Sabtu, 25 Agustus 2012

Imajinasi


Liburan yang hanya beberapa hari ini benar-benar kumanfaatkan untuk mengembalikan stamina dan berat tubuh yang hilang karena aktifitas yang lumayan padat. Sehingga, waktu terbanyak dari 24 jam sehari itu kupakai untuk tidur tidur dan tidur. Barangkali dengan tidur seharian selama berhari-hari (mirip tupai yang lagi hibernasi), bobotku bisa kembali naik barang sekilo dua kilo lagi, biar nggak kelihatan peot banget gitu. Kasihan kan kalau para penggemarku melihat keadaanku yang sekarang? Pasti mereka akan kecewa berat dan beralih mencari idola baru,… hehehe….. (imajinasi sebagai artis).

Begitu melek mataku dan kondisi masih berada di ambang batas kesadaran, telingaku menangkap suara cempreng Sponge Bob dari TV. Kucoba melirik ke tempat TV, hhhhh…….. anak bungsuku terkekeh-kekeh melihat ulah Patrick yang blo’onnya selangit itu.
“Ya ampun dek, memangnya nggak ada film kartun yang lain? Film ini kan sudah sepuluh ribu kali diputar dekkkk……. Nggak bosen apa?” kataku.
“Nggak tuh, Sponge Bob ini nggak bosenin mamie….” Jawabnya sambil tetap tertawa-tawa. Padahal, ya ampuuuunnnn…., episode yang diputar ya itu lagi itu lagi….
“Tapi mamie bosen lihatnya dek…” kataku lagi.
“Soalnya mamie lihatnya nggak menghayati, coba mamie ikuti jalan ceritanya… pasti deh mamie nanti nggak bosen lagi. Habis ini nanti kan Patricknya bla bla bla…., terus blab la bla….” jawabnya sambil menceritakan kelanjutan ceritanya. Nah, itu… bahkan dia saja sampai hafal jalan ceritanya, tapi koq ya nggak bosen-bosen… Bener-bener imajinasi yang hebat, bisa membuat bintang laut, spons, gurita, kepiting, bahkan plankton terangkai jadi satu dalam sebuah kisah yang aneh tapi herannya disukai oleh banyak orang di seluruh belahan bumi ini.

Terus terang aku sendiri juga suka sekali nonton film kartun anak-anak, tapi kalau film itu gambarnya bagus dan ceritanya menarik…., lumayan buat refreshing. Seperti film film Barbie, Peri-peri, Avatar, dan lain-lain…. Pokoknya yang gambarnya bagus dan seperti sungguhan. Bahkan aku juga pernah menangis hanya karena menonton film kartun yang sedih (tapi aku lupa film apa ya dulu itu).

Aku selalu kagum pada inspirasi, imajinasi dan daya cipta yang dimiliki oleh pembuatnya. Hebat banget gitu, gambaran tangan bisa bergerak (walaupun dimainkan oleh computer) dan bertingkah laku seperti manusia beneran……, kemudian imajinasinya yang menggiring kita untuk ikut larut di dalam ceritanya…. Serta  inspirasinya untuk membuat semua itu menjadi tontonan yang menarik…. Wow wow wow…., jempol lima deh…. Hehehe….. (yang satu pinjam jempol tetangga).

Imajinasi. Ya, imajinasi inilah yang paling membuatku terkagum-kagum. Bagaimana seseorang dapat melepas bebas imajinasinya sehingga menghasilkan satu runtutan cerita yang indah…., (yang selalu ingin kumiliki). Aku ingin punya imajinasi yang bebas lepas seperti itu…, sebab yang kupunya masih banyak sekali direcoki kekangan dan hambatan di sana-sini, sehingga imajinasiku sering harus mandeg dan terbuang di tengah jalan karena tidak dapat lagi berlanjut.

Anak bungsuku ini tampaknya mempunyai jiwa seni yang cukup besar dibandingkan anak-anak sebayanya. Maka dari itu, aku berusaha memberinya keleluasaan dalam berimajinasi, berekspresi dan mencipta. Kubiarkan dia bereksperimen dan mengeluarkan semua yang ada di kepalanya. Aku ingin dia melepaskan semua kekangan asal masih dalam batas kelayakan untuk anak seusianya. Hasilnya, dia selalu membuat sendiri mainannya dari kertas-kertas, kardus, kaleng dan sebagainya sampai rumahku setiap hari seperti memelihara tuyul karena selalu penuh sampah dari potongan kertas, kardus dan kaleng bekas yang sudah dibentuknya menjadi bermacam-macam, tergantung imajinasinya saat itu. Mainan itupun akan dimainkan sendiri dengan serunya seolah dia sedang bermain dengan sekelompok teman-temannya. (Waktu itu tetanggaku sampai melongok ke rumahku, ingin melihat dengan siapa anakku bermain karena terdengar heboh banget, dan diapun hanya tersenyum waktu melihat anakku yang ternyata sedang bermain sendiri).

Coba bayangkan bila manusia diciptakan Tuhan tanpa imajinasi, mungkin dunia ini akan sangat sangat membosankan. Kita ambil contoh satu bentuk benda saja ya,… misalnya kotak. Maka mobil bentuknya hanya kotak saja tanpa lekukan-lekukan eksotis di bodynya. Kue-kue juga, misalnya donat… mungkin bentuknya bukan seperti itu, tapi kotak macam balok bekas gergajian tukang yang bikin kusen rumah. Baju juga gitu, kalau nggak ada bentuk lain dalam kepala manusia, mungkin semua modelnya sama… macam robot pakai baju zirah…. (bahkan baju zirah aja nggak kotak semua bentuknya). Aaahhh, pokoknya nggak asik deh kalau manusia nggak punya imajinasi dan semua isi kepala seragam. Pasti semuanya stag aja. Bener nggak sih?!

Saat nulis ini, aku sambil mengamati tetanggaku yang sedang menyiram jalanan dan bunga-bunga yang ditanamnya karena kemarau yang cukup panjang membuat jalanan berdebu yang mengepul-ngepul setiap saat. Tiba-tiba saja terlintas di kepalaku, bagaimana ekspresinya kalau ternyata yang keluar dari selang airnya bukan lagi air bening hasil sedotan sumurnya, tapi kuah rawon dengan potongan daging dan sandung lamur di dalamnya…., hehehe…… (ini imajinasi orang dengan perut yang lapar, padahal di dapurnya hanya ada nasi putih dan kerupuk).

Tidak terasa, ternyatasSekarang sudah hampir maghrib…. Akupun harus menghentikan aliran isi otakku ini sampai di sini dulu, aku harus mencari sesuatu untuk pengganjal mulut cacing-cacing dalam perutku, sebab imajinasi orang yang kelaparan akan berbahaya nantinya. Bisa-bisa sajadah dianggap onggokan daging dan sandung lamur yang siap dimasukkan ke dalam perut…., hehehe…. Salam…



Dalam kekuatan imajinasi ‘perut lapar’,
Bogor, 25 Agustus 2012

Minggu, 12 Agustus 2012

Penjaja Akting


Pulang kerja naik krl ekonomi menjelang maghrib, penumpangnya tidak sepadat hari-hari biasa waktu belum bulan puasa. Mungkin sebagian ada yang pulang lebih awal, atau mungkin malah menunggu buka puasa dulu baru pada pulang, yang jelas kereta jadi lumayan lengang, sorga bagi para penumpang… hehehe…

Para pedagang asongan semangat banget mondar-mandir, “Ayo, persiapan-persiapan…., sebentar lagi buka…., yang dingin yang dingin, ayo persiapan….. “ begitu teriak para penjual minuman. Kebanyakan memang yang lewat hanya penjual minuman dan buah. Mungkin para pedagang asongan yang lain juga pada istirahat nunggu buka puasa dulu.

Tiba-tiba ada yang mengucapkan salam dari ujung gerbong, “Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh…, dan salam sejahtera pada para penumpang semuanya.”
Aku sempat menengok dan melihat seorang laki-laki gondrong berpakaian hitam-hitam dengan ikat rambut batik membawa tas kain dan sebuah seruling berdiri di sana. Setelan bajunya seperti pakaian orang Baduy atau Madura dengan celana lebar tiga perempat. Pokoknya penampilan etnik gitu.

“Permisi bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, saya minta waktunya sebentar untuk bersedia mendengarkan saya. Saya berasal dari sanggar bla bla bla…. yang ingin mengungkapkan isi hati….” Aku lupa nama sanggar yang dia sebut, dan masih ada beberapa kalimat panjang pembuka yang diucapkannya, tapi aku lupa. Intinya semacam protes social pada para pemimpin begitu.

Kemudian dia langsung menjatuhkan diri bersimpuh di lantai kereta sampai nyaris bersujud sambil mulai meniup serulingnya yang melengkingkan penderitaan. Aku sih tidak terlalu faham dengan bahasa music, tapi kalau yang seperti ini sih, kurasa semua orang juga tau kalau suara lengkingan seruling itu adalah suara kesedihan karena mendayu-dayu mirip orang merintih.

Selanjutnya aksi theatrikalnyapun berlanjut, diselang-seling antara suara seruling dan puisi serta gerakan-gerakan tubuhnya yang mengekspresikan kalimat-kalimatnya. Kulihat beberapa penumpang  menahan tawa dan ada juga yang cekikikan karena tidak bisa menahan tawanya.

Aku jadi berpikir, apakah pertunjukan ini tepat sasaran? Disuguhkan pada masyarakat penumpang kereta ekonomi yang sudah lelah lahir batin dalam memperjuangkan hidup sehari-hari. Apakah pertunjukan ini tidak terlalu berat bagi mereka? Apakah mereka dapat memahami apa maksud dan tujuan pertunjukan ini? Apakah tidak sia-sia pertunjukan ini digelar di hadapan mereka?

Ataukah sang actor memang sengaja mencari penumpang kelas ini karena merekalah yang paling mudah tersulut api bila disuguhi kata-kata yang sedikit bernada protes pada para pemimpin, sehingga lebih gampang mengambil simpati mereka dan mendapatkan recehan dari mereka? Hehehe…., pikiran setan mulai menggelitikku,  mulai berandai-andai dan merangkai prasangka-prasangka negative.

Di akhir pertunjukannya, sang actor kembali bernarasi, mengucap doa keselamatan bagi para penumpang kemudian berkeliling mengacungkan tas kainnya yang sudah kumal. Kulihat banyak juga yang memasukkan recehannya ke dalam tas kain itu, termasuk yang tadi kulihat menahan tawa dan cekikikan melihat pertunjukannya.

Hehehe, kurasa sang actor pasti bersyukur karena pertunjukannya berhasil menarik simpati para penumpang sehingga mereka bersedia mengeluarkan recehannya. Atau mungkin hanya sekedar rasa kasihan tanpa tahu sama sekali arti pertunjukan itu karena tadi melihat sang actor yang sampai bersimpuh seperti itu?!..... Ah, tidak tahulah aku, apapun alasannya, yang pasti kantong kain sang actor berhasil menampung recehan itu…. Hehehe…

Kereta semakin melaju, waktupun sudah memasuki saatnya berbuka puasa. Dengan kecanggihan tekhnologi masa kini, khususnya HP yang dimiliki oleh hampir setiap penumpang kereta ekonomi ini, semua penumpang dapat mengakses dengan tepat kapan saatnya berbuka.

Alhamdulillah. Setetes demi setetes air mineral yang melewati tenggorokan, sudah membatalkan puasaku hari ini. Kenikmatan yang eksotis karena berada di atas kereta ekonomi yang rata-rata juga hanya meneguk segelas air mineral, tanpa kolak, es buah, kurma, biji salak,  dan sebangsanya. Semoga puasa hari ini diterima oleh Sang Pemberi Hidup. Aamiin.



Bogor, 10 Agustus 2012

Minggu, 05 Agustus 2012

Tanah Abang


Awal bulan, pertengahan bulan puasa, beberapa waktu menjelang lebaran. Byuh. Manusia tumplek blek di Pasar Grosir ini. Seumur-umur tinggal di Ibu Kota, sebelumnya aku tidak pernah menginjakkan kakiku ke tempat ini. Sudah males kalau mendengar cerita teman-teman ataupun tetangga yang pernah atau sering pergi ke sana. Bayangin saja, apa enaknya coba, dengan suasana yang panas menyengat, sedang berpuasa, kemudian hiruk pikuk suara pedagang yang saling bersahutan menjajakan dagangannya, suara tangis anak-anak, dan menurutku yang terparah adalah berdesakan dengan para pembeli lain, yang sampai-sampai mau jalan aja susssaaahhh. (Ini suasana di sepanjang lapak-lapak pedagang eceran dan grosir kecil)

Tapi kali ini aku terpaksa harus ke tempat ini karena tuntutan pekerjaan. Hari ini aku harus mengelilingi Pusat Grosir Tanah Abang ini untuk mencari responden yang mau diwawancara.
“Memangnya kita harus lewat sini ya?” tanyaku pada temanku yang jalan di depan karena aku memang tidak tahu sama sekali daerah ini.
“Sebetulnya bisa lewat jalan lain, tapi kejauhan…., lewat sini aja lebih dekat.” jawabnya.

Dalam suasana seperti  itu, hal  yang paling membuatku pusing  adalah banyaknya ibu-ibu yang mengajak anak-anaknya yang masih kecil-kecil ke tempat ini. Kenapa harus bawa anak-anak sih? Apa nggak kasihan sama anaknya? Mereka pada menangis kepanasan dan pasti merasa sangat tidak nyaman, belum lagi yang terinjak-injak. Wewwww, benar-benar kacauuu….

Ketika hampir sampai ke Lokasi Gedung tujuan, ada tempat yang agak lengang. Aku dan temanku berhenti sejenak untuk menarik nafas sebab tadi rasanya mau nafas aja susah. (hehehe… lebay.com….)
Mataku berputar berusaha menangkap moment-moment menarik yang mungkin dapat dijadikan bahan cerita. Biasa, naluri ‘penggosip’…., hehehe….
Betul saja, aku melihat ada sekitar lima orang ibu-ibu yang tampak berembuk, sambil celingak-celinguk dengan muka nggak jelas. Ternyata beberapa orang diantara mereka kecopetan. Aku rasa pasti dompetnya, karena sang copet juga pasti tau kalau ibu-ibu yang datang ke tempat ini pasti bawa duit banyak. Lain kalau di atas kereta, rata-rata penumpang cuma bawa uang pas untuk ongkos dan makan, makanya dompetnya bukan sasaran copet, tapi HP.

Hal seperti itu juga yang membuat daftar malasku untuk pergi ke tempat seperti ini bertambah, sebab seandainyapun isi dompetku cuma sepuluh ribu dan aku kecopetan, pasti rasanya nyesek dan jengkel banget. Lain kalau uang sepuluh ribu itu memang sudah niat mau disedekahkan. Bener nggak?

Suasana di dalam gedung Blok A, Blok B, dan Blok F yang kumasuki juga ramai pembeli, tapi tidak separah yang tadi. Di sini agak tertib karena di dalam gedung ‘kali ya…., dan mungkin juga karena barang dan harganya juga agak beda, hehehe…., jadi yang masuk juga sudah tersaring.

Dari beberapa responden pedagang yang berhasil kuwawancara, rata-rata omzetnya tiap hari aja sudah puluhan juta, per bulannya berapa, per tahunnya berapa? Woww…., perputaran duit yang kenceng sekali…. Itu baru di sini, di Tanah Abang. Di tempat lain, apakah juga seperti ini? Membludak dengan lautan manusia yang ingin membelanjakan duitnya?

Apakah itu artinya masyarakat kita juga banyak duitnya? Katanya masyarakat semakin menderita secara ekonomi? Lha ini, koq pada berebut membelanjakan duitnya semua? Hehehe…., tunggu dulu….., orang-orang yang membludak memenuhi pusat-pusat perbelanjaan ini jumlahnya belum mencapai sekian persen dari seluruh rakyat Indonesia lho…
Masih banyak di belahan Indonesia yang lain yang untuk makan hari ini saja susah. Nggak usah jauh-jauh deh contohnya, yaitu copet tadi. Coba dia hidupnya mapan, ada pekerjaan tetap yang dapat diandalkan, apa dia juga mau jadi copet? (Sebetulnya sih, jawabannya relative ya…., sebab ternyata jadi copet itu juga terkadang bukan karena sekedar kepepet tapi karena males. Jadi gimana dong…? Jadi bingung nih nulisnya….., hehehe…)

Oke deh, nulisnya sudah dulu. Aku juga tidak tahu harus nulis apa lagi, aku kan hanya sekedar share perasaan dan pengalamanku ke Pasar Tanah Abang yang baru pertama kalinya kudatangi ini, hanya saja otakku terlalu penuh dan tanganku selalu gatal kalau aku belum mengeluarkannya seperti ini…. Anggap saja ini salah satu referensi pengalaman buat yang tidak pernah bersentuhan secara langsung dengan mereka yang berada di kebanyakan masyarakat kita…..



Bogor, 2 Agustus 2012