Beberapa hari ini, perjalananku
ngubek-ngubek kota Jakarta dan sekitarnya membawa oleh-oleh cerita dan
pengalaman yang tidak enak. Banyak kejadian di jalan raya yang menakutkan, salah
satunya adalah cerita tentang kecelakaan.
Waktu aku harus menemui seseorang
di Jalan Raya Narogong Km 19, Bantar Gebang Bekasi beberapa hari lalu, angkotku
macet beberapa kilo sebelum RS. MH
Thamrin. Namanya juga angkot, dalam keadaan macet begitu tetap saja berusaha
maju ke depan dengan segala cara…., termasuk jalan di wilayah arus sebaliknya,
atau sebelah kanan dari antrian mobil-mobil yang sebagian besar adalah
mobil-mobil kelas berat sebangsa truk tronton dan teman-temannya.
Ketika akhirnya angkot yang
kunaiki terpaksa harus berhenti karena sudah tidak dapat maju lagi. Aku melihat
di tengah jalan ada bangku yang ditaruhnya pas di tengah-tengah, dan kerumunan
orang-orang yang sepertinya satu kampung ngumpul semua di sana. Kebetulan aku
duduk di bangku bagian kanan di belakang sopir angkot, jadi aku bisa melihat ke
depan dengan jelas.
Ternyata ada kecelakaan motor
yang dihajar truk gede pengangkut tanah. Aku sempat melihat beberapa orang
tampak mengangkat kantong mayat yang terlihat sangat berat ke pinggir jalan. Inna
lillahi wa inna illaihi roji’un, korbannya tewas seketika. Setelah itu, bangku
yang tadi berada di tengah jalan dipinggirkan dan jalananpun dibuka kembali.
Kerumunan orang-orangpun menipis. Mereka minggir semua.
Angkot yang kutumpangipun
melanjutkan perjalanan, dan aku melihat di tepi sebelah kanan jalan ada
seonggok ‘bekas’ helm berwarna putih yang sudah berantakan nyaris tidak
berbentuk serta genangan darah yang cukup lebar dan terlihat menyembul dari
beberapa lembar kardus/kartoon yang tampaknya tidak dapat menutupi semuanya.
Astagfirullah al adzim.
Ketika aku sampai di tempat
tujuan dan terlambat beberapa menit dari waktu yang dijanjikan, aku sempat
meminta maaf dan bercerita kalau tadi jalanan sempat macet karena ada
kecelakaan beberapa kilo meter dari situ. Si Bapak yang kujumpai ini menghela
nafas panjang.
“Motor dengan apa?” tanyanya.
“Motor dihajar truk tanah Pak…”
jawabku.
“Yah, itulah…. Saya sering ngeri
melihat para pengendara motor yang seolah punya sembilan nyawa kalau di jalanan.
Apalagi usaha saya berhubungan dengan
kendaraan besar-besar seperti ini. Jadi serba salah menghadapinya.” katanya sambil
bergidik ngeri. Si bapak yang adalah pengusaha penyewaan kendaraan gede-gede
ini orangnya sangat baik dan ramah sekali. Padahal dia pengusaha besar dan lahan
tempat usahanya ini luas sekali.
“Betul pak, kalau di jalanan kan
biarpun yang salah motornya, tetap aja mobilnya yang salah dan kalah.” Jawabku.
Si bapak mengangguk-angguk.
Ketika aku bercerita pada teman
kerjaku, dia juga mengatakan hal yang kurang lebih sama, yaitu ‘para pengendara
motor yang tidak sayang nyawanya sendiri’
“Orang-orang yang naik motor itu
harusnya jangan sembarangan aja nyerobot sana nyerobot sini kalau ada mobil-mobil
gede kayak gitu. Mobil-mobil gede itu kan posisi sopirnya di atas, spion
paling-paling cuma bisa lihat mobil ataupun motor dari jauh. Kalau sudah dekat,
mana kelihatan lagi… Nanti kalau kesenggol rodanya, mobilnya yang disalahin…”
katanya. Iya juga sih, pikirku.
Waktu dalam perjalanan pulang
dari bertemu si bapak tadi, aku kan kembali naik angkot dengan arah sebaliknya.
Ternyata sopir dan kenek/temannya yang duduk di depan masih pada ngobrolin
kecelakaan tadi. Karena penasaran, aku jadi ikutan nimbrung dalam pembicaraan
mereka.
“Tadi tuh korbannya laki-laki
atau perempuan sih mas?” tanyaku.
“Laki-laki bu, saya sih nggak
lihat mukanya sebab sudah ditutup kardus, tapi saya sempat lihat badannya dan pakai celana tanggung, kakinya kaki orang
laki-laki. Ibu tadi lihat juga ya…” kata sopir angkotnya.
“Saya cuma lihat dari jauh pas
orang-orang ngangkat kantong mayatnya ke pinggir.” jawabku.
(Kalimat di bawah kalimat ini di sensor ya…. Tuiiiiinnnggggggg, jangan
dibaca buat yang nggak kuat. Lewati saja sampai kalimat selanjutnya)
“Itu kondisinya ngeri banget bu,
jadi posisinya miring masih dalam keadaan pegang stir motor dan kelindes bareng
sama motornya juga. Jadi mayatnya nyatu sama motornya bu…” katanya.
Astagfirullah al adzim, ngeri banget.
Besoknya, tidak jauh dari kantor
tempat kerjaku, ketika aku akan menyebrang jalan, tiba-tiba “Gubrrraakkkkk!!!”
“Astaghfirullah, apa itu…” aku
menengok kea rah suara tadi.
Ternyata ada motor dan motor yang
saling beradu. Entah bagaimana asalnya sebab ini kan jalur satu arah. (Tapi
memang jalanan di bawah jembatan layang di sekitar Stasiun Tebet ini termasuk
parah, motor-motor saling berseliweran memotong arus, satu ke sana satu ke mari
satu lagi ke situ…., byuh, ruwet deh pokoknya)
Orang-orang berlarian menolong,
sebab ternyata salah satunya pengendaranya cewek dan membonceng seorang anak
laki-laki yang sempat terlempar tapi untungnya anak itu masih bisa bangun
sendiri dan menghampiri si cewek yang tidak bisa bangun karena tampaknya
kakinya sakit.
Siangnya, ketika aku pulang dari
bertemu seseorang di Asrama Polisi di Cipinang, eh,… pas posisi beberapa
kendaraan masih di atas rel, tiba-tiba sirene palang pintu berbunyi, sedangkan
kendaraan terdepan masih menunggu jeda mobil yang berjalan lurus yang tidak mau
dipotong lajunya.
Sopir angkot yang kutumpangi
berteriak-teriak, “Hoeeee…., maju! Maju! Di belakang ada kereta mau lewat…
Maju! Maju Buu!!!!” teriaknya pada mobil sedan di sebelah kanan angkot.
Kutengok, si ibu yang diteriaki
oleh sopir angkotku sedang santai nyupir sambil bertelepon dengan hapenya.
Baguuussss….., karena asyik bertelepon, jadinya tidak dengar, tidak tau, tidak
sadar atau tidak perduli kalau ada
sirene palang pintu kereta berbunyi dan beberapa mobil di belakangnya masih
berada di atas rel siap dihantam maut.
Benar-benar kehidupan dan aktifitas
yang menegangkan bila sering berada di jalanan. Setiap saat dapat terjadi hal
yang tidak kita inginkan. So, jangan salahkan sopir-sopir angkutan umum yang
bertemperamen keras dan kasar yang
seolah tidak punya hati itu, karena setiap saat mereka bergaul dengan maut.
Bogor, 12 November 2012
(kagum pada mereka yang setiap
saat berada di jalanan dan tidak jadi gila)