Ada satu cerita.
Kisah ini kualami bertahun-tahun
lalu, sekitar tahun 1996 atau 1997 aku lupa, ketika anak pertamaku masih kecil,
tapi sudah bisa bermain dan berkomunikasi lancar dengan orang lain.
Sore itu aku sedang berbelanja
keperluan rutin di Muara Swalayan di
sekitaran Muara Karang Jakarta Utara. (Dulu aku tinggal di sana, di tempat
kerja suamiku sebelum pindah ke Bogor)
Aku sedang sibuk memilih
belanjaan dari daftar belanja yang harus kubeli, sedangkan anakku juga sibuk
mencari belanjaannya sendiri (snack dan permen) dengan hilir mudik membawa
keranjang belanjaannya sendiri.
“Eh, Rieke lagi belanja ya? Ini
Rieke kan?!...” tiba-tiba aku mendengar suara tidak jauh dari tempatku
berjongkok. Aku menengok ke arah suara
yang menegur anakku.
“Iya… “ jawab anakku sambil
berlari ke arahku. Aku memandang dua orang wanita yang berdiri di depanku
dengan pandangan tanya. Yang seorang adalah oma-oma, yang seorang lagi lebih
muda.
“Ini mamanya Rieke? Saya mamanya
Michels….” katanya sambil tersenyum. Akhirnya kamipun sempat ngobrol sedikit
sebelum masing-masing meneruskan belanja.
Tau nggak siapa Michels itu?
Michels itu adalah gadis kecil
sebaya anakku yang tinggal di depan rumah. Aku tahu itu, karena biasanya setiap
sore, anakku diajak office boy kantor suamiku ataupun pembantu di kantor
suamiku itu untuk bermain-main di depan rumah. Aku sendiri jarang ikut keluar,
hanya mengawasi saja dari dalam rumah. Begitu juga dengan Michels. Kalau tidak
pembantunya, terkadang aku suka lihat papanya yang mengajaknya main di depan
rumah, jadi aku tahu yang mana papa si Michels tapi tidak tahu mana mamanya.
Ternyata hal yang sama juga
terjadi pada mama Michels ini, dia tahu anakku, tapi tidak tahu aku. Bukankah
agak lucu mendengarnya ya? Kami bertetangga berhadapan rumah, tapi sama sekali
tidak tahu muka dan saling kenal.
Tapi itu tidak aneh untuk
kehidupan di Jakarta yang tiap orang tidak kenal ataupun perduli pada orang-
orang di sebelahnya. Sebagian besar adalah pendatang yang rata-rata hanya
perduli pada komunitasnya sendiri.
Seiring berjalannya waktu,
ternyata hal yang sama mulai terjadi di lingkungan rumah Ibu-Bapakku di
Surabaya. Kami yang tinggal di Kompleks TNI dan waktu kecil dulu saling
mengenal semua warga dari ujung ke ujung, ternyata hal itu sekarang sudah
berubah.
Tetangga-tetanggaku sudah banyak
berganti dengan orang baru, dan teman-teman sebayaku dulu kini sudah tersebar
ke seluruh penjuru bumi. Aku tidak lagi mengenal tetanggaku dan semua sudah
jadi asing.
Begitu juga halnya dengan yang
terjadi di lingkungan rumah mendiang Ibu mertuaku. Dulu waktu aku pertama-tama
mulai main ke sana, tetangga sekitar masih amat perduli antara satu dan
lainnya. Karena waktu itu perumahannya tergolong masih baru, penduduknya juga
masih care satu sama lain.
Terakhir-terakhir, terlebih
ketika ibu mertuaku sudah meninggal dunia, kurasa tinggal tetangga depan rumah
saja yang masih mengenalku dan kukenal. Semuanya sudah berganti menjadi orang
asing atau berperilaku asing, entahlah.
Sekarang, momok individualistis itu
sepertinya mulai menghantui dan siap mencengkeram kehidupan social di stempat
tinggalku. Dulu setiap warganya selalu guyub dalam setiap acara sehingga sering
memenangkan setiap lomba yang diadakan di tingkat RW. Kami selalu kompak dalam
melakukan banyak hal dan suasana kekeluargaan begitu kental.
Beda sekali dengan sekarang,
ketika kepentingan dan kesibukan masing-masing semakin bertambah, acara
kumpul-kumpulpun sudah sangat jarang. Arisan ibu-ibu yang hanya sebulan sekali
dengan tujuan mempererat tali silaturahmi juga makin jarang didatangi atau
malah tidak lagi diikuti. Antara warga baru dan warga lama tidak ada acara
basa-basi buat saling memperkenalkan diri. Jadi bila nanti akan terjadi
kejadian seperti aku dan mama Michels di perumahanku sekarang, semoga saja aku
tidak kaget mendengarnya.
(Ada rencana jalan-jalan di
tempatku yang diadakan karena pergantian pengurus RT, jadi uang kas dari hasil
ngumpulin di periode yang lama akan dipakai buat jalan-jalan, nanti warga
tinggal nambah sedikit saja kekurangannya. Tapi sayangnya banyak warga yang
tidak mau ikut karena alasan ‘jalan-jalan’ tadi. Ada yang bilang, “Buat apa sih
jalan-jalan segala…, aku nggak butuh. Anak-anakku sudah gede, ga ada yang
bakalan mau ikut.”
Ada lagi yang tidak mau ikut
kalau harus menambah bayar? Lha, kalau uangnya nggak cukup, Cuma nambah sedikit
saja koq tidak mau… kecuali memang tidak mampu.
Ada lagi yang tidak mau keukeuh
tanpa alasan, “Pokoknya nggak ikut…, nggak boleh sama bapaknya.” Padahal si
bapak itu termasuk warga juga.
Dan masih ada beberapa alasan lain
yang agak membuat jengkel.
Aku prihatin, kenapa harus
dilihat atau ditekankan pada jalan-jalannya? Kenapa tidak mau melihat maksud
atau tujuan dari acara ini, dimana sedang diupayakan untuk menyatukan lagi hubungan
kekeluargaan antar warga yang semakin lama semakin merenggang dan ternyata jumlahnya
juga semakin berkurang karena banyak yang pindah.
Tapi mungkin memang tidak perlu
ada yang disesali karena kondisi yang berkembang nantinya akan menuju ke
Individualistis juga….., seperti halnya ciri masyarakat perkotaan pada
umumnya).
Bogor, 16 Oktober 2013
(keluarga terdekat adalah tetanggamu...)
(keluarga terdekat adalah tetanggamu...)