Lama dipenjara oleh urusan
aktifitas demi mencari sesuap nasi sampai-sampai rasaku menumpul dan isi kepala
tidak sempat keluar. Semua menggumpal dan mengkristal di dalam. Yang terekspose
hanyalah kegaduhan menguber waktu demi semua itu.
Tapi pagi ini, ketika aku masih
bergelung dalam selimut, tiba-tiba suamiku berkata,”Mie,…bu J*** depan rumah
ternyata pakai tabung gas 3 kg.”
“Koq papie tahu?!” Tanyaku dalam
kondisi mata masih merem.
“Barusan papie lihat pak J***
bawa tabung gas itu pakai motor…”
Hmmm…., inilah kami. Orang
Indonesia. Selalu pandai dalam memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan
Pemerintah. Bodo amat fasilitas itu untuk siapa. Bersubsidi ataupun tidak juga
masa bodo!
Kenapa tetangga depan tempat tinggalku
yang menggunakan tabung gas bersubsidi itu jadi menggelitik hatiku dan membuatku
langsung melompat bangun, kemudian meraih laptop anakku yang kebetulan tadi
ditinggalkan di ujung tempat tidurku?
Itu karena, tempat tinggalku ini
(bukan rumahku lho, tapi tempat tinggalku saat ini), kebetulan sekali sekarang
ini telah berubah kondisi, naik derajat jadi Perumahan Elite. Harga rumah
standard seperti yang kutinggali saat ini saja sudah menembus harga M (aku tahu
pasti tentang ini, karena kebetulan juga rumah yang kutinggali ini sudah
ditawar dengan harga yang kusebut di atas), apalagi rumah gedung seperti depan
rumah ini…, wow…, pasti ber-MM.
Waktu kutanya berapa tariff listriknya
sebulan saja, tempohari si ibu ini bilang kalau hampir sejuta, padahal itu dia cuma
tinggal berdua sama suaminya.
Tapi kenapa untuk masak dia pakai
tabung gas 3 kg yang harganya tidak sampai dua puluh ribu? Tabung gas yang
seharusnya sama sekali bukan diperuntukkan bagi dia.
Aku juga surprise, dimana dia
belinya? Sebab di penjual gas eceran yang biasa aku beli (via telpon dan
diantar), katanya tidak menjual tabung gas 3 kg. Beberapa penjual gas keliling
yang terkadang lewat pakai pick-up juga tidak pernah terlihat membawa tabung
gas 3 kg.
Mungkin dia beli di perkampungan terdekat,
atau di POM Bensin. Sebab aku jadi ingat, awal-awal aku tinggal di sini
tempohari, aku pernah bertanya pada tetangga depan rumah ini, di mana kalau mau
beli isi ulang gas? Waktu itu mereka menyarankan untuk beli di POM Bensin.
“Waduh, harus bawa sendiri dong?”
Tanyaku waktu itu.
“Iya, pakai motor aja…, tuh pakai
motorku….” Katanya sambil menawarkan motor maticnya. Motor di tempatku motor
laki dan bebek biasa, bukan matic, jadi tidak dapat dipakai bawa barang di
depan.
Waktu itu aku malas kalau harus
ke POM Bensin, jadi aku membongkar laci-laci buffet, lemari, buku-buku telpon, untuk
mencari nota pembelian gas yang mungkin
terselip atau mungkin sengaja disimpan oleh mendiang ibu mertuaku yang pasti
ada nomer teleponnya, dan ternyata aku menemukannya. Karena aku tahu, dulu
mendiang ibu mertuaku selalu beli gas dan air mineral hanya via telpon saja.
Tapi sungguh, tidak terpikirkan
olehku sama sekali kalau ternyata tetangga depan ini menggunakan tabung gas 3
kg, sebab aku saja harus pakai tabung gas 12 kg karena dua buah tabung kosong
punya mendiang ibu mertuaku adalah yang 12 kg.
Tentang semua fasilitas
bersubsidi dari Pemerintah untuk masyarakat menengah ke bawah memang seharusnya
ya untuk menengah ke bawah, walaupun ketentuan masing-masing tentang kemampuan financial
itu hanya dapat diukur atau dirasakan oleh individunya sendiri. Tapi kalau
rumah gedung bertingkat dengan bangunan mentereng dan ber AC, mobil dan motor
tersedia di garasi, yaaaa…… apakah tidak merasa bersalah atau malu kalau harus
menggunakan hak yang bukan hak-nya?
(Jadi ingat tulisan di dinding Kantor Kelurahan yang sempat terbaca olehku kemarin: JANGAN MENGAKU MISKIN KALAU TIDAK INGIN JADI MISKIN BENERAN.
Surabaya, 28 November 2014
(sudah ah, aku mau masak nasi pakai rice
coocker, bukan menanak nasi pakai kompor berbahan bakar gas elpiji 3 kg lho ya...., walaupun kalau aku sih sebetulnya masih boleh tuh.... :) )