Rabu, 16 Juli 2014

Semangat




Lihat ini, ada buntil daun singkong 4 buah, brengkes (pepes) ikan pindang marning ada 2 bungkus, kemudian botok tahu tempe 1 bungkus, botok alur 2 bungkus. Cukup banyak kan? Kebanyakan sebetulnya untuk kumakan seorang diri. Apalagi di bulan puasa begini.




Tapi lihat nih siapa yang jualan?






Seorang nenek-nenek yang kuperkirakan usianya antara 60-70an, berjalan terseok-seok karena tubuhnya yang lumayan gemuk. Langkahnya seolah terseret saja diikuti tubuhnya yang mengayun berat.

Beberapa bulan lalu ketika aku masih baru saja menempati rumah mendiang mertuaku ini, aku mendengar seseorang menjajakan dagangannya, “Buntil, bothok, bacang….”
Aku memanggilnya karena aku memang lumayan suka jenis makanan ini, tapi amat sangat ogah buat memasaknya sendiri, buntil.

Ketika pintu pagar kubuka dan kupersilahkan si nenek masuk, sempat kulihat rona terkejut di wajahnya walaupun senyumnya tetap terkembang lebar.
“Maaf nak, mau tanya ya….” katanya ketika aku selesai membeli beberapa dagangannya yang ternyata juga ada beberapa jenis jajan pasar.
“Iya, kenapa bu?” jawabku.
“Anak ini apanya mamah yang tinggal di rumah ini?” tanyanya lagi.
“Oh, saya menantunya bu…, kenapa?”
“Mamahnya kemana?”
“Oh…, ibu mertua saya sudah nggak ada bu, sudah dua tahun…”
“Inna lillahi wa inna illaihi roji’un…” katanya, “Rupaya saya sudah lama juga nggak jualan nak…., sampai mamahnya meninggal dua tahun tapi saya baru tahu…”
“Ibu langganan mertua saya ya?” tanyaku.
“Saya dulu bekas tetangganya sebelum pindah ke rumah ini…, dari dulu mamah itu baik sama saya…, saya sering numpang istirahat di terasnya kalau siang. Waktu sudah pindah di rumah ini juga gitu, mamah nggak selalu beli dagangan saya, tapi saya boleh numpang duduk di sini, istirahat sebentar sebelum saya jalan lagi. Capek nak jalan kaki keliling perumahan gini…. “ katanya.

Ingatanku melayang ke mendiang ibu mertuaku. Orangnya adalah tipe pekerja keras dan supel. Tidak heran kalau dulu kenalannya dari berbagai kalangan dan dari berbagai status social. Selain si ibu ini, ada juga tukang sayur  yang bercerita kalau dulu ibu mertuaku sering memberinya tumisan sayur, lauk, orek tempe, atau apapun yang dibungkus plastic buat dibawa pulang.

Kita kembali pada penjual lauk tadi ya….., nah, hampir sama alasanku dengan mendiang ibu mertuaku dulu kalau tadi aku memanggil si ibu yang berteriak kencang ketika pas di depan rumahku adalah supaya si ibu sempat duduk dan beristirahat sejenak. Karena sungguh deh, sebetulnya aku juga tidak tega kalau melihat cara berjalannya yang sudah amat payah. Tapi lebih dari itu, aku sungguh salut pada perjuangannya, pada semangatnya untuk tetap melangkah demi sesuap nasi. Mengandalkan dirinya sendiri dan bukan pada orang lain.

Aku tidak ingin si ibu kehilangan tempat istirahatnya walaupun ibu mertuaku sudah tidak ada. Biarlah si ibu tetap mempunyai tempat istirahat di sela-sela perjalanannya menjajakan dagangannya, dan terus terang aku juga tidak tega melihat dagangannya yang masih lumayan banyak. Biar sedikit mengurangi beban yang dibawanya. (Walaupun di dalam hati tadi sempat terpikir, nanti siapa yang mau makan semua ini? Suamiku baru tadi siang berangkat ke Jakarta, dan anakku yang kecil nggak bakalan doyan semua jenis makanan yang kubeli tadi)

(Okelah, semoga nanti keponakanku ada yang mau mengambil makanan ini untuk kutitipkan buat ibu, bapak atau nenekku)
Semangat ya bu!!



Surabaya, 16 Juli 2014
(sekarang bikin takjil dulu untuk buka puasa anakku)