Kamis, 21 Maret 2013

Lemah-lembut=Lelet?



Sebagai seorang wanita, bersikap lemah lembut dan gerak-gerik terjaga tentu indah dan sedap dipandang mata. Apalagi bila hal itu untuk melayani suami dan menghadapi anak-anaknya. Suami tentu akan semakin gemas dan sayang bila istrinya gemulai dan selembut penari. Anak-anak juga pasti akan adem hatinya bila melihat ibunya yang selalu lembut dan santun di setiap gerakannya.

Tetapi menurutku nih…, semua kegemulaian dan kelembutan itu sebaiknya hanya diungkapkan di rumah atau di lingkungan terbatas saja. Kalau sudah di luar rumah dan berbaur dengan masyarakat luas…, sebaiknya bersikap cekatanlah, jangan terlalu lemah-lembut dan gemulai.   Sebab itu malah akan merugikan diri sendiri. Apalagi bila ke mana-mana harus menggunakan kendaraan umum seperti aku ini, hidup di luar itu keras.

Tadi aku berkesempatan pulang lebih awal alias siang karena ke kantor hanya menyerahkan laporan saja. Biasanya kan malam hari baru sampai rumah. Jadi aku menunggu kereta ekonomi yang menurut perkiraanku pasti masih kosong, maklum baru setengah dua belas siang.

Ternyata dugaanku tepat, masih banyak bangku kosong ketika aku naik ke dalam gerbong kereta. Akupun duduk dengan santai dan perasan berbunga-bunga… (hehehe… ini efek karena jarang dapat tempat duduk kalau pulang kerja).

Setelah duduk, aku melihat seorang wanita yang memakai baju panjang dan kerudung panjang yang berjalan santai menggandeng anak perempuan ke arah pintu. Gerakannya sungguh lemah-lembut ketika melangkah. Tiba-tiba saja bapak-bapak yang duduk di sebelahku berteriak, “Ibu cepetan kalau mau turun…., yaah… si ibu mah…, lelet amat sih jadi orang…. Tuh kan…!!” katanya.
Aku baru ngeh kalau ibu dan anaknya itu mau turun dari kereta. Ya ampun….., pantas saja si bapak yang duduk di sebelahku itu gemas campur jengkel melihatnya, gerakan si ibu memang lelet banget, terlalu menjaga tindakan, padahal harap diketahui, KRL ini setiap berhenti di stasiun untuk menaik turunkan penumpang itu tidak lebih dari tiga menit, kecuali bila memang sedang menunggu signal stasiun.
Yang lebih berbahaya lagi, kereta ekonomi seperti ini tidak ada pintunya, jadi kalau mau jalan ya langsung jalan, tidak ada tanda-tandanya sama sekali. Kalau yang commuter kan sebelum jalan pintunya tertutup dulu, jadi lebih save.

Nah, kembali ke ibu tadi, begitu dia menginjakkan kakinya di peron stasiun, kereta jalan… jadi pada detik terakhirlah kaki  anaknya keluar dari kereta. Untungnya kereta nggak langsung ngebut. Nyaris sekali!

“Si ibu tadi belum pernah naik kereta atau gimana sih, masak nggak tahu kalau kereta cuma berhenti sebentar, mana bajunya panjang…. Kalau tersandung gimana coba….” kudengar si bapak masih ngomong sendiri.

Kegemasan si bapak itu pada ibu tadi adalah bentuk keperdulian seseorang pada orang lainnya yang tidak ingin melihat orang lain celaka. Memang benar si bapak tadi tidak suka pada gerak-gerik si ibu yang dianggapnya lelet, hidup di luar rumah itu tidak senyaman dan sehangat di rumah. Banyak hal yang harus dilakukan dengan sigap. Kalau tidak dapat mengikuti arus ini ya sebaiknya tinggal di rumah saja daripada celaka.

Hal seperti ini juga mungkin yang mendasari banyaknya para wanita pekerja yang memakai setelan celana panjang ketika berangkat bekerja. Itu semua demi efisiensi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan alasan untuk menarik lawan jenis. Aku pernah iseng menghitung perbandingan pemakai setelan celana panjang dan rok panjang/pendek di dalam gerbong khusus wanita. Hasilnya, sejauh pandanganku dapat menangkap sosok penumpang ini karena padatnya penumpang sehingga terhalang penumpang lain, maka ternyata diantara 65 orang wanita itu, hanya ada satu yang memakai rok panjang. Lainnya memakai setelan celana panjang. Itu artinya para wanita pekerja ini sudah siap tempur dalam berebut kesempatan. Kesempatan apa saja, termasuk kesempatan mengejar kereta supaya tidak tertinggal sehingga cepat sampai tujuan.

Percaya tidak, kalau aku pernah membaca sebuah artikel kesehatan yang menyatakan bahwa tingkat kepikunan seseorang itu berhubungan dengan kesigapan seseorang dalam beraktifitas/bergerak sehari-hari. Jadi semakin lambat dam semakin sedikit gerakan seseorang, katanya semakin mempercepat kepikunan datang padanya. Maka dari itu, kalau tidak mau cepat pikun, ya harus sigap dan cekatan dalam bergerak. Oke?! Semangat!!


Bogor, 21 Maret 2013