Kamis, 27 November 2014

O’o…., Kamu Ketahuan




Lama dipenjara oleh urusan aktifitas demi mencari sesuap nasi sampai-sampai rasaku menumpul dan isi kepala tidak sempat keluar. Semua menggumpal dan mengkristal di dalam. Yang terekspose hanyalah kegaduhan menguber waktu demi semua itu.

Tapi pagi ini, ketika aku masih bergelung dalam selimut, tiba-tiba suamiku berkata,”Mie,…bu J*** depan rumah ternyata pakai tabung gas 3 kg.”
“Koq papie tahu?!” Tanyaku dalam kondisi mata masih merem.
“Barusan papie lihat pak J*** bawa tabung gas itu pakai motor…”

Hmmm…., inilah kami. Orang Indonesia. Selalu pandai dalam memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan Pemerintah. Bodo amat fasilitas itu untuk siapa. Bersubsidi ataupun tidak juga masa bodo!

Kenapa tetangga depan tempat tinggalku yang menggunakan tabung gas bersubsidi itu jadi menggelitik hatiku dan membuatku langsung melompat bangun, kemudian meraih laptop anakku yang kebetulan tadi ditinggalkan di ujung tempat tidurku?

Itu karena, tempat tinggalku ini (bukan rumahku lho, tapi tempat tinggalku saat ini), kebetulan sekali sekarang ini telah berubah kondisi, naik derajat jadi Perumahan Elite. Harga rumah standard seperti yang kutinggali saat ini saja sudah menembus harga M (aku tahu pasti tentang ini, karena kebetulan juga rumah yang kutinggali ini sudah ditawar dengan harga yang kusebut di atas), apalagi rumah gedung seperti depan rumah ini…, wow…, pasti ber-MM.
Waktu kutanya berapa tariff listriknya sebulan saja, tempohari si ibu ini bilang kalau hampir sejuta, padahal itu dia cuma tinggal berdua sama suaminya.
Tapi kenapa untuk masak dia pakai tabung gas 3 kg yang harganya tidak sampai dua puluh ribu? Tabung gas yang seharusnya sama sekali bukan diperuntukkan bagi dia.

Aku juga surprise, dimana dia belinya? Sebab di penjual gas eceran yang biasa aku beli (via telpon dan diantar), katanya tidak menjual tabung gas 3 kg. Beberapa penjual gas keliling yang terkadang lewat pakai pick-up juga tidak pernah terlihat membawa tabung gas 3 kg.

Mungkin dia beli di perkampungan terdekat, atau di POM Bensin. Sebab aku jadi ingat, awal-awal aku tinggal di sini tempohari, aku pernah bertanya pada tetangga depan rumah ini, di mana kalau mau beli isi ulang gas? Waktu itu mereka menyarankan untuk beli di POM Bensin.
“Waduh, harus bawa sendiri dong?” Tanyaku waktu itu.
“Iya, pakai motor aja…, tuh pakai motorku….” Katanya sambil menawarkan motor maticnya. Motor di tempatku motor laki dan bebek biasa, bukan matic, jadi tidak dapat dipakai bawa barang di depan.

Waktu itu aku malas kalau harus ke POM Bensin, jadi aku membongkar laci-laci buffet, lemari, buku-buku telpon, untuk  mencari nota pembelian gas yang mungkin terselip atau mungkin sengaja disimpan oleh mendiang ibu mertuaku yang pasti ada nomer teleponnya, dan ternyata aku menemukannya. Karena aku tahu, dulu mendiang ibu mertuaku selalu beli gas dan air mineral hanya via telpon saja.

Tapi sungguh, tidak terpikirkan olehku sama sekali kalau ternyata tetangga depan ini menggunakan tabung gas 3 kg, sebab aku saja harus pakai tabung gas 12 kg karena dua buah tabung kosong punya mendiang ibu mertuaku adalah yang 12 kg.

Tentang semua fasilitas bersubsidi dari Pemerintah untuk masyarakat menengah ke bawah memang seharusnya ya untuk menengah ke bawah, walaupun ketentuan masing-masing tentang kemampuan financial itu hanya dapat diukur atau dirasakan oleh individunya sendiri. Tapi kalau rumah gedung bertingkat dengan bangunan mentereng dan ber AC, mobil dan motor tersedia di garasi, yaaaa…… apakah tidak merasa bersalah atau malu kalau harus menggunakan hak yang bukan hak-nya?
(Jadi ingat tulisan di dinding Kantor Kelurahan yang sempat terbaca olehku kemarin: JANGAN MENGAKU MISKIN KALAU TIDAK INGIN JADI MISKIN BENERAN.


Surabaya, 28 November 2014
(sudah ah, aku mau masak nasi pakai rice coocker, bukan menanak nasi pakai kompor berbahan bakar gas elpiji 3 kg lho ya...., walaupun kalau aku sih sebetulnya masih boleh tuh.... :) )