Rabu, 19 September 2012

Haruskah?



Sepulang sekolah, anak lelakiku berkata kalau dia dikatai anak-anak tetangga sebagai banci karena dia tidak mau bermain seperti mereka. Mereka itu bermain kejar-kejaran, berantem-beranteman (kadang jadi beneran dan salah satu ada yang menangis karena kesakitan), ataupun bermain sabet-sabetan. Entah pakai kain sarung, ikat pinggang ataupun pelepah daun pisang (yang kalau kena bagian tubuh bisa biru seperti melepuh gitu).
“Mamie, katanya besok Ndiek ditunggu di TM sepulang sekolah.” Kata anakku.
“Apa itu TM dan mau apa ditunggu di sana?” tanyaku.
“TM itu Tanah merah, lapangan di belakang blok F, dan Ndiek ditunggu buat diajak berantem.” katanya.
“Memangnya Ndiek berbuat apa, koq diajak berantem? Apa Ndiek nantangin mereka?” tanyaku lagi.
“Justru karena Ndiek gak pernah ladenin kalau dikata-katain itulah, mereka jadi jengkel. Jadinya besok diajak berantem deh.” kata anakku.

Anakku ini sekarang kelas 6 SD, dan sedari kecil memang dia tidak begitu suka aktifitas seperti anak laki-laki yang lain. Dia lebih suka membuat mainan dari kertas, kartoon ataupun menggambar di rumah. Mainan itu kemudian dia mainkan sampai bosan. Kalau sudah bosan, dia membuat yang lainnya. Setiap hari memang seperti itu, jadi jangan heran kalau isi staples, lak ban, selotif, lem, cat acrylikku,  ataupun kertas jadi cepat habis. (Sekali-sekali memang kadang dia ikut juga dengan mereka, malah sampai ikut mandi di kali segala…, tapi itu jarang sekali)
Kalau kebetulan ada anak-anak tetangga yang usianya lebih muda dari dia datang dan ikut main ke rumahku, dia biasanya mengajak mereka bermain dengan tema tertentu, dan dia jadi dalang serta penulis scenarionya.

Anakku pernah bilang kalau anak-anak yang lain itu bermainnya kasar, bahasanya juga kotor dan nakal.
“Sebetulnya mereka itu bukan nakal Dek…, anak laki-laki ya memang mainnya seperti itu… berantem, lari-larian, main bola, dan sebagainya… Ndiek aja yang mainnya masih seperti anak kecil.” kataku.
“Memangnya anak kecil suka bikin mainan sendiri? Lagian mamie mau Ndiek main sama mereka yang ngomongnya jorok-jorok dan kalau buka internet sukanya cari gambar-gambar jorok?” katanya.
“Masak iya, anak kecil-kecil begitu pada ngomong jorok?” kataku.
“Mamie, setiap ngomong ataupun bermain, mereka itu selalu meyebut alat kelamin perempuan. Ngatain anak perempuan juga begitu…. Ndiek sih tau tentang vagina, penis dan sebagainya karena di sekolah juga sudah diajari pelajaran alat-alat reproduksi, tapi Ndiek tau mana yang pelajaran dan mana yang bukan.” kata anakku.

Aku jadi terdiam mendengar kata-kata anakku. Aku juga tidak menganggap anakku paling bener ataupun paling suci dan jauh dari nakal. Tapi mendengar alasannya, aku jadi berpikir. Apakah aku terima alasannya atau aku harus beradu argumentasi dengan dia?
Sebab, terus terang sebetulnya aku tidak ingin dia kehilangan waktu kanak-kanaknya hanya dengan bermain sendiri di rumah, ataupun hanya bermain dengan anak-anak yang usianya jauh di bawahnya. Aku juga ingin dia aktif dan bermain dengan teman-teman sebayanya supaya cara berpikirnya juga tidak terlalu kekanakan.
Bayangin aja, waktu ada tugas kelompok dari sekolah dan dikerjakan di rumahku, teman anakku ini sudah ada yang datang dengan mengendarai motor sendiri dan penampilannya bergaya ala anak ABG… pakai celana panjang dan kaos serta kemeja yang tidak dikancing begitu. Sementara anakku masih sibuk memakai pakaian robot yang dia buat sendiri dan tidak perduli dengan penampilannya.

Seorang tetanggaku pernah bilang kalau anakku ini menuruni jiwa seni dariku, dia calon seniman, jadi perasaan dan tingkah lakunya halus. Semua dilakukan dengan perasaan, tidak suka yang keras-keras dan kasar.
Apa iya, pikirku. Apa seniman itu tidak suka kekerasan ya? Tetapi, anakku ini juga suka banget sama semua yang berbau tentara. Kalau di TV ada acara tentang tentara, dia pasti tidak mau bergeming dari tempatnya. Dia akan dengan fasih menyebutkan jenis-jenis pesawat, senjata maupun kendaraan tentara. (Dia memang pernah bilang kalau besar pingin juga jadi tentara)

Aku jadi ingat pada seorang  temanku yang berjiwa seni yang jadi tentara. Tetapi aku kan tidak tahu bagaimana masa kecilnya, apakah dia dulunya juga tidak suka berantem seperti anakku? Sebab setahuku, waktu SMA dulu dia termasuk bandel juga, bandelnya anak laki-laki gitu. Hanya saja,  sejak jadi tentara, jiwa seninya tadi harus banyak ditekan supaya tidak muncul ke permukaan. (Bisa bayangin sendiri bagaimana kalau seniman beraksi kan?! Hehehe…)

Nah, sekarang aku harus bagaimana? Sebab ketika hari dan jam yang kata anakku dia ditunggu untuk berantem itu tiba, ternyata anakku pergi sendiri ke sana.
“Ngapain harus ke sana Dek?” tanyaku.
“Ya biar mereka tau kalau Ndiek bukan banci. Tapi ternyata mereka nggak ada di sana koq Mie…” jawab anakku.

Hadohhhh, gimana ini, apa benar semua anak laki-laki harus melewati masa-masa berantem lebih dulu sebelum akhirnya mereka menyadari kalau adu jotos itu tidak ada gunanya?




Bogor, 19 September 2012
Galau……