Kamis, 28 Maret 2013

KRL Ekonomi Dihapus



Hmm…, harus ngomong apa ya tentang kebijakan yang satu ini?! Serba salah memang. Sebagai salah satu manusia pengguna KRL, mau yang ekonomi ataupun comutter dalam keseharianku, aku jadi pusing harus bagaimana menyikapinya.

Sekarang begini, pihak Pemerintah atau dalam hal ini PT KAI, beralasan kondisi KRL Ekonomi yang sudah tidak layak jalan dan susah dicari spare partnya karena usianya yang sudah mencapai tujuh puluhan lebih akan diganti dengan kereta yang lebih baik dengan kondisi ber AC semua, tetapi dengan konsekwensi harganya harus naik. Harus naik berapa persen? Masihkah tarif itu nanti dapat dijangkau oleh mayoritas pengguna kereta yang notabene memang dari kalangan masyarakat menengah ke bawah? Yang untuk ongkos berangkat bekerja setiap harinya harus diperhitungkan sedemikian rupa supaya tidak kedodoran di tengah bulan? Bahkan yang ongkos KRL itu masih harus ditambah ongkos angkot beberapa kali lagi supaya sampai di tempat tujuan?

Siapa pula yang menginginkan kondisi KRL Ekonomi harus ber AC? Sehingga alasan untuk menaikkan tariff itu akan dilegalkan? Tidak ada koq. Bener.
Masyarakat juga tahu diri dan tidak meminta yang berlebihan. Kipas Angin/Fan di dalam KRL  Ekonomi juga rasanya sudah bagus asalkan semua berfungsi dengan baik. Tidak seperti kondisi KRL Ekonomi saat ini, di mana Kop/Kepala Kipas Anginnya muter sendiri tanpa ada baling-balingnya, atau terkadang ada baling-balingnya tapi tidak dapat berputar lagi dan kepalanya saja yang menengok sana menengok sini. Belum lagi atapnya yang bocor kalau hujan.

Memang sih, bila dipandang dari sisi tarif, harga tiket KRL Ekonomi yang hanya dua ribu rupiah untuk jarak Jakarta-Bogor itu ya agak terlalu murah. Bolehlah di sesuaikan naik seribu dua ribu rupiah dengan kondisi KRL yang agak nyaman tapi tidak perlu ber AC bila nanti dengan AC harganya lebih dari empat ribu rupiah. (Kalau dengan AC harganya maksimum empat ribu rupiah sih boleh saja kurasa).

Mungkin juga perlu diberlakukan beberapa perjalanan seksekutif seperti dulu, yang tidak perlu berhenti di setiap stasiun dan tariff yang lebih mahal untuk mereka yang benar-benar mengejar waktu. Nggak apa-apa. Mereka yang menggunakan KRL jenis itu adalah para penumpang yang berduit. Ongkos lebih mahal sepuluh ribu rupiah buat mereka juga bukan masalah. Yang bermasalah kan para penumpang seperti aku ini.

Jadi, kuharap ada keajaiban, ada pencerahan pada para petinggi PT KAI itu sebelum mereka memberlakukan kebijakan baru ini. Apakah masyarakat sanggup mengikuti atau terpaksa mengikuti dengan konsekwensi mereka akan babak belur di akhir bulan. Kenapa tidak diadakan survey lebih dulu sih? Jangan hanya mengira-ngira saja atau setuju apa kata bawahan. Ambillah keputusan yang terbaik untuk masyarakat, bukan untuk orang perorang.


Bogor, 28 Maret 2013