Cerpen :
ISTRI KEDUA
Oleh : Aan
Diane
Kupandang laki-laki yang sedang duduk di depanku ini dengan berbagai macam rasa di dalam dadaku. Bergantian dengan berbagai analisa logis dari otakku yang aku tidak tahu akhirnya mengeluarkan sorot mata bagaimana.
“Tolong kamu
pikirkan lagi dengan tenang tawaranku tadi ya...., kuberi waktu sampai bulan
depan, sekarang aku pulang dulu. Assalamualaikum...... ” Katanya sambil bangkit
dari duduknya dan keluar dari ruangan.
Dia,
laki-laki itu adalah Anthony yang secara teori adalah boss-ku, pemilik Rumah Makan
tempatku bekerja sebagai cashier merangkap waitress, merangkap tukang kebun,
merangkap penjaga rumah, dan lain-lain, karena aku memang tinggal di rumah ini.
Tetapi
secara harafiah, sebetulnya dia adalah teman mainku sejak kecil. Usianya
terpaut dua atau tiga tahun di atasku. Kami dulu bertetangga di Surabaya.
Sampai akhirnya perjalanan hidup mempertemukan kami kembali di Kota Malang ini,
sedangkan saat ini dia dan keluarganya tinggal di Jakarta. Anaknya hanya satu,
seumuran anakku yang bungsu.
Ingatanku
melayang pada saat itu, saat seorang teman, namanya Mas Beni, menawarkan
pekerjaan sebagai penjaga rumah yang akan difungsikan sebagai Rumah Makan.
Tentu saja aku langsung menerima tawarannya tanpa berpikir panjang lagi,
mengingat bulan depan aku sudah harus mencari kontrakan baru karena rumah yang
kutempati tidak akan dikontrakkan lagi oleh pemiliknya. Bukankah ini namanya
pucuk dicinta ulampun tiba?
“Tapi
mungkin tugasmu nanti agak berat lho Win. Sebab juga harus bantu-bantu di
restonya.” Katanya.
“No problem!
Yang penting aku dan dua orang anakku dapat menumpah berteduh.” Jawabku senang.
Apalah artinya sekedar beberes rumah dan bantu-bantu di resto kalau aku dapat
tinggal gratis di rumah itu, dan malah dapat gaji juga, pikirku.
Aku percaya
kalau Allah akan memudahkan hidup umatnya asalkan umat itu sendiri mau
berusaha. Dan kurasa, usahaku selama ini juga sudah tidak kira-kira. Semua hal
yang dapat kulakukan, pasti akan kulakukan demi aku dapat menyambung hidup kami
bertiga. Ibarat kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, semua sudah kulakukan.
Tidak sampai
seminggu, aku dan anak-anakkupun pindah ke sebuah rumah di Sawojajar. Ke rumah
itu, yang akan dijadikan restoran. Alhamdulillah. Kedua anakku senang sekali
melihat ‘rumah baru’ kami.
Rumahnya
adalah bangunan semi modern yang terletak di pojokan dengan luas tanah sekitar
enam ratus meter persegi. Rumah yang sangat mewah bila dibandingkan dengan
rumah tipe 21 yang biasa kukontrak beberapa tahun terakhir ini.
Konsep rumah
makannya nanti adalah ‘Rumah Keluarga’. Jadi bentuk rumah tinggal ini tidak
dirombak lagi untuk dikondisikan sebagai restoran, tetapi restoran itulah yang
akan masuk ke dalam rumah tinggal ini sehingga seolah pelanggan sedang makan di
rumahnya sendiri. Sangat kekeluargaan sekali.
Begitu masuk
ke halaman, ada beberapa perangkat meja kursi di teras yang dapat dipakai
pelanggan sambil menikmati taman depan yang ditanami aneka tanaman bunga. Masuk
ke dalam rumah, juga akan ada beberapa perangkat sofa bagi pelanggan yang ingin
suasana hangat di ruang tamu. Begitu juga di bagian yang lain yang seolah ruang
keluarga, sampai halaman belakang rumah yang dihiasi berbagai bonsai cantik di
tepi kolam ikan kecil.
Aku sendiri
tinggal di pavilyun di ujung halaman belakang. Di samping kolam ikan dengan airnya yang selalu mengericik turun
dari karang tebing buatan. Ada jembatan kecil yang membelah kolam ini untuk
menuju pavilyunku.
“Semua
persiapan sudah matang. Karyawan juga sudah ready.
Kita tinggal menunggu kapan pemiliknya sempat datang dari Jakarta dan
meresmikan pembukaan Rumah Makan ini Win...” Kata Mas Beni padaku suatu hari.
Saat itulah
aku baru tahu kalau bukan Mas Beni pemilik rumah makan ini, tapi seseorang yang
tinggal di Jakarta, yang Mas Beni bilang adalah sahabatnya sejak kuliah di UI. Mas
Beni sendiri adalah teman rahimahullah
suamiku yang meninggal tiga tahun lalu, yang selama ini banyak sekali
membantuku.
Hari itupun
tiba. Rencana dan acara sudah disusun Mas Beni sedemikian rupa karena Pemilik
Rumah Makan akan datang untuk launching.
Para karyawan
yang sudah direkrut dan dipersiapkan selama seminggu oleh Mas Beni, tampak berjajar
menyambut kedatangan Boss yang ditemani Mas Beni mulai menyalami semua
karyawannya satu persatu. Aku sendiri berdiri paling ujung sesuai tugasku
sebagai penjaga rumah, sehingga sosok Boss tidak begitu tampak jelas tertutup
tubuh tambur Chef Johan di ujung sana. Tapi kelihatannya sih orangnya ramah dan
tidak jaim, sebab sejak karyawan pertama, kudengar sepertinya semua sempat
diajak ngobrol, bercanda, dan ditanya-tanya secara personal.
Tiba
giliranku, akupun berusaha tersenyum semanis mungkin sebagai ungkapan
terimakasih karena sudah diberi kesempatan tinggal dan bekerja di rumah ini.
Tuing!! Kedua
tangan kami mengambang di udara, tertahan sesaat ketika kami bertemu pandang.
Kami sama-sama terkejut. Merasa tidak asing.
“Winny?”
“Mas Tony?”
Jantungku seolah ingin meloncat keluar.
“Ini benar
kamu Winny yang dulu suka ingusan sampai meleler-leler
itu?” Tanyanya sambil menjabat tanganku dan memandang lekat padaku dengan
senyum lebar di bibirnya.
“Ah, Mas
Tony ngaco. Aku memang Winny, tapi aku nggak pernah ingusan sampai meleler-leler gitu...” Jawabku dengan
pipi memerah. Tentu saja wajahnya familiar sekali. Ternyata kami sudah saling
mengenal.
“Hahahahaaaa......,
baiklah-baiklah...., hayuk kita ngobrol dulu yuk....!! Yang lain silahkan
lanjutkan pekerjaan masing-masing ya....” Mas Tony memberikan instruksi
pertamanya sebagai Boss.
“Siap Pak!”
Jawab mereka serentak dan kemudian berpencar kembali ke posnya masing-masing.
Mas Beni
mengajak kami masuk ke sebuah ruangan yang memang dipersiapkan sebagai kantor
untuk Boss bila sewaktu-waktu datang seperti kali ini. Sebuah ruangan dengan
nuansa hitam putih di dalamnya. Sangat elegan tapi tetap hangat.
“Gimana.
Gimana khabarmu Win? Anakmu berapa sekarang, sudah kelas berapa...., Om dan
Tante tinggal di mana sekarang?” Mas Tony langsung memberondongku dengan
pertanyaannya tentang keluargaku. Kami memang sudah terpisah cukup lama, sejak
aku kelas lima SD dan Mas Tony masuk SMP, saat ayah Mas Tony yang tentara itu
ditugaskan di Jakarta.
Kalau Mas
Tony ini adalah orang yang sama dengan orang yang kukenal sejak kecil, tentu
saja sedikit banyak aku tahu siapa dia. Tapi aku sungguh tidak tahu kalau nama
Mas Tony adalah singkatan dari Anthony seperti yang sering disebut-sebut oleh
Mas Beni. Dunia memang sempit, walaupun kita hanyalah setitik debu yang tidak
berarti.
Karena history
antara aku dan Mas Tony itulah akhirnya semua urusan tentang rumah makan
diserahkan ‘byuk’ oleh Mas Beni
padaku. Alasannya karena aku bukan orang lain buat Mas Tony sehingga dia tidak
perlu khawatir apapun dan dapat lebih fokus mengurus kerjaannya sendiri. Mau tidak mau kontakku dengan Mas Tonypun
jadi semakin intens dalam arti hubungan pekerjaan.
Hampir tiap
hari kami bertukar informasi, walaupun Mas Tony sendiri nyaris tidak pernah
memberiku perintah ini dan itu tentang pengelolaan rumah makan ini. Semua
terserah padaku. Aku tinggal laporan saja bagaimana hasilnya. Diapun hanya
datang dua atau tiga kali sebulan. Tidak pernah menginap, dan langsung balik ke
Jakarta hari itu juga.
Alhamdulillah.
Aku sungguh bersyukur karena dipertemukan kembali dengan Mas Tony yang ternyata
adalah tangan Allah untuk menolongku di saat kesulitan ekonomi seperti ini.
Anak-anakku dapat bersekolah dan makan dengan baik. Akupun tidak selalu memutar
otakku seperti gasing untuk sekedar mencari sesuap nasi dan membayar kontrakan
rumah.
Selama
kurang lebih satu tahun rumah makan ini beroperasi, kalau tidak salah, istri
Mas Tony juga hanya datang satu kali saja. Itupun nggak ngapa-ngapain. Hanya
makan, berkeliling rumah sebentar. Sudah. Tidak berkomentar apapun. Sepertinya
tidak terlalu interest dengan keberadaan rumah makan ini. Ada oke, nggak adapun
nggak pengaruh buatnya.
Penampilan
istri Mas Tony ini sungguh membuat perempuan lain iri melihatnya. Tinggi,
cantik, anggun, seperti aktris sinetron. Bajunya bagus, rambutnyapun terawat
indah. Katanya sih, Mbak Vera ini juga pebisnis seperti Mas Tony, bukan artis.
Waaah, yang bukan artis saja penampilannya begini ya...., apalagi yang artis. Pasti lebih cling, pikirku sambil melihat diriku sendiri yang hanya memakai celana jeans dengan kemeja flanel kotak-kotak dan sebuah kerudung di kepalaku. Kalau disandingkan, seperti bunga anggrek bulan dan kembang pletek’an yang warna ungu itu.
Nggak ada
khabar sebelumnya, tadi siang Mas Tony tiba-tiba datang. Katanya mampir setelah
kemarin ada urusan kerjaan di Bali. Aku sendiri tidak tahu pasti, sebenarnya
Mas Tony ini kerjaannya apa dan tidak pernah menanyakan padanya. Hanya saja
kalau tidak salah Mas Beni pernah bilang kalau kerjaan Mas Tony ada hubungannya
dengan Property.
“Win....,
ada yang mau kubicakan denganmu....” Katanya setelah menghirup cappucino yang
kusuguhkan padanya.
“Ada apa
Mas, sepertinya koq serius?” Tanyaku deg-degan.
Otakkupun tidak dapat kucegah untuk mulai menerka-nerka, apa yang kira-kira akan dibicarakan Mas Tony. Apakah rumah makan dianggap rugi dan akan ditutup? Atau dia tidak puas dengan kerjaku mengelola rumah makan ini dan akan menggantinya dengan orang lain yang lebih proffesional? Aduuuh...., kepalaku serasa ingin meledak. Akupun tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Kenapa
Win..., memangnya kamu tahu aku mau ngomong apa. Kok raut wajahmu seperti itu?”
Mas Tony tersenyum.
“Enggaklah.
Emangnya aku dukun?” Jawabku dengan pipi panas sambil memegang kepalaku dengan
kedua tanganku.
“Kamu sakit
kepala?” Tanyanya.
“Nggak....,
nggak apa-apa.....” Aku jadi salah tingkah jadinya.
“Aku ingin
melamarmu Win. Maukah kamu jadi istriku?” Katanya tenang, langsung, tanpa
basa-basi. Jhedhheeerrr!!!
“Hah?! Apa
Mas?......” Mungkin aku salah dengar, atau mungkin aku sedang berkhayal,
pikirku setengah shock. Sementara di dalam dadaku, tiba-tiba saja seolah sedang
ada parade drumband.
“Maukah kamu
menikah denganku?” Katanya lagi.
Ternyata
telingaku tidak bocor. Apa yang kudengar tadi benar, tidak meleset. Aku nggak
salah. Dia benar-benar mengucapkan kalimat itu. Mas Tony melamarku.
“Menikah
Mas?” Tanyaku lirih.
“Iya, jadi
istri keduaku...” Jawabnya.
Dhuarrrr!!!
Sekali lagi seolah ada yang meledak di dadaku. Jadi
istri kedua?!!! Aku terhenyak.
Kalimat itu
selama ini tidak pernah ada dalam kamusku. Aku tidak pernah menyimpan kalimat
itu sebentarpun dalam memoriku. Aku selalu membuangnya lewat kuping kiri
setelah dia masuk dari kuping kanan. Pokoknya aku selalu berusaha berada di luar
garis untuk semua hal yang berhubungan dengan kalimat itu.
“Ja-di-Is-tri-ke-du-a...?”
Aku terbata berusaha mengulang kalimat itu.
“Iya, jadi
istri keduaku. Tidak perlu kamu jawab sekarang deh. Pikirkan dulu. Aku hanya
memikirkan masa depanmu dengan anak-anakmu kalau tiba-tiba aku tidak ada....”
katanya.
“Kenapa tiba-tiba
ngomong gitu sih?” Kataku layu. Tulangku sepertinya sudah berubah menjadi
agar-agar.
“Karena tadi
pagi ada temanku yang meninggal dunia, anaknya masih kecil-kecil dan aku
langsung ingat kamu.” Katanya.
Mas Tony
bilang, dia ingin menikahiku untuk menjamin masa depanku dengan anak-anakku
nanti. Kalau hanya mengandalkan pekerjaan di rumah makan ini saja yang
sewaktu-waktu mungkin bisa tutup karena rugi atau alasan lain, bagaimana nanti
pendidikan anak-anakku yang saat ini bahkan masih di SMP. Kalau jadi istrinya
kan beda, dia dapat mendukungku seratus persen. Membantu dengan tanpa rasa
canggung.
“Tapi, jadi istri
kedua itu....” Aku tidak berhasil meneruskan kalimatku. Aku menelan ludah
dengan susah payah.
“Identik
dengan pelakor? Itu hanya stigma masyarakat Win...” Katanya.
“Orang lain
bisanya hanya menjudge saja tanpa ingin
tahu apa alasan yang sesungguhnya. Lagian aku nggak merasa kamu merebutku dari
siapapun koq. Aku tulus ingin menjagamu. Kamu juga tidak pernah berusaha
merayuku kan. Lama ini hubungan kita baik-baik saja. Pertemuan kita ini kalau boleh
dibilang takdir, ya mungkin takdir. Allah yang merencanakan untuk kita seperti
ini. Bahkan menurut syariat agama juga boleh kan.”
“Istri Mas
Tony gimana?” Tanyaku.
“Gimana
apanya, itu urusanku...” Jawabnya.
“Bagaimana
dengan cinta?” Tanyaku lagi. Pernikahan harus ada cinta. Aku masih terlalu
idealis untuk yang satu ini. Tidak bisa ditawar.
Mas Tony
tidak menjawab dan hanya tersenyum memandangku.
Tentu saja
kata-kata Mas Tony tadi tidak dapat begitu saja masuk dengan mudah dan kuterima
dalam otakku. Berhari-hari aku jadi tidak enak makan dan minum, bahkan setiap
akan tidur, otakku kembali memutar ulang permintaan Mas Tony padaku.
Aku harus berusaha mencari referensi
lain tentang ini. Tentang apa yang saat ini sedang kuhadapi. Karena bermimpipun
aku tidak pernah membayangkan akan menjadi istri kedua, ketiga, atau bahkan pertama.
Aku mau jadi satu-satunya. Aku memang egois, tidak mau berbagi. Ini tentang
perasaan.
Menurut syariat agama boleh katanya, memangnya
semudah itu? Memangnya tidak perlu pertimbangan lain selain syariat agama? Kita
kan tidak hidup dalam masyarakat yang homogen. Di sekitar kita masih banyak hal
sosial lain yang harus dipertimbangkan juga.
Bayangkan!
Jadi istri kedua?
Coba kukupas satu-satu ya....,
selingkuh? Pelakor? Dan cinta..., di
mana cinta?
Kalau selingkuh, tentu saja hal ini
harus kutentang keras. Kami tidak pernah selingkuh. Hubunganku selama ini murni
sebagai karyawan dan atasan. Begitu juga dengan Pelakor. Sungguh selama ini aku
tidak pernah berpikir untuk merebutnya dari Mbak Vera.
Sekarang tentang cinta, apakah Mas
Tony mencintaiku? Apakah dia sudah tidak lagi melihatku sebagai gadis kecil
yang katanya beringus meleler itu? Apakah perhatiannya padaku selama ini memang
berbeda? Aku sendiri, apakah aku diam-diam
ternyata juga sudah jatuh cinta padanya? Atau malah tidak ada cinta antara
kami? Haduuuhhh....
Aku mencoba
menggali dari dalam dasar hatiku, apakah selama ini aku memang hanya sebatas
mengagumi mas Tony sebagai boss-ku dan tidak merasakan yang lain? Apakah debar
jantungku yang setiap bertemu dengannya menjadi tidak karuan itu hanya karena
gugup untuk urusan pekerjaan? Apakah perhatiannya yang lebih kepadaku selama
ini juga hanya sebatas sebagai teman kecil?
Kalau sampai
aku menjadi istri kedua Mas Tony, apa kata orang-orang di luar sana? Apa kata
dunia? Betapa jahatnya aku, sampai hati mengambil suami orang? Bagaimana perasaan
dan pikiran istri dan anak Mas Tony? Bagaimana pikiran Mas Beni? Karyawan rumah
makan?
Ya Allah tolong, aku harus bagaimana?
Hanya Kau yang dapat membolak-balikkan hati manusia. Bilapun rasa cinta itu
ada, itu pasti anugerah dariMu. Tapi dengan semua kondisi itu, apakah aku bisa
dan sanggup menanggungnya nanti?
Hari ini
adalah sebulan setelah kunjungan Mas Tony terakhir. Dia datang untuk rapat
evaluasi dengan seluruh karyawan seperti biasanya. Aku juga harus siap dengan
jawabanku.
Akhirnya setelah sholat ashar, aku
siap menunggu Mas Tony. Semoga jawabanku nanti adalah yang terbaik untuk kami
semua.
“Di mana Bu Winny?” Kudengar suara Mas
Tony menanyakanku. Tulangku tiba-tiba saja kembali melembek. Aku hilang tenaga.
Rupanya dia tidak lupa. Ini saatnya!
Kembali jantungkupun bertalu-talu, seolah seribu parade drumband berlomba
saling keras dalam memukul genderangnya. Sepertinya setelah ini aku harus pergi
ke dokter jantung, akan kuminta dokter jantung mematrinya dengan las baja.
“Win....,
kamu sudah siap menjawab?” Wajah Mas Tony muncul di pintu.
Aku
tersenyum, mengangguk, menata jantung dan hatiku, kemudian mengambil nafas panjang.
“Bismillah. Ini jawabanku
Mas...........” Kataku setelah Mas Tony duduk di depanku.
Semoga Allah meridhoi keputusanku.
Aamiin.
*** Selesai ***
Malang, 7 Juli 2020
***terinspirasi kisah seorang sahabat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar