Jumat, 28 Februari 2014

Tentang Anak Gadisku




Pada dasarnya, dari kecil aku memang suka membaca, suka mendengarkan cerita, suka menonton drama di televisi, dan suka mengobrol. Pokoknya aku selalu tertarik dengan berbagai kisah kehidupan, mulai dari kisah social sampai cinta-cintaan, mulai dari yang fiksi sampai realita. Aku juga tidak memilih cerita yang kuikuti haruslah selalu yang happy ending. Tidak jarang kisah yang kubaca atau kutonton sangatlah menguras air mata dan membuat bajuku keploh (sebab biasanya nggak prepare tissue, jadinya bajulah yang dipakai buat ngelap).

Selain kisah-kisah menarik yang kubaca atau kutonton itu, aku juga amat intens dalam mengikuti kisah sehari-hari  sampai kisah asmara anak perempuanku yang kebetulan tidak tinggal serumah denganku. Aku mendengarkan semua ceritanya setiap hari dengan amat interest seolah aku menunggu episode demi episode drama korea yang dulu sering diputar oleh salah satu stasiun televise. Setiap hari aku selalu menunggu jam 22.00 WIB dengan harap-harap cemas. Kira-kira cerita apa yang akan kudengar hari ini?

(Jam 22.00 WIB itu adalah jam anakku pulang dari bekerja kalau kebetulan dia mendapat giliran masuk shift malam. Tapi biasanya aku tidak langsung menghubunginya di jam itu karena terkadang dia masih keluar untuk makan, jadi seringnya adalah menjelang tengah malam aku baru dapat mendengar cerita anakku di episode teranyarnya)

Setiap mendengar ceritanya, aku selalu berusaha netral seolah aku sedang menonton televisi atau membaca cerita yang sudah pasti aku tidak dapat masuk ke dalamnya, benar-benar riil sebagai orang luar. Tetapi sebagai seorang ibu, terkadang aku juga tidak dapat lagi berlaku netral dan langsung menerobos masuk untuk ikut ambil bagian dalam cerita anakku. Masuk ke dalam privacynya. Naluri induk ayam. Sehingga sering sekali aku ikut berbunga-bunga ataupun down bila mendengar kisahnya dan kemudian langsung memberi instruksi-instruksi untuk melindunginya.
Jeleknya dari sikapku ini adalah, akhirnya nih… terkadang aku masih menyimpan rasa tidak suka pada salah satu tokoh dalam cerita anakku padahal anakku yang mengalaminya sendiri perasaannya sudah netral. Repot kan?!

Kata mulutku, aku selalu mengucapkan kalau semua terserah anakku, terserah dia karena dia yang menjalani dan merasakan sendiri dari pilihannya. “Harus konsekwen pada pilihan!” itu kataku. Tapi kata hatiku sih sebetulnya bukan begitu, karena selalu ada naluri induk ayam tadi. Kata hatiku sering sekali dibarengi dengan emosi, hehehe….

Ada satu hal yang selalu ingin kutekankan apada anakku, yaitu; dalam beraktifitas sehari-hari   belajarlah untuk tidak tergantung pada orang lain. Tidak kepada siapapun. “Kalau banyak hal dapat kita lakukan sendiri, kenapa kita harus mengandalkan orang lain untuk melakukannya bagi kita? Dapat mengatasi sendiri itu akan memudahkan hidup dan memuaskan hati kita kak. Tergantung pada orang lain itu konsekwensinya adalah menunggu, dan menunggu itu adalah suatu hal yang amat tidak mengenakkan di dunia ini. Tapi ya kita jangan menjadi sombong dengan menolak bantuan dari orang lain pada saat kita memang membutuhkan bantuannya…”

Aku tidak suka kalau ada yang (akan) menyakiti anakku, bahkan sekedar mengecewakannya. Maka dari itulah aku harus membuatnya kuat. Aku harus membuatnya mandiri. Tidak boleh cengeng!!

Hehehe, didikan mental untuk pantang menyerah adalah didikan dasar di dalam menggeluti alam, dalam menapakkan kaki sejengkal demi sejengkal, setapak demi setapak untuk mencapai puncak. Aku bersyukur anakku sudah mengadaptasi hal ini tanpa bujukan dariku, semua timbul dari dalam hatinya sendiri. Tetaplah melangkah anakku. Jalan yang terbentang di hadapanmu memang bagaikan padang yang luas tapi tetap bertepi. Percayalah!

Ada lagi yang saat ini ingin kujejalkan dalam memorynya dan aku sendiri juga sedang berusaha mengamalkannya, yaitu apapun yang terjadi hari ini hendaklah semua diterima dengan sikap netral. Tidak perlu berlebihan atau negative dalam menyikapinya, anggap yang terjadi itu memang adalah episode yang harus kita lalui. Kita tinggal menunggu episode selanjutnya. Tidak perlu takut atau terbebani karena semua sudah ada yang mengatur…. (pelajaran yang kudapat dari dua orang teman).



Surabaya, 1 maret 2014
(Ketika naluri induk ayam muncul)



Rabu, 26 Februari 2014

Nyusuh dan Leles



Waktu beres-beres rumah ketika mau pindahan tempohari, baru kusadari ternyata rumahku selama ini penuh sekali dengan sampah, penuh dengan barang-barang yang harusnya sudah sejak lama dibuang, dibakar, ataupun dilempar ke laut….., hehehe, kayak lagu ‘cewek matre cewek matre… ke laut aje…’

Kebiasaan yang tidak perlu dilestarikan dalam hidup dan tidak perlu kuturunkan pada anak cucu ini salah satunya adalah; setiap saat selalu dan selalu membeli atau mengumpulkan barang-barang yang tidak begitu perlu sehingga akhirnya menjadi gunungan barang yang tidak terpakai. Suamiku juga begitu, banyak barang-barang elektronik yang sudah masanya lewat, tapi tidak boleh dibuang. Katanya nanti masih bisa dipakai koq, tinggal dibenerin ininya atau diganti itunya…, tapi pada kenyataannya sampai bertahun-tahun ya hanya dibiarkan begitu saja menjadi sarang laba-laba.
Kadang-kadang dapat barangnya juga nggak beli sih, dapat leles, biasanya ditanya teman atau saudara, “Mau aquarium ini nggak? Kalau mau ambil saja, daripada  dibuang…” kubawa pulanglah itu aquarium, padahal yang di rumah juga sudah ada. Ngapain coba, sebab akhirnya aquarium itu dijadikan tempat mainan oleh anakku.
“Itu ada TV yang sudah nggak dipakai, kalau mau bawa pulang saja, di sini menuh-menuhin…”
Dan, masih banyak lagi yang lainnya….., huft!!

Seperti sudah kebiasaan atau malah sudah jadi budaya, aku selalu menyimpan barang-barang yang telah selesai digunakan dengan alasan mungkin nanti suatu saat kita butuhkan, nyusuh, padahal seharusnya barang tersebut kita buang saja supaya dapat dimanfaatkan atau didaur ulang oleh yang lain. Contohnya saja adalah ketika membeli es cream yang family pack. Harusnya kan setelah dimakan isinya, wadah es cream tadi dibuang saja. Tetapi aku kan tidak, kukumpulkanlah itu kotak-kotak sampai entah berapa banyak dan belum tahu akan dipakai buat apa selama bertahun-tahun lamanya.

Aku jadi ingat kalimat (yang entah pernah kudengar atau kubaca darimana, aku sudah lupa), “Kalau kita ingin membeli sebuah baju baru, hendaknya minimal kita juga mengeluarkan/membuang satu buah baju dari lemari supaya barang-barang tidak menumpuk.” Hal itu juga berlaku untuk barang-barang lain yang ingin  dibeli. Ini adalah kalimat yang bagus dan sangat benar, tetapi kenapa tidak coba kupraktekkan? Kenapa hanya tersimpan indah di memory saja?!


Ketika tempohari beberes itulah ternyata aku dibuat capek dan pusing sendiri dengan banyaknya barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan, sehingga akhirnya banyak yang kutinggal dan meminta tolong pada orang supaya membuang semua barang-barang itu.
“Pak Sofyan, nanti tolong diingat ya…, mana barang-barang yang saya bawa dan mana barang-barang yang saya tinggal. Yang saya tinggal itu terserah pak Sofyan, mau dibawa pulang, dibuang atau dijual. Pokoknya saya ingin rumah ini dibersihkan ya pak…” pesanku pada seseorang yang biasa kuminta tolong bantuannya buat benerin rumah, atap bocor, dan lain-lain.
Aku memang perlu berpesan begitu karena aku berangkat dua hari lebih dulu naik Kereta Api dibanding barang-barang yang akan dibawa pakai truk. Takutnya nanti barang-barang yang sudah nggak kepakai diangkutin semua ke truk.

Eh, sstt…. tapi…. ternyata, ketika aku ngobrol dengan seorang teman yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negri dan menikah dengan orang bule, kebiasaan menumpuk barang juga terjadi padanya.
“Aku malah pernah leles barang-barang yang dibuang tetanggaku, lha wong barangnya masih bagus-bagus, jadi pas aku lihat ya terus kuambil kubawa pulang…., dan sampai rumah aku dimarahi suamiku, hehehe… maklum, naluri indonesiaku masih kuat, budaya lelesnya masih belum hilang…” katanya. Aku tertawa, memang iya…. Aku juga bakalan tergiur melihat barang-barang bagus yang dibuang pemiliknya begitu, karena sebetulnya, terkadang barang-barang yang dibuang sama orang-orang bule itu bukannya karena rusak atau apa, tetapi ya karena mereka tidak punya tempat lagi untuk menyimpan barang-barang tadi. Tidak jarang barang-barang tadi malah masih baru dan belum pernah dipakai sebelumnya.
“Kalau dekat, mungkin aku bawa container deh buat leles barang-barang di sana dan kujual lagi di sini…” kataku pada temanku itu. Lumayan kan, ambilnya gratis terus dapat diuangkan, hehehe…
(Temanku itu, sampai sekarang katanya masih suka ambil buku-buku bacaan yang dibuang tetangganya, tapi dia diam-diam alias ngumpet dari suaminya,… hehehe…., kalau buku bacaan mah memang sayang kalau nggak diambil ya…., bacaan itu sumber informasi koq!)

Oke,… hap hap…!!, Mulai sekarang harus kutinggalkan budaya nyusuh dan lelesku itu. Simpan barang seperlunya saja supaya rumah tidak seperti memelihara tuyul, banyak onggokan barang di sana dan di sini. Berdayakan budaya minimalis barang. Kalau memang sayang banget sama barangnya, difoto saja, terus di simpan di FB atau di album.  Nanti kalau lagi rindu, pantengin deh itu gambar…, pelototin sampai puas. Hehehe…, semoga aku berhasil! Berhasil! Berhasil!!


Surabaya, 26 Februari 2014

Senin, 24 Februari 2014

Selamat Jalan Ustadz



Sekitar seminggu yang lalu, kalau tidak salah tanggal 17 Februari 2014 siang, aku lupa tepatnya jam berapa, ada SMS dari tetangga di Bogor yang mengabarkan berita duka.
“Inna Lillahi Wa’inna Illaihi Roji’un, telah berpulang ke Rahmatulloh Ustadz Toha Anwar…..” isi SMS itu. Aku kaget dan menanyakan sakitnya apa, sebab aku koq nggak pernah dengar beliau sakit. Ternyata katanya gulanya naik sampai 400 dan sempat jatuh di depan rumahnya, kemudian dibawa ke RS dan meninggal.
Sorenya tetanggaku SMS lagi, “Alhamdulillah Mamie Itek, yang mensholatkan Pak Toha tadi banyaknya seperti Sholat Tarawih hari pertama, banyak banget…” katanya.
“Alhamdulillah, beliau memang orang baik…” jawabku di SMS.

Pak Toha ini (begitu aku biasa memanggil beliau), adalah salah satu Ustadz yang tinggal di Lingkungan Perumahan kami dan kebetulan juga adalah salah seorang pelanggan setia warnetku sewaktu aku masih membuka warnet kemarin.
Biasanya Pak Toha datang ke warnet antara jam 10.00-11.00 pagi atau terkadang juga sore setelah sholat ashar. Kalau pagi yang dibuka adalah situs Koran-koran online baik Dalam Negri maupun dari Luar Negri untuk mencari bahan ceramah maupun kuliah karena kebetulan beliau juga mengajar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di seputaran Depok. Kalau sore biasanya download ataupun buka e-mail.

Kalau kebetulan hari itu aku sedang tidak jalan, biasanya aku menemaninya ngobrol di warnet. Banyak banget topic bahasan kami  karena kebetulan kami berdua sama-sama doyan ngobrol, hehehe…. Mulai dari ceritanya waktu masih muda, kuliah, mendapat bea siswa dan tinggal di Luar Negri, tentang putri-putrinya yang juga mendapat bea siswa, sampai ke bahan kuliah untuk mahasiswanya.

Ada satu topic bahasan mata kuliah yang pernah diceritakannya padaku yang tetap kuingat dengan jelas sampai sekarang, yaitu bagaimana tidak setujunya beliau pada Bank-Bank yang menggunakan embel-embel Syariah saat ini.
Menurut beliau, semua Bank-Bank Syariah saat ini bukanlah Syariah. Mereka hanya mengganti nama dan sebutan-sebutan atau istilahnya saja tetapi pada prinsipnya ya sama saja dengan Bank-Bank yang lain. Mereka tidak menerapkan apa yang disebut Syariah itu dalam pengoperasiannya.
“Salah satu contohnya, sebagai Bank Syariah, seharusnya mereka mau membantu memberikan pinjaman atau menyalurkan kredit kepada masyarakat  atau pedagang kecil tanpa agunan dan tanpa embel-embel bahwa orang tersebut harus sudah punya usaha yang sama selama sekian tahun. Itu yang namanya membantu masyarakat kecil, tapi kalau yang dibantu hanya yang sudah punya usaha, terus mereka yang belum punya usaha harus minta bantuan kemana?  Kemudian kalau Bank tersebut takut uangnya tidak kembali, ya bantulah orang atau pedagang  tersebut dalam hal pemasarannya, ambil semua hasil produknya dan jualkan atau paling tidak memfasilitasi penjualannya… Seperti Program Anak Angkat itulah….” katanya.
“Tapi karena saya tidak punya kekuatan untuk merealisasikan pemikiran itu saat ini, maka yang saya lakukan sekarang adalah mencoba meracuni mahasiswa saya dengan ide-ide seperti itu…, supaya kelak merekalah yang dapat mewujudkan pemikiran itu.” katanya lagi.

Aku tidak tahu beliau mengajar mata kuliah apa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta itu, tapi semoga diantara mahasiswanya ada yang sempat teracuni pikirannya dan kelak ketika menjadi  salah seorang ‘Pengambil Keputusan’, mereka dapat mewujudkan ide-ide mulia almarhum dosennya ini.

Ada lagi pola pikir dari Pak Toha ini yang sempat diutarakannya padaku, yaitu ketika aku menceritakan  seorang keponakan tetanggaku yang meninggal dunia dan kebetulan tinggalnya juga di Perumahan yang sama dengan kami.
“Koq saya nggak dengar ada orang yang meninggal ya….” katanya.
“Yang meninggal bukan muslim pak, jadi biasanya pemberitahuannya terbatas…” jawabku.
“Harusnya nggak apa-apa diumumkan di Masjid kalau ada yang meninggal biarpun bukan muslim…, sebut saja ‘Mendiang’ adalah Bapak A yang tinggal di Blok D, atau ‘Mendiang’ adalah  Ibu B yang tinggal di Blok N, dan seterusnya, nggak usah disebut ‘Almarhum’ atau ‘Almarhumah’ karena sebutan itu sebetulnya adalah untuk muslim.”
“Emang bisa pak?” tanyaku.
“Kenapa nggak bisa? Kalau menurut saya, Masjid itu seharusnya dapat menjadi pusat informasi dan pusat aktifitas social dalam bermasyarakat….” jawabnya.
“Iya ya Pak, bahkan lampu mati saja diumumkan di Masjid ya Pak…” kataku.
“Lha itu, lampu mati, anak hilang, pemilu, semua diumumkan di Masjid, kenapa yang sesama manusia meninggal nggak boleh diumumkan di Masjid?” katanya.

Aku tidak tahu, apakah pemikiran beliau yang open mind itu sudah dari sononya, ataukah hasil terkontaminasi waktu tinggal di luar Negri, ataukah memang sudah seharusnya begitu?! Yang jelas, banyak hal-hal yang tadinya aku tidak tahu, akhirnya menjadi jelas ketika aku ngobrol dengan beliau.

Satu lagi, waktu aku berniat menutup warnetku, terus terang beliau ini adalah termasuk yang memberatkanku dan ada dalam pikiranku. “Kalau kututup warnet ini, nanti Pak Toha ngenetnya di mana ya?”

Aku sama sekali tidak menyombongkan diri dengan mengatakan kalau warnetku adalah satu-satunya yang terbaik. Sama sekali tidak. Sebab sebetulnyapun beliau punya Lap Top dan Modem yang dapat digunakannya untuk mengakses internet, tapi katanya kalau pakai Lap Top dan Modem suka lelet, terus kalau ada yang beliau nggak faham (misalnya mau download atau copas suatu artikel) kan biasanya bisa langsung nanya ke suamiku, atau kadang malah Lap Topnya sedang dipakai putrinya.
Warnet di lingkungan perumahanku kalau nggak salah ada 4 dan jadi 5 dengan warnetku, tapi beliau tidak nyaman pergi ke 4 warnet tadi karena mereka semua membuka game online yang selalu penuh dengan anak-anak dan berisik. Di tempatku tidak ada game online dan yang ngenet hanya anak-anak yang mengerjakan tugas sekolah, karyawan yang mengerjakan kerjaannya, atau orang-orang yang membuat program/design, atau sekedar browsing dan FB-an. Ada juga sih anak-anak perempuan kecil yang main game dari google dan biasanya nggak berisik karena mereka biasa main game masak-masakan atau Barbie.

Ternyata, tidak sampai dua bulan sejak aku menutup warnetku, beliau sudah dipanggil menghadapNya. Beliau sudah tidak perlu lagi ngenet mencari bahan untuk berceramah, beliau sudah tidak perlu lagi mengirim e-mail pada rekan sejawatnya atau harus berpusing ria membuat soal ujian untuk mahasiswanya. Perjalannya cukup sampai di sini. Semoga semua ilmu dan pemikiran yang pernah diberikannya pada kami semua  menjadi pahala yang dapat membantu memperlancar jalannya menghadap Yang Kuasa Allah SWT. Aamiin.

Selamat Jalan Ustadz M. Toha Anwar.


Surabaya, 24 Februari 2014

Minggu, 16 Februari 2014

Galau Nih!



Memang Ibu Kota sama sekali bukanlah kota yang ramah, tetapi geliat dan langkah kakiku sudah seirama dengat ritmenya. Kehidupan yang keras tiap harinya demi sesuap nasi, itu adalah clue-nya. Setiap bagian dari ujung kaki sampai ubun-ubun, mulai dari sudut hati sampai bilik-bilik otak, semua aktif bersinergi. Walaupun terkadang aku terjerembab di sela langkahku, tapi aku sudah terlalu lama terbiasa dengan kondisi ini dan setengah usiaku sudah kulalui dengan meminum air serta menjejak buminya.
Bahkan akupun seolah menjadi orang asing di Kota Kelahiranku sendiri, Surabaya. Kota di mana aku dilahirkan dan memulai setengah perjalanan hidupku. Kotaku ini seolah enggan menerimaku kembali.

Ketika dalam suatu keadaan aku harus kembali menjejakkan kaki di Kota Kelahiran ini, aku jadi ragu melangkah. Aku hanya menoleh ke kanan dan kekiri mengawasi situasi yang sudah amat sangat berbeda.  Bumi seolah mencengkeram erat kedua kakiku, tak rela melepaskan aku melangkah.

Aku harus bagaimana?
Begitu asingkah aku di Kota ini? Tidakkah aku dapat diterima kembali? Tidak adakah lagi ruang bagiku?

Aduh,….. aku galau!! (kata bahasa anak muda sekarang)
Mungkin aku memang belum siap untuk melangkah di Kota Kelahiranku ini lagi, mungkin aku harus kembali dulu ke Ibu Kota dan berdamai dengan hatiku supaya aku ikhlas untuk meninggalkannya.

Baiklah Ibu Kota, aku akan kembali ke pelukanmu dan menikmati kembali belaianmu sebelum aku melepasmu untuk menerima pelukan Kota Kelahiranku nanti.
Untuk Kotaku, tunggulah sejenak, aku akan segera datang padamu dan mulai mencumbumu…..




Surabaya, 16 Februari 2013
(Memutuskan ketika otak sudah amat sangat butek!)

Sabtu, 08 Februari 2014

Nenekku


                                                                             nenekku




Ini nenekku, namanya Astoechah, menurut KTP lahir di Mojokerto Jawa Timur pada tanggal 30 Juni 1925. Kalau tahun kelahirannya aku yakin benar, yang tidak kuyakin adalah tanggal dan bulan kelahirannya. Aku yakin tahun lahirnya memang 1925 karena ibuku pernah cerita kalau selisih usia ibu dan nenekku adalah 20 tahun.

Kalau dihitung sampai tahun ini, usia nenekku sudah menginjak 88 tahun. Usia yang cukup renta untuk ukuran orang kita, beda dengan orang Barat yang di usia 90 tahun tubuhnya masih terlihat segar. (Ini kuambil rata-rata saja ya, walaupun tidak menutup kemungkinan kalau masih ada juga nenene-nenek seusia nenekku di sekitar kita ini yang masih terlihat bugar).

Di kondisinya saat ini, kalau dibilang pikun sih kurasa nenekku belum terlalu pikun. Beliau hanya kalah di pendengaran. Nenekku ini masih aktif melakukan semua aktifitas kehidupannya sehari-hari mulai dari belanja di tukang sayur, memasak, dan mencuci bajunya sendiri. Ini semua adalah keinginannya untuk tetap melakukan semua aktifitasnya sendiri. Sebab pernah di satu saat, beliau ikut tinggal di rumahku yang beliau tidak kubiarkan melakukan semua aktifitas itu. Beliau bangun tidur sudah kusiapkan sarapan di meja, mencuci juga sudah kukerjakan, jadi beliau tinggal duduk-duduk saja menikmati hari mulai dari pagi sampai malam.

Eh, ternyata kondisi itu hanya bertahan selama 3 bulan. Di tempat duduknya sehari-hari, setiap beliau sudah pergi tidur, aku selalu menemukan secarik kertas yang bertuliskan kata-kata seperti berikut : aku di sini capek, ngantuk terus, di sini nggak boleh apa-apa, di sini nggak boleh ke mana-mana, aku pingin pulang, dan lain-lain kalimat-kalimat senada yang ditulis dengan menggunakan bahasa campuran Indonesia dan Jawa. Menginjak bulan ke empat, beliau minta pulang ke rumah ibuku di mana semua aktifitas masih dapat dilakukannya dengan bebas.

Oh iya, nenekku ini memang dapat membaca dan menulis latin dengan lancar karena di jaman Belanda dulu, beliau masih sempat mengecap pendidikan setara SD  di jaman sekarang. Malah dulu pernah cerita, ketika pulang dari sekolah ada anak laki-laki yang suka padanya, maka dia akan berubah jadi galak. Misalnya nih, nenekku pulang sekolah memakai payung karena hujan, eh… tiba-tiba ada anak laki-laki yang menggodanya karena sebenarnya memang suka, si anak laki-laki itu ikut jalan di sampingnya dan menumpang payung. Maka, langsung deh itu payung ditutup sama nenekku dan mereka bertengkar di bawah hujan.

Waktu jaman Jepangpun katanya beliau sempat bekerja di pabrik gula sebagai mandor. Sempat juga ditaksir atasannya tapi ditolak. Beliau juga mahir membatik dan bermain karawitan di posisi Memainkan Bonang kalau nggak salah ingat. Jadi masa mudanya memang selalu aktif berkegiatan di luar rumah.

Sekarang, walaupun belum pikun, banyak kata-katanya yang terkadang memang agak lebay. Tapi aku berusaha memahaminya sebagai ungkapan rasa ingin diperhatikan karena di usia tuanya ini beliau merasa kesepian. (Telinga berkurang fungsinya itu membuat sepi). Usianya hampir 90 tahun lho! Di mana sudah masanya beliau kembali ke sifat anak-anak.

Denganku sendiri, sampai saat ini belum ada masalah (dan jangan pernah bermasalah atau aku menganggapnya sebagai masalah), karena selama ini terus terang saja aku adalah cucu kesayangannya. Aku cucu pertama yang sejak bayi dirawat oleh beliau, dan ini yang lebih penting: sejak aku menikah, aku jarang pulang, sehingga intensitas pertemuanku dengan beliau juga jarang sekali. Kan kata orang, semakin kita jarang bertemu semakin harumlah nama kita, tapi kalau semakin sering bertemu, maka akan semakin jeleklah diri kita…, hehehe…., iya apa iya sih?

Kalau dengan ibuku dan adik-adikku yang selama ini sering sekali bertemu, beberapa kali terjadi konfrontasi antara mereka, perang urat syaraf dan perang dingin sering terjadi…., hehehe… Tapi yaaah, itulah tadi kubilang, sifat beliau sudah kembali ke anak-anak, jadi mestinya yang lebih muda memahamilah. Biarkan saja semua kata-kata dan tindakannya yang mungkin agak kurang mengena di hati, dengarkan saja tapi jangan dimasukkan ke hati. Coba bersikap netral dan jangan berusaha membalas supaya tidak semakin kacau. Namanya juga orang tua. (Tidak menyalahkan juga sih kalau terkadang timbul emosi ketika mendengar kata-kata yang tidak sesuai kenyataan…)

Di lingkungan rumah ibuku, nenekku ini lumayan terkenal. Dari ujung ke ujung banyak orang yang mengenalnya. Gara-garanya ya itu tadi, beliau masih suka ke sana kemari sendiri, belanja, ambil pensiun, dan lain-lain. Sehingga banyak orang baru juga yang tidak tahu asal-mula cerita, sering mengeluarkan kalimat seperti ini : kasihan sekali ya orang tua, semua-mua harus dikerjakan sendiri.  Banyak orang yang memberinya makanan, pakaian, uang, dll. Intinya ibuku merasa seolah disalahkan karena menterlantarkan orangtuanya. Akhirnya ibukupun marah-marah ketika hal tersebut sampai ke telinganya.

Ketika aku diceritakan semua itu, aku sih mendengarkan saja tanpa berkomentar. Berusaha tidak menyalahkan ke sana atau ke sini. Habis, mau gimana lagi? Apa kita harus membungkam dan menjelaskan pada semua orang kondisi yang sebenarnya? Kurasa sih tidak perlu, biarkan saja mereka dengan pikirannya masing-masing. Kalau mereka wise, mereka pasti tahu, bahwa yang ada di depannya adalah orang tua yang sifatnya sudah kembali ke anak-anak, sehingga banyak kata-katanya yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya…. Berikan perhatian secukupnya tanpa perlu menjudge keluarganya dengan mengatakan kalau keluarganya tidak ada yang perduli pada orang setua ini. Itu saja.

Nah, itu tadi sedikit cerita tentang nenekku yang sudah amat renta, baik fisik maupun pikirannya. Aku hanya ingin berbagi rasa bahwa kelak kitapun akan menjadi tua, akan menjadi reseh dan menyebalkan buat mereka yang lebih muda. Jadi bersiap-siaplah mulai dari sekarang. (Jangan bilang : Aku kelak tidak akan menjadi orangtua yang menyebalkan! Ah,… who's knows?!)



Surabaya, 8 Februari 2013
(otak sedang beku, lemot, dan sama sekali tidak produktif)