Sabtu, 09 Juni 2012

Itu Pilihan Mereka, Kurasa


“Perhatikan jalur tiga, sesaat lagi akan masuk kereta ekonomi jurusan Jatinegara.” Begitu suara dari pengeras suara di Stasiun Senen mengumumkan.


Aku segera bangkit dari dudukku dan bersiap menunggu datangnya kereta di jalur tiga. Sebetulnya sih aku bukan mau ke Jatinegara,  aku mau pulang ke Bogor. Tapi daripada bengong nungguin keretanya balik dari Jatinegara, mending aku ikut jalan-jalan dulu ke Jatinegara, pikirku.


Aku masuk ke gerbong paling belakang yang nanti akan jadi gerbong paling depan ketika kereta sudah berbalik arah menuju Bogor. Penumpangnya tinggal sedikit. Mungkin tidak sampai sepuluh orang.


Aku duduk sambil mengedarkan pandangan mengamati semuanya. Di depanku agak miring ke kanan duduk seorang laki-laki paruh baya dengan dagangannya di bangku sebelahnya. Dia sedang ngobrol akrab dengan seorang gadis, entah teman atau pacarnya.


Di pintu kereta depanku arah kanan tampak beberapa pedagang asongan yang sedang berdiri, yang tampaknya juga kenal dengan gadis di depanku itu, sebab mereka juga tampak sedang ngobrol.


Loncat tiga bangku di sebelah kananku duduk seseorang yang semula aku ragu, dia laki-laki atau perempuan. Tongkrongannya sangar, badannya gede, kekar gitu, hanya memakai kaos warna kuning  dan sandal jepit. Tapi kalau melihat celana pendek selutut warna biru dari bahan kain dengan motif bunga-bunga, aku rasa dia pasti cewek.


Belum lengkap mengamati semuanya, kereta tiba di Stasiun Sentiong. Tidak banyak yang naik, karena ini memang belum jamnya orang pulang kerja, apalagi pegawai negri, kecuali dia kabur dari kantor.
“Hadoohhh…, laki gue mana sih….” tiba-tiba terdengar suara keras dari arah kiri. Aku menengok, dan terlihat dua orang anak perempuan ABG yang menurut perkiraanku paling banter usianya baru lima belas tahun. Mereka duduk di pintu kereta, padahal sudah jelas bangkunya masih banyak yang kosong.


Anak perempuan berumur belasan dengan santainya berteriak-teriak tentang ‘laki gue’ di tempat umum seperti ini. Sungguh aku jadi merasa tua sekali.


Tiba-tiba masuk lagi beberapa orang anak sebaya mereka tadi, kali ini tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka semua memakai celana pendek dengan penampilan khas anak jalanan. Yang cewek seluruh lengan kirinya bertato, dan salah seorang anak laki-laki tadi ada yang membawa gitar kecil atau ukulele (atau apapun namanya karena aku nggak begitu faham nama alat-alat musik).
Aroma minuman keras langsung menyerang hidungku. Ternyata ada lagi temannya yang duduk di deretanku yang membawa botol plastik bekas air mineral dengan isinya seperti air teh yang kemudian dibagi-bagikan pada mereka semua.


Tepat sebelum kereta berjalan, ada seorang anak laki-laki yang melompat naik dan duduk selisih dua bangku kosong di sebelah kiriku. Yang ini perawakannya putih bersih, pakaian santai, usia lebih tua dari para anak ABG ini. Sama sekali tidak tampak sebagai anak jalanan, jadi kupikir dia juga penumpang biasa. Ini membuatku sedikit lega. Sebab terus terang saja, dengan kondisi kereta yang lengang dan berpenumpang anak jalanan yang sedang minum-minuman keras ini, agak sedikit membuat jantungku berdetak lebih cepat. Tapi aku berusaha menekan rasa takut itu dengan pemikiran bahwa mereka tidak akan mengganggu penumpang lain karena mereka sedang asik dengan kelompoknya sendiri. It’s okay!


Kemudian lewatlah seorang ibu-ibu pedagang kue yang mendorong dagangannya. Kulihat selain roti, ada beberapa jajanan pasar yang tampaknya enak. Sekali lagi, dengan harapan si ibu yang pastilah orang baik-baik ini tidak pergi dari gerbong ini, supaya aku ada temannya, maka kupanggillah si ibu ini.
“Berapaan harganya bu?” tanyaku.
“Yang roti dua ribu tiga, kue-kue lainnya gopek satu. Mau bu?” tanyanya. Hh…, aku sempat sedikit terkejut mendengar dia bilang harga kuenya gopek satu. Gimana rasanya ya, pikirku. Tapi bodo amatlah dengan rasa dan bentuknya, aku hanya perlu si ibu supaya tetap di gerbong ini saja koq. 


Sementara di seberang tempatku duduk, para anak jalanan tadi masih tetap asik dengan kelompoknya sendiri. Malah cewek bertato tadi tampak berpelukan dan berciuman dengan pasangannya dengan santainya, seolah di gerbong kereta ini tidak ada penumpang lainnya. Begitu juga cewek yang tadi berteriak-teriak mencari ‘lakinya’, tampak sedang mendekap kepala anak laki-laki yang sedang memainkan gitar kecil tadi dan bernyanyi dengan suara cempreng yang gak jelas ke dadanya. Jadi posisi anak perempuan itu berdiri di depan anak laki-laki itu.


Sungguh pemandangan yang membuat miris di hati mengingat kalau mereka semua ini masih dalam usia anaki-anak yang wajib sekolah sembilan tahun. Tetapi siapa aku selain hanya sebagai penonton yang punya sebutir tanya di dalam hati, akan menjadi apakah mereka ini beberapa tahun ke depan, akan seperti apakah masa depan yang menanti mereka ini? Juga sedikit selipan pertanyaan, siapa dan bagaimanakah orang tua mereka ini? Bagaimana perasaan mereka?


Ketika sampai di Stasiun apa ya….., aku lupa, tapi yang jelas satu stasiun sebelum Jatinegara, si ibu penjual kue tampak berdiri ngobrol dengan anak-anak jalanan itu di pintu tengah (arah sebelah kiriku), sedang anak laki-laki yang tadi duduk di arah kiriku, ternyata sudah tidak ada lagi.


Tapi tepat ketika kereta mulai jalan lagi, anak laki-laki yang kumaksud tadi, tiba-tiba meloncat naik dari pintu arah kananku dan duduk di seberang tempat dudukku. 


“Biarin aja…” samar-samar aku dengar si ibu penjual kue mengatakan itu pada anak-anak jalanan itu sambil melihat kea rah anak laki-laki yang baru saja melompat masuk tadi. Rupanya dia sedang mengadu pada anak-anak jalanan itu.


Detik itu juga langsung semua anak-anak jalanan itu menyerang si anak laki-laki tadi. Bak buk bak buk. Pukul, tendang, cakar, hantam, tinju, dan sebagainya. Pokoknya dihajar rame-ramelah anak itu. Hancur deh, untung masih hidup.


Penumpang yang lain pada minggir dan semua juga pasti tidak tahu harus berbuat apa. Aku sendiri jadi tercekat dan bingung. Apa aku harus pergi dari tempat dudukku ini, atau tetap bertahan di situ dengan situasi seperti ini. Aku diam tak bergerak, bernafaspun satu-satu dengan detak jantung yang sudah tidak karuan lagi iramanya.


Beruntung keretapun sampai di  Stasiun Jatinegara. Petugas kereta yang tadi ada di ruang loco langsung masuk dan melerai anak-anak itu. Mungkin dari tadi dia juga sudah tahu kejadian ini, tapi karena kereta masih berjalan, diapun tidak dapat berbuat apa-apa, karena pintu penghubung dari ruang loco ke gerbong penumpang rupanya macet, tidak bisa  dibuka lagi. Maklumlah kondisi gerbong kereta ekonomi. Anak laki-laki putih tadi dibawa turun oleh petugas yang tampaknya akan diserahkan ke petugas keamanan stasiun. Ternyata anak itu juga anak jalanan, hanya saja dia berasal dari daerah  dan kelompok yang berbeda dengan anak-anak yang ini.


 “Inget lo, berani ke Sentiong mampus lo sama gue dan laki gue!!” teriak anak perempuan yang tadi teriak-teriak mencari lakinya di pintu kereta, dan ternyata anak laki-laki yang disebut lakinya tadi memang garang banget ketika menghajar orang. Bahkan sempat terlihat olehku dia sudah pegang gesper gede banget… entah dari mana ngeluarinnya. 


Tak lama kemudian petugas keamanan stasiun datang dan menyuruh anak-anak itu keluar, “Lo lo lo semua turun! Keluar dari kereta sekarang juga!” katanya pada rombongan anak-anak itu.
“Saya nggak salah pak, anak tadi ngancam penumpang…” kata anak laki yang pegang gesper tadi.
“Penumpang mana yang diancam?” tanya petugas.
“Tuh, si ibu…” jawab anak laki tadi.
Si ibupun dibawa turun oleh petugas, mungkin dia tahu kalau si ibu adalah pedagang asongan, bukan penumpang. Dagangannya ditinggal begitu saja di kereta. Sementara anak-anak yang lain tiba-tiba saja juga tidak nampak lagi.


“Dagangan si ibu gimana tuh?” tanya seorang penumpang pada anak laki-laki tadi.
“Nggak apa-apa pak, saya yang jaga. Kita sesama anak jalanan harus toleransi sama yang lain. Tapi kalau misalnya yang digangguin dan diancam-ancam anak tadi sesama  laki-laki sih bodo amat. Ini nenek-nenek bo!!” kata anak laki-laki itu. 


Ketika kereta mulai bergerak kembali ke Bogor, anak laki-laki tadi berjalan ke gerbong yang lain. Sementara di ujung gerbong yang lain itu nampak si ibu penjual kue datang mengambil dagangannya.
Sepanjang perjalanan menuju Stasiun Sentiong masih ada salah seorang anak laki-laki dari rombongan tadi yang mungkin ketuanya berjalan hilir mudik dari gerbong ke gerbong seperti ronda atau sedang menyatakan secara tidak langsung pada anak jalanan lain kalau batas ini adalah wilayahnya.


Selepas Stasiun Sentiong menuju Stasiun Senen, tampaknya mereka sudah tidak ada lagi. Sudah turun di Sentiong mungkin. Di  Stasiun Senen dan seterusnya sampai ke arah Bogor, kurasa tidak akan mudah lagi para anak jalanan seperti itu masuk ke Stasiun kecuali para pedagang asongan, karena masing-masing stasiun sekarang sudah cukup ketat menyeleksi calon penumpang. Tanpa karcis, tidak akan bisa masuk ke peron.


Gila kan? Ternyata  pengalaman jalan-jalanku kali ini cukup memacu adrenalin. Cukup membuat jantungku hampir tidak kerasan tetap di tempatnya. Hehehe….





Bogor, 6 Juni 2012
(Sambil makan kue gopek’an dagangan si ibu tadi)