tapi semangatnya luaaarrrbiasaaa....just say "show must go
on"......saluutt brow Yudef
Ya, aku…, manusia, punya rasa
punya hati. Jangan samakan dengan pisau belati….
Entah kenapa kali ini aku ingin
memulai tulisanku dengan kalimat itu. Syair lagu yang agak kuplesetkan dikit,
kata rockernya kuganti menjadi ‘aku’.
Kemarin adalah tanggal 22 Juni
2014, saat diadakan Reuni Akbar alumnus SMAN-3 angkatan 1984. Hari kedua aku
merasa metabolism tubuhku agak kacau, sehingga tubuh enggan dibawa bangun. Tapi
aku harus bangun, karena ada dua hal yang harus kulakukan hari ini.
Pertama, mampir ke rumah sahabat
lamaku yang 3 hari lalu ayahnya sudah mendahului dipanggil Yang Kuasa, dan aku
belum sempat ke sana karena kondisiku yang tidak fit tadi, yang kebetulan pula
rumahnya tidak jauh dari lokasi reunianku akan diadakan, yaitu di Aula Sekolah
SMAN-3 Surabaya. (jamanku dulu sih aula ini belum ada)
Yang Kedua adalah menghadiri
acara reuni itu sendiri. Dimana banyak teman yang mungkin baru akan kujumpai
setelah 30 tahun kami berpisah.
Kusuruh keponakanku menghentikan
motornya di depan rumah yang masih tampak ada kursi-kursi plastic bertumpukan.
Ada beberapa motor juga.
“Sudah Pang, sini aja…. Tinggal
aja, nanti aku pulang sendiri…” kataku pada keponakan yang mengantar.
Kulangkahkan kakiku masuk ke
rumah yang berpuluh tahun lalu akrab kudatangi. Ada seorang laki-laki muda yang
kucermati agak mirip dengan wajah sahabatku di masa mudanya dulu. Kurasa ini
adalah adik bungsu temanku yang dulu masih kecil.
Kulihat dia tersenyum, walaupun
sempat agak kaget juga ketika melihatku. Rupanya dia tidak merasa asing dengan
wajahku dan mengenali aku sebagai salah seorang sahabat kakaknya dimasa muda
dulu.
“Ibu ada mas?.....” tanyaku.
“Ada mbak…..” katanya sambil
masuk ke sebuah kamar. Aku melihatnya keluar dengan wajah sedikit kikuk.
“Kenapa? Ibu tidur?” tanyaku. Dia
mengangguk, “Iya mbak, sedang tidur…”
Aku juga mengangguk, ya sudahlah
nggak apa-apa, biarkan saja kalau sedang tidur. Tapi aku juga ingin melihat
keadaan beliau saat ini yang kudengar katanya juga sedang sakit, pikirku.
Kemudian aku melangkah masuk ke
kamar, dan kulihat sesosok tubuh kurus tampak terbujur di sana. Kedua kakinya
tampak kaku menekuk ke dalam yang artinya sudah tidak berfungsi lagi. Tangan
kirinya juga tampak ditopang sebuah bantal dengan kondisi jari yang kaku. Tidak
ada daging berlebih yang menempel di tubuh itu, tinggal kulit keriput yang
membungkus tulang. Wajahnyapun sudah tidak segar lagi, wajah seorang
nenek-nenek yang sedang sakit.
Subhanallah....Ya Allah, kondisinya ternyata
lebih parah dari ibuku. Aku bersyukur ibuku dalam kondisinya saat ini masih
dapat berjalan walaupun harus tertatih dengan bantuan tongkat.
Sebisa mungkin aku mencoba
menahan titik air yang hampir tumpah dari bendungannya. baru saja aku membungkuk di
samping ranjang itu dan ternyata beliau membuka matanya. Aku mengelus tangan
kirinya yang kaku tak berdaya itu perlahan.
“Hallo tante, saya aan, masih
ingat nggak?” tanyaku perlahan dengan harapan tipis beliau akan mengenaliku
dengan kondisinya yang demikian.
“Masih ingat nggak, teman mas
Yudhi yang rumahnya depan gereja?” kata adik temanku.
“Aan….” Panggilnya lirih.
“Iya tante, masih ingat ya….” Tanyaku
terharu.
“Anakmu berapa An…. “ tanyanya.
“Dua orang tante…” jawabku sambil
duduk bersila di lantai. Kulihat adik temanku meninggalkan kami kembali keluar
menemui temannya.
“Tante, saya minta maaf, kemarin
nggak bisa datang waktu om meninggal…”
“Maafin om ya An…, mungkin ada
kesalahan-kesalahannya….” Jawabnya.
Pembicaraan kami diawali dengan
yang ringan-ringan sampai beliau menceritakan kepergian suaminya 3 hari lalu.
Juga menceritakan mulai kapan beliau menderita sakit itu.
“Kamu awet muda, orang pasti
nggak tau kalau anakmu sudah gede….” Katanya.
“Hohoho…, trimakasih tante,
masalahnya saya belum insaf nih, jadi masih begini aja dandanan saya…, takut
kelihatan tua tante….” jawabku. Beliau terkekeh.
“Cara ngomongmu lho koq pancet ae*)
An…” katanya lagi.
“Ada reuni di sekolahan…”
katanya.
“Iya tante, saya tahu…, biarin
aja mereka olah raga sendiri…, apaan sudah tua-tua gini koq masih disuruh olah
raga. Sudah dandan cantik-cantik gini, eman*) nanti bedak saya luntur…, nggak bisa
dapat gebetan lak’an*)…., mau cari CLBK saya tante….” Jawabku sambil melihat
jam. Nanti saja jam 10.00 aku pamitan, pikirku. Si tante makin tergelak
mendengar kata-kataku…..
“Jadi kamu belum ke sekolahan?”
tanyanya. Aku menggeleng.
“Saya mau nunggu waktunya makan
aja baru datang tante…” jawabku. Beliau tertawa lagi.
Banyak beberapa cerita nostalgia
lagi yang kami urai kembali. Ingatannya ternyata masih sangat kuat, padahal
bicaranyapun sudah tampak susah payah karena kondisi sakitnya. Aku salut.
Duluuuu, selain rumahku, rumah sahabatku inilah yang paling sering dipakai
teman-teman nongkrong. Jadi, seperti halnya ibuku, ibu temanku inipun sangat
akrab dengan teman-teman kami. Hampir setiap person beliau mengingatnya.
Ketika jam menunjukkan waktu pukul
10.00, akupun pamit, “Tante, saya tak ke sekolahan dulu ya…, pasti sekarang
sudah waktunya makan…” kataku.
Beliau kembali tertawa.
Kucium kedua pipinya dan aku
pamit.
Memang tidak cukup waktu setengah
jam untuk mengejar ketinggalan nostalgia, membayar waktu setelah sekian puluh
tahun aku tidak pernah lagi memperlihatkan diri. Tapi aku cukup puas karena
sempat mengajaknya bercanda dan tertawa bersama. Tetap semangat ya Tante Sabit!!
Kosa kata bahasa jawa campur aduk
:
*) Pancet ae : tetap seperti dulu
*) Eman : sayang
*) Lak’an : semacam akhiran yang
berarti dong atau kan, hanya untuk memperjelas maksud saja.
Surabaya, 23 Juni 2014
Selamat jalan Om Sabit, semoga
dilapangkan jalan ke sisiNya dan semoga Tante sabit tetap tabah dalam
menghadapi semua cobaan ini. Aamiin.
(Buat sahabatku Yudhi Effendi, turut berduka cita ya..., semoga kamu dan keluarga sabar dan ikhlas dalam menghadapi ini semua.)