Sepulang sekolah, anak lelakiku
berkata kalau dia dikatai anak-anak tetangga sebagai banci karena dia tidak mau
bermain seperti mereka. Mereka itu bermain kejar-kejaran, berantem-beranteman
(kadang jadi beneran dan salah satu ada yang menangis karena kesakitan),
ataupun bermain sabet-sabetan. Entah pakai kain sarung, ikat pinggang ataupun
pelepah daun pisang (yang kalau kena bagian tubuh bisa biru seperti melepuh
gitu).
“Mamie, katanya besok Ndiek
ditunggu di TM sepulang sekolah.” Kata anakku.
“Apa itu TM dan mau apa ditunggu
di sana?” tanyaku.
“TM itu Tanah merah, lapangan di
belakang blok F, dan Ndiek ditunggu buat diajak berantem.” katanya.
“Memangnya Ndiek berbuat apa, koq
diajak berantem? Apa Ndiek nantangin mereka?” tanyaku lagi.
“Justru karena Ndiek gak pernah
ladenin kalau dikata-katain itulah, mereka jadi jengkel. Jadinya besok diajak
berantem deh.” kata anakku.
Anakku ini sekarang kelas 6 SD,
dan sedari kecil memang dia tidak begitu suka aktifitas seperti anak laki-laki
yang lain. Dia lebih suka membuat mainan dari kertas, kartoon ataupun
menggambar di rumah. Mainan itu kemudian dia mainkan sampai bosan. Kalau sudah
bosan, dia membuat yang lainnya. Setiap hari memang seperti itu, jadi jangan heran
kalau isi staples, lak ban, selotif, lem, cat acrylikku, ataupun kertas jadi cepat habis. (Sekali-sekali
memang kadang dia ikut juga dengan mereka, malah sampai ikut mandi di kali
segala…, tapi itu jarang sekali)
Kalau kebetulan ada anak-anak
tetangga yang usianya lebih muda dari dia datang dan ikut main ke rumahku, dia
biasanya mengajak mereka bermain dengan tema tertentu, dan dia jadi dalang
serta penulis scenarionya.
Anakku pernah bilang kalau
anak-anak yang lain itu bermainnya kasar, bahasanya juga kotor dan nakal.
“Sebetulnya mereka itu bukan
nakal Dek…, anak laki-laki ya memang mainnya seperti itu… berantem,
lari-larian, main bola, dan sebagainya… Ndiek aja yang mainnya masih seperti
anak kecil.” kataku.
“Memangnya anak kecil suka bikin
mainan sendiri? Lagian mamie mau Ndiek main sama mereka yang ngomongnya
jorok-jorok dan kalau buka internet sukanya cari gambar-gambar jorok?” katanya.
“Masak iya, anak kecil-kecil
begitu pada ngomong jorok?” kataku.
“Mamie, setiap ngomong ataupun bermain,
mereka itu selalu meyebut alat kelamin perempuan. Ngatain anak perempuan juga
begitu…. Ndiek sih tau tentang vagina, penis dan sebagainya karena di sekolah
juga sudah diajari pelajaran alat-alat reproduksi, tapi Ndiek tau mana yang
pelajaran dan mana yang bukan.” kata anakku.
Aku jadi terdiam mendengar
kata-kata anakku. Aku juga tidak menganggap anakku paling bener ataupun paling
suci dan jauh dari nakal. Tapi mendengar alasannya, aku jadi berpikir. Apakah
aku terima alasannya atau aku harus beradu argumentasi dengan dia?
Sebab, terus terang sebetulnya
aku tidak ingin dia kehilangan waktu kanak-kanaknya hanya dengan bermain
sendiri di rumah, ataupun hanya bermain dengan anak-anak yang usianya jauh di
bawahnya. Aku juga ingin dia aktif dan bermain dengan teman-teman sebayanya
supaya cara berpikirnya juga tidak terlalu kekanakan.
Bayangin aja, waktu ada tugas
kelompok dari sekolah dan dikerjakan di rumahku, teman anakku ini sudah ada
yang datang dengan mengendarai motor sendiri dan penampilannya bergaya ala anak
ABG… pakai celana panjang dan kaos serta kemeja yang tidak dikancing begitu.
Sementara anakku masih sibuk memakai pakaian robot yang dia buat sendiri dan
tidak perduli dengan penampilannya.
Seorang tetanggaku pernah bilang kalau
anakku ini menuruni jiwa seni dariku, dia calon seniman, jadi perasaan dan
tingkah lakunya halus. Semua dilakukan dengan perasaan, tidak suka yang
keras-keras dan kasar.
Apa iya, pikirku. Apa seniman itu
tidak suka kekerasan ya? Tetapi, anakku ini juga suka banget sama semua yang
berbau tentara. Kalau di TV ada acara tentang tentara, dia pasti tidak mau
bergeming dari tempatnya. Dia akan dengan fasih menyebutkan jenis-jenis
pesawat, senjata maupun kendaraan tentara. (Dia memang pernah bilang kalau
besar pingin juga jadi tentara)
Aku jadi ingat pada seorang temanku yang berjiwa seni yang jadi tentara.
Tetapi aku kan tidak tahu bagaimana masa kecilnya, apakah dia dulunya juga
tidak suka berantem seperti anakku? Sebab setahuku, waktu SMA dulu dia termasuk
bandel juga, bandelnya anak laki-laki gitu. Hanya saja, sejak jadi tentara, jiwa seninya tadi harus
banyak ditekan supaya tidak muncul ke permukaan. (Bisa bayangin sendiri
bagaimana kalau seniman beraksi kan?! Hehehe…)
Nah, sekarang aku harus
bagaimana? Sebab ketika hari dan jam yang kata anakku dia ditunggu untuk berantem
itu tiba, ternyata anakku pergi sendiri ke sana.
“Ngapain harus ke sana Dek?”
tanyaku.
“Ya biar mereka tau kalau Ndiek
bukan banci. Tapi ternyata mereka nggak ada di sana koq Mie…” jawab anakku.
Hadohhhh, gimana ini, apa benar semua
anak laki-laki harus melewati masa-masa berantem lebih dulu sebelum akhirnya
mereka menyadari kalau adu jotos itu tidak ada gunanya?
Bogor, 19 September 2012
Galau……