Senin, 20 April 2015

Ini Mistery atau Horor?





Mistery. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, mistery adalah bagian dalam hidup ini. Hampir di setiap hal, kesempatan, moment apapun, mistery ikut andil di dalamnya. Mistery itu rahasia Yang Punya Hidup, itu menurutku, dan aku percaya.

Beberapa waktu yang lalu adik suamiku meninggal dunia. Di detik-detik terakhir hidupnya, seolah dia sudah mempersiapkan diri dengan siap untuk meninggal dunia. Kata istrinya, sekitar lima menit sebelum roh nya pergi meninggalkan tubuhnya, adik suamiku ini meluruskan kedua kakinya, kedua tangannya sedakep, terus dia minta ijin pada istri, adik dan kakaknya yang menunggui untuk melepaskan selang oksigen dari hidungnya. Dia minta maaf karena sudah tidak kuat lagi, jadi setelah itu minta dituntun doa dan tidak sampai lima menit, diapun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Tentang adik iparku ini, aku tidak mau memikirkannya secara ekstreem, apakah dia bunuh diri atau tidak. Sebab kata istrinya, sejak sakit, setiap diajak ke RS, dia selalu menolak dan mengatakan kalau dia ke RS, besoknya pasti dia akan meninggal. Dan ketika akhirnya harus dibawa ke RS, malamnya, sebelum besok paginya dia meninggal dunia, dia beberapa kali melepas selang oksigen dari hidungnya sambil bilang, “Kalau selang ini kucopot, aku mati lho…”

Tentu saja istrinya bilang, “Ya kalau gitu jangan dicopot lho, nggak kasihan sama aku? Aku nanti sama siapa?”

Terlepas dari dia menentukan sendiri kapan harus melepas selang oksigen yang dipasang, aku dan kami semua (keluarga) sudah mengikhlaskannya untuk kembali ke pangkuan Illahi Robbi.

Menjelang kepergian adik suamiku yang ke 40 harinya. Omnya bercerita, bahwa sebelum istri adik iparku ini menelponnya, beliau sudah mendapat telepon dari nomer yang sama tetapi ketika diangkat tidak ada suaranya. (Nomer itu adalah nomer HP adik suamiku yang meninggal yang akhirnya dibawa istrinya)

“Waktu kamu nelpon Om kemarin itu jam berapa?” Tanya Om waktu kami semua datang di acara doa 40 hari meninggalnya adik iparku ini.
“Lupa Om, mungkin jam delapan lebih…” katanya.
“Sebelum nelpon Om yang langsung Om terima itu, apakah kamu sudah pernah mencoba menelpon sebelumnya?”
“Enggak Om, karena HP nya nggak ada pulsanya. Jadi saya beli pulsa dulu baru nelpon Om, dan langsung Om terima itu…”
“Tuh kan…, jadi HP nya nelpon sendiri ke Om ya?...... Mungkin dia memang mau pamitan, sebab malam sebelumnya waktu Om sedang doa, pintu kamar Om diketuk dari luar, dan ketika dibuka, tidak ada siapa-siapa….. Tante kan sedang ke Tiongkok, control, anak-anak juga nggak ada di rumah…. Dulu waktu mamimu mau 40 hari, pintu kamar Om juga diketuk dari luar dan ketika dibuka, tidak ada siapa-siapa….”

Kami semua yang mendengar ceritanya terdiam. Sebab kami yang lain tidak mengalami yang terjadi pada Om.

Kemudian istrinya bercerita, bahwa di hari suaminya meninggal, dia sempat pulang ke rumahnya (saat itu jenazah suaminya ada di rumah duka Adiyasa Surabaya) untuk mengambil beberapa baju suaminya yang akan dimasukkan ke peti jenazah.

Tiba-tiba HP nya berbunyi, dan ketika dilihat, ternyata nomer suaminya memanggil, padahal HP suaminya saat itu juga sedang dia pegang. Maka diapun berkata ke kerabat yang mengantarnya saat  itu bahwa suaminya menelpon. (sayangnya dia tidak mengangkat telepon itu…, sejujurnya aku penasaran….)

Waktu sedang ada urusan ke rumah kakak suaminya (kakak suamiku juga), kembali hal tersebut berulang. HP nya berbunyi dan ketika dilihat, nomer mendiang suaminya memanggil. Dia sempat memberitahu istri kakaknya kalau suaminya menelpon, padahal HP nya juga sedang dia pegang. Sekali lagi, dia juga tidak mengangkat telepon itu dan langsung mematikannya. (dan sekali lagi, aku makin penasaran)

Kalau cerita dari adikku lain lagi. Istrinya kan juga meninggal kira-kira 50 hari sebelum adik suamiku ini meninggal.

Istrinya sama sekali tidak meninggalkan pesan apapun sebelum meninggal, karena di saat-saat terakhir sebelum kondisinya koma, dia dan istrinya masih ngobrol dan bercanda dengan tamu  yang bezoek. Ketika kemudian suster memasukkan obat ke infusnya, saat itu juga istrinya mengeluh dadanya sakit, tidak dapat bernafas, biru, pingsan, koma……, sampai esok paginya meninggal dunia.

Kondisi shock seolah tidak percaya istrinya sudah tidak ada, menjadi beban pikirannya selama berhari-hari (karena begitu tiba-tiba). Mulut pasti bilang ikhlas, tapi dalam hati kecilnya dia pasti merintih, bertanya-tanya kenapa… Kesedihannya dapat termaklumi walaupun kita tidak dapat merasakan seperti apa yang dia rasa.

Setiap hari sejak istrinya meninggal, dia tiap hari pergi ke makam. Sambil bertanya di dalam hatinya, apakah ini nyata? Kenapa istrinya tidak memberi tanda sedikitpun padanya? Kenapa istrinya tidak berpamitan padanya? Mimpi atau apalah, dia sangat ingin bertemu istrinya untuk terakhir kalinya….

Ketika acara tahlilan hari yang ke sekian, aku lupa hari ke berapa…, sepertinya menjelang ke 7 hari, adikku bercerita kalau salah seorang kawan dekatnya seolah mendengar bisikan di telinganya, sepertinya itu adalah istrinya yang minta tolong disampaikan ke dia  untuk menyiapkan baju gantinya setiap pagi.

Adikku menangis, karena dia tidak mendapatkan pesan itu langsung dari almarhumah. Tapi disiapkannya baju ganti 4 setel di tepi tempat tidur seperti biasanya ketika dia sedang merawat istrinya yang sakit.
“Aku tidak tau dia ingin pakai yang mana, makanya kusiapkan 4 setel biar dia memilih sendiri…” kata adikku.
“Waktu selesai sholat shubuh, ketika sedang berdoa….., tiba-tiba sekelebatan aku melihat dia lewat seolah memberi tahu kalau mau ke kamar mandi dengan memakai salah satu baju yang sudah kusiapkan…. Akupun membuka pintu kamar mandi dan menyemprotnya dengan disinfectan seperti biasa tiap dia mau ke kamar mandi sejak sakit itu….”
“Sekarang hatiku sudah plong, aku lega dia sudah berpamitan padaku. Aku benar-benar ikhlas melepasnya menghadap Sang Khalik, karena aku percaya bahwa kami akan dipertemukan kembali kelak….” Katanya sambil berkaca-kaca.

Karena pada dasarnya aku memang cengeng, jadi setiap mendengar cerita-cerita seperti ini, banjir bandang tidak dapat lagi kuhindari. (Pun saat aku menulis ini…., ujung bajuku sudah kuyup karena air mata bercampur ingus)
Aku hanya bisa mengerti tanpa dapat ikut merasakan kesedihannya. Kesedihan dan rasa sakit itu murni miliknya. Kesedihanku ketika adik suamiku meninggal dan istri adikku adalah kesedihan berbeda. Sakitnya berbeda dengan yang mereka rasakan.

Kalau cerita selanjutnya bukan mistery kesedihan, tapi lebih ke mencekam ke rasa (hati) dan pikiran. Ini bermula ketika aku dan anak laki-lakiku hanya berdua menginap di rumah baru kami di Malang.

Siangnya adalah saat membawa sebagian perabotan dari rumah Ibu ke rumah baruku ini. Sorenya semua pengantar yang terdiri dari Ibu, Bapak, Adik-adikku, beberapa orang Teman, dan para tukang pada pulang. Tinggal kami berdua.

Di suasana yang sepi itu, aku mematikan semua lampu kecuali teras dan kamar mandi karena takut kalau misalnya ada orang jahat yang tahu kalau ternyata di rumah ini hanya aku berdua anakku dan timbul niat jahat isengnya.

Aku nyaris terlelap karena capek, ketika tiba-tiba anakku membangunkanku.
“Mie, mamie…. Dengerin deh….” bisiknya.
Sayup-sayup tadinya aku memang mendengar suara gemeresek di luar kamar sebelum anakku membangunkanku, tapi kucuekin karena mengantuk. Ternyata anakku terbangun dan mendengar juga.
Sayup kudengar suara ‘dep’, seperti orang yang meloncat. ‘Deg’ jantungku hampir copot. Aku takut ada orang yang datang.
Kemudian suara langkah seperti hilir mudik dan bunyi tas kresek yang berisik seolah orang sedang sibuk banget berbenah atau membungkus sesuatu.
“Biarin aja dek, paling tikus atau kucing…” jawabku menenangkan anakku. Akupun pura-pura tidur suapaya anakku juga tidak ketakutan. Tapi diam-diam kuintip dari sela-sela bulu mataku. Kulihat dia melek, tapi diam tidak bergerak. Tegang mendengarkan suara berisik di luar kamar.
Akhirnya kupeluk dia, dan diapun miring menghadap tembok.
Dalam diamku aku berpikir sendiri. Apa iya itu tikus atau kucing yang sedang berisik di luar kamar?
Kalau tikus, tikus dari mana? Apa iya, kebawa di antara barang-barang dari rumah ibu? (agak mustahil)
Kalau kucing, kucing dari mana? Pintu dari ruang belakang sudah kututup, jadi misalnya kucing itu lompat dari atap terbuka (hanya teralis) ke dapur, pasti tidak dapat masuk ke ruang tengah dan mengeong-ngeong karena tidak bisa balik lompat ke atas. (jadi inipun mustahil)
Kalau orang, masuknya darimana? Belakang sudah tertutup atap dan teralis, pintu depan tadi sudah kuganjal sapu, kursi, beserta perabotan yang pasti berisik kalau dibuka paksa dari luar. (ini juga mustahil)
Jadi, hanya ada dua kemungkinan yang kira-kira dapat menghasilkan suara itu, yaitu; pertama adalah serangga dan sebangsanya yang terjebak di dalam tas kresek, atau yang kedua yaitu ‘sesuatu’ yang ingin kenalan dan mengucapkan selamat datang padaku dan anakku. Walaupun sejujurnya, selama hidupku ini, belum pernah sekalipun aku mengalami langsung interaksi dengan ‘sesuatu’ itu, kecuali sekarang, kalau itu memang benar ‘sesuatu’.

Akupun mulai melafalkan ayat kursi entah berapa ribu kali, yang jelas sampai aku tertidur. Ketika aku kembali terbangun, kulihat jam di HP ku sekitar pukul 23.15 WIB. Oh, belum jam dua belas malam, pikirku. Suara-suara berisik tadipun sudah tidak ada lagi. Suasana sunyi senyap. Kulihat anakkupun sudah tertidur pulas.

Kuambil HP ku dan membaca beberapa pesan yang masuk serta membalasnya, dan tidak tahu jam berapa, akupun tertidur lagi sampai tiba-tiba kulihat suasana yang terang dari arah dapur (jendela kamar yang terhubung ke dapur). Subuhpun terlewat dengan sukses, astaghfirullah al adziim.

Aku keluar kamar. Sudah pagi ternyata.
Kuperiksa barikade yang kubuat di pintu depan masih utuh. Tas kresek berisi mie cup instan juga bersih, tidak ada serangga apapun yang kemungkinan terjebak di dalamnya….
So? Harap disimpulkan sendiri kira-kira suara apa yang kudengar tadi malam, sebab akupun tidak tahu…. Hanya ada sedikit tambahan, “Mie, lain kali mamie pasang cctv dong biar tau suara apa tadi malam.” Kata anakku.
“Ngapain pakai pasang cctv dek, lain kali kalau kita di sini dan bunyi lagi, ya langsung kita lihat aja, kita intip…” jawabku.
“Kalau diintip nanti suaranya berhenti…” jawab anakku.
Aku tersenyum sendiri. Berarti anakku semalam juga tidak percaya waktu kujawab: kalau nggak tikus ya kucing……
Hehehe…..


Surabaya, 21 April 2015
(Kondisi kegerahan karena tidak ada AC), Surabaya panas bingiiiitttssss……