasiun Bojonggede yang hanya terletak di sebuah jalan kelas tiga di Wilayah Kecamatan, selama ini hanya menampung sekian persen jumlah penumpang kereta. Para penumpang itu adalah para karyawan penghuni perumahan yang berada di sekitar Kecamatan Bojonggede.

Nah, ketika longsor itu terjadi, semua jadwal kereta kacau balau. Tetapi sebagai sarana utama transportasi masyarakat, kereta harus tetap difungsikan dengan tujuan akhir dari Jakarta menuju Bogor hanya sampai di Stasiun Bojonggede saja, yaitu dua stasiun lagi sebelum Stasiun Akhir Bogor.

Frekwensi kedatangan kereta yang cukup sering di setiap sore sampai malam hari dengan jumlah penumpang yang turun ribuan orang yang sebagaian besarnya masih harus menyambung dengan angkot ke Bogor, benar-benar membuat jalan di sepanjang depan Stasiun Bojong menjadi macet total. Para penumpang yang masih harus melanjutkan perjalanannya ke Bogor saling berebut angkot, dan angkot-angkotnya sendiri sampai kuwalahan melayani membludaknya kebutuhan penumpang. Belum lagi ditambah beberapa kendaraan lain yang kebetulan lewat depan Stasiun Bojonggede, orang-orang yang belum berhasil mendapatkan angkot dan kemudian berjalan di sepanjang jalan menambah penuhnya jalanan itu.

Seorang tetanggaku bercerita ketika suatu saat dia baru pulang kerja. (Tetanggaku ini biasa membawa motor sendiri dari rumah dan diparkir di Tempat Parkiran sekitar stasiun yang banyaknya seperti jamur di musim hujan. Setiap halaman rumah atau sedikit lahan yang agak lengang pasti langsung disulap jadi tempat parker). Ternyata situasi macet parahnya di jalanan sepanjang Stasiun Bojonggede itu sungguh luar biasa.

Jarak yang dalam situasi normal biasanya hanya ditempuh sekitar lima menit saja, ketika macet itu dia baru sampai di rumah kira-kira satu jam kemudian. Hadewww…      Aku sendiri memilih naik ojek dari Stasiun ke rumah karena tukang ojek yang nota bene adalah penduduk asli di Bojonggede ini pasti kan tahu jalan-jalan tikus yang dapat dilaluinya untuk sampai ke rumahku, sehingga aku tidak perlu ikut terjebak kemacetan di antara orang-orang Kota Bogor yang terpaksa terdampar di Bojonggede ini.

Terganggunya rute dan perjalanan KRL dari Jakarta – Bogor dan sebaliknya Bogor – Jakarta, sungguh besar sekali dampaknya ke hal-hal yang lain. Salah satunya adalah kios-kios pedagang kaki lima mulai yang jualan pulsa sampai jualan sayuran dan ikan mentah yang tadinya berada di dalam Area Stasiun dan menjadikan Lokasi Stasiun menjadi mirip pasar, sekarang sudah tidak ada lagi. Suasana Stasiun Bojonggede jadi lega dan terang benderang….. hehehehe…. (Susahnya, aku tadi mau beli tissue dan permen saja  nggak jadi karena nggak ada lagi orang yang jualan. Kasihan, mereka jadi jualan di mana ya….).

Memang setiap hal kan selalu ada resikonya, baik resiko bagus atau resiko jelek. Seperti sebuah pilihan, selalu ada yang harus diabaikan. Sedih memang kalau harus ada yang dikorbankan. Tapi mau bagaimana lagi, sekali lagi hidup ini adalah pilihan.



Bogor, 7 Desember 2012

Senin, 03 Desember 2012

Melihat dari Atas Awan



“Melihat dari Atas Awaannnn,… sejauh mata kulepaskaaannn…. “ Eh, salah ya…. Hehehe….  Itu kan syair lagu yang bunyinya ‘Melihat dari Atas Bukiiiittt, … sejauh mata kulepaskaaannn…’

Kalau melihat dari atas awan, seolah aku punya ilmunya orang-orang dulu yang bernama ‘ngrogoh sukmo’, bisa memonitor diri sendiri dari awang-awang dan melihat tubuhnya jauh di bawah sana.

Dari atas awan aku juga bisa melihat aku yang sedang berjalan seolah berputar saja tak tentu arah. Sekali-sekali kepinggir arena nyamperin seseorang yang sebelah kakinya terikat tapi tangannya dapat menggamitku. Terkadang lagi ada seseorang yang berjalan di sampingku menemani sampai titik tertentu. Tapi ada juga yang hanya dapat memperhatikan aku dari balik pagar tanpa dapat mendekatiku. Ada juga pintu yang terbuka untuk didatangi, tapi sayang di sana tidak ada penghuninya.

Tiba-tiba aku melihat dua sosok bernuansa kontras, boleh hitam dan putih, boleh merah dan putih, boleh apa saja…., asal mencerminkan dua karakter yang bertentangan, yang datang menghampiriku.

Yang berwarna, berekor dan bertanduk  tampak memelukku dengan gaya sok akrab. Di tangannya memegang sebuah hati yang kelihatan menggiurkan karena masih berlepotan cinta, emosi dan nafsu… Sementara yang putih hanya mengikuti saja setiap langkahku dengan tenang.
“Ambil nih, hati ini bisa jadi milikmu…..” bisik makhluk berekor.
“Emangnya gak ada yang punya?” kudengar aku menjawab dengan hasrat berbinar.
“Ah, tadi kutemukan di suatu tempat…, sepertinya memang menunggumu untuk mengambilnya.” kurasa aku jadi ge-er mendengar rayuan itu. Aku meraih sepotong hati itu dengan haru. Kubawa ke dada untuk kuletakkan di sana.

Tiba-tiba, makhluk putih yang dari tadi hanya diam saja menghampiriku dan mengelus kepalaku dengan sayang (yang ini tampaknya juga sok akrab deh…). Yang berekor sedikit terlempar ke belakang.
“Sebaiknya jangan langsung diambil, sebaiknya periksa dulu baik-baik. Apakah benar hati itu tidak ada yang punya?” bisik makhluk putih dengan lembut dan nyaris tidak terdengar. Aku sampai harus memanjangkan kupingku supaya dapat mendengarnya dari atas awan ini.
“Tenang saja, tadi sudah kuperiksa koq…., aku yakin hati itu memang untukmu…” teriak makhluk berekor dari belakang.
“Kembalikanlah….” bisik makhluk putih itu lagi.

Kulihat aku menjadi bimbang. Naluri manusia dan egoku tampaknya sudah terbujuk. Aku pasti membayangkan indahnya dunia bila berhasil memiliki hati itu. Kesepian pasti terobati. Kerinduan pasti terlunasi.
“Kenapa harus kukembalikan kalau aku dapat memilikinya sekarang? Kenapa aku tidak boleh memilikinya?”
“Cobalah untuk bertahan, mungkin nanti atau di tempat lain, akan ada hati yang memang benar-benar dapat jadi milikmu…” bisik si putih lagi.

Dengan bercucuran air mata, aku meletakkan hati itu di sebuah batu di bawah pohon yang rindang supaya tidak kering tersengat matahari.

Tiba-tiba saja si makhluk berekor memukul kepala si putih dengan tombak besinya. “Tunk!!!!”
“Eh, apa-apaan sih kamu…, kalah ya kalah aja, gak usah marah gitu kaleeee…..” si putih balas melempar makhluk berekor dengan kilatnya, "Dhuarrr..!!!"

Dari atas awan ini aku jadi gemas pada mereka semua, giman sih ini…. Masak hati itu ditaruh begitu saja di atas batu, nanti kalau disemutin gimana? Si putih dan makhluk berekor itu juga o’on, ngapain juga mereka jadi perang sendiri di sana?
“Biar kuambil saja hati itu…., biar nggak disemutin…..” pikirku.

Eh, tiba-tiba saja kuping kananku ada yang menjewer….., “Eit, tidak boleh…” aku menengok. Eh, ternyata di situ juga ada makhluk putih yang sedang mengikat kaki kananku dengan tali awan.

Huhuhu……, ya udah, aku jadiin sambal goreng hati aja deh….!!  Aku menengok ke kiri, ternyata di sana juga ada makhluk berekor yang juga sudah membelit kaki kiriku dengan ekornya….., bibirnya tersenyum dan matanya dikedipkan satu ketika aku melihat padanya….

Hastschihhhhh…….., aku bangun aja deh.



Bogor, 4 Desember 2012