Rabu, 16 Oktober 2013

Individualistis



Ada satu cerita.
Kisah ini kualami bertahun-tahun lalu, sekitar tahun 1996 atau 1997 aku lupa, ketika anak pertamaku masih kecil, tapi sudah bisa bermain dan berkomunikasi lancar dengan orang lain.

Sore itu aku sedang berbelanja keperluan rutin di Muara  Swalayan di sekitaran Muara Karang Jakarta Utara. (Dulu aku tinggal di sana, di tempat kerja suamiku sebelum pindah ke Bogor)
Aku sedang sibuk memilih belanjaan dari daftar belanja yang harus kubeli, sedangkan anakku juga sibuk mencari belanjaannya sendiri (snack dan permen) dengan hilir mudik membawa keranjang belanjaannya sendiri.
“Eh, Rieke lagi belanja ya? Ini Rieke kan?!...” tiba-tiba aku mendengar suara tidak jauh dari tempatku berjongkok. Aku menengok ke  arah suara yang menegur anakku.
“Iya… “ jawab anakku sambil berlari ke arahku. Aku memandang dua orang wanita yang berdiri di depanku dengan pandangan tanya. Yang seorang adalah oma-oma, yang seorang lagi lebih muda.
“Ini mamanya Rieke? Saya mamanya Michels….” katanya sambil tersenyum. Akhirnya kamipun sempat ngobrol sedikit sebelum masing-masing meneruskan belanja.

Tau nggak siapa Michels itu?
Michels itu adalah gadis kecil sebaya anakku yang tinggal di depan rumah. Aku tahu itu, karena biasanya setiap sore, anakku diajak office boy kantor suamiku ataupun pembantu di kantor suamiku itu untuk bermain-main di depan rumah. Aku sendiri jarang ikut keluar, hanya mengawasi saja dari dalam rumah. Begitu juga dengan Michels. Kalau tidak pembantunya, terkadang aku suka lihat papanya yang mengajaknya main di depan rumah, jadi aku tahu yang mana papa si Michels tapi tidak tahu mana mamanya.
Ternyata hal yang sama juga terjadi pada mama Michels ini, dia tahu anakku, tapi tidak tahu aku. Bukankah agak lucu mendengarnya ya? Kami bertetangga berhadapan rumah, tapi sama sekali tidak tahu muka dan saling kenal.

Tapi itu tidak aneh untuk kehidupan di Jakarta yang tiap orang tidak kenal ataupun perduli pada orang- orang di sebelahnya. Sebagian besar adalah pendatang yang rata-rata hanya perduli pada komunitasnya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, ternyata hal yang sama mulai terjadi di lingkungan rumah Ibu-Bapakku di Surabaya. Kami yang tinggal di Kompleks TNI dan waktu kecil dulu saling mengenal semua warga dari ujung ke ujung, ternyata hal itu sekarang sudah berubah.
Tetangga-tetanggaku sudah banyak berganti dengan orang baru, dan teman-teman sebayaku dulu kini sudah tersebar ke seluruh penjuru bumi. Aku tidak lagi mengenal tetanggaku dan semua sudah jadi asing.

Begitu juga halnya dengan yang terjadi di lingkungan rumah mendiang Ibu mertuaku. Dulu waktu aku pertama-tama mulai main ke sana, tetangga sekitar masih amat perduli antara satu dan lainnya. Karena waktu itu perumahannya tergolong masih baru, penduduknya juga masih care satu sama lain.
Terakhir-terakhir, terlebih ketika ibu mertuaku sudah meninggal dunia, kurasa tinggal tetangga depan rumah saja yang masih mengenalku dan kukenal. Semuanya sudah berganti menjadi orang asing atau berperilaku asing, entahlah.

Sekarang, momok individualistis itu sepertinya mulai menghantui dan siap mencengkeram kehidupan social di stempat tinggalku. Dulu setiap warganya selalu guyub dalam setiap acara sehingga sering memenangkan setiap lomba yang diadakan di tingkat RW. Kami selalu kompak dalam melakukan banyak hal dan suasana kekeluargaan begitu kental.
Beda sekali dengan sekarang, ketika kepentingan dan kesibukan masing-masing semakin bertambah, acara kumpul-kumpulpun sudah sangat jarang. Arisan ibu-ibu yang hanya sebulan sekali dengan tujuan mempererat tali silaturahmi juga makin jarang didatangi atau malah tidak lagi diikuti. Antara warga baru dan warga lama tidak ada acara basa-basi buat saling memperkenalkan diri. Jadi bila nanti akan terjadi kejadian seperti aku dan mama Michels di perumahanku sekarang, semoga saja aku tidak kaget mendengarnya.
(Ada rencana jalan-jalan di tempatku yang diadakan karena pergantian pengurus RT, jadi uang kas dari hasil ngumpulin di periode yang lama akan dipakai buat jalan-jalan, nanti warga tinggal nambah sedikit saja kekurangannya. Tapi sayangnya banyak warga yang tidak mau ikut karena alasan ‘jalan-jalan’ tadi. Ada yang bilang, “Buat apa sih jalan-jalan segala…, aku nggak butuh. Anak-anakku sudah gede, ga ada yang bakalan mau ikut.”
Ada lagi yang tidak mau ikut kalau harus menambah bayar? Lha, kalau uangnya nggak cukup, Cuma nambah sedikit saja koq tidak mau… kecuali memang tidak mampu.
Ada lagi yang tidak mau keukeuh tanpa alasan, “Pokoknya nggak ikut…, nggak boleh sama bapaknya.” Padahal si bapak itu termasuk warga juga.
Dan masih ada beberapa alasan lain yang agak membuat jengkel.
Aku prihatin, kenapa harus dilihat atau ditekankan pada jalan-jalannya? Kenapa tidak mau melihat maksud atau tujuan dari acara ini, dimana sedang diupayakan untuk menyatukan lagi hubungan kekeluargaan antar warga yang semakin lama semakin merenggang dan ternyata jumlahnya juga semakin berkurang karena banyak yang pindah.
Tapi mungkin memang tidak perlu ada yang disesali karena kondisi yang berkembang nantinya akan menuju ke Individualistis juga….., seperti halnya ciri masyarakat perkotaan pada umumnya).



Bogor, 16 Oktober 2013
(keluarga terdekat adalah tetanggamu...)