Beberapa hari lalu, pagi-pagi, waktu
aku baru membuka pintu dan akan menyapu teras, kulihat sudah banyak ibu-ibu
tetanggaku yang berkumpul di taman depan rumahku. (Sebetulnya sih bukan taman,
tapi jalur bebas bangunan karena berada di bawah route kabel listrik tegangan
tinggi yang oleh warga ditanami untuk penghijauan).
Akupun ikut nimbrung dengan
mereka, yang ternyata sedang membicarakan pendaftaran masuk SD Negri hari ini.
“Jadinya anakmu daftar di mana?”
tanyaku pada pembantu tetangga sebelah rumah yang tinggalnya di perkampungan
belakang perumahanku.
“Itulah, saya datang ke sekolah
di depan itu, tapi formulirnya sudah habis. Padahal di pengumuman baru akan
dibuka jam 07.00 pagi, nah saya datang setengah tujuh sudah nggak kebagian.
Sebab ternyata yang lain sudah ngantri sejak jam 04.00 subuh tadi.” jawabnya.
Hah? Mau daftar masuk SD Negri di
perumahanku ini sekarang sudah harus ngantri sejak jam 04.00 subuh? Benar-benar
luar biasa.
Aku jadi ingat 12 tahun lalu
ketika akan mendaftarkan anak sulungku ke SD Negri di Bogor. Aku juga harus
berangkat subuh-subuh untuk mendapatkan formulirnya, yang ternyata masih tidak
kebagian juga. Tapi itu kan dulu untuk mendapatkan formulir di SD Negri
Unggulan di tingkat Kotamadya, bukan di tingkat Kecamatan di Kabupaten seperti
tempat tinggalku ini.
Benar-benar keinginan masyarakat
untuk menyekolahkan anaknya di SD Negri ini luar biasa. Semua ingin mendapatkan
yang terbaik untuk anak-anaknya, dan gratis tentunya, karena berhubungan dengan
Program Wajib Belajar 9 tahun dari Pemerintah. Kalau sekolahan yang dituju
benar-benar amanah sih oke-oke saja, semua cara pasti akan dilakukan oleh para
orang tua, termasuk berangkat subuh-subuh untuk mendapatkan formulir. Kalau
saja misalnya ada yang nggak amanah, sungguh tragis sekali nasib pendidikan
kita saat ini.
Buat orang tua yang punya duit
dan tidak mau repot, biasanya mereka akan langsung memasukkan anaknya ke
sekolah swasta favorit. Tentu saja dengan kompensasi biaya yang harus dikeluarkan sama sekali tidak
murah.
Berhubungan dengan biaya sekolah
swasta yang tidak murah ini, aku jadi ingat waktu aku sedang melakukan
wawancara dengan responden sebagai bagian pekerjaanku di lembaga riset. Ketika
wawancara telah selesai, kami sempat ngobrol-ngobrol tentang hal lain, yang
sampai juga pada topic pendidikan.
“Tolong deh mbak, kalau misalnya
mbak kenal atau berhubungan dengan seseorang atau lembaga tertentu yang dapat
mengupas tentang pendidikan, tolong sampaikan supaya membedah kembali masalah
komersialisasi pendidikan yang sekarang ini semakin parah.”
“Sistem yang ada saat ini nampak nyata
sekali komersialnya. Contohnya, buku paket. Kalau dulu, jaman kita sekolah kan
para guru selalu melarang corat-coret di buku paket, sehingga buku itu masih
dapat dipakai beberapa generasi di bawahnya. Kalau sekarang, guru-guru malah
menyuruh muridnya untuk mengisi jawaban langsung di buku paket tersebut karena
tiap tahun buku paketnya pasti ganti karena buku paket tahun lalu sudah tidak
boleh dipakai lagi. Itu baru bukunya, belum uang masuk dan daftar ulang tiap
tahunnya. Gila kan?”
Memang iya sih. Saat ini, hampir
di seluruh sekolah mulai dari SD, SMP, sampai SMA, harga buku paket sudah
dipatok langsung sejak awal tahun ajaran baru sampai sekian ratus ribu rupiah.
Yang tidak beli di sekolah ya bakalan tidak punya buku, karena biasanya
buku-buku itu jarang dijual di luar.
Respondenku yang mengeluhkan soal
mahalnya pendidikan ini bukanlah orang tidak mampu yang terpaksa atau
memaksakan diri untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta favorit tertentu,
dia adalah Senior Vice President di salah satu Perusahaan Swasta ternama di negara
kita ini.
Nah, kalau orang sekelas
respondenku itu saja mengeluhkan mahalnya pendidikan saat ini, bagaimana pula
dengan nasibku atau nasib mereka lainnya yang tidak mempunyai keberuntungan
dalam hal materi? Apakah anak-anak kami yang tidak terjaring di Sekolah Negri
harus tidak bersekolah?
Padahal nih, biarpun sekolah
sekarang ini mahalnya bukan main, hasil lulusannya tidak lebih baik
dibandingkan lulusan jaman dulu yang bukunya saja boleh dapat dari warisan
kakaknya, tetangganya, ataupun dari tukang loak. Buktinya, akhlak, kecerdasan, dan moral hasil lulusan masa kini itu masih
perlu dipertimbangkan kembali.
Memang belum pernah diriset sih,
tapi kurasa bahwa batasan-batasan nilai saat ini memang sudah kabur. Contohnya,
untuk membuat materi pelajaran anak SD saja tidak tahu batasan boleh dan tidak,
pantas dan tidak, layak dan tidak dan
sebagainya. Parah sekali kan.
Ketika aku mau pulang,
respondenku itu sekali lagi mengingatkan aku untuk menyampaikan pesannya tadi.
Tapi aku sendiri tidak tahu, harus menyampaikan pesan itu pada siapa atau
lembaga apa. Mungkin dengan kutulis seperti ini aku akan mendapat respon dari
mana saja dan siapa saja. Sebab sebetulnya pesan itu bukan hanya dari
respondenku seorang, tetapi dari banyak orang yang saat ini tercatat sebagai
warga negara atau masyarakat Indonesia.
Bogor, 27 Juni 2012