Hari senin pagi anak sulungku
yang tinggal di Malang menelpon, “Mamie, Itek badannya nggak enak semua, kepala
pusing, badan lemes….” katanya.
Itek itu nama panggilan yang
diciptakannya sendiri sejak kecil waktu dia belum dapat menyebut namanya dengan
benar dan tetap dipakainya sampai sekarang kalau dia sedang berbicara padaku,
pada Papienya ataupun pada beberapa keluarga saja.
“Terus maunya gimana?” tanyaku.
“Itek masuk kerja nggak ya…., sakit
banget nih kepalanya…, tapi kalau nggak masuk nanti gaji Itek dipotong dong…”
“Emang kakak dapat liburnya
kapan?” tanyaku.
“Tanggal 29…” katanya.
“Tanggal 29 kan besok kak…”
kataku.
“Iya apa? Eh, iya….. tanggal 29
besok, ya udah deh… Itek hari ini tetep masuk ya Mie, besok kan libur jadi bisa
istirahat seharian…”
Selasa siang kutelpon anakku, “Gimana
kak, kakak jadi sakit?” tanyaku.
“Iya nih Mie, dari semalam di
tempat kerja tuh sambil nahan sakit kepala yang rasanya sudah pingin meledak.” jawabnya.
Suaranya terdengar lemah.
“Tadi malam pulangnya gimana,
sama siapa?” tanyaku. Sebelumnya anakku ini sering mengeluh setiap dapat jadwal masuk
malam, sebab di jam dia pulang itu sudah tidak ada kendaraan umum yang menuju
tempat tinggalnya lagi, jadi dia harus mencari tumpangan teman-temannya. Bulan
lalu sih dia masih abonemen jemputan, tapi sudah sebulan ini tidak pakai jemputan
lagi karena katanya selalu ada temannya yang menawarkan tumpangan atau dengan sukarela
mau menjemputnya pulang kerja. Lumayan ongkos jemputan bisa buat makan, katanya.
“Semalam numpang mbak Sisca,
kebetulan kemarin dia juga masuk malam…” Sisca ini sempat ikut kost di tempat
anakku dua bulan ini, tapi mulai bulan depan sudah nggak kost lagi, mungkin
tiap hari pulang ke rumah orang tuanya di Dampit.
“Kakak sudah makan?” tanyaku.
“Belum, ini baru bangun banget.
Hujan lagi. Kata mbak Sisca, semalam badannya Itek panas banget Mie,
keringatnya keluar terus-terusan… padahal mbak Sisca kedinginan.” katanya.
“Sekarang masih panas?” tanyaku.
“Masih, dan Itek sudah ganti baju
tiga kali sebab basah terus….” katanya. Terus terang, setiap mendengar anakku
mengeluh tidak enak badan atau sakit, hatiku serasa diiris-iris. Kasihan dia.
Kasihan dia harus jauh dari rumah dalam keadaan seperti ini. Apalagi saat ini, anakku yang satu juga panas
badannya. Tadi pagi tidak masuk sekolah. Hati dan otakku serasa mengalami
hempasan angin ribut. Kacau sekali.
“Nanti sore cari dokter ya kak…”
kataku.
“Iya, nanti kalau sudah reda
hujannya Mie…, ini sekarang masih hujan deres.” jawabnya.
Sore sebelum maghrib kutelpon
lagi anakku, “Sudah ke dokter kak? Sudah makan belum?”
“Belum Mie, masih hujan…, nanti
aja cari makannya sekalian ke dokter…” katanya.
Malamnya kutelpon lagi anakku, “Gimana
kak, tadi sudah ke dokter?”
“Sudah Mie, tapi Itek keluar
lagi, nggak jadi periksa…” katanya.
“Emang kenapa?”
“Pas Itek masuk, ternyata di
dalam ada tulisannya ‘PENGGUNA JAMSOSTEK’, jadi Itek keluar lagi, kan Jamsostek
Itek belum jadi….” katanya. Astaghfirullah, ternyata anakku ini o’on banget ya…
“Kakak ini gimana siiiiih, kalau
kakak belum punya Jamsostek, ya kakak bayar ke dokternyaaaaa…” kataku.
“Emang boleh Mie? Jadi Itek tadi cuma
beli roti aja buat makan, sekarang ketambahan meler nih gara-gara Itek jalan
hujan-hujan cari dokter. Badannya juga panas lagi kayaknya…”
“Emang gak pakai payung? Kan
waktu itu Mamie kirimin payung….” kataku.
“Pakai payung sih, tapi tetap aja
basah Mie… hujannya deres…” jawabnya. Aaaahhhh…,kalau aku mempunyai daya atau
aku punya sayap, pasti saat ini sudah terbang aku menemaninya.
“Ya sudah, kalau gitu sekarang
makan rotinya terus tidur. Istirahat yang banyak…, besok pagi ke dokter lagi.” kataku
sambil mencoba menahan getar suara dan air mataku yang sudah ingin keluar
seperti tanggul yang nyaris jebol. Aku
membayangkan dia tidur sendirian di kamar kostnya sambil menahan sakit.
Jam 02.30 pagi anakku SMS. “Mamie,
Itek habis muntah-muntah…”
Langsung kutelpon dia, “Emang
apalagi yang sakit kak?”
“Giginya ikutan sakit Mie, jadi
Itek minum obat sisa waktu ke dokter gigi yang terakhir tempohari. Obatnya kan
kapsul… karena leher Itek sakit banget jadi kapsulnya Itek buka…, ternyata
rasanya pahit banget sampai Itek muntah-muntah. Itek buka kapsul satu lagi, barusan Itek minum.” katanya.
“Itu kapsul apaan koq sisa
berobat tempohari?”
“Kayaknya sih antibiotic, tapi
karena baru beberapa kali minum giginya sudah nggak sakit, ya Itek berhenti
minum, soalnya harganya mahal Mie…, biar bisa dipake lagi…”
“Yah kak, kalau antibiotic itu
harus dihabiskan biar penyakitnya nggak imun…” kataku.
“Apa itu?” tanyanya. Kujelaskan
kalau penyakitnya imun, nanti giliran dikasih obat sudah nggak mempan lagi. Dia
mengeluh menyadari ketidak tahuannya. Terus kusuruh dia untuk tidur lagi.
Gantian aku yang tidak bisa tidur karena memikirkanya.
Besok paginya kutelpon anakku, “Gimana
kondisi hari ini kak? Masih nggak enak badannya?”
“Masih, Mie… malah lebih parah
kayaknya…. Lidah Itek putih banget, leher sakit kalau buat nelen…”
“Bisa bangun nggak? Cari
dokterlah sekarang…. Naik ojek aja, sekalian cari makan dulu…” kataku.
“Di sini nggak ada ojek Mamie…..,
dan kayaknya nggak bakalan bisa makan deh, orang nelen air aja sakit..”
katanya. Aku lupa, terbiasa di Bogor dan Jakarta yang di mana-mana banyak ojek.
“Ya naik apalah, becak masak
nggak ada juga?! Pokoknya kakak harus cari dokter…, kalau perlu hari ini nggak
usah masuk dulu.” kataku.
“Iya sih, tadi temen Itek juga
sudah bilang kalau mau maintain ijin buat Itek, besok baru masuk tapi harus
bawa surat dokter. Tapi Itek takut dimarahi…..” katanya.
“Ya ampun kak, kalau kakak sakit
siapa yang mau maksa?”
“Ya udah, nanti sore Itek ke
dokternya…, sekarang mau tidur aja.” katanya.
Malamnya, sebelum aku sampai
rumah, anakku SMS yang mengatakan kalau dokter yang kemarin dia datangi tapi
keluar lagi ternyata tutup dan dia nggak tau di mana ada dokter lagi, malah
katanya yang ada dokter spesialis kandungan. Padahal dia sudah maksain jalan ke
tempat dokter itu.
Ya ampuuun, masak sih di sekitar
situ nggak ada dokter lagi? Lagian itu dokter kenapa juga bukanya nggak setiap
hari? Kenapa bukan hari minggu aja tutupnya? Kasihan anakku.
Kamis pagi kutelpon anakku,”Sekarang
cepet cari dokter kak…, biar tahu kakak sakit apa dan segera dikasih obat.
Kalau nggak ada dokter yang praktek pagi, kakak cari PUSKESMAS. Nggak mungkin
di satu kelurahan nggak ada puskesmas-nya.” kataku.
Sekitar jam sepuluh pagi anakku
SMS, “Itek sudah habis dari PUSKESMAS Mie, tapi Itek jadi ragu dan dokternya
nyeremin…”
Langsung kutelpon dia, “Nyeremin
gimana kak?”
“Masak bayarnya cuma tiga ribu
Mie, udah gitu dokternya malah yang nanya Itek sakit apa, lha kan dia yang dokternya
bukan Itek….” katanya. Aku tertawa mendengarnya, “Terus?...” tanyaku.
“Ya Itek bilang aja kalau Itek
radang tenggorokan…, terus Itek di suruh mangap… dan dia dari tempat duduknya
yang lumayan jauh dari Itek manggut-manggut sambil bilang ‘iya’….. Itu tanpa
mendekat ataupun menyentuh Itek sama sekali…. Terus Itek dikasih resep, terus
Itek bilang kalau kayaknya Itek juga batuk…, resepnya diambil lagi, terus
ditambahin obat batuk ‘kali.”
Aku tertawa mendengar suaranya
yang terdengar kesal.
“Pas Itek mau keluar, dokternya
bilang, ‘Ini saya kasih obatnya untuk dua hari, kalau dua hari nggak ada perubahan,
silahkan complain ke mari atau ke rumah saya, atau langsung aja ke rumah sakit.”
“Coba Mie, gimana Itek nggak
takut dengernya, masak ngasih obat tapi kalau nggak sembuh disuruh langsung ke
rumah sakit, berarti dia ngasih obatnya cuma coba-coba dong….., jangan-jangan
Itek dijadiin percobaan…, habis pas Itek ambil obat, Itek tanya harganya
berapa, eh katanya gratis…. Itu kan meragukan Mamie…, ini gimana dongggg… Itek
takut. Surat dokternya juga jangan-jangan palsu….” katanya.
Aku tertawa lagi mendengarnya, ya begitulah memang kalau ke PUSKESMAS. Mentang-mentang nggak bayar, layanan terhadap masyarakat ya suka-suka. Obatnya sih mungkin nggak suka-suka, karena dari pemerintah, jadi ya mudah-mudahan dapat menyembuhkan sakit anakku.
Aku tertawa lagi mendengarnya, ya begitulah memang kalau ke PUSKESMAS. Mentang-mentang nggak bayar, layanan terhadap masyarakat ya suka-suka. Obatnya sih mungkin nggak suka-suka, karena dari pemerintah, jadi ya mudah-mudahan dapat menyembuhkan sakit anakku.
“Lagian kenapa kakak bilang kalau
kakak sakit radang tenggorokan? Kenapa kakak yang mutusin? Kenapa kakak nggak
bilang kalau dokternya bukan kakak?” tanyaku sambil tertawa.
“Habisnya dokternya yang nanya….”
jawabnya.
“Ya udah, obat dari dokter itu
nanti diminum dan nanti atau besok Om Eko juga mau anter obat buat kakak….,
diminum juga ya….” kataku membesarkan hatinya. Eko ini teman baikku yang
kebetulan rumahnya tidak begitu jauh dari tempat kost anakku.(Trimakasih banyak buatnya). Dia khawatir
kalau typhus anakku kambuh, karena aku cerita kalau dulu anakku ini sudah
pernah kena typhus, makanya dia anterin pil cacing buat membantu proses
penyembuhan. (Tapi aku nggak bilang anakku kalau yang dianter Eko itu pil
cacing,… hehehe…., nanti dia nggak mau minum….)
Sampai saat aku nulis ini, (hari
sabtu), anakku tetap berangkat kerja sejak hari kamis dan dia merasa yakin
(pada diagnosanya sendiri) kalau dia hanya terkena radang tenggorokan.
Setiap saat pula aku hanya dapat
berdoa dan berharap bahwa anakku memang hanya sakit radang tenggorokan karena
sampai saat ini aku belum dapat menjenguknya untuk sekedar menyentuh keningnya
dan memeriksa suhu tubuhnya ataupun mengompresnya kalau perlu. Keep be strong
my daughter….
Bogor, 2 Februari
2013
(menunggu keajaiban yang dapat
membawaku ke sisi anakku)