Hmm…, harus ngomong apa ya
tentang kebijakan yang satu ini?! Serba salah memang. Sebagai salah satu
manusia pengguna KRL, mau yang ekonomi ataupun comutter dalam keseharianku, aku
jadi pusing harus bagaimana menyikapinya.
Sekarang begini, pihak Pemerintah
atau dalam hal ini PT KAI, beralasan kondisi KRL Ekonomi yang sudah tidak layak
jalan dan susah dicari spare partnya karena usianya yang sudah mencapai tujuh
puluhan lebih akan diganti dengan kereta yang lebih baik dengan kondisi ber AC
semua, tetapi dengan konsekwensi harganya harus naik. Harus naik berapa persen?
Masihkah tarif itu nanti dapat dijangkau oleh mayoritas pengguna kereta yang
notabene memang dari kalangan masyarakat menengah ke bawah? Yang untuk ongkos berangkat
bekerja setiap harinya harus diperhitungkan sedemikian rupa supaya tidak
kedodoran di tengah bulan? Bahkan yang ongkos KRL itu masih harus ditambah
ongkos angkot beberapa kali lagi supaya sampai di tempat tujuan?
Siapa pula yang menginginkan
kondisi KRL Ekonomi harus ber AC? Sehingga alasan untuk menaikkan tariff itu
akan dilegalkan? Tidak ada koq. Bener.
Masyarakat juga tahu diri dan
tidak meminta yang berlebihan. Kipas Angin/Fan di dalam KRL Ekonomi juga rasanya sudah bagus asalkan
semua berfungsi dengan baik. Tidak seperti kondisi KRL Ekonomi saat ini, di
mana Kop/Kepala Kipas Anginnya muter sendiri tanpa ada baling-balingnya, atau
terkadang ada baling-balingnya tapi tidak dapat berputar lagi dan kepalanya
saja yang menengok sana menengok sini. Belum lagi atapnya yang bocor kalau
hujan.
Memang sih, bila dipandang dari
sisi tarif, harga tiket KRL Ekonomi yang hanya dua ribu rupiah untuk jarak
Jakarta-Bogor itu ya agak terlalu murah. Bolehlah di sesuaikan naik seribu dua
ribu rupiah dengan kondisi KRL yang agak nyaman tapi tidak perlu ber AC bila
nanti dengan AC harganya lebih dari empat ribu rupiah. (Kalau dengan AC
harganya maksimum empat ribu rupiah sih boleh saja kurasa).
Mungkin juga perlu diberlakukan
beberapa perjalanan seksekutif seperti dulu, yang tidak perlu berhenti di
setiap stasiun dan tariff yang lebih mahal untuk mereka yang benar-benar
mengejar waktu. Nggak apa-apa. Mereka yang menggunakan KRL jenis itu adalah
para penumpang yang berduit. Ongkos lebih mahal sepuluh ribu rupiah buat mereka
juga bukan masalah. Yang bermasalah kan para penumpang seperti aku ini.
Jadi, kuharap ada keajaiban, ada
pencerahan pada para petinggi PT KAI itu sebelum mereka memberlakukan kebijakan
baru ini. Apakah masyarakat sanggup mengikuti atau terpaksa mengikuti dengan
konsekwensi mereka akan babak belur di akhir bulan. Kenapa tidak diadakan survey
lebih dulu sih? Jangan hanya mengira-ngira saja atau setuju apa kata bawahan.
Ambillah keputusan yang terbaik untuk masyarakat, bukan untuk orang perorang.
Bogor, 28 Maret 2013