Sabtu, 18 Mei 2019

Operasi


Kamis pagi 28 Maret 2019. Aku harus puasa sejak subuh untuk persiapan operasi hari ini. Tapi sebetulnya sih makan dan minum terakhir ya malam sebelum tidur. Aku tidak biasa sarapan pagi-pagi.

Kusiapkan beberapa baju ganti dan kain yang kira-kira akan dipakai nanti kalau nginep di RS. Paling kan biasanya 3 hari. Biar nanti Kk yang packing. Dia sudah nyiapin carrier dan matras buat alas tidurnya ketika nanti nemenin aku di RS. Kusiapkan juga sebuah bantal boneka buat dibawa.

Aku juga nyiapin teh buat diantar ke tempat Poci di depan SMK Telkom. Nanti pas aku dan Kk berangkat, bisa sekalian kami bawa.

Begitulah, setengah sembilan pagi, aku dan Kk berangkat naik motor menuju RS.
Terus terang, sebetulnya perasaanku seolah masih di awang-awang. Aku masih tidak pasti apakah aku betul-betul mau melakukan operasi ini. Rasa takut itu masih ada.

Tanpa memahami kegundahan hatiku, petugas RS langsung menanganiku sesuai prosedur persiapan operasi ketika aku dan Kk mendaftar ke IGD dan menyerahkan hasil foto rontgen di Lab luar kemarin.
“Mari bu, silahkan ibu berbaring di sini, dan pakaiannya dilepas ya....” seorang petugas (entah perawat atau bukan, sebab tidak pakai seragam) mengantarku ke sebuah ranjang periksa yang hanya berbatas tirai sambil menyerahkan sepotong baju atasan RS warna hijau.

Kulepas baju atasan dan bra, kemudian berganti baju RS tadi, dan berbaring berselimutkan kain yang ada di ranjang.

Tidak lama petugas laki-laki datang akan memasang infus di lengan kiriku. Aduuuh...., aku mencoba mengingat-ingat bagaimana rasanya dulu ketika jarum infus masuk ke lenganku waktu akan melahirkan Ndiek.

“Mau operasi jam 11.00 ya bu...., maaf, saya pasang infus dulu ya...” katanya.  Aku mengangguk.
Pertama dicoblosnya punggung tanganku dengan jarum, dan dimasuki dengan jarum yang lebih panjang. Tapi kemudian ditahan dan dibongkar lagi, bekas lubang jarum ditekannya dengan sangat kuat.
“Maaf, saya pindah ke pergelangan tangan saja ya bu. Yang di punggung sepertinya terlalu halus, uratnya pecah. “ kata petugas itu. Sekali lagi aku hanya sanggup mengangguk. Pikiranku masih belum mantab.

Sempat ditanya juga sama petugas aku alergi apa. Kubilang dulu sih sepertinya pernah alergi obat, tapi lupa obat apa. 

Waktu kuliah dulu, aku pernah sakit. Terus, sama mas Ary yang Mahasiswa Kedokteran, aku dikasih obat. Ternyata beberapa hari kemudian seluruh persendian jari-jari tanganku bentol-bentol gatal, dan aku dikasih incidal. Saat itu dikasih tahu kalau aku alergi obat titik-titik itu, disuruh ingat-ingat sih..., tapi ya namanya lupa masak boleh disalahin?

Mas Ary ini kakaknya mas Tomy, kakak kelasku di FISIP Unair yang sudah seperti kakakku sendiri. Tiap nunggu jam kuliah, biasanya aku nunggu di rumahnya yang memang tidak jauh dari kampusku. Mereka tinggal di Perumahan Dosen di dalam Kampus B.

Mendengar aku ada alergi obat, petugas RS-nya kemudian menyuntikkan sesuatu di lengan kiriku. Untuk test alergi. Kulihat reaksi obat itu berbuih seperti mendidih membentuk gelembung (busa) kecil-kecil. Rasanya seperti serrrrr....

Selain itu aku sepertinya juga alergi kepiting, sebab setiap kesenggol daging kepiting sedikit saja, perutku seperti diaduk-aduk.

Terus aku dikasih gelang satu lagi di tangan kananku. Tadinya sudah ada dua gelang, sekarang jadi ada tiga dan warna-warni. Sayang aku lupa motretnya. Lumayan buat ganti sekumpulan aksesories gelang batu yang biasa kupakai dan terpaksa harus dilepas karena mau operasi ini.

Sambil menunggu itu kucoba berdoa dan ingat kata-kata ibuku kalau aku harus memantabkan hati dan pasrah sama Allah. Berharap semoga semuanya lancar.
Selama itu Kk yang mondar-mandir menyiapkan semua urusan yang diminta. Mulai surat-surat , beli popok di apotek, sampai kain untuk kubawa ke kamar operasi.

Tiba-tiba adikku Dodi datang, “Jam berapa jadwalnya?” tanyanya.
“Katanya sih jam 11.00 nanti. Tapi ya nggak tau lagi, soalnya kudengar hari ini dokternya operasi 5 atau 7 orang gitu lho...”  jawabku.
“Ya sebentar lagi...” kata adikku sambil melihat arlojinya.

Kemudian datang perawat yang sepertinya sedang hamil dan memeriksa selang infusku.
“Ibu pindah ke ruang operasi ya..., dan maaf tolong ditunggu di luar ya...” katanya pada Kk dan adikku sambil membuka selimutku.
“Lho, koq celananya belum dibuka? Berarti belum cukur bu?” katanya lagi begitu melihat di bawah selimut itu aku masih memakai celana panjangku.
Aku disuruh membuka celana panjang termasuk CD-ku dan berbaring untuk ‘diurusnya’.
“Nanti pemati rasa dilakukan dari pinggang ke bawah ya bu..” katanya. Sebetulnya aku pingin bilang kalau aku mau dibius total saja, tapi tidak sebuah katapun keluar dari bibirku.

Setelah selesai, kain selimut tadi diikatkan dipinggangku dan seorang petugas laki-laki datang membawa kursi roda.

Sebendel surat-surat, popok, dan kainku ditaruh di sisi kursi rodaku.
“Bapak dan mbak-nya silahkan ditunggu di ruang ujung sana, saya akan masuk lewat sini...”  kata petugas yang mendorong kursi rodaku ke adikku dan Kk.

Akupun didorong masuk ke sebuah ruangan yang ternyata sudah ada dua ibu-ibu muda duduk di kursi roda sepertiku di sana.

“Nah, sudah sampai bu...., tunggu giliran ya..., silahkan buat group trio ya...” kata petugas yang mendorongku tadi dan kemudian meninggalkan aku di situ. Posisiku berada di belakang dua ibu-ibu itu.

Dua orang ibu-ibu itu menoleh dan tersenyum padaku. Mereka berdua tampak ngobrol seru. Sepertinya teman lama yang sedang reuni.
“Ibu operasi juga?” tanya salah seorang.
“Iya, myom...” jawabku, “Ibu?” sambungku bertanya.
“Saya cesar bu.” Jawab ibu di depan kiri.
“Kalau ibu, cesar juga?” tanyaku ke ibu di depan kanan.
“Iya bu, saya anak kedua.” Jawabnya.

Subhanallah. Aku sempat blank melihat pemandangan dua orang ibu-ibu di depanku ini. Mereka begitu santai, bercerita-cerita sambil tertawa-tawa. Padahal beberapa saat lagi akan melahirkan.

Beda banget dengan suasana di ruang bersalin tempatku dulu yang akan melahirkan secara normal, tidak operasi. Ada erangan-erangan tertahan menahan sakit. Termasuk aku sendiri yang tidak bisa berbaring enak dan terus menggeliat-geliat karena sakit. Aku berusaha setengah mati untuk tidak mengeluarkan kata-kata keluhan dan hanya berdo’a segala macam do’a yang sempat terlintas. Semua do’a.

Kira-kira seperempat jam kemudian ibu di kanan depan dibawa masuk. Tinggal aku berdua ibu-ibu di kiri depan.

“Saya akan cesar kedua kali bu, tapi sebetulnya ini anak ketiga. Yang pertama meninggal dalam kandungan bu...” katanya.
“Saya belum pernah operasi. Kedua anak saya lahir normal, dan sekarang sudah besar-besar...” kataku.

Tidak lama, terdengar tangis bayi dari dalam ruangan. Satu kehidupan baru telah hadir ke dunia ini.

Tidak sampai setengah jam kemudian, ibu inipun dibawa masuk. Dan seperti tadi, tidak lama kemudian terdengar tangis bayi dari dalam ruangan.

Hatiku benar-benar masih kacau, tapi bukan karena balon merahku habis meletus lho ya... Aku masih tetap belum merasa mantab dan takut. Tapi aku harus terus melakukannya, pikirku.

Saat itulah aku jadi ingat kalimat-kalimat bijak saat menonton Drama Korea. Katanya, berani itu bukan tidak takut. Tapi berani itu adalah tetap melanjutkan ketika perasaan tidak berani itu datang. Jadi aku harus berani. Kata di Drama Korea: Hwaiting!!

Tapiii..., tau nggak. Ruang tunggu giliran ini sungguh sepi.  Hanya ruang kosong kecil sekitar 3X3 meter tanpa tivi ataupun perabotan lainnya. Suasananya terkesan dingin. Dan aku seolah sedang menunggu giliran untuk dijatuhi hukuman. Hiii....

Tiba giliranku dibawa masuk. Aku disuruh naik keranjang operasi. Disuruh duduk sebentar dan ditembak bagian belakangku dua kali. Nggak tau sebelah mana. Dess dessss!!

Kemudian disuruh berbaring, dan diapasang kain pembatas di daerah dada.
“Coba kakinya diangkat bu..., yang tinggi...” kata petugas.
“Sudah...” kataku sambil mengangkat kedua kakiku.
“Coba diangkat lagi bu....”
Kucoba mengangkat kakiku lagi, tapi koq nggak mau terangkat. Malah mulai kerasa kesemutan. Aduuuh...., pingin dipindah posisinya nih kaki..., nggak enak banget kan kalau kesemutan.
“Tolong dong kaki saya diangkatin sebentar, dipindahin posisinya. Kesemutan nih...” kataku.
“Ya memang begitu rasanya kalau dibius bu...” jawab petugas.
“Iya..., tapi tolong pindahin dikit deh, geser dikit gitu..., ini nggak enak banget rasanya...” aku tetap ngeyel. Tapi petugasnya nggak mau nurutin.

Haduuuuh, ini adalah momen paling tidak nyaman selama episode dibius. Sungguh aku ingin bangun dan menggeser sedikit kakiku. Tapi aku tidak bisa bangun karena kedua tanganku direntangkan dan sepertinya diikat.

“Ibu kalau ngantuk tidur aja, jangan dilawan, nanti pusing.” Entah siapa yang ngomong itu. Seperti suara dari antah berantah.

Aku memang mau tidur. Siapa juga yang mau lihat dokter mengobrak-abrik perutku, pikirku. Maka akupun tidur. Lep. Tidak dengar ataupun ingat apapun. Kapan dokternya datangpun aku nggak tau.

Ketika kubuka mata, kedua tanganku bersidekap di perut. Bajuku sudah bukan baju RS lagi. Selimut yang dililitkan di bagian bawahku tadi sudah berganti Kain Bali yang kubawa dari rumah. Ruanganpun sudah berganti dari yang tadi. Tapi aku masih belum bisa menggerakkan kedua kakiku.

Tampak di sisiku juga ada sebuah ranjang yang lain. Aku mencoba menengok, dan kulihat ibu yang tadi di depan kiriku tersenyum padaku. Kubalas senyumnya.
Tidak ada kata-kata yang terucap diantara kami, karena aku juga tidak tahu harus ngomong apa. Otakku masih kosong. Masih mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Sampai akhirnya ranjang si ibu tadi didorong ke tempat lain.

Tiba-tiba, dokter Luwang menghampiriku.
“Sudah selesai operasinya ya bu..., myom ibu sudah saya keluarkan. Gede lho bu..., segini...” katanya sambil membentuk bulatan dengan kedua tangannya.
“Cepat sembuh ya..., sekarang saya tinggal dulu...” katanya lagi. Aku masih juga tergugu. Tidak dapat berucap sepatah katapun. Ini mungkin yang disebut shock.
Ranjangkupun didorong ke tempat lain yang ternyata ke samping ibu tadi. Tapi perasaanku masih kacau balau dan kaki masih belum juga dapat digerakkan. Ada botol infus di sebelah kiriku. Kepalaku sih enteng.

“Bu, kita ke kamar ya sekarang...” akhirnya beberapa petugas dan perawat menghampri ranjangku. Mendorongku keluar dari ruang eksekusi ini.

Keluar dari lift, aku melihat Ndiek yang sepertinya sedang memastikan apakah yang sedang dilihatnya saat itu adalah mamienya.

Sampai di kamar, aku dipindahkan ke ranjang dan kedua kakiku masih belum dapat digerakkan. Sepintas kulihat ada Kk, Ndiek, adikku, dan suamiku. Tapi aku pingin tidur, belum pingin ngobrol. Jadi akupun tidur.

Bangun tidur, adikku sudah pulang. Sudah lewat maghrib ternyata.
Nggak lama kemudian suamiku pulang bawa motor Kk dan ngurusin rumah. Kk dan Ndiek yang bakalan campink di RS nemenin aku.

“Mamie pingin miring dong, punggungnya nggak enak nih...” kataku.
“Nggak boleh mie...” kata Ndiek.
“Boleh. Ayo kak, tolong pasang bantal di punggung mamie, mamie mau miring...” kataku. Kakiku masih belum bisa digerakkan, dan rupanya ada selang kateter yang dipasang. Aduh, ribet banget sih.

Dua orang anakku bingung. Antara mau nurutin maunya mamienya atau gimana.
Tiba-tiba perawat datang nganter obat.
“Suster, saya boleh miring kan?” tanyaku.
“Oh, boleh bu..., nggak apa-apa... Tetap bergerak seperti biasa nggak apa-apa...” jawabnya.

Baru deh Kk menaruh bantal boneka buat ganjal punggungku supaya aku bisa bertahan miring.

Ada jatah makan malam yang sudah disiapkan. Tapi siapa yang bisa makan di kondisi itu, sebab saat itu perutku sudah mulai terasa ngilu, ngilu, sakit, dan semakin sakiiit sekali... Setetes airpun tidak ingin kutelan.

Ketika selang infus di tanganku merah, Kk memencet bel memanggil perawat. Ternyata botol infusku sudah kosong. Diganti botol infus yang baru.
Kalau Cuma cairan infus yang dimasukkan ke tubuh sih nggak terasa apa-apa. Tapi ketika selang insusnya dimasukin obat, haduuuh...., itu baru terasa sakit.

“Suster, boleh minta pereda nyeri lagi dong..., ini perut saya sakit sekali...” kataku.
“Nggak boleh bu, sudah ada dosisnya yang diberikan tiap 8 jam sekali.” Jawabnya.
8 Jam sekali???!!! Astaghfirullah, bisa koít aku karena sakit.
“Kasih resepnya aja deh suster, biar ditebus sendiri sama anak saya ke apotek...” kataku lagi.
“Nggak ada ibu..., nanti sebentar lagi sudah reda koq sakitnya...” jawabnya.
“Ibu sudah buang angin belum?” tanyanya. Aku menggeleng. Males njawabnya. Orang minta pereda nyeri saja nggak boleh, pikirku.

Reda apanya?! Semakin lama sakitnya setengah mati. Haduuuuh, ini momen terparah setelah operasi. Sakitnya bukan main. Amit-amit banget aku nggak akan lagi mau operasi beginian. Kapok banget aku.

Sekitar jam 21.00 mbak Ririt, sobat Wanalaku datang dengan keponakannya. Aku jadi ingat ceritanya yang juga kesakitan waktu operasi serupa. Waktu itu dia sedang merayuku supaya mau operasi.

“Operasi itu memang sakit An, tapi ada obatnya koq buat ngatasi rasa sakit itu...” katanya.
“Mbak, obat apa yang kata mbak Ririt penghilang sakit itu..., kasih tau Rieke dong biar dia beli sendiri di apotek...” tanyaku.
“Sudahlah An, tahan sebentar. Ini aja sudah cukup koq...” jawabnya. Dan tetap nggak mau ngasih tahu biarpun aku tanya sampai berkali-kali.
Waaah, mbak Ririt ini nantang aku ya..., saking aku masih tidak berdaya. Coba aku sehat, kuajak gulat dia! Oh ya, kakiku sudah mulai bisa digerakkan.

Sekitar jam 02.00 atau 03.00 pagi, tiba-tiba perutku campur mulas, seperti ingin BAB.
“Kak, tolong anterin mamie ke toilet dong, kayaknya pingin BAB nih...”  kataku ke Kk yang sedang  kebagian jaga. Ndieknya lagi tidur. Tapi bangun juga begitu melihat aku turun dari ranjang berjalan ke toilet diantar Kk. Kk harus pegang botol infus dan kantong kateter.

Tapi sudah nongkrong lama sampai kesemutan di closet, tidak ada apapun yang keluar, bahkan sepotong kentutpun tidak.
“Bisa?” tanya Ndiek begitu aku dan Kk dari toilet.
“Nggak bisa. Nggak ada apa-apa yang keluar.” jawabku.
“Ya gimana ada sampahnya, orang mamie nggak mau makan apa-apa, minum aja nggak mau...” katanya. Aku cuma menggelengkan kepala. Siapa yang nafsu makan kondisi begini Dek...
Kuputus dulu ceritanya ya, biar nggak bosan.


Malang, 19 Mei 2019




Kamis, 02 Mei 2019

Operasi (pra-operasi)



Siapa sih yang nggak pernah dengar atau tidak tahu kata ‘operasi’ ?

Terlepas dari apapun artinya, dalam satu hari mungkin aku bisa mendengar atau membaca kata itu lebih dari satu kali. Yang artinya kata operasi itu bukanlah satu hal asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya operasi anggota bagian tubuh, atau operasi lalu-lintas, ataupun yang lainnya.

Tetapi ketika kata operasi itu merujuk pada diriku sendiri, berhubungan dengan tubuhku...., tiba-tiba saja aku merasa arti kata itu bisa menjadi sesuatu yang mengerikan. Iya, menakutkan! Karena kata operasi yang kumaksud kali ini adalah berhubungan dengan kesehatanku.

Alhamdulillah dalam setengah abad lebih hidupku ini, aku pernah ngamar (tidur) di RS itu hanya dua kali. Yaitu pada tahun 1994 waktu melahirkan Kakak di RS Adi Husada Surabaya dan tahun 2001 waktu melahirkan Ndiek di RS Karya Bhakti Bogor.

Kedua peristiwa itu murni karena melahirkan, bukan karena aku menderita suatu penyakit tertentu. Walaupun sempat juga ketika akan melahirkan Ndiek, aku pakai acara diinfus dan pasang oksigen segala, karena ketuban sudah pecah di rumah sedangkan saat itu belum waktunya buat Ndiek untuk lahir ke dunia... (maju 3 minggu dari perkiraan yang ditentukan).

Bukannya aku tidak percaya pada dunia kedokteran atau medis, bukan!

Aku percaya koq kalau pada saat ini dunia kedokteran sudah amat maju dengan segala macam penemuan medis terbaru. Semua sudah serba canggih dan tehnologi yang oke.

Hanya saja, aku tidak suka kalau itu harus berhubungan denganku. 
Sebab biasanya kalau aku sedang merasa tidak enak badan dan seperti akan kena flu misalnya, maka sebelum tidur malam ini, aku menggosok leherku dengan minyak kayu putih, kemudian membungkusnya dengan selendang supaya hangat. Setelah itu tidur. Tidak perlu minum obat apapun. Insya Allah besok bangun pagi aku nggak jadi sakit... Aku nggak suka obat.

Aku percaya dengan tidur cukup, maka tubuhku akan dapat merevitalisasi sendiri, mengobati sendiri..... (Itu, kata merevitalisasi sendiri bener nggak sih? Dulu sepertinya pernah baca begitu...)

Sekarang, tiba-tiba aku divonis eh didiagnosis harus operasi. OMG!! Sumprit aku takut!

Semuanya berawal ketika bulan Januari 2019 lalu aku main ke rumah seniorku Wanala di Blitar yang kebetulan adalah seorang Dokter Ahli Kandungan, mas dr. Didik Agus Gunawan SpOG.
“Dokter, tolong Aan ini diperiksa dong. Selama ini sering ngeluh sakit perut, tapi nggak pernah mau periksa...” kata mbak Herida.
“Ada Myom tuh An...” kata mas Didik waktu menyuruhku berbaring di tempat periksa. Wah, mas Didik sakti..., cuma lihat bentuk perutku saja sudah langsung tahu.
“Nih, diameter myomnya sudah 13,50 cm. Harusnya maximum 12 cm itu sudah diambil.” kata mas Didik sambil memperlihatkan layar monitor USG perutku.
“Harus dioperasi. Itu sudah gede dan takutnya berubah sifat.” Kata mas Didik.

Saat itu, semua yang dengar dan melihat hasil pemeriksaanku seolah ikut shock karena tiba-tiba ditemukan monster sebesar itu di dalam perutku.

Mereka ini adalah saudara sehobby dan senasib dalam kelompok Pecinta Alam Wanala Unair yang pernah kuikuti berpuluh tahun lalu ketika masih kuliah,  dan alhamdulillah kami masih terhubung sampai sekarang.

Mereka ini pula yang akhirnya hampir tiap hari mencerewetiku untuk segera menindak lanjuti hasil diagnosis mas Didik itu. Byuh!!

Ada yang bertanya, apa selama ini tidak pernah merasakan gejala apapun, sebab tidak mungkin myom itu secara tiba-tiba muncul sebesar itu.

Sungguh. Selama ini aku tidak pernah merasakan gejala sakit perut atau apapun yang ekstreem. Paling-paling kalau kurunut lagi ke belakang, mungkin ya terkadang ada rasa seperti sunduk’en (bahasa Jawa, aku nggak tau bahasa Indonesianya apa), celekit-celekit gitu. Suatu rasa sakit seperti kram perut saat kita habis makan atau minum, terus berlari/OR. Itu biasanya terasa di perut bawah kiri. Pernah sih, waktu masih tinggal di Bogor, perutku tiba-tiba kram begini sampai tidak bisa bangun saking sakitnya. Tapi itu cuma sekali dan sudah lama sekali. (Tidak kuhiraukan)

Selain itu, aku juga sudah agak lama tidak bisa tidur terlentang atau tengkurap terlalu lama karena kalau itu kulakukan, nanti rasanya tulang punggung bagian pinggang itu seperti rontok dan menempel ke ranjang. Sakit sekali. Jadi biasanya kalau tidur aku selalu miring. (Kupikir karena aku mulai tua, jadi tidak kuhiraukan)

Satu lagi, akhir-akhir ini aku  merasa perut bagian bawah tepat di bawah pusar, sering tiba-tiba terasa keras, kaku, mirip orang yang sedang hamil dan kontraksi. Kalau dipegang, seolah di dalam itu ada batunya. Tapi aku kan tidak sedang hamil. Haidku masih tetap lancar tiap bulan dengan kondisi derasnya agak berlebihan sih. (Tidak kuhiraukan, karena kupikir sedang bersih-bersih karena mau menaphause)

Ternyata yang tidak kuhiraukan-kuhiraukan itu tadi tidak terjadi pada orang lain. Hanya terjadi padaku. Kalau normal sih, harusnya aku mencurigai itu semua sebagai suatu hal yang tidak wajar. Ada sesuatu dalam tubuhku. Harusnya begitu.
Tapi kan selama ini aku mendiagnosis diriku sendiri bahwa tidak terjadi apa-apa dan tidak ada apa-apa dalam tubuhku. Jadi ya aku biasa saja.

Kalau sudah begini, aku jadi ingat kata-kata mbak Khurin, “ Diagnosis Dokter Fisip tidak dapat dipercaya!”
“Diagnosis Dokter Ekonomi tidak dapat dipercaya!”
“Diagnosis Dokter Hukum tidak dapat dipercaya!”
Hahahaaa...., itu semua gara-gara kami memberikan diagnosis pada kondisi kesehatan mbak Khurin sesuai dengan pengetahuan awam yang kami ketahui, waktu mbak Khurin menceritakan kondisi kesehatannya, padahal kami semua bukan Dokter.  Makanya mbak Khurin menyebutkan asal Fakultas kami masing-masing sebagai latar belakang ke-sotoy-an kami.....

Mbak Khurin, mbak Herida, mas Didik, Pratmi, Rini, Mas Anang, mas Ganis, mas Makhsus, Burhani, mbak Sawitri, adalah seniorku di Pecinta Alam yang kebetulan kali ini dapat berkumpul bersama dengan adik-adik (junior) seperti Agus dan Iis yang seangkatan denganku, kemudian ada Harjati, Widarti, Eka, Memes, Erna, Zindy, Ita. Kami berasal dari berbagai Fakultas dan Bidang Study, tapi di dalam wadah ini, kami semua seolah satu nafas, satu rasa, satu jiwa. Persaudaraan kami tiada batas. Itulah kekuatan yang kami banggakan sebagai Mantan Mahasiswa Pecinta Alam, Wanala Unair.

Okeee...., kita kembali ke laptop.

Sambil mengurus berbagai surat rujukan untuk operasi, aku berusaha menguatkan diri juga untuk berani melakukan operasi ini. Antara mau dan tidak masih sibuk berlomba dalam kepalaku. Berusaha saling mengalahkan.

Tapi kalau nggak operasi, ya serba salah sih. Karena sejak tahu kalau di dalam perutku ada monster sebesar itu, aku jadi agak mengurangi aktifitasku yang memang banyak di luar rumah. Jadi agak takut untuk bepergian jauh. Padahal tadinya mah aku bebas saja, mau loncat ke sana ke mari ya oke saja...

Ibuku sempat meminta supaya aku melakukan operasinya di Surabaya saja karena beliau ingin mengurusiku, katanya. ***Al Fatihah untuk Ibuku.

Biarpun aku sudah setua ini, sudah punya keluarga dan anak-anak sendiri, bagi ibuku, aku pasti tetap anaknya yang ingin diurusnya ketika sakit.... (Huhuhu....., pingin mewek nggak sih?)

Padahal kondisi ibuku saat ini tidaklah dapat dibilang bagus juga. Karena beliau pernah kena strooke ringan yang sampai sekarang kaki kanan dari lutut ke bawah tidak terasa (lumpuh). Begitu juga gula darahnya yang pernah melewati batas sehingga harus mengalami koma dan meninggalkan bekas kurang berfungsinya ginjal sebagai pengontrol cairan yang akibatnya perut ibuku agak membesar karena cairan yang gagal terbuang seluruhnya (harus disedot dalam jangka waktu tertentu).

Sementara bapakku sendiri, akhir-akhir ini kesehatannya juga mulai menurun. Mulai merasakan sakit di sana dan di sini yang selama ini mungkin juga tidak pernah dirasakannya.

Dengan kondisi ibu dan bapakku yang seperti itu, apa iya aku masih tega harus diurusi mereka berdua? Tapi kalau menolak langsung, aku juga nggak sanggup mengutarakannya.

Alhamdulillah, dokter Faskes pertamaku tidak dapat memberikan rujukan RS di Luar Kota Malang, jadi harus di RS di Malang. Maka inilah alasan yang kuberikan pada ibu dan bapakku supaya aku bisa operasi di Malang saja
“Ya sudah nggak apa-apa kamu operasi di Malang, tapi apa kamu sudah siap? Kalau sudah siap ya pasrahkan saja semuanya ke Allah..., nggak usah mikir yang lain.” kata ibuku.
“Insya Allah siap...” jawabku. Biar ibuku nggak khawatir.

Pertama kali ke RS Puri Bunda untuk periksa, aku ditemani suamiku dan mbak Herida. Tapi mereka nggak ikut masuk ke dalam.

“Selamat pagi bu..., ada yang bisa saya bantu? Ada keluhan apa?” sambut dokternya begitu melihatku masuk.
“Koq pagi dok? “ kataku. Orang saat itu sudah lewat jam 12.00 siang.
“Pagi sajalah kalau sama saya...., eh apa ibu nggak keberatan ya..., kanan kiri batu semua....” katanya.
Hehehe..., selalu begitu setiap perjumpaanku yang pertama dengan seseorang. Gelangku. Iya, gelangku yang selalu menarik perhatian mereka.
“Sebetulnya saya nggak punya keluhan dok, tapi hasil USG dari teman saya menyatakan kalau saya harus operasi...” jawabku sambil menyerahkan amplop foto USG dari mas Didik.
“Lho, teman ibu bisa USG?”
“Iya, teman saya, tepatnya senior saya di Pecinta Alam waktu kuliah dulu, adalah Dokter Kandungan...” jawabku.
“Wah, temannya ibu Dokter Kandungan, lha ibu sendiri Dokter apa?” tanyanya.
“Saya sih Dokteranda, dokter-dokteran...” jawabku.

Kesanku pada dokter ini adalah ramah dan suka bercanda. Entah semua itu keluar dari dalam hatinya atau sekedar pemanis di bibir saja, aku tidak tahu. Yang jelas aku menghargai upayanya supaya orang tidak merasa asing dan akward ketika harus memeriksakan diri padanya. Terbukti aku merasa nyaman dan mempertimbangkan untuk benar-benar melakukan operasi itu. Mungkin kalau dokternya jaim, aku juga agak enggan meneruskan. Soalnya takut duluan.

Namanya dr. N Luwang Wisena SpOG...., yang setelah ku googling N di depan namanya itu adalah Nyoman. Orang Bali ternyata. Posturnya tinggi, kurasa ada sekitar 185 cm-an.

“Oke..., ibu mau operasinya kapan?” katanya setelah memeriksa perutku dengan USG.
“Lho, memangnya bisa kapan saja dok? “ tanyaku. Waduh, sekarang aku yang keder. Kenapa cepat sekali?
“Bisa. Kenapa enggak. Kondisi ibu baik koq. Terserah ibu kapan maunya, asal satu hari sebelumnya ibu datang dulu ke saya, kita ceklab dulu...” jawabnya.
“Oke deh, saya pikir dulu ya dok...” kataku.
“Silahkan. Kapan saja ibu siap, ayo kita lakukan. Sambil nunggu, ibu boleh papsmear dulu, terserah mau papsmear di mana. Nanti minggu depan ibu kontrol ke sini lagi ya...” katanya.
“Salam buat dokter Didik...”katanya sebelum aku keluar dari ruangannya.

Waaaah, gimana ini.... Kenapa aku sendiri yang harus menentukan waktu operasinya ya...  Aku merasa seolah aku menyerahkan diri menunggu hukuman. Nggak asyik ah dokternya. Bikin aku galau nih.

Waktu seminggu ternyata cepet sekali Ferguso! Tiba-tiba saja sudah waktunya aku harus kontrol ke RS, dan aku belum papsmear...., hayooo looo....

Hari Selasa, tanggal 26 Maret 209, kuajak Kk menemani periksa ke RS. Eh, kesiangan. Sudah tutup. Dokternya sudah pulang. Suasana di ruang tunggu juga sepi. Padahal masih jam 11.00 an.

Besoknya, hari Rabu tanggal 27 Maret 2019, datang lagi agak pagian. Berhasil. Dapat nomor antrian kesekian belas, lupa aku.
“Selamat pagi, ini yang mau periksa siapa?” tanya pak dokter melihatku masuk berdua dengan Kk.
“Saya yang mau operasi myom dok, tapi saya belum papsmear. Emang langsung operasi saja nggak bisa dok?” tanyaku.
“Ya sudah, saya periksa dulu...” katanya.
“Ini anaknya bu? Sudah nikah belum?”
“Belum dok...” jawabku.  Aku disuruh berbaring sama perawatnya, copot CD, dan membuka lebar kedua pahaku. Aduuuh.
“Oke, kondisinya bagus, nggak ada radang atau apapun. Bisa langsung operasi besok. Jam 11.00 ya bu...” kata pak dokter setelah memeriksa ‘dalamku’.
“Anaknya tinggi kayak model gini masak nggak ada yang mau bu? Saya lamar boleh?” katanya.
“Mau dijadiin yang ke berapa dok?” kataku. Pak dokternya tertawa.

Akhirnya hari itu juga aku langsung melakukan ceklab. Mulai periksa darah, urine, rekam jantung, dan rontgent yang harus kulakukan di lab luar karena RS ini tidak ada fasilitas itu.

Yang lucu waktu rekam jantung. Petugasnya sampai dua kali harus mengulang merekam detak jantungku. Yang pertama detaknya ada yang tidak terdeteksi.
“Kenapa mbak? Jantung saya nggak berdetak ya mbak?” tanyaku dengan maksud bercanda.
“Ah, enggak bu...., bukan begitu....” jawabnya serius dan mencoba menghiburku dengan beberapa kalimat yang menenangkan. Ah, si mbaknya nggak bisa diajak bercanda. Mungkin dia pikir aku ketakutan karena jantungku tidak terdeteksi, hehehe.....

Oh ya..., apakah karena RS ini adalah RS Ibu dan Anak, sehingga perawat dan petugasnya semua baik-baik dan ramah? Sopan-sopan dan benar-benar memanusiakan manusia. Perlakuannya juga tidak kasar. Ini sungguh menyenangkan.

Hari Kamis, tanggal 28 Maret 2019, aku sudah puasa sejak jam 05.00 pagi. Jam 09.00 harus sudah di RS untuk persiapan operasi. Jam 08.00 pagi aku berangkat dengan Kk naik motor menuju RS.

.....................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................


**** Aku menulis ini beberapa hari sebelum ibuku dipanggil Allah. Maksudku menulisnya kucicil karena agak panjang yang ingin kutulis, makanya tidak segera kumasukin Blog dan kuposting.
Ternyata pada tgl 17 April 2019 Ibuku dipanggil Allah. Al Fatihah untuk Ibu.
Sampai hari ini, tgl 3 Mei 2019, aku belum dapat tenaga untuk melanjutkan lagi. Jadi kupikir tidak apa-apa ini saja dulu yang kuposting.