“Perhatikan jalur tiga, sesaat
lagi akan masuk kereta ekonomi jurusan Jatinegara.” Begitu suara dari pengeras
suara di Stasiun Senen mengumumkan.
Aku segera bangkit dari dudukku
dan bersiap menunggu datangnya kereta di jalur tiga. Sebetulnya sih aku bukan
mau ke Jatinegara, aku mau pulang ke
Bogor. Tapi daripada bengong nungguin keretanya balik dari Jatinegara, mending
aku ikut jalan-jalan dulu ke Jatinegara, pikirku.
Aku masuk ke gerbong paling
belakang yang nanti akan jadi gerbong paling depan ketika kereta sudah berbalik
arah menuju Bogor. Penumpangnya tinggal sedikit. Mungkin tidak sampai sepuluh
orang.
Aku duduk sambil mengedarkan
pandangan mengamati semuanya. Di depanku agak miring ke kanan duduk seorang
laki-laki paruh baya dengan dagangannya di bangku sebelahnya. Dia sedang
ngobrol akrab dengan seorang gadis, entah teman atau pacarnya.
Di pintu kereta depanku arah
kanan tampak beberapa pedagang asongan yang sedang berdiri, yang tampaknya juga
kenal dengan gadis di depanku itu, sebab mereka juga tampak sedang ngobrol.
Loncat tiga bangku di sebelah
kananku duduk seseorang yang semula aku ragu, dia laki-laki atau perempuan.
Tongkrongannya sangar, badannya gede, kekar gitu, hanya memakai kaos warna
kuning dan sandal jepit. Tapi kalau
melihat celana pendek selutut warna biru dari bahan kain dengan motif
bunga-bunga, aku rasa dia pasti cewek.
Belum lengkap mengamati semuanya,
kereta tiba di Stasiun Sentiong. Tidak banyak yang naik, karena ini memang
belum jamnya orang pulang kerja, apalagi pegawai negri, kecuali dia kabur dari
kantor.
“Hadoohhh…, laki gue mana sih….” tiba-tiba
terdengar suara keras dari arah kiri. Aku menengok, dan terlihat dua orang anak
perempuan ABG yang menurut perkiraanku paling banter usianya baru lima belas
tahun. Mereka duduk di pintu kereta, padahal sudah jelas bangkunya masih banyak
yang kosong.
Anak perempuan berumur belasan
dengan santainya berteriak-teriak tentang ‘laki gue’ di tempat umum seperti
ini. Sungguh aku jadi merasa tua sekali.
Tiba-tiba masuk lagi beberapa
orang anak sebaya mereka tadi, kali ini tiga orang anak laki-laki dan seorang
anak perempuan. Mereka semua memakai celana pendek dengan penampilan khas anak
jalanan. Yang cewek seluruh lengan kirinya bertato, dan salah seorang anak
laki-laki tadi ada yang membawa gitar kecil atau ukulele (atau apapun namanya karena
aku nggak begitu faham nama alat-alat musik).
Aroma minuman keras langsung
menyerang hidungku. Ternyata ada lagi temannya yang duduk di deretanku yang
membawa botol plastik bekas air mineral dengan isinya seperti air teh yang kemudian
dibagi-bagikan pada mereka semua.
Tepat sebelum kereta berjalan,
ada seorang anak laki-laki yang melompat naik dan duduk selisih dua bangku
kosong di sebelah kiriku. Yang ini perawakannya putih bersih, pakaian santai,
usia lebih tua dari para anak ABG ini. Sama sekali tidak tampak sebagai anak
jalanan, jadi kupikir dia juga penumpang biasa. Ini membuatku sedikit lega.
Sebab terus terang saja, dengan kondisi kereta yang lengang dan berpenumpang
anak jalanan yang sedang minum-minuman keras ini, agak sedikit membuat
jantungku berdetak lebih cepat. Tapi aku berusaha menekan rasa takut itu dengan
pemikiran bahwa mereka tidak akan mengganggu penumpang lain karena mereka
sedang asik dengan kelompoknya sendiri. It’s okay!
Kemudian lewatlah seorang ibu-ibu
pedagang kue yang mendorong dagangannya. Kulihat selain roti, ada beberapa
jajanan pasar yang tampaknya enak. Sekali lagi, dengan harapan si ibu yang
pastilah orang baik-baik ini tidak pergi dari gerbong ini, supaya aku ada
temannya, maka kupanggillah si ibu ini.
“Berapaan harganya bu?” tanyaku.
“Yang roti dua ribu tiga, kue-kue
lainnya gopek satu. Mau bu?” tanyanya. Hh…, aku sempat sedikit terkejut mendengar
dia bilang harga kuenya gopek satu. Gimana rasanya ya, pikirku. Tapi bodo
amatlah dengan rasa dan bentuknya, aku hanya perlu si ibu supaya tetap di
gerbong ini saja koq.
Sementara di seberang tempatku
duduk, para anak jalanan tadi masih tetap asik dengan kelompoknya sendiri. Malah
cewek bertato tadi tampak berpelukan dan berciuman dengan pasangannya dengan
santainya, seolah di gerbong kereta ini tidak ada penumpang lainnya. Begitu
juga cewek yang tadi berteriak-teriak mencari ‘lakinya’, tampak sedang mendekap
kepala anak laki-laki yang sedang memainkan gitar kecil tadi dan bernyanyi
dengan suara cempreng yang gak jelas ke dadanya. Jadi posisi anak perempuan itu
berdiri di depan anak laki-laki itu.
Sungguh pemandangan yang membuat
miris di hati mengingat kalau mereka semua ini masih dalam usia anaki-anak yang
wajib sekolah sembilan tahun. Tetapi siapa aku selain hanya sebagai penonton
yang punya sebutir tanya di dalam hati, akan menjadi apakah mereka ini beberapa
tahun ke depan, akan seperti apakah masa depan yang menanti mereka ini? Juga
sedikit selipan pertanyaan, siapa dan bagaimanakah orang tua mereka ini? Bagaimana
perasaan mereka?
Ketika sampai di Stasiun apa ya…..,
aku lupa, tapi yang jelas satu stasiun sebelum Jatinegara, si ibu penjual kue
tampak berdiri ngobrol dengan anak-anak jalanan itu di pintu tengah (arah
sebelah kiriku), sedang anak laki-laki yang tadi duduk di arah kiriku, ternyata
sudah tidak ada lagi.
Tapi tepat ketika kereta mulai
jalan lagi, anak laki-laki yang kumaksud tadi, tiba-tiba meloncat naik dari
pintu arah kananku dan duduk di seberang tempat dudukku.
“Biarin aja…” samar-samar aku
dengar si ibu penjual kue mengatakan itu pada anak-anak jalanan itu sambil
melihat kea rah anak laki-laki yang baru saja melompat masuk tadi. Rupanya dia
sedang mengadu pada anak-anak jalanan itu.
Detik itu juga langsung semua anak-anak
jalanan itu menyerang si anak laki-laki tadi. Bak buk bak buk. Pukul, tendang,
cakar, hantam, tinju, dan sebagainya. Pokoknya dihajar rame-ramelah anak itu. Hancur
deh, untung masih hidup.
Penumpang yang lain pada minggir
dan semua juga pasti tidak tahu harus berbuat apa. Aku sendiri jadi tercekat
dan bingung. Apa aku harus pergi dari tempat dudukku ini, atau tetap bertahan
di situ dengan situasi seperti ini. Aku diam tak bergerak, bernafaspun
satu-satu dengan detak jantung yang sudah tidak karuan lagi iramanya.
Beruntung keretapun sampai di Stasiun Jatinegara. Petugas kereta yang tadi
ada di ruang loco langsung masuk dan melerai anak-anak itu. Mungkin dari tadi
dia juga sudah tahu kejadian ini, tapi karena kereta masih berjalan, diapun
tidak dapat berbuat apa-apa, karena pintu penghubung dari ruang loco ke gerbong
penumpang rupanya macet, tidak bisa dibuka
lagi. Maklumlah kondisi gerbong kereta ekonomi. Anak laki-laki putih tadi
dibawa turun oleh petugas yang tampaknya akan diserahkan ke petugas keamanan
stasiun. Ternyata anak itu juga anak jalanan, hanya saja dia berasal dari
daerah dan kelompok yang berbeda dengan
anak-anak yang ini.
“Inget lo, berani ke Sentiong mampus lo sama
gue dan laki gue!!” teriak anak perempuan yang tadi teriak-teriak mencari
lakinya di pintu kereta, dan ternyata anak laki-laki yang disebut lakinya tadi
memang garang banget ketika menghajar orang. Bahkan sempat terlihat olehku dia
sudah pegang gesper gede banget… entah dari mana ngeluarinnya.
Tak lama kemudian petugas
keamanan stasiun datang dan menyuruh anak-anak itu keluar, “Lo lo lo semua
turun! Keluar dari kereta sekarang juga!” katanya pada rombongan anak-anak itu.
“Saya nggak salah pak, anak tadi
ngancam penumpang…” kata anak laki yang pegang gesper tadi.
“Penumpang mana yang diancam?” tanya
petugas.
“Tuh, si ibu…” jawab anak laki
tadi.
Si ibupun dibawa turun oleh
petugas, mungkin dia tahu kalau si ibu adalah pedagang asongan, bukan
penumpang. Dagangannya ditinggal begitu saja di kereta. Sementara anak-anak
yang lain tiba-tiba saja juga tidak nampak lagi.
“Dagangan si ibu gimana tuh?” tanya
seorang penumpang pada anak laki-laki tadi.
“Nggak apa-apa pak, saya yang
jaga. Kita sesama anak jalanan harus toleransi sama yang lain. Tapi kalau misalnya
yang digangguin dan diancam-ancam anak tadi sesama laki-laki sih bodo amat. Ini nenek-nenek bo!!”
kata anak laki-laki itu.
Ketika kereta mulai bergerak
kembali ke Bogor, anak laki-laki tadi berjalan ke gerbong yang lain. Sementara di
ujung gerbong yang lain itu nampak si ibu penjual kue datang mengambil dagangannya.
Sepanjang perjalanan menuju
Stasiun Sentiong masih ada salah seorang anak laki-laki dari rombongan tadi
yang mungkin ketuanya berjalan hilir mudik dari gerbong ke gerbong seperti
ronda atau sedang menyatakan secara tidak langsung pada anak jalanan lain kalau
batas ini adalah wilayahnya.
Selepas Stasiun Sentiong menuju
Stasiun Senen, tampaknya mereka sudah tidak ada lagi. Sudah turun di Sentiong
mungkin. Di Stasiun Senen dan seterusnya
sampai ke arah Bogor, kurasa tidak akan mudah lagi para anak jalanan seperti
itu masuk ke Stasiun kecuali para pedagang asongan, karena masing-masing
stasiun sekarang sudah cukup ketat menyeleksi calon penumpang. Tanpa karcis,
tidak akan bisa masuk ke peron.
Gila kan? Ternyata pengalaman jalan-jalanku kali ini cukup
memacu adrenalin. Cukup membuat jantungku hampir tidak kerasan tetap di
tempatnya. Hehehe….
Bogor, 6 Juni 2012
(Sambil makan kue gopek’an
dagangan si ibu tadi)