Senin, 23 Juni 2014

Aku…, Manusia

                                   Doddy Winarto: Ini lho orang paling tabah.habis kedukaan 
                                   tapi semangatnya luaaarrrbiasaaa....just say "show must go 
                                   on"......saluutt brow Yudef

 


Ya, aku…, manusia, punya rasa punya hati. Jangan samakan dengan pisau belati….
Entah kenapa kali ini aku ingin memulai tulisanku dengan kalimat itu. Syair lagu yang agak kuplesetkan dikit, kata rockernya kuganti menjadi ‘aku’.

Kemarin adalah tanggal 22 Juni 2014, saat diadakan Reuni Akbar alumnus SMAN-3 angkatan 1984. Hari kedua aku merasa metabolism tubuhku agak kacau, sehingga tubuh enggan dibawa bangun. Tapi aku harus bangun, karena ada dua hal yang harus kulakukan hari ini.

Pertama, mampir ke rumah sahabat lamaku yang 3 hari lalu ayahnya sudah mendahului dipanggil Yang Kuasa, dan aku belum sempat ke sana karena kondisiku yang tidak fit tadi, yang kebetulan pula rumahnya tidak jauh dari lokasi reunianku akan diadakan, yaitu di Aula Sekolah SMAN-3 Surabaya. (jamanku dulu sih aula ini belum ada)

Yang Kedua adalah menghadiri acara reuni itu sendiri. Dimana banyak teman yang mungkin baru akan kujumpai setelah 30 tahun kami berpisah.

Kusuruh keponakanku menghentikan motornya di depan rumah yang masih tampak ada kursi-kursi plastic bertumpukan. Ada beberapa motor juga.
“Sudah Pang, sini aja…. Tinggal aja, nanti aku pulang sendiri…” kataku pada keponakan yang mengantar.
Kulangkahkan kakiku masuk ke rumah yang berpuluh tahun lalu akrab kudatangi. Ada seorang laki-laki muda yang kucermati agak mirip dengan wajah sahabatku di masa mudanya dulu. Kurasa ini adalah adik bungsu temanku yang dulu masih kecil.
Kulihat dia tersenyum, walaupun sempat agak kaget juga ketika melihatku. Rupanya dia tidak merasa asing dengan wajahku dan mengenali aku sebagai salah seorang sahabat kakaknya dimasa muda dulu.
“Ibu ada mas?.....” tanyaku.
“Ada mbak…..” katanya sambil masuk ke sebuah kamar. Aku melihatnya keluar dengan wajah sedikit kikuk.
“Kenapa? Ibu tidur?” tanyaku. Dia mengangguk, “Iya mbak, sedang tidur…”
Aku juga mengangguk, ya sudahlah nggak apa-apa, biarkan saja kalau sedang tidur. Tapi aku juga ingin melihat keadaan beliau saat ini yang kudengar katanya juga sedang sakit, pikirku.

Kemudian aku melangkah masuk ke kamar, dan kulihat sesosok tubuh kurus tampak terbujur di sana. Kedua kakinya tampak kaku menekuk ke dalam yang artinya sudah tidak berfungsi lagi. Tangan kirinya juga tampak ditopang sebuah bantal dengan kondisi jari yang kaku. Tidak ada daging berlebih yang menempel di tubuh itu, tinggal kulit keriput yang membungkus tulang. Wajahnyapun sudah tidak segar lagi, wajah seorang nenek-nenek yang sedang sakit.

Subhanallah....Ya Allah, kondisinya ternyata lebih parah dari ibuku. Aku bersyukur ibuku dalam kondisinya saat ini masih dapat berjalan walaupun harus tertatih dengan bantuan tongkat.
Sebisa mungkin aku mencoba menahan titik air yang hampir tumpah dari bendungannya. baru saja aku membungkuk di samping ranjang itu dan ternyata beliau membuka matanya. Aku mengelus tangan kirinya yang kaku tak berdaya itu perlahan.
“Hallo tante, saya aan, masih ingat nggak?” tanyaku perlahan dengan harapan tipis beliau akan mengenaliku dengan kondisinya yang demikian.
“Masih ingat nggak, teman mas Yudhi yang rumahnya depan gereja?” kata adik temanku.
“Aan….” Panggilnya lirih.
“Iya tante, masih ingat ya….” Tanyaku terharu.
“Anakmu berapa An…. “ tanyanya.
“Dua orang tante…” jawabku sambil duduk bersila di lantai. Kulihat adik temanku meninggalkan kami kembali keluar menemui temannya.
“Tante, saya minta maaf, kemarin nggak bisa datang waktu om meninggal…”
“Maafin om ya An…, mungkin ada kesalahan-kesalahannya….” Jawabnya.

Pembicaraan kami diawali dengan yang ringan-ringan sampai beliau menceritakan kepergian suaminya 3 hari lalu. Juga menceritakan mulai kapan beliau menderita sakit itu.
“Kamu awet muda, orang pasti nggak tau kalau anakmu sudah gede….” Katanya.
“Hohoho…, trimakasih tante, masalahnya saya belum insaf nih, jadi masih begini aja dandanan saya…, takut kelihatan tua tante….” jawabku. Beliau terkekeh.
“Cara ngomongmu lho koq pancet ae*) An…” katanya lagi.
“Ada reuni di sekolahan…” katanya.
“Iya tante, saya tahu…, biarin aja mereka olah raga sendiri…, apaan sudah tua-tua gini koq masih disuruh olah raga. Sudah dandan cantik-cantik gini, eman*) nanti bedak saya luntur…, nggak bisa dapat gebetan lak’an*)…., mau cari CLBK saya tante….” Jawabku sambil melihat jam. Nanti saja jam 10.00 aku pamitan, pikirku. Si tante makin tergelak mendengar kata-kataku…..
“Jadi kamu belum ke sekolahan?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Saya mau nunggu waktunya makan aja baru datang tante…” jawabku. Beliau tertawa lagi.

Banyak beberapa cerita nostalgia lagi yang kami urai kembali. Ingatannya ternyata masih sangat kuat, padahal bicaranyapun sudah tampak susah payah karena kondisi sakitnya. Aku salut. Duluuuu, selain rumahku, rumah sahabatku inilah yang paling sering dipakai teman-teman nongkrong. Jadi, seperti halnya ibuku, ibu temanku inipun sangat akrab dengan teman-teman kami. Hampir setiap person beliau mengingatnya.

Ketika jam menunjukkan waktu pukul 10.00, akupun pamit, “Tante, saya tak ke sekolahan dulu ya…, pasti sekarang sudah waktunya makan…” kataku.
Beliau kembali tertawa.
Kucium kedua pipinya dan aku pamit.

Memang tidak cukup waktu setengah jam untuk mengejar ketinggalan nostalgia, membayar waktu setelah sekian puluh tahun aku tidak pernah lagi memperlihatkan diri. Tapi aku cukup puas karena sempat mengajaknya bercanda dan tertawa bersama. Tetap semangat ya Tante Sabit!!


Kosa kata bahasa jawa campur aduk :
*) Pancet ae : tetap seperti dulu
*) Eman : sayang
*) Lak’an : semacam akhiran yang berarti dong atau kan, hanya untuk memperjelas maksud saja.






Surabaya, 23 Juni 2014
Selamat jalan Om Sabit, semoga dilapangkan jalan ke sisiNya dan semoga Tante sabit tetap tabah dalam menghadapi semua cobaan ini. Aamiin.
(Buat sahabatku Yudhi Effendi, turut berduka cita ya..., semoga kamu dan keluarga sabar dan ikhlas dalam menghadapi ini semua.)