Jumat, 30 Oktober 2020

Kisah Kakak, Dua Minggu Di Ranu Pane

 *** Ini Tulisan Kakak sendiri. 


Berhubung belum ada kisah perjalananku terbaru, aku memutuskan untuk menulis pengalaman dan cerita-cerita  lama sebelum mereka menghilang sepenuhnya dari ingatanku.

Kali ini aku akan throwback ke tahun 2015 silam. Waktu itu bulan Agustus, aku kedatangan rombongan dari Semarang yang ingin ke Ranu Kumbolo. Mereka adalah Mbak Visi, Valen dan Riko,  teman-teman yang kukenal dari Instagram tetapi sudah seperti teman dekat yang berteman lama. Dan yang ikut berangkat dari Malang ada aku sendiri, Dodo, Obam, Andhi, Lando, Tama, Resti dan Sifa juga ada Mba Ni dari Surabaya. Total rombongan waktu itu 12 orang dan kalau tidak salah ingat kami berangkat beberapa hari sebelum 17 Agustusan. Ini termasuk rombongan terbanyakku sepanjang sejarah pendakian yang pernah aku lakukan.

Awalnya aku sempat ragu-ragu akan ikut berangkat atau tidak. Padahal biasanya kalau naik gunung aku tidak pernah ragu-ragu. Tetapi mereka berusaha mengompori dan meyakinkanku hingga akhirnya pun aku turut mem-packing barang bawaan dan berangkat bersama mereka.

Perjalanan menuju ke Ranu Kumbolo berjalan lancar dan menyenangkan seperti seharusnya. Kami berangkat dari Malang naik motor dan rencana awal hanya menginap semalam saja di Ranu Kumbolo. Akan tetapi ketika di perjalanan turun dari Ranu Kumbolo menuju ke Ranu Pane, ada kejadian yang menimpa Mbak Visi dan membuat kakinya cedera lumayan parah.

Ceritanya, siang itu kami memilih lewat jalur atas (bukan melipir danau) melewati hutan untuk menuju ke sisi danau yang satunya. Kondisi jalur yang setapak dan tidak terlalu lebar mengharuskan pendaki untuk berjalan dalam satu baris.

Waktu itu, mba Visi ada di bagian belakang bersama Valen dan Tama. Tiba-tiba ada pendaki mancanegara yang ingin mendahului dan menyalip rombongan kami sehingga membuat Mbak Visi dan yang lainnya harus sedikit kepinggir memberi jalan. Ketika hendak berpindah posisi, tidak sengaja kaki Mbak Visi terkilir dan keseleo di bagian pergelangan kakinya.

Mbak Visi meminta tetap melanjutkan perjalanan dengan kondisinya yang semakin lama semakin terpincang-pincang.

Aku mungkin memang tidak bisa membayangkan betapa sakitnya berjalan di jalur turun dengan kaki yang keseleo, tapi yang aku tahu jalan di jalur turunan dengan kondisi normal saja rasanya cukup menguras tenaga dan membuat kita menahan sakit di ujung-ujung jari sewaktu mengerem. Aku salut sekali dengan mba Visi yang tetap semangat untuk melanjutkan perjalanan dan tidak mengeluh sedikitpun. Walaupun ternyata hal tersebut justru membuat kondisi kakinya semakin parah.

Setelah melewati Pos 3 dan melewati jalur longsor, aku bersama rombongan yang di depan (kalau tidak salah ada Obam, mba Ni, Resti, Dodo dan Riko) meminta izin pada rombongan yang di belakang untuk berjalan lebih dulu lalu kemudian kami mempercepat langkah dengan agak sedikit berlari supaya sampai di Ranu Pane tidak keburu gelap sehingga bisa mencari tempat yang nyaman untuk tempat istirahat kami nantinya.

Walaupun saat itu merasa ada yang aneh juga ketika jalan dari Pos 1 menuju ke Ranu Pane yang biasanya memakan waktu sekitar satu jam setengah lebih, seperti tidak kunjung sampai. Aku berusaha tidak berfikiran yang macam-macam. Di tempat seperti ini kita harus selalu positif thinking.

Begitu juga saat di sepanjang perjalanan sepertinya ada burung hitam yang selalu mengikuti kami. Biasanya burung liar pasti akan takut pada gerakan manusia, tetapi burung ini justru seperti menemani dan mengiringi kami ketika berjalan turun.

Aku, Resti, dan Dodo sampai ke pendopo yang ada di Ranu Pane sekitar pukul 18.00 WIB, pas sekali waktu itu baru gelap. Obam dan Mbak Ni malah sudah sampai duluan sebelum maghrib.

Tentang Obam, aku tidak paham lagi Obam ini sehari-harinya makan apa. Karena kenapa bisa dia jalannya cepat sekali, tidak pernah kelelahan, dan larinya pun tidak tertandingi. (Ya sih, dia memang bisa dibilang athlete lari yang cukup professional di Malang).

Kemudian kami menggelar matras di pendopo yang kondisinya setengah terbuka untuk berselonjor. Menurutku, suhu di Ranu Pane ini menjadi lebih dingin dan semakin dingin jika kita hanya berdiam diri serta tidak melakukan apa-apa.

Tidak berselang lama rombongan di bagian tengah pun sampai. Ada Sifa, Lando, dan juga Andhi. Tapi mereka bilang kalau rombongan yang di belakang masih sangat jauh jaraknya. Kami mulai khawatir dan menunggu dengan perasaan tidak tenang.

Kemudian Obam berinisiatif untuk kembali dan menyusul Mbak Visi yang cidera, dengan berbekalkan headlamp dan peralatan yang sudah dipindahkan ke daypack kecil.

Sebenarnya hal ini membuat kami semakin tidak tenang kalau harus membiarkan Obam menyusul sendirian apalagi kondisi sudah malam, tetapi di sisi lain kami percaya dia sudah menguasai medan dan juga hanya dia yang kondisinya masih fit. Dia sudah sering ke tempat ini.

Masalah Mbak Visi belum selesai, malah insiden selanjutnya pun terjadi di Ranu Pane.

Waktu itu sekitar pukul 21.00 WIB, Sifa yang mempunyai gejala penyakit asthma merasa sangat kedinginan hingga kemudian bergabung dengan para porter dan guide yang sedang membuat perapian di dekat toilet. Kamipun ikut menemani dan mengingatkan agar dia tidak terlalu dekat dengan api supaya tidak terkena asapnya.

Kemudian tiba-tiba saja Sifa terlihat menunduk lalu sesak nafas, lemas dan kemudian pingsan. Para porter yang ada disitu reflek menggendong Sifa dan membawanya ke ruang istirahat Saver (Sahabat Volunteer Semeru, petugas yang berjaga di Pos Ranu Pane).

Setelah diberikan obat asthma semprot dan diolesi minyak angin Sifapun sadar. Kemudian Sifa disuruh memakai beberapa lapis sleeping bag dan meminum teh hangat dari Saver.

Melihat kondisinya yang seperti itu kami disuruh beristirahat di dalam situ saja, dan para Saver mempersilahkan kami menggunakan kamar mandi atau dapur jika ingin memasak. Akhirnya kami pun bercerita pada tim Saver kalau kami sedang menunggu teman yang kakinya cidera dan belum sampai.

Hingga tiba-tiba datanglah Tama dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Dia bilang, kalau Obam sudah menemani Mbak Visi dan Valen disana  dengan ditemani beberapa pendaki lain yang berpapasan di jalan. Mereka membuka tenda untuk beristirahat di Watu Rejeng, karena kondisi Mbak Visi benar-benar sudah tidak bisa jalan. Jadi  ceritanya saat itu Obam bertukar posisi dengan Tama. Ganti Obam yang menemani Mbak Visi dan Valen, sedangkan Tama disuruh melaporkan kondisi mereka ke Ranu Pane.

Mendengar itu seorang Saver justru tidak setuju.

“Kalian tau? Watu Rejeng itu gerbangnya kerajaan makhluk-makhluk yang menghuni disana. Kalau teman kalian malam ini tidur disitu, saya jamin tidak lama lagi bakalan ada yang kesurupan. Jadi kalau mau buka tenda harus sedikit turun lagi.” Katanya.

Mendengar hal itu aku jadi  panik. Khawatir dan takut kalau-kalau Mbak Visi atau Valen yang sedang kelelahan akan lebih mudah kerasukan, apalagi kalau pikirannya sedang kosong. Dan… Ah sungguh aku tidak bisa membayangkan hal-hal yang akan terjadi.

Kamipun meminta tim Saver untuk mengirimkan bantuan dan mengevakuasi Mbak Visi agar diangkut menggunakan tandu atau semacamnya. Akan tetapi para Saver tidak bisa mengirimkan tim untuk evakuasi malam itu dan kami harus menunggu sampai besok pagi.

Disitu aku benar-benar merasa bersalah karena  berjalan meninggalkan Mbak Visi. Seharusnya apapun yang terjadi kami semuanya tetap bersama, karena kami berangkatpun berbarengan. Maafin Rieke ya Mbak Vis, karena waktu itu ninggalin Mbak Visi yang lagi kesakitan L

Tama menyampaikan pesan dari Mbak Visi, katanya Mbak Visi minta tolong supaya kami menghubungi Ibunya di Semarang dan menyampaikan bahwa pulangnya harus tertunda. Takutnya Ibunya khawatir menunggu.

Kami segera mencari kertas berisi nomor  hp yang katanya ada di tas kecil yang dibawa Riko. Tetapi  setelah bergotong-royong membongkar-bongkar seluruh tas hasilnya nihil, kamipun bingung. Kami tidak menemukan kertasnya dan berfikiran mungkin masih terbawa Mbak Visi atau Valen di tas yang mereka bawa.

Malam itu rasanya benar-benar campur aduk. Antara cemas dan takut.

Ketika hanya ada aku, Resti, Sifa, dan Mbak Ni di ruangan Saver. Kami memutuskan untuk memasak mi instan, tapi entah kenapa suasana malam itu menjadi semakin horror karena lampu ruangan yang tiba-tiba berkedip-kedip dan ada serangga besar yang jatuh didekat kami dengan cara yang amat mengagetkan. Sungguh mencekam.

Tidak lama kemudian ada seorang Saver yang datang dan mengatakan kalau malam itu akan ada rombongan lain juga yang beristirahat disitu. Sehingga tidurnya harus diatur menyerupai ikan pindang dan sedikit berdesak-desakkan karena rombongannya berjumlah 20 orang. Kami mengangguk setuju dan berfikiran mungkin karena sudah terlalu malam tim Saver tidak mengizinkan pendaki untuk turun ke kota karena jalannya yang terlalu curam, sehingga banyak pendaki yang menumpang beristirahat disitu juga. Tapi ternyata, perkiraan kami salah. Mereka adalah rombongan pendaki yang salah seorang temannya menghilang ketika turun dari puncak Semeru. Aduuuh...., ada kejadian apalagi ini.

Suasana malam itu semakin membuat merinding karena sebelum tidur, kami semua berkumpul di ruangan Saver bersama rombongan 20 orang tadi membentuk sebuah lingkaran, merenung bersama-sama dan membacakan doa agar Daniel, teman mereka yang hilang itu segera ditemukan dan juga untuk Mbak Visi yang sedang cidera semoga kondisinya segera membaik. Malam itu Ranu Pane jadi tidak sedingin biasanya, kami tidur berbalut sleeping bag masing-masing dan menyukupkan diri yang diisi hampir 30 orang di satu ruangan.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali suara telepon milik tim Saver berdering berkali-kali sekaligus menjadi alarm untuk kita semua agar segera bangun. Ternyata itu adalah telepon dari pihak keluarga pendaki yang hilang dan juga telepon dari media-media yang sudah mengetahui kabar tersebut dan ingin memastikan kebenarannya.

Tiba-tiba Resti yang berada disebelahku mengatakan kalau sewaktu tidur dia memimpikan Daniel. Dia terlihat seperti sedang menangis dan berusaha mencari jalan keluar dari dalam hutan. Di dalam bayangannya, Daniel ini bersosok tinggi besar. Lalu akupun terheran, bagaimana bisa memimpikan seseorang yang bahkan kita tidak pernah bertemu sebelumnya dan mengetahui tampilan fisiknya? Apakah ini sebuah pertanda? Kemudian aku mengajak Resti untuk keluar mengisi air sekaligus membersihkan muka. Karena kamar mandi di dalam situ hanya ada satu dan orang yang mengantri lumayan banyak.

Ketika itulah aku melihat suasana diluar tidak seperti biasanya. Sangat ramai dan kudengar-dengar dari beberapa pendaki yang berbincang kalau pendakian mulai hari itu ditutup karena akan diadakan open SAR untuk mencari Daniel.

Di depan ruangan Saver juga ada beberapa polisi beserta anjing pelacak yang sedang disimulasikan untuk mengenali beberapa barang milik Daniel yang terakhir dipakai.

Aku dan Resti berjalan ke arah pos Simaksi tempat pendaftaran. Di situ ditempelkan pengumuman yang diprint di kertas yang memberitahukan kalau pendakian Semeru ditutup, beserta foto-foto terakhir Daniel sewaktu di puncak Semeru sebelum hilang.

“Bener Rieke, ini yang aku mimpiin. Sama kaya gini orangnya, tinggi.” Kata Resti setelah melihat fotonya. Aku ternganga. Takjub. Sungguh mistery.

Kejadian aneh yang lain adalah ketika kami sedang packing dan tidak sengaja menemukan kertas titipan Mbak Visi semalam. Padahal benar-benar sudah dibongkar semua tas dan ada banyak saksi, kertas itu tidak ada. Kenapa pas pagi harinya jadi ada? Itupun masih menjadi mistery sampai sekarang.

Setelah memastikan kalau Mbak Visi sudah dijemput oleh seorang porter, kami bersama yang lain mencari sarapan sambil menunggu.

Sewaktu di warung, kami mendengar berita lagi bahwa ada pendaki wanita asal Jawa Barat yang ditemukan meninggal di area pasir menuju ke puncak akibat kejatuhan batu yang longsor. Juga ada dua korban yang patah tulang di bagian kaki dan tangan yang sedang dievakuasi untuk turun. Ya Tuhan apalagi ini? Banyak sekali musibah yang terjadi hari itu.

Saat itu di Ranu Pane memang sangat ramai, selain dipenuhi oleh para pendaki yang tidak bisa naik karena pendakiannya ditutup, banyak juga mobil tim SAR dan ada juga mobil Ambulans.

Sekitar pukul 11.00 WIB, Mbak Visi akhirnya sampai bersama Valen dan Obam dengan digendong oleh porter yang kukenal baik sampai saat ini bernama Pakde Dul. Alhamdulillah.

 Melihat kondisi kaki Mbak Visi semakin parah sudah membengkak dan seperti lebam dari betis bagian bawah sampai ke pergelangan kakinya, sungguh rasanya aku ingin menangis. Sekali lagi, maafin aku Mbak Visi, waktu itu nggak bisa bantu apa-apa L

Petugas-petugas dan orang-orang disana menyarankan supaya Mbak Visi dibawa naik ambulans saja bersama dengan korban lainnya, mengingat rombongan kami harus pulang naik motor. Dikhawatirkan kondisi Mbak Visi belum kuat. Tetapi ternyata menunggu korban yang lain bisa-bisa sampai sore, karena medan dan jalur yang panjang untuk evakuasi korban dari atas hingga ke Ranu Pane. Akhirnya Mbak Visi memutuskan untuk pulang naik motor saja.

Kebetulan, saat itu akan digelar acara ’50 Pendaki Wanita’ dari brand outdoor lokal yaitu Rei Outdoor untuk menyambut sekaligus merayakan 17 Agustus selama seminggu ke depan. Siang itu sudah terpasang spanduk dan umbul-umbul di sepanjang jalan di Ranu Pane. Terbayang kan betapa ramai dan chaos-nya kondisi Ranu Pane saat itu?

Aku yang sebelum berangkat memang juga sudah sempat mendaftar untuk tergabung dalam kegiatan ‘Expedition Women Series’ itu kemudian mencoba menghampiri orang-orang dengan seragam Rei yang ada di depan basecamp Gimbal Alas itu untuk memastikan. Aku memang sudah menjalani proses interview dengan kepala toko cabang Malang dan mendapat konfirmasi kalau keterima untuk bergabung, itulah sebabnya mengapa di awal keberangkatan aku sempat ragu-ragu. Karena waktunya yang hanya berjeda sehari, aku khawatir ketika pulang aku terlanjur lelah dan justru jadi males berangkat lagi. Ternyata, karena kejadian ini aku bahkan belum pulang dan bertemu tidak sengaja dengan tim Rei Outdoor-nya di ranu pane.

Waktu itu aku mendaftar menjadi SPG-nya, yang menjaga stand selama dua minggu di Ranu Pane. Bukan mendaftar sebagai 50 pendaki wanita. Karena kalau menjadi SPG mendapatkan gaji sedangkan kalau menjadi pendaki hanya mendapatkan beberapa peralatan gunung. Dan waktu itu aku lebih membutuhkan uang.

Saat itu aku menceritakan kepada orang-orang dari Rei Outdoor kalau aku baru saja turun dari Ranu Kumbolo dan belum sempat pulang karena ada teman yang harus dievakuasi. Ternyata mereka justru melarang aku untuk pulang, katanya nanti aku akan dapat beberapa pakaian dan diberi kamar penginapan lengkap dengan fasilitas air hangat. Aku juga akan mendapat uang makan setiap harinya, jadi pada akhirnya aku berpisah dengan Mbak Visi dan kawan-kawan yang pulang sore itu untuk menuju ke RS Saiful Anwar dan memeriksakan kakinya.

Karena di Ranu Pane susah sinyal, bahkan tidak ada sinyal sama sekali waktu itu. Aku menitipkan pesan dan minta tolong Sifa menghubungi Mamiku untuk menyampaikan kalau aku masih harus stay di Ranu Pane selama dua minggu lagi. Khawatir banyak berita korban meninggal dan hilang sudah tersebar sedangkan aku masih belum ada kabar hingga dua minggu kedepan bisa membuat orang-orang mencariku. Aku ingat sekali ketika berpisah mereka memberiku body lotion, beberapa kaus kaki cadangan yang belum terpakai, dan beberapa perlengkapan lain untukku seminggu kedepan. Terima kasih banyak geng!

Selama dua minggu aku menghabiskan hari-hariku di Ranu Pane dengan orang-orang baru di lingkungan yang sudah tidak asing. Merasakan kedinginan sepertinya sudah menjadi hobi baru waktu itu, karena setiap hari harus tidur dengan suhu dibawah 10° C. Tidak pernah sedikitpun aku berkeringat sewaktu disana.

Aku membayangkan bagaimana orang-orang Suku Tengger selama ini menjalani hari-harinya di suhu dingin setiap hari dan sulit untuk berkeringat. Maka dari itu, jika diperhatikan kulit wajah mereka lebih kering dan pipinya berwarna merah alami seperti memakai blush on. Tetapi meningkatnya wisatawan ke TNBTS semenjak 2012 ini membuat warga Suku Tengger meningkatkan perekonomian mereka. Bisa dijamin hampir semua penduduk disana setidaknya mempunyai bisnis masing-masing, entah itu menyewakan jeep, penginapan, warung sembako, bensin eceran, yang jelas pendapatan mereka lumayan banyak. Terlihat ketika mereka berbelanja di stand Rei Outdoor waktu itu, seperti tidak khawatir uangnya akan habis.

Dari hari ke hari semakin banyak pendaki yang datang dan memenuhi Ranu Pane serta Ranu Regulo untuk menunggu dibukanya izin pendakian ke Gunung Semeru itu. Banyak sekali pendaki yang dari luar kota dan bahkan luar pulau sudah jauh-jauh datang tetapi tidak bisa mendaki karena masih ada proses pencarian pendaki yang hilang dan belum juga ditemukan.

Hingga akhirnya di hari ke-lima aku mendengar kabar kalau Daniel sudah berhasil ditemukan di dekat Sumber Mani dalam kondisi selamat. Syukurlah! Itu berarti acara pemberangkatan 50 pendaki wanitapun bisa terlaksana secepatnya.

Berkenalan dengan para pendaki lain, akrab dengan warga lokal, petugas-petugas, Saver, orang-orang dari Gimbal Alas termasuk Pak Tarpin (pendaki yang masuk rekor karena berjalan mundur), para porter dan guide, teman-teman dari brand Outdoor Pro, hingga supir-supir jeep disana sepertinya sudah menjadi kebiasaan baru. Menu makanku bergilir dari warung ke warung setiap harinya supaya tidak bosan, karena hanya ada itu-itu saja disana. Tidak jarang harus berjalan ke arah desa tempat pemukiman warga untuk menumpang mandi jika air hangat disitu sedang bermasalah. Karena tentu saja aku tidak mau mandi dengan air es! Hahaha. Bahkan tidak jarang juga aku tidak mandi dan hanya mencuci muka saja. Itu semua menjadi pengalaman baru buatku, terutama merasakan upacara 17 Agustus bersama warga Suku Tengger di Ranu Pane.

Kira-kira seminggu sekali aku menumpang telepon di warung Bagus (salah satu warung yang paling terkenal di Ranu Pane), untuk menelepon Mami dan menceritakan pengalamanku itu. Karena dari kecil aku memang terbiasa untuk menceritakan apapun yang aku alami sehari-hari, sehingga sangat gatal sekali rasanya ketika tidak bisa setiap hari bercerita. Hanya ada beberapa warung yang mempunyai jaringan telepon. Masih seperti warnet, bayarnya pakai tarif. Kalau tidak salah providernya namanya Ceria dan baru itu saja yang bisa masuk kesana.

Tidak terasa dua minggu kulalui begitu saja, menyenangkan tapi kadang ada juga hal-hal yang membuat kesal selama menjadi SPG karena sempat kesal dengan atasan. Ada juga keunikan-keunikan dari para pendaki yang berusaha mengajak berkenalan dan meminta kontak. Dan tentunya ada pelajaran-pelajaran baru yang aku dapat dari cerita ini.

Kebersamaan itu penting, sangat diharamkan hukumnya meninggalkan teman yang sakit apalagi membiarkannya jalan di belakang. Karena kita tidak akan tau apa yang akan terjadi. Selalu berhati-hati dan mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, sebenarnya pendakian ke Gunung Semeru ini hanya boleh sampai Kalimati saja, tetapi kita kadang lebih mementingkan ego untuk muncak daripada mengikuti peraturannya. Karena berfikiran, ‘nanggung udah sampai sini masa sih nggak muncak?’ Ya kan? Padahal tentu saja itu sangat beresiko untuk keselamatan kita. Aku juga hanya pendaki biasa yang masih perlu banyak belajar dari yang lebih berpengalaman. Dan ini menjadi pengalaman ter-seram karena melihat sendiri korban-korban kecelakaan itu secara langsung.

Sewaktu pulang ke Malang, ribuan chat memenuhi handphone-ku yang berisi kekhawatiran teman-teman dan pertanyaan-pertanyaan yang kini aku jawab di dalam cerita ini. Banyak yang menduga-duga apakah aku (naudzubillahimindzalik) termasuk ke dalam korban itu. Karena memang berita korban meninggal itu menjadi trending topic selama seminggu, terlebih lagi korbannya perempuan dan juga berasal dari Jawa Barat. Dan aku belum ada kabar hingga dua minggu lebih semenjak postingan terakhir yang berpamitan untuk naik gunung.

Ada percakapan dengan warga sekitar situ yang aku ingat sampai sekarang,

“Mbak, kemarin pas naik ke Rakum ngerasanya cuacanya lagi dingin nggak?” Tanyanya kepadaku.

“Kayanya pas di Rakum ngga terlalu sih Mas, padahal biasanya kalo musim kemarau gini dingin banget kan ya?”

“Nah, iya itu Mbak. Makanya itu, kayanya udah pertanda, kalau gunungnya lagi nyari korban. Lagi ‘waktunya’..”

Oh No!!

Setelah beberapa kali mengalami kejadian seperti ini, melihat secara langsung korban-korban kecelakaan dari mendaki gunung, sempat terbesit pikiran apakah ini sebuah peringatan untukku supaya harus berhenti mendaki? Ataukah memang sebuah proses yang harus dilalui dan diambil hikmahnya?

Semoga cerita ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

 

 

Salam hangat,

Rieke Saputri.

 

Selasa, 28 Juli 2020

Cerpen : Istri Kedua


Cerpen            :  ISTRI KEDUA
Oleh                :  Aan Diane



         Kupandang laki-laki yang sedang duduk di depanku ini dengan berbagai macam rasa di dalam dadaku. Bergantian dengan berbagai analisa logis dari otakku yang aku tidak tahu akhirnya mengeluarkan sorot mata bagaimana.

     “Tolong kamu pikirkan lagi dengan tenang tawaranku tadi ya...., kuberi waktu sampai bulan depan, sekarang aku pulang dulu. Assalamualaikum...... ” Katanya sambil bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan.

     Dia, laki-laki itu adalah Anthony yang secara teori adalah boss-ku, pemilik Rumah Makan tempatku bekerja sebagai cashier merangkap waitress, merangkap tukang kebun, merangkap penjaga rumah, dan lain-lain, karena aku memang tinggal di rumah ini.

        Tetapi secara harafiah, sebetulnya dia adalah teman mainku sejak kecil. Usianya terpaut dua atau tiga tahun di atasku. Kami dulu bertetangga di Surabaya. Sampai akhirnya perjalanan hidup mempertemukan kami kembali di Kota Malang ini, sedangkan saat ini dia dan keluarganya tinggal di Jakarta. Anaknya hanya satu, seumuran anakku yang bungsu.

      Ingatanku melayang pada saat itu, saat seorang teman, namanya Mas Beni, menawarkan pekerjaan sebagai penjaga rumah yang akan difungsikan sebagai Rumah Makan. Tentu saja aku langsung menerima tawarannya tanpa berpikir panjang lagi, mengingat bulan depan aku sudah harus mencari kontrakan baru karena rumah yang kutempati tidak akan dikontrakkan lagi oleh pemiliknya. Bukankah ini namanya pucuk dicinta ulampun tiba?

       “Tapi mungkin tugasmu nanti agak berat lho Win. Sebab juga harus bantu-bantu di restonya.” Katanya.

       “No problem! Yang penting aku dan dua orang anakku dapat menumpah berteduh.” Jawabku senang. Apalah artinya sekedar beberes rumah dan bantu-bantu di resto kalau aku dapat tinggal gratis di rumah itu, dan malah dapat gaji juga, pikirku.

     Aku percaya kalau Allah akan memudahkan hidup umatnya asalkan umat itu sendiri mau berusaha. Dan kurasa, usahaku selama ini juga sudah tidak kira-kira. Semua hal yang dapat kulakukan, pasti akan kulakukan demi aku dapat menyambung hidup kami bertiga. Ibarat kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, semua sudah kulakukan.

       Tidak sampai seminggu, aku dan anak-anakkupun pindah ke sebuah rumah di Sawojajar. Ke rumah itu, yang akan dijadikan restoran. Alhamdulillah. Kedua anakku senang sekali melihat ‘rumah baru’ kami.

       Rumahnya adalah bangunan semi modern yang terletak di pojokan dengan luas tanah sekitar enam ratus meter persegi. Rumah yang sangat mewah bila dibandingkan dengan rumah tipe 21 yang biasa kukontrak beberapa tahun terakhir ini.

       Konsep rumah makannya nanti adalah ‘Rumah Keluarga’. Jadi bentuk rumah tinggal ini tidak dirombak lagi untuk dikondisikan sebagai restoran, tetapi restoran itulah yang akan masuk ke dalam rumah tinggal ini sehingga seolah pelanggan sedang makan di rumahnya sendiri. Sangat kekeluargaan sekali.

       Begitu masuk ke halaman, ada beberapa perangkat meja kursi di teras yang dapat dipakai pelanggan sambil menikmati taman depan yang ditanami aneka tanaman bunga. Masuk ke dalam rumah, juga akan ada beberapa perangkat sofa bagi pelanggan yang ingin suasana hangat di ruang tamu. Begitu juga di bagian yang lain yang seolah ruang keluarga, sampai halaman belakang rumah yang dihiasi berbagai bonsai cantik di tepi kolam ikan kecil.

        Aku sendiri tinggal di pavilyun di ujung halaman belakang. Di samping  kolam ikan  dengan airnya yang selalu mengericik turun dari karang tebing buatan. Ada jembatan kecil yang membelah kolam ini untuk menuju pavilyunku.

       “Semua persiapan sudah matang. Karyawan juga sudah ready. Kita tinggal menunggu kapan pemiliknya sempat datang dari Jakarta dan meresmikan pembukaan Rumah Makan ini Win...” Kata Mas Beni padaku suatu hari.

          Saat itulah aku baru tahu kalau bukan Mas Beni pemilik rumah makan ini, tapi seseorang yang tinggal di Jakarta, yang Mas Beni bilang adalah sahabatnya sejak kuliah di UI. Mas Beni sendiri adalah teman rahimahullah suamiku yang meninggal tiga tahun lalu, yang selama ini banyak sekali membantuku.

        Hari itupun tiba. Rencana dan acara sudah disusun Mas Beni sedemikian rupa karena Pemilik Rumah Makan akan datang untuk launching.

        Para karyawan yang sudah direkrut dan dipersiapkan selama seminggu oleh Mas Beni, tampak berjajar menyambut kedatangan Boss yang ditemani Mas Beni mulai menyalami semua karyawannya satu persatu. Aku sendiri berdiri paling ujung sesuai tugasku sebagai penjaga rumah, sehingga sosok Boss tidak begitu tampak jelas tertutup tubuh tambur Chef Johan di ujung sana. Tapi kelihatannya sih orangnya ramah dan tidak jaim, sebab sejak karyawan pertama, kudengar sepertinya semua sempat diajak ngobrol, bercanda, dan ditanya-tanya secara personal.

        Tiba giliranku, akupun berusaha tersenyum semanis mungkin sebagai ungkapan terimakasih karena sudah diberi kesempatan tinggal dan bekerja di rumah ini.

        Tuing!! Kedua tangan kami mengambang di udara, tertahan sesaat ketika kami bertemu pandang. Kami sama-sama terkejut. Merasa tidak asing.

            “Winny?”
            “Mas Tony?” Jantungku seolah ingin meloncat keluar.
          “Ini benar kamu Winny yang dulu suka ingusan sampai meleler-leler itu?” Tanyanya sambil menjabat tanganku dan memandang lekat padaku dengan senyum lebar di bibirnya.
           “Ah, Mas Tony ngaco. Aku memang Winny, tapi aku nggak pernah ingusan sampai meleler-leler gitu...” Jawabku dengan pipi memerah. Tentu saja wajahnya familiar sekali. Ternyata kami sudah saling mengenal.
        “Hahahahaaaa......, baiklah-baiklah...., hayuk kita ngobrol dulu yuk....!! Yang lain silahkan lanjutkan pekerjaan masing-masing ya....” Mas Tony memberikan instruksi pertamanya sebagai Boss.
         “Siap Pak!” Jawab mereka serentak dan kemudian berpencar kembali ke posnya masing-masing.

           Mas Beni mengajak kami masuk ke sebuah ruangan yang memang dipersiapkan sebagai kantor untuk Boss bila sewaktu-waktu datang seperti kali ini. Sebuah ruangan dengan nuansa hitam putih di dalamnya. Sangat elegan tapi tetap hangat.

               “Gimana. Gimana khabarmu Win? Anakmu berapa sekarang, sudah kelas berapa...., Om dan Tante tinggal di mana sekarang?” Mas Tony langsung memberondongku dengan pertanyaannya tentang keluargaku. Kami memang sudah terpisah cukup lama, sejak aku kelas lima SD dan Mas Tony masuk SMP, saat ayah Mas Tony yang tentara itu ditugaskan di Jakarta.

             Kalau Mas Tony ini adalah orang yang sama dengan orang yang kukenal sejak kecil, tentu saja sedikit banyak aku tahu siapa dia. Tapi aku sungguh tidak tahu kalau nama Mas Tony adalah singkatan dari Anthony seperti yang sering disebut-sebut oleh Mas Beni. Dunia memang sempit, walaupun kita hanyalah setitik debu yang tidak berarti.

              Karena history antara aku dan Mas Tony itulah akhirnya semua urusan tentang rumah makan diserahkan ‘byuk’ oleh Mas Beni padaku. Alasannya karena aku bukan orang lain buat Mas Tony sehingga dia tidak perlu khawatir apapun dan dapat lebih fokus mengurus kerjaannya sendiri.  Mau tidak mau kontakku dengan Mas Tonypun jadi semakin intens dalam arti  hubungan pekerjaan.

          Hampir tiap hari kami bertukar informasi, walaupun Mas Tony sendiri nyaris tidak pernah memberiku perintah ini dan itu tentang pengelolaan rumah makan ini. Semua terserah padaku. Aku tinggal laporan saja bagaimana hasilnya. Diapun hanya datang dua atau tiga kali sebulan. Tidak pernah menginap, dan langsung balik ke Jakarta hari itu juga.

             Alhamdulillah. Aku sungguh bersyukur karena dipertemukan kembali dengan Mas Tony yang ternyata adalah tangan Allah untuk menolongku di saat kesulitan ekonomi seperti ini. Anak-anakku dapat bersekolah dan makan dengan baik. Akupun tidak selalu memutar otakku seperti gasing untuk sekedar mencari sesuap nasi dan membayar kontrakan rumah.

            Selama kurang lebih satu tahun rumah makan ini beroperasi, kalau tidak salah, istri Mas Tony juga hanya datang satu kali saja. Itupun nggak ngapa-ngapain. Hanya makan, berkeliling rumah sebentar. Sudah. Tidak berkomentar apapun. Sepertinya tidak terlalu interest dengan keberadaan rumah makan ini. Ada oke, nggak adapun nggak pengaruh buatnya.

          Penampilan istri Mas Tony ini sungguh membuat perempuan lain iri melihatnya. Tinggi, cantik, anggun, seperti aktris sinetron. Bajunya bagus, rambutnyapun terawat indah. Katanya sih, Mbak Vera ini juga pebisnis seperti Mas Tony, bukan artis.

Waaah, yang bukan artis saja penampilannya begini ya...., apalagi yang artis. Pasti lebih cling, pikirku sambil melihat diriku sendiri yang hanya memakai celana jeans dengan kemeja flanel kotak-kotak dan sebuah kerudung di kepalaku. Kalau disandingkan, seperti bunga anggrek bulan dan kembang pletek’an yang warna ungu itu.

            Nggak ada khabar sebelumnya, tadi siang Mas Tony tiba-tiba datang. Katanya mampir setelah kemarin ada urusan kerjaan di Bali. Aku sendiri tidak tahu pasti, sebenarnya Mas Tony ini kerjaannya apa dan tidak pernah menanyakan padanya. Hanya saja kalau tidak salah Mas Beni pernah bilang kalau kerjaan Mas Tony ada hubungannya dengan Property.

            “Win...., ada yang mau kubicakan denganmu....” Katanya setelah menghirup cappucino yang kusuguhkan padanya.

            “Ada apa Mas, sepertinya koq serius?” Tanyaku deg-degan.
       
        Otakkupun tidak dapat kucegah untuk mulai menerka-nerka, apa yang kira-kira akan dibicarakan Mas Tony. Apakah rumah makan dianggap rugi dan akan ditutup? Atau dia tidak puas dengan kerjaku mengelola rumah makan ini dan akan menggantinya dengan orang lain yang lebih proffesional? Aduuuh...., kepalaku serasa ingin meledak. Akupun tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalaku.

          “Kenapa Win..., memangnya kamu tahu aku mau ngomong apa. Kok raut wajahmu seperti itu?” Mas Tony tersenyum.
            “Enggaklah. Emangnya aku dukun?” Jawabku dengan pipi panas sambil memegang kepalaku dengan kedua tanganku.
            “Kamu sakit kepala?” Tanyanya.
            “Nggak...., nggak apa-apa.....” Aku jadi salah tingkah jadinya.
            “Aku ingin melamarmu Win. Maukah kamu jadi istriku?” Katanya tenang, langsung, tanpa basa-basi. Jhedhheeerrr!!!
           “Hah?! Apa Mas?......” Mungkin aku salah dengar, atau mungkin aku sedang berkhayal, pikirku setengah shock. Sementara di dalam dadaku, tiba-tiba saja seolah sedang ada parade drumband.
            “Maukah kamu menikah denganku?” Katanya lagi.

           Ternyata telingaku tidak bocor. Apa yang kudengar tadi benar, tidak meleset. Aku nggak salah. Dia benar-benar mengucapkan kalimat itu. Mas Tony melamarku.

            “Menikah Mas?” Tanyaku lirih.
            “Iya, jadi istri keduaku...” Jawabnya.

            Dhuarrrr!!! Sekali lagi seolah ada yang meledak di dadaku.  Jadi istri kedua?!!! Aku terhenyak.

            Kalimat itu selama ini tidak pernah ada dalam kamusku. Aku tidak pernah menyimpan kalimat itu sebentarpun dalam memoriku. Aku selalu membuangnya lewat kuping kiri setelah dia masuk dari kuping kanan. Pokoknya aku selalu berusaha berada di luar garis untuk semua hal yang berhubungan dengan kalimat itu.

                 “Ja-di-Is-tri-ke-du-a...?” Aku terbata berusaha mengulang kalimat itu.
            “Iya, jadi istri keduaku. Tidak perlu kamu jawab sekarang deh. Pikirkan dulu. Aku hanya memikirkan masa depanmu dengan anak-anakmu kalau tiba-tiba aku tidak ada....” katanya.
           “Kenapa tiba-tiba ngomong gitu sih?” Kataku layu. Tulangku sepertinya sudah berubah menjadi agar-agar.
            “Karena tadi pagi ada temanku yang meninggal dunia, anaknya masih kecil-kecil dan aku langsung ingat kamu.” Katanya.

               Mas Tony bilang, dia ingin menikahiku untuk menjamin masa depanku dengan anak-anakku nanti. Kalau hanya mengandalkan pekerjaan di rumah makan ini saja yang sewaktu-waktu mungkin bisa tutup karena rugi atau alasan lain, bagaimana nanti pendidikan anak-anakku yang saat ini bahkan masih di SMP. Kalau jadi istrinya kan beda, dia dapat mendukungku seratus persen. Membantu dengan tanpa rasa canggung.

            “Tapi, jadi istri kedua itu....” Aku tidak berhasil meneruskan kalimatku. Aku menelan ludah dengan susah payah.
              “Identik dengan pelakor? Itu hanya stigma masyarakat Win...” Katanya.
        “Orang lain bisanya hanya menjudge saja tanpa ingin tahu apa alasan yang sesungguhnya. Lagian aku nggak merasa kamu merebutku dari siapapun koq. Aku tulus ingin menjagamu. Kamu juga tidak pernah berusaha merayuku kan. Lama ini hubungan kita baik-baik saja. Pertemuan kita ini kalau boleh dibilang takdir, ya mungkin takdir. Allah yang merencanakan untuk kita seperti ini. Bahkan menurut syariat agama juga boleh kan.”
               “Istri Mas Tony gimana?” Tanyaku.
               “Gimana apanya, itu urusanku...” Jawabnya.
            “Bagaimana dengan cinta?” Tanyaku lagi. Pernikahan harus ada cinta. Aku masih terlalu idealis untuk yang satu ini. Tidak bisa ditawar.

                Mas Tony tidak menjawab dan hanya tersenyum memandangku.

             Tentu saja kata-kata Mas Tony tadi tidak dapat begitu saja masuk dengan mudah dan kuterima dalam otakku. Berhari-hari aku jadi tidak enak makan dan minum, bahkan setiap akan tidur, otakku kembali memutar ulang permintaan Mas Tony padaku.

   Aku harus berusaha mencari referensi lain tentang ini. Tentang apa yang saat ini sedang kuhadapi. Karena bermimpipun aku tidak pernah membayangkan akan menjadi istri kedua, ketiga, atau bahkan pertama. Aku mau jadi satu-satunya. Aku memang egois, tidak mau berbagi. Ini tentang perasaan.

    Menurut syariat agama boleh katanya, memangnya semudah itu? Memangnya tidak perlu pertimbangan lain selain syariat agama? Kita kan tidak hidup dalam masyarakat yang homogen. Di sekitar kita masih banyak hal sosial lain yang harus dipertimbangkan juga.

                  Bayangkan! Jadi istri kedua?

      Coba kukupas satu-satu ya...., selingkuh? Pelakor? Dan cinta..., di mana cinta?

    Kalau selingkuh, tentu saja hal ini harus kutentang keras. Kami tidak pernah selingkuh. Hubunganku selama ini murni sebagai karyawan dan atasan. Begitu juga dengan Pelakor. Sungguh selama ini aku tidak pernah berpikir untuk merebutnya dari Mbak Vera.

   Sekarang tentang cinta, apakah Mas Tony mencintaiku? Apakah dia sudah tidak lagi melihatku sebagai gadis kecil yang katanya beringus meleler itu? Apakah perhatiannya padaku selama ini memang berbeda?  Aku sendiri, apakah aku diam-diam ternyata juga sudah jatuh cinta padanya? Atau malah tidak ada cinta antara kami? Haduuuhhh....

            Aku mencoba menggali dari dalam dasar hatiku, apakah selama ini aku memang hanya sebatas mengagumi mas Tony sebagai boss-ku dan tidak merasakan yang lain? Apakah debar jantungku yang setiap bertemu dengannya menjadi tidak karuan itu hanya karena gugup untuk urusan pekerjaan? Apakah perhatiannya yang lebih kepadaku selama ini juga hanya sebatas sebagai teman kecil?

               Kalau sampai aku menjadi istri kedua Mas Tony, apa kata orang-orang di luar sana? Apa kata dunia? Betapa jahatnya aku, sampai hati mengambil suami orang? Bagaimana perasaan dan pikiran istri dan anak Mas Tony? Bagaimana pikiran Mas Beni? Karyawan rumah makan?

  Ya Allah tolong, aku harus bagaimana? Hanya Kau yang dapat membolak-balikkan hati manusia. Bilapun rasa cinta itu ada, itu pasti anugerah dariMu. Tapi dengan semua kondisi itu, apakah aku bisa dan sanggup menanggungnya nanti?

              Hari ini adalah sebulan setelah kunjungan Mas Tony terakhir. Dia datang untuk rapat evaluasi dengan seluruh karyawan seperti biasanya. Aku juga harus siap dengan jawabanku.

   Akhirnya setelah sholat ashar, aku siap menunggu Mas Tony. Semoga jawabanku nanti adalah yang terbaik untuk kami semua.

   “Di mana Bu Winny?” Kudengar suara Mas Tony menanyakanku. Tulangku tiba-tiba saja kembali melembek. Aku hilang tenaga.

   Rupanya dia tidak lupa. Ini saatnya! Kembali jantungkupun bertalu-talu, seolah seribu parade drumband berlomba saling keras dalam memukul genderangnya. Sepertinya setelah ini aku harus pergi ke dokter jantung, akan kuminta dokter jantung mematrinya dengan las baja.

                “Win...., kamu sudah siap menjawab?” Wajah Mas Tony muncul di pintu.

           Aku tersenyum, mengangguk, menata jantung dan hatiku, kemudian mengambil nafas panjang.

    “Bismillah. Ini jawabanku Mas...........” Kataku setelah Mas Tony duduk di depanku.

     Semoga Allah meridhoi keputusanku. Aamiin.


*** Selesai ***


Malang, 7 Juli 2020
***terinspirasi kisah seorang sahabat
           

Selasa, 30 Juni 2020

Bersyukur


Semalam, pulang dari warung aku ke rumah tetangga di seberang jalan kembar yang memisahkan gang rumah kami. Aku tinggal di sisi timur, tetanggaku ini di sisi barat.

Tidak ada acara khusus, aku hanya bersilaturahmi sambil mengucapkan terima kasih karena tadi pagi putranya mengirimkan beberapa liter minyak goreng dan beras ke rumahku.

“Trimakasih banyak Bu...., kirimannya tadi pagi sudah saya terima. Itu banyak sekali..., alhamdulillah.” kataku mengawali perbincangan kami.

“Nggak apa-apa, saya cuma minta tolong dibantu menghabiskannya...” katanya.

Dua minggu lalu, suaminya tiba-tiba dipanggil menghadap ke hadiratNya ketika sedang bermain Bulu Tangkis di Lapangan Kantornya. Jantung. Dan sembako yang diberikan padaku itu adalah sebagian tali kasih dari sanak kerabatnya yang katanya alhamdulillah banyak sekali.

“Sebetulnya sudah beberapa hari lalu anak saya ke rumah njenengan, tapi katanya rumah kosong...” katanya lagi.

“Oh ya...., maaf jadi ngrepotin. Memang sekarang kalau siang rumah kadang kosong..., sebab sudah seminggu ini saya coba buka warung lagi, dan anak-anak suka ikut nyusul ke warung...” kataku.

“Gimana kondisinya, sudah normal lagikah?” tanyanya.

“Alhamdulillah masih ada satu dua yang ngopi Bu....” jawabku sambil secara tidak sadar menghela nafas panjang. Beliau tersenyum melihatku.

“Ya memang kondisinya sekarang sedang begini..., harus sabar.”

“Betul Bu. Sepertinya orang-orang sudah merasa nyaman tinggal di rumah dan memenuhi hampir semua kebutuhannya via online.”

Si Ibu tetanggaku ini secara usia, sama denganku. Tapi pengalaman dan pemahaman spiritualnya sungguh jauh sekali di atasku. Terlebih beliau juga pengajar di sebuah sekolah berbasis Islam. Kalau aku kan masih pecicilan dan hidup sesuka-suka aku mau. Malu ya? Malu sih sebetulnya.....

“Manusia hidup itu sebetulnya butuhnya apa saja sih, semua kan sudah ada takarannya. Misalnya saja kita butuh satu gelas untuk hidup satu hari, ya Insya Allah satu gelas itu pasti dipenuhi oleh Allah. Dan seandainya hari ini kita dapatnya satu panci...., ya jangan dituang semua ke gelas tadi. Malah luber, terbuang sia-sia. Taruhlah di gelas yang lain dan segera berikan pada yang membutuhkan..., biar bermanfaat.” katanya.

“Begitu juga yang terjadi pada saya hari ini. Rejeki yang harusnya saya dapat dari warung itu sebelumnya sudah tertutupi dari kiriman Ibu...., jadi saya masih bisa hidup untuk hari ini, dan bahkan besok. Alhamdulillah.” kataku sambil tersenyum-senyum sendiri.  Perumpamaan yang digambarkan si Ibu ini sungguh tepat sekali.

“Beberapa hari lalu saya sempat gamang. Limbung. Nggak ada gairah. Saya kaget karena kondisi ini tiba-tiba. Walaupun saya tahu pasti kalau ini memang sudah takdir. Mau bagaimanapun kalau Allah sudah memanggil, ya dengan jalan apapun pasti terambil juga. Tapi saya kan juga manusia.” katanya.

“Kemudian saya berdoa lamaaaa....., saya mohon kekuatan padaNya. Eh...., tiba-tiba sorenya datang kenalan lama saya ke sini. Dia ini beberapa tahun lalu juga ditinggal suaminya secara tiba-tiba di saat ketiga anaknya masih duduk di SD, dengan kondisi dia tidak bekerja. Dan ternyata dia kuat, bisa tetap bertahan sampai saat ini, saat anak-anaknya sudah remaja semua.”

“Itulah jawaban doa saya..... Kalau kenalan saya itu bisa, kenapa saya tidak bisa? Sedangkan kondisi saya saat ini jauuuuh lebih baik dari saat dia ditinggalkan suaminya dulu.”

“Berserah diri dan bersyukur pada semua yang digariskan olehNya.... Semua sudah ada yang mengatur.” katanya.

Aku jadi teringat bahwa tiga hari sebelum suaminya dipanggil Allah, kami berdua sempat ngobrol lamaaaa di depan rumahku.

Saat itu beliau ini sedang jalan-jalan pagi ke arah kanan rumahku yang memang berumput tebal sekali. Katanya ingin melihat tanaman apa saja yang tumbuh rimbun itu.

“Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi besok, bahkan kita juga tidak tahu apakah besok kita masih bisa ketemu lagi.... Kita jalani saja.  Saya juga sudah berpesan begitu ke anak-anak saya....” katanya waktu itu.

“Iya Bu, seorang sahabat saya juga mengatakan kalau saya tidak perlu memikirkan hal-hal yang bukan urusan saya. Waktu itu saya sedang bersama dia parkir mobil di halaman sebuah masjid. Dia akan sholat, dan saya menunggu di mobil. Waktu dia mematikan mobil dan akan keluar, lampu menyala. Langsung saya berkomentar: koq lampunya nyala sih?”

“Sahabat saya masuk lagi ke mobil dan bilang kalau hal-hal yang seperti itu juga tidak perlu saya pikirkan. Itu urusan si mobil. Begitu juga dengan hidupmu. Nggak usah terlalu ruwet memikirkannya. Semua sudah ada yang mengatur. Sudah ditulis bahkan sebelum kamu lahir... , kata sahabat saya waktu itu...”

Hari itu bahkan kami berdua tidak mengira sedikitpun bahwa tiga hari kemudian suaminya berpulang.

Innalillahi wainna Illaihi roji’un.

Semuanya berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.

Bersyukur sekali hari ini aku masih bisa menghirup udara pagi, mengetik tulisan ini, dan bersiap akan berangkat ke warung.

Aku tidak akan memikirkan apa yang mungkin akan terjadi, karena seperti sahabatku bilang : Masa depan milik Allah. Semua terserah padaNya.
Bismillah.


Malang, 1 Juli 2020

Minggu, 22 Maret 2020

Keranda Yang Tertinggal


Siang itu hari jum’at.
Aku masih mengikuti pelajaran tambahan Bahasa Inggris di Sekolah untuk persiapan ujian akhir kelas tiga SMA.

“Diane disuruh pulang sekarang...”  kata Bu Guru Bahasa Inggrisku setelah menerima pesan dari petugas TU, Tholib.

Akupun mengemasi tas dan buku-buku pelajaranku sambil berpikir ada apa koq aku disuruh pulang cepat. Biasanya yang cuma urusan OSIS saja, sampai sore aku nggak pernah dicari atau disuruh pulang. Lha sekarang justru pas pelajaran tambahan, aku disuruh pulang.

Belum jauh berjalan kaki dari sekolahan, masih di sekitar Masjid Al Muttaqin depan gang tujuh, adikku menjemputku.

“Ayo Mbak An, cepetan...., Iie tenggelam...” kata adikku.

Dhuarrrr!!!
Seperti ada meteor meledak di atas kepala, aku mendengarnya.  Iie tenggelam? Tenggelam di mana? Iie adikku? Akupun langsung naik ke atas boncengan vespanya.

Sampai di rumah ternyata sudah sepi, tidak ada orang. Tinggal Nenekku yang sedang menangis terisak-isak.

“Semua pada ke mana Mbah?” tanyaku ikut menangis.
“Ke Karang Menjangan...”   jawabnya sambil terus mengusap air matanya yang mengalir tanpa henti.

Ke Karang Menjangan? Parahkah kondisi adikku? Aku harus bagaimana? Aku naik apa ke sana? Bawa motor sendiri? Aduuuh...., aku bingung. Ayo berpikirlah otakku! Plisss!!

Aa’! Ya, Aa’....!!  Akupun langsung lari ke rumah Aa’..., menerobos garasi dan langsung menggedor pintu kamarnya.

“Ada apa sih, gangguin orang tidur aja...” katanya sambil melemparkan tubuhnya lagi ke ranjang setelah membuka pintu kamarnya.
“Bangun A’..., tolong anterin ke Rumah sakit...., Iie tenggelam...” kataku sambil menangis.
“Haah..., tenggelam?! “ serunya sambil melompat dari ranjang dan langsung menyambar celana panjang di gantungan.
“Hadap sana, aku ganti baju dulu...!”  teriaknya.

Sepanjang perjalanan ke Rumah sakit aku terus menangis sambil berdoa supaya adikku baik-baik saja. Sebab sampai saat itu aku sama sekali belum tahu kondisi adikku yang sesungguhnya. Hanya kata tenggelam itu saja informasi yang kupunya.  Saking bingungnya, aku lupa tidak bertanya apapun pada adikku nomer tiga yang menjemputku tadi. Diapun kutinggal begitu saja di rumah.

“Jangan nangis dong, aku jadi ikutan panik nih...” kata Aa’ melihatku terus menangis.
“Berdo’a aja supaya Iie tidak kenapa-napa...” sambungnya.

Sampai di Rumah Sakit Karang Menjangan (Dr. Soetomo), kami mencari-cari dulu di mana UGD-nya. Maklum, kami berdua belum pernah berurusan dengan UGD RS ini.

Begitu ketemu di mana UGD-nya, Aa’pun memarkir mobilnya asal-asalan kemudian buru-buru mengejarku yang berlari ke meja penerimaan pasien.

“Suster, mau nanya dong...., apakah tadi ada pasien anak kecil yang tenggelam?” tanyaku.
“Oh, anak laki-laki yang katanya tenggelam di pantai? Ya di kamar mayatlah..., wong sudah meninggal koq...” jawab Suster itu dengan santainya.

Kedua kakiku langsung lemas. Aa’ menahanku supaya tidak jatuh dan diajak keluar.

“Gile, kalimat si Suster kejam amat ya...., nggak kira-kira kalau ngomong.” Kata Aa’.  Aku diam saja, makin bingung.

Tiba-tiba kulihat Bapakku berjalan dari gedung sebelah menuju ke arah meja penerima tadi. Aku langsung mengejarnya. Aa’mengikuti di belakangku.

“Pak...” panggilku. Bapak menoleh dan berhenti.
“Gimana kondisi Iie?” tanyaku.
“Iie sudah dipanggil Allah...” jawab Bapakku dengan mata membasah.
“Innalillahi wa inna illaihi roji’un...” kataku dan Aa’ bersamaan.

Kemudian Bapak menyuruhku dan Aa’ untuk pulang saja, serta menunggu di rumah. Menyiapkan rumah buat nanti ketika jenazah dibawa pulang. Sekarang Bapak masih mengurus surat-suratnya,  sedangkan Ibu dan adik-adikku yang lain menunggu di kamar jenazah.

Kebetulan kami tidak punya saudara yang tinggal di Surabaya, jadi tidak ada yang perlu didatangi untuk dikhabari. Ibuku hanya dua bersaudara, dan kakaknya tinggal di Bondowoso. Adik-adik serta kakak dari Bapakku semua tinggal di Jakarta dan Jawa Barat.

Semua meja kursi dikeluarkan dari dalam rumahku, dan ada sebuah meja yang ditaruh di tengah ruangan untuk jenazah nanti.

Tetangga dan teman-temanku mulai berdatangan, begitu juga teman-teman adik-adikku. Semua menemaniku membaca Surat Yasin.

Kira-kira habis maghrib jenazah adikku datang dengan ambulance dan di letakkan di meja yang sudah dipersiapkan. Tubuhnya masih lemas. Dan dari hidungnya  meleleh cairan bercampur darah, yang kuduga pasti dari paru-parunya yang dipenuhi air.

Ibuku yang terus-terusan mengusap cairan itu dan mengeringkannya dengan hati-hati.  Air matanya sudah tidak menetes lagi, tapi meninggalkan kedua pasang mata yang merah membengkak dari wajahnya yang kusut.

Adikku ini baru berumur sembilan tahun, kelas empat SD. Kalau di urutan keluarga, dia anak nomer lima. Masih ada adik satu lagi di bawahnya. Aku sendiri adalah sulung.

Ketika semua orang masih duduk mengelilingi jenazah, Bapak memintaku mengaji dikamar. Aku disuruh membaca Ayat Kursi sebanyak yang kumampu, minimum seratus kali. Bapak sendiri membaca Surat Yasin, minimum seratus kali juga.

Di sela-sela konsentrasiku membaca Ayat Kursi itu, tiba-tiba aku seolah mendengar suara sesenggukan adikku (yang saat ini tubuhnya terbujur di ruang tengah) dari garasi di samping kamar.

“Ibuuu...., hh...., Ibuuu...., hh...., Ibuuu....., hh....”

Kucoba mendengarkan dengan serius, tapi ternyata tidak terdengar lagi. Kulihat, sudah jam sembilan. Sudah malam.

Aku meneruskan mengaji sambil berpikir kalau suara itu tadi mungkin hanya perasaanku saja atau halusinasi. Toh Bapak di depanku juga masih terus mengaji, dan sepertinya tidak mendengar suara apapun.

Besoknya, pemakaman adikku alhamdulillah diiringi pelayat yang lumayan banyak.

Dari kantor Bapak ada satu truk tentara berisi marinir teman-teman Bapakku. Kemudian para tetangga. Teman-teman sekolahku yang dikoordinir Aa’. Kemudian teman-teman adik-adikku.

Yang lebih mengharukan lagi, ketika iring-iringan mobil jenazah melewati sekolahan adikku, ternyata di sepanjang tepi jalan sekitar sekolahan adikku itu telah berjejer teman-teman sekolahnya, kakak dan adik kelas, serta para bapak dan ibu gurunya yang melambaikan tangan. Aku menangis melihatnya.

Setelah pemakaman, masih banyak juga yang datang melayat. Termasuk ada seorang Bapak yang tidak kami kenal yang datang dengan membawa sepeda adikku.

“Saya kemarin kebetulan sedang memancing di sana, dan saya yang mengangkat tubuhnya dari dalam kolam.” Si Bapak memperkenalkan diri.

Jadi rupanya, kemarin itu, sepulang sekolah..., adikku ini pergi ke pantai dengan teman-temannya. Mereka masuk dari bawah pagar kawat, jadi tidak membayar ke tempat wisata pemancingan ini. Rencananya memang mau memancing. Tapi namanya anak-anak melihat air, ya tergodalah mereka untuk mandi sekalian di kolam itu.

Adikku tadinya juga tidak ikut mandi, karena kalau di rumahpun mandinya pakai air hangat karena dia punya sakit ashma, nggak kuat dingin.
Nah, sekali lagi namanya anak-anak, melihat semua temannya nyebur ke air, ya akhirnya diapun ikutan.

Saat itulah mereka melihat kalau adikku seolah melambaikan tangan meminta tolong. Dia memang tidak bisa berenang. Dipikir teman-temannya dia bercanda, jadi malah ditinggal pulang.

Tapi ada satu orang temannya yang tidak ikut pulang dengan yang lain. Dia menunggu adikku yang ternyata tidak muncul-muncul juga dari dalam air.

Kemudian dia datang ke Bapak Pemancing tadi dan minta tolong untuk melihat temannya yang tidak keluar-keluar dari dalam air. Si Bapak masuk ke air dan mencari-cari dengan kakinya. Begitu ketemu, dibawa naiklah tubuh adikku.

Ketika dibaringkan ke tanah dan dijungkir untuk mengeluarkan airnya, kata si Bapak, adikku sempat siuman dan memanggil Ibuku tiga kali. Ibuuu..., Ibuuu..., Ibuuu...

Rupanya suara yang kudengar itu adalah suara terakhir adikku yang memanggil Ibu. Subhanallah.

Beberapa hari kemudian, adik-adikku tidak ada yang mau tidur di kamar. Katanya hawanya beda. Jadi semua tidur di ruang tengah di depan tivi, menggelar kasur di sana. Padahal aku dan Bapakku tetap mengaji di kamar, dan tidak merasakan apa-apa.

Kata salah satu adikku, kalau dia membuka pintu akan masuk ke kamar paling depan, nanti pintu penghubungnya  tiba-tiba menutup sendiri, seolah ada seseorang yang meninggalkan kamar depan masuk ke kamar tengah. Begitu juga misalnya adikku sedang membuka pintu akan masuk ke kamar tengah, tiba-tiba pintu penghubungnya menutup sendiri seolah ada orang yang meninggalkan kamar tengah dan masuk ke kamar depan dari pintu penghubung itu.

Tiga buah kamar di rumah kami itu memang punya dua pintu yang menghubungkan antara satu kamar dengan kamar lainnya. Jadi tiga kamar itu saling berhubungan.

Suasana tidak enak itu berlangsung berhari-hari. Adik-adikku tiba-tiba saja menjadi penakut semua. Aku sendiri karena tidak merasakan apa-apa ya tetap mengaji dan tidur di kamar seperti biasa.

Sampai suatu siang, tiba-tiba ada Pengurus Masjid yang datang ke rumah.
“Mau nanya, apa keranda yang tempohari masih ada di sini?”

Waduh. Sudah berhari-hari kami tidak ada yang pergi ke garasi. Apa benar kerandanya masih tertinggal di sini?

Ternyata benar lho....., keranda jenazahnya masih anteng bertenger di garasi...., terlupakan.

Akhirnya, alhamdulillah setelah keranda itu dibawa kembali ke Masjid, tidak ada lagi ‘seseorang’ yang selalu berpindah kamar lewat pintu penghubung kalau pintu kamar dibuka. Wallohualam.


***terjadi februari 1984, saat adikku ke lima dipanggil olehNya.
(Alfatehah untukmu adikku.....)