Selasa, 28 Juli 2020

Cerpen : Istri Kedua


Cerpen            :  ISTRI KEDUA
Oleh                :  Aan Diane



         Kupandang laki-laki yang sedang duduk di depanku ini dengan berbagai macam rasa di dalam dadaku. Bergantian dengan berbagai analisa logis dari otakku yang aku tidak tahu akhirnya mengeluarkan sorot mata bagaimana.

     “Tolong kamu pikirkan lagi dengan tenang tawaranku tadi ya...., kuberi waktu sampai bulan depan, sekarang aku pulang dulu. Assalamualaikum...... ” Katanya sambil bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan.

     Dia, laki-laki itu adalah Anthony yang secara teori adalah boss-ku, pemilik Rumah Makan tempatku bekerja sebagai cashier merangkap waitress, merangkap tukang kebun, merangkap penjaga rumah, dan lain-lain, karena aku memang tinggal di rumah ini.

        Tetapi secara harafiah, sebetulnya dia adalah teman mainku sejak kecil. Usianya terpaut dua atau tiga tahun di atasku. Kami dulu bertetangga di Surabaya. Sampai akhirnya perjalanan hidup mempertemukan kami kembali di Kota Malang ini, sedangkan saat ini dia dan keluarganya tinggal di Jakarta. Anaknya hanya satu, seumuran anakku yang bungsu.

      Ingatanku melayang pada saat itu, saat seorang teman, namanya Mas Beni, menawarkan pekerjaan sebagai penjaga rumah yang akan difungsikan sebagai Rumah Makan. Tentu saja aku langsung menerima tawarannya tanpa berpikir panjang lagi, mengingat bulan depan aku sudah harus mencari kontrakan baru karena rumah yang kutempati tidak akan dikontrakkan lagi oleh pemiliknya. Bukankah ini namanya pucuk dicinta ulampun tiba?

       “Tapi mungkin tugasmu nanti agak berat lho Win. Sebab juga harus bantu-bantu di restonya.” Katanya.

       “No problem! Yang penting aku dan dua orang anakku dapat menumpah berteduh.” Jawabku senang. Apalah artinya sekedar beberes rumah dan bantu-bantu di resto kalau aku dapat tinggal gratis di rumah itu, dan malah dapat gaji juga, pikirku.

     Aku percaya kalau Allah akan memudahkan hidup umatnya asalkan umat itu sendiri mau berusaha. Dan kurasa, usahaku selama ini juga sudah tidak kira-kira. Semua hal yang dapat kulakukan, pasti akan kulakukan demi aku dapat menyambung hidup kami bertiga. Ibarat kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, semua sudah kulakukan.

       Tidak sampai seminggu, aku dan anak-anakkupun pindah ke sebuah rumah di Sawojajar. Ke rumah itu, yang akan dijadikan restoran. Alhamdulillah. Kedua anakku senang sekali melihat ‘rumah baru’ kami.

       Rumahnya adalah bangunan semi modern yang terletak di pojokan dengan luas tanah sekitar enam ratus meter persegi. Rumah yang sangat mewah bila dibandingkan dengan rumah tipe 21 yang biasa kukontrak beberapa tahun terakhir ini.

       Konsep rumah makannya nanti adalah ‘Rumah Keluarga’. Jadi bentuk rumah tinggal ini tidak dirombak lagi untuk dikondisikan sebagai restoran, tetapi restoran itulah yang akan masuk ke dalam rumah tinggal ini sehingga seolah pelanggan sedang makan di rumahnya sendiri. Sangat kekeluargaan sekali.

       Begitu masuk ke halaman, ada beberapa perangkat meja kursi di teras yang dapat dipakai pelanggan sambil menikmati taman depan yang ditanami aneka tanaman bunga. Masuk ke dalam rumah, juga akan ada beberapa perangkat sofa bagi pelanggan yang ingin suasana hangat di ruang tamu. Begitu juga di bagian yang lain yang seolah ruang keluarga, sampai halaman belakang rumah yang dihiasi berbagai bonsai cantik di tepi kolam ikan kecil.

        Aku sendiri tinggal di pavilyun di ujung halaman belakang. Di samping  kolam ikan  dengan airnya yang selalu mengericik turun dari karang tebing buatan. Ada jembatan kecil yang membelah kolam ini untuk menuju pavilyunku.

       “Semua persiapan sudah matang. Karyawan juga sudah ready. Kita tinggal menunggu kapan pemiliknya sempat datang dari Jakarta dan meresmikan pembukaan Rumah Makan ini Win...” Kata Mas Beni padaku suatu hari.

          Saat itulah aku baru tahu kalau bukan Mas Beni pemilik rumah makan ini, tapi seseorang yang tinggal di Jakarta, yang Mas Beni bilang adalah sahabatnya sejak kuliah di UI. Mas Beni sendiri adalah teman rahimahullah suamiku yang meninggal tiga tahun lalu, yang selama ini banyak sekali membantuku.

        Hari itupun tiba. Rencana dan acara sudah disusun Mas Beni sedemikian rupa karena Pemilik Rumah Makan akan datang untuk launching.

        Para karyawan yang sudah direkrut dan dipersiapkan selama seminggu oleh Mas Beni, tampak berjajar menyambut kedatangan Boss yang ditemani Mas Beni mulai menyalami semua karyawannya satu persatu. Aku sendiri berdiri paling ujung sesuai tugasku sebagai penjaga rumah, sehingga sosok Boss tidak begitu tampak jelas tertutup tubuh tambur Chef Johan di ujung sana. Tapi kelihatannya sih orangnya ramah dan tidak jaim, sebab sejak karyawan pertama, kudengar sepertinya semua sempat diajak ngobrol, bercanda, dan ditanya-tanya secara personal.

        Tiba giliranku, akupun berusaha tersenyum semanis mungkin sebagai ungkapan terimakasih karena sudah diberi kesempatan tinggal dan bekerja di rumah ini.

        Tuing!! Kedua tangan kami mengambang di udara, tertahan sesaat ketika kami bertemu pandang. Kami sama-sama terkejut. Merasa tidak asing.

            “Winny?”
            “Mas Tony?” Jantungku seolah ingin meloncat keluar.
          “Ini benar kamu Winny yang dulu suka ingusan sampai meleler-leler itu?” Tanyanya sambil menjabat tanganku dan memandang lekat padaku dengan senyum lebar di bibirnya.
           “Ah, Mas Tony ngaco. Aku memang Winny, tapi aku nggak pernah ingusan sampai meleler-leler gitu...” Jawabku dengan pipi memerah. Tentu saja wajahnya familiar sekali. Ternyata kami sudah saling mengenal.
        “Hahahahaaaa......, baiklah-baiklah...., hayuk kita ngobrol dulu yuk....!! Yang lain silahkan lanjutkan pekerjaan masing-masing ya....” Mas Tony memberikan instruksi pertamanya sebagai Boss.
         “Siap Pak!” Jawab mereka serentak dan kemudian berpencar kembali ke posnya masing-masing.

           Mas Beni mengajak kami masuk ke sebuah ruangan yang memang dipersiapkan sebagai kantor untuk Boss bila sewaktu-waktu datang seperti kali ini. Sebuah ruangan dengan nuansa hitam putih di dalamnya. Sangat elegan tapi tetap hangat.

               “Gimana. Gimana khabarmu Win? Anakmu berapa sekarang, sudah kelas berapa...., Om dan Tante tinggal di mana sekarang?” Mas Tony langsung memberondongku dengan pertanyaannya tentang keluargaku. Kami memang sudah terpisah cukup lama, sejak aku kelas lima SD dan Mas Tony masuk SMP, saat ayah Mas Tony yang tentara itu ditugaskan di Jakarta.

             Kalau Mas Tony ini adalah orang yang sama dengan orang yang kukenal sejak kecil, tentu saja sedikit banyak aku tahu siapa dia. Tapi aku sungguh tidak tahu kalau nama Mas Tony adalah singkatan dari Anthony seperti yang sering disebut-sebut oleh Mas Beni. Dunia memang sempit, walaupun kita hanyalah setitik debu yang tidak berarti.

              Karena history antara aku dan Mas Tony itulah akhirnya semua urusan tentang rumah makan diserahkan ‘byuk’ oleh Mas Beni padaku. Alasannya karena aku bukan orang lain buat Mas Tony sehingga dia tidak perlu khawatir apapun dan dapat lebih fokus mengurus kerjaannya sendiri.  Mau tidak mau kontakku dengan Mas Tonypun jadi semakin intens dalam arti  hubungan pekerjaan.

          Hampir tiap hari kami bertukar informasi, walaupun Mas Tony sendiri nyaris tidak pernah memberiku perintah ini dan itu tentang pengelolaan rumah makan ini. Semua terserah padaku. Aku tinggal laporan saja bagaimana hasilnya. Diapun hanya datang dua atau tiga kali sebulan. Tidak pernah menginap, dan langsung balik ke Jakarta hari itu juga.

             Alhamdulillah. Aku sungguh bersyukur karena dipertemukan kembali dengan Mas Tony yang ternyata adalah tangan Allah untuk menolongku di saat kesulitan ekonomi seperti ini. Anak-anakku dapat bersekolah dan makan dengan baik. Akupun tidak selalu memutar otakku seperti gasing untuk sekedar mencari sesuap nasi dan membayar kontrakan rumah.

            Selama kurang lebih satu tahun rumah makan ini beroperasi, kalau tidak salah, istri Mas Tony juga hanya datang satu kali saja. Itupun nggak ngapa-ngapain. Hanya makan, berkeliling rumah sebentar. Sudah. Tidak berkomentar apapun. Sepertinya tidak terlalu interest dengan keberadaan rumah makan ini. Ada oke, nggak adapun nggak pengaruh buatnya.

          Penampilan istri Mas Tony ini sungguh membuat perempuan lain iri melihatnya. Tinggi, cantik, anggun, seperti aktris sinetron. Bajunya bagus, rambutnyapun terawat indah. Katanya sih, Mbak Vera ini juga pebisnis seperti Mas Tony, bukan artis.

Waaah, yang bukan artis saja penampilannya begini ya...., apalagi yang artis. Pasti lebih cling, pikirku sambil melihat diriku sendiri yang hanya memakai celana jeans dengan kemeja flanel kotak-kotak dan sebuah kerudung di kepalaku. Kalau disandingkan, seperti bunga anggrek bulan dan kembang pletek’an yang warna ungu itu.

            Nggak ada khabar sebelumnya, tadi siang Mas Tony tiba-tiba datang. Katanya mampir setelah kemarin ada urusan kerjaan di Bali. Aku sendiri tidak tahu pasti, sebenarnya Mas Tony ini kerjaannya apa dan tidak pernah menanyakan padanya. Hanya saja kalau tidak salah Mas Beni pernah bilang kalau kerjaan Mas Tony ada hubungannya dengan Property.

            “Win...., ada yang mau kubicakan denganmu....” Katanya setelah menghirup cappucino yang kusuguhkan padanya.

            “Ada apa Mas, sepertinya koq serius?” Tanyaku deg-degan.
       
        Otakkupun tidak dapat kucegah untuk mulai menerka-nerka, apa yang kira-kira akan dibicarakan Mas Tony. Apakah rumah makan dianggap rugi dan akan ditutup? Atau dia tidak puas dengan kerjaku mengelola rumah makan ini dan akan menggantinya dengan orang lain yang lebih proffesional? Aduuuh...., kepalaku serasa ingin meledak. Akupun tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalaku.

          “Kenapa Win..., memangnya kamu tahu aku mau ngomong apa. Kok raut wajahmu seperti itu?” Mas Tony tersenyum.
            “Enggaklah. Emangnya aku dukun?” Jawabku dengan pipi panas sambil memegang kepalaku dengan kedua tanganku.
            “Kamu sakit kepala?” Tanyanya.
            “Nggak...., nggak apa-apa.....” Aku jadi salah tingkah jadinya.
            “Aku ingin melamarmu Win. Maukah kamu jadi istriku?” Katanya tenang, langsung, tanpa basa-basi. Jhedhheeerrr!!!
           “Hah?! Apa Mas?......” Mungkin aku salah dengar, atau mungkin aku sedang berkhayal, pikirku setengah shock. Sementara di dalam dadaku, tiba-tiba saja seolah sedang ada parade drumband.
            “Maukah kamu menikah denganku?” Katanya lagi.

           Ternyata telingaku tidak bocor. Apa yang kudengar tadi benar, tidak meleset. Aku nggak salah. Dia benar-benar mengucapkan kalimat itu. Mas Tony melamarku.

            “Menikah Mas?” Tanyaku lirih.
            “Iya, jadi istri keduaku...” Jawabnya.

            Dhuarrrr!!! Sekali lagi seolah ada yang meledak di dadaku.  Jadi istri kedua?!!! Aku terhenyak.

            Kalimat itu selama ini tidak pernah ada dalam kamusku. Aku tidak pernah menyimpan kalimat itu sebentarpun dalam memoriku. Aku selalu membuangnya lewat kuping kiri setelah dia masuk dari kuping kanan. Pokoknya aku selalu berusaha berada di luar garis untuk semua hal yang berhubungan dengan kalimat itu.

                 “Ja-di-Is-tri-ke-du-a...?” Aku terbata berusaha mengulang kalimat itu.
            “Iya, jadi istri keduaku. Tidak perlu kamu jawab sekarang deh. Pikirkan dulu. Aku hanya memikirkan masa depanmu dengan anak-anakmu kalau tiba-tiba aku tidak ada....” katanya.
           “Kenapa tiba-tiba ngomong gitu sih?” Kataku layu. Tulangku sepertinya sudah berubah menjadi agar-agar.
            “Karena tadi pagi ada temanku yang meninggal dunia, anaknya masih kecil-kecil dan aku langsung ingat kamu.” Katanya.

               Mas Tony bilang, dia ingin menikahiku untuk menjamin masa depanku dengan anak-anakku nanti. Kalau hanya mengandalkan pekerjaan di rumah makan ini saja yang sewaktu-waktu mungkin bisa tutup karena rugi atau alasan lain, bagaimana nanti pendidikan anak-anakku yang saat ini bahkan masih di SMP. Kalau jadi istrinya kan beda, dia dapat mendukungku seratus persen. Membantu dengan tanpa rasa canggung.

            “Tapi, jadi istri kedua itu....” Aku tidak berhasil meneruskan kalimatku. Aku menelan ludah dengan susah payah.
              “Identik dengan pelakor? Itu hanya stigma masyarakat Win...” Katanya.
        “Orang lain bisanya hanya menjudge saja tanpa ingin tahu apa alasan yang sesungguhnya. Lagian aku nggak merasa kamu merebutku dari siapapun koq. Aku tulus ingin menjagamu. Kamu juga tidak pernah berusaha merayuku kan. Lama ini hubungan kita baik-baik saja. Pertemuan kita ini kalau boleh dibilang takdir, ya mungkin takdir. Allah yang merencanakan untuk kita seperti ini. Bahkan menurut syariat agama juga boleh kan.”
               “Istri Mas Tony gimana?” Tanyaku.
               “Gimana apanya, itu urusanku...” Jawabnya.
            “Bagaimana dengan cinta?” Tanyaku lagi. Pernikahan harus ada cinta. Aku masih terlalu idealis untuk yang satu ini. Tidak bisa ditawar.

                Mas Tony tidak menjawab dan hanya tersenyum memandangku.

             Tentu saja kata-kata Mas Tony tadi tidak dapat begitu saja masuk dengan mudah dan kuterima dalam otakku. Berhari-hari aku jadi tidak enak makan dan minum, bahkan setiap akan tidur, otakku kembali memutar ulang permintaan Mas Tony padaku.

   Aku harus berusaha mencari referensi lain tentang ini. Tentang apa yang saat ini sedang kuhadapi. Karena bermimpipun aku tidak pernah membayangkan akan menjadi istri kedua, ketiga, atau bahkan pertama. Aku mau jadi satu-satunya. Aku memang egois, tidak mau berbagi. Ini tentang perasaan.

    Menurut syariat agama boleh katanya, memangnya semudah itu? Memangnya tidak perlu pertimbangan lain selain syariat agama? Kita kan tidak hidup dalam masyarakat yang homogen. Di sekitar kita masih banyak hal sosial lain yang harus dipertimbangkan juga.

                  Bayangkan! Jadi istri kedua?

      Coba kukupas satu-satu ya...., selingkuh? Pelakor? Dan cinta..., di mana cinta?

    Kalau selingkuh, tentu saja hal ini harus kutentang keras. Kami tidak pernah selingkuh. Hubunganku selama ini murni sebagai karyawan dan atasan. Begitu juga dengan Pelakor. Sungguh selama ini aku tidak pernah berpikir untuk merebutnya dari Mbak Vera.

   Sekarang tentang cinta, apakah Mas Tony mencintaiku? Apakah dia sudah tidak lagi melihatku sebagai gadis kecil yang katanya beringus meleler itu? Apakah perhatiannya padaku selama ini memang berbeda?  Aku sendiri, apakah aku diam-diam ternyata juga sudah jatuh cinta padanya? Atau malah tidak ada cinta antara kami? Haduuuhhh....

            Aku mencoba menggali dari dalam dasar hatiku, apakah selama ini aku memang hanya sebatas mengagumi mas Tony sebagai boss-ku dan tidak merasakan yang lain? Apakah debar jantungku yang setiap bertemu dengannya menjadi tidak karuan itu hanya karena gugup untuk urusan pekerjaan? Apakah perhatiannya yang lebih kepadaku selama ini juga hanya sebatas sebagai teman kecil?

               Kalau sampai aku menjadi istri kedua Mas Tony, apa kata orang-orang di luar sana? Apa kata dunia? Betapa jahatnya aku, sampai hati mengambil suami orang? Bagaimana perasaan dan pikiran istri dan anak Mas Tony? Bagaimana pikiran Mas Beni? Karyawan rumah makan?

  Ya Allah tolong, aku harus bagaimana? Hanya Kau yang dapat membolak-balikkan hati manusia. Bilapun rasa cinta itu ada, itu pasti anugerah dariMu. Tapi dengan semua kondisi itu, apakah aku bisa dan sanggup menanggungnya nanti?

              Hari ini adalah sebulan setelah kunjungan Mas Tony terakhir. Dia datang untuk rapat evaluasi dengan seluruh karyawan seperti biasanya. Aku juga harus siap dengan jawabanku.

   Akhirnya setelah sholat ashar, aku siap menunggu Mas Tony. Semoga jawabanku nanti adalah yang terbaik untuk kami semua.

   “Di mana Bu Winny?” Kudengar suara Mas Tony menanyakanku. Tulangku tiba-tiba saja kembali melembek. Aku hilang tenaga.

   Rupanya dia tidak lupa. Ini saatnya! Kembali jantungkupun bertalu-talu, seolah seribu parade drumband berlomba saling keras dalam memukul genderangnya. Sepertinya setelah ini aku harus pergi ke dokter jantung, akan kuminta dokter jantung mematrinya dengan las baja.

                “Win...., kamu sudah siap menjawab?” Wajah Mas Tony muncul di pintu.

           Aku tersenyum, mengangguk, menata jantung dan hatiku, kemudian mengambil nafas panjang.

    “Bismillah. Ini jawabanku Mas...........” Kataku setelah Mas Tony duduk di depanku.

     Semoga Allah meridhoi keputusanku. Aamiin.


*** Selesai ***


Malang, 7 Juli 2020
***terinspirasi kisah seorang sahabat
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar