Kamis, 07 Maret 2013

Jorsek



Kalau mau berhubungan langsung dengan berbagai lapisan masyarakat, memang kita harus siap untuk mengalami berbagai kejadian yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dengan catatan semua aktifitas ini tidak disetting lebih dulu.

Kalau harus bersentuhan dengan kalangan menengah ke atas, mungkin tidak akan terlalu sulit untuk menyesuaikan diri, sebab semua sudah tertata dengan baik, tertib, dan penuh sopan santun, tinggal kita sendiri saja yang siap atau tidak siap mengikuti alias grogi atau nggak pede.

Tapi kalau kita harus membaur langsung ke tengah-tengah masyarakat kalangan menengah ke bawah…., wow… akan banyak kejadian-kejadian tidak terduga yang mungkin akan membuat mual dan shock ketika mengalaminya.

Ada beberapa kejadian yang mengarah ke jorsek dari beberapa contoh pelaku (memang tidak semuanya kalangan tertentu itu jorsek semua, dan kita tidak boleh menggebyah uyah –bahasa jawa—atau memukul rata pada semua orang), yang pernah kulihat langsung.

Bagi pembaca yang biasa hidup beranggun-anggun ria dan tertata, mungkin nggak usah meneruskan membaca tulisanku selanjutnya karena nanti bisa trauma, hilang nafsu makan, atau bahkan nggak dapat tidur nyenyak dan mimpi buruk…. (Lebay ya…)  Hehehe….

Satu saat, aku akan berangkat kerja dan naik kereta ekonomi. Karena hari sudah cukup siang, maka penumpangpun tidak terlalu penuh. Aku dan temankupun dapat tempat duduk. Tapi beberapa saat sebelum kereta berangkat, tiba-tiba berdiri seorang nenek-nenek berambut putih di depanku. Tubuhnya masih sehat dan segar. Nenek-nenek ini apakah rambutnya saja yang sudah putih semua tapi umurnya masih belum terlalu tua, aku tidak tahu. Yang jelas, karena aku merasa masih belum sekeriput si nenek, ya aku langsung berdiri serta memberikan tempat dudukku padanya. (Kalau temanku sih gak bakalan mau bangun karena dia menganggap dirinya sudah manula… hehehe…)

Suasana di dalam kereta ekonomi sekarang tidak lagi seramai penjual asongan seperti dulu. Sekarang penjual asongan, pengemis, dan pengamen selalu dirazia petugas. Jadi walaupun masih ada beberapa yang nekat beraksi di dalam kereta, itupun mereka kucing-kucingan dengan petugas. Bergerak selincah tupai di atas pohon kelapa dan secerdik kancil di hutan.

Ketika ada seorang penjual tahu Sumedang, si nenek yang duduk di depanku itu membeli tahu dua ribu rupiah, dapat empat buah plus bonus cabe rawit hijau beberapa biji. Makanlah si nenek itu dengan asyik. Kulihat giginya masih lengkap, walaupun tampak kecoklatan, dan masih bisa juga menggigit cabe rawit itu dengan sukses.

Setelah habis empat buah tahunya, si nenek mengeluarkan botol air minum dari dalam tasnya. Wow…, ada yang terlepas dari perhatianku, yaitu… ternyata seluruh jari-jari si nenek ini lentik dengan kuku panjangnya yang runcing terpelihara. Aku saja tidak dapat serapi itu memanjangkan kuku jari tangan, selalu saja patah ketika  membuka pintu, mencuci baju, ataupun karena bebrapa insiden kecil lainnya.

Selesai minum, si nenek mulai mencongkel-congkel giginya dengan kuku jari tangannya. Rupanya dia selilitan tahu goreng… hehehe…., aku tertawa sendiri dalam hati.
Ternyata, tahu tadi bandel, si nenek tidak berhasil mengeluarkan selilitannya.
Kemudian kulihat si nenek meraba rambutnya yang digelung/disanggul kecil. (kupikir mau memeriksa apakah gelung rambutnya masih rapi)

Surprise!! Ternyata si nenek mengeluarkan sebatang tusuk gigi dari dalam gelung rambutnya tadi. Hahahahaaaaaa…., aku benar-benar ngakak… (dalam hati tapi….), yang kemudian dengan santainya dia pakailah tusuk gigi itu untuk mengeluarkan serpihan tahu goreng dari belitan giginya. Sukses, ditelanlah serpihan tahu tadi… hahahahaaaa…., kan masih dari dalam mulut juga, belum dilepeh, begitu ‘kali pikirnya…., pikirku juga sih…. Hahahahaaaa….
Kemudian dengan santainya,  dia masukkan lagilah sebatang tusuk gigi tadi ke dalam gelung rambutnya. Slup. Tidak kelihatan, karena terbenam di dalam rambut putihnya. Hehehehe…..

Kalau malamnya, pas aku dan temanku mau pulang, kami sengaja mau naik kereta ekonomi karena kami naik dari Stasiun Kota, pasti dapat tempat duduk, pikir kami. Apalagi kalau jam pulang kerja begini, kalau naik Commuter sama tersiksanya dengan naik yang Ekonomi, malah kalau Commuter kan pintunya tertutup, padahal AC dan Kipas Angin sudah nggak terasa lagi. Kalau Ekonomi kan masih banyak angin dari luar karena pintunya tidak tertutup dan kaca jendelanya banyak yang bolong karena pecah… hehehe…
Tapi, tempat duduk cuma ada satu, itupun karena ada bapak-bapak yang mungkin nggak tega (atau risih) dengar temanku ngeluh terus tentang kakinya yang pegel dan sakit. Diapun duduk, dan aku berdiri agak di sampingnya. Suasana kereta gelap karena sebagian lampunya mati. Kalau sendirian, aku tidak mau naik kereta ini malam-malam, sebab dalam suasana gelap di tengah kerumunan orang nggak kenal, segala kemungkinan buruk bisa terjadi.

Aku dapat duduk ketika kereta mulai meninggalkan Stasiun UI, penumpang wanita yang tadi duduk di samping temanku rupanya akan turun di Stasiun Pondok Cina. Alhamdulillah, kakiku dapat beristirahat setelah seharian kusiksa dengan mengelilingi dua pertokoan di sekitar Jakarta Kota.

Tiba-tiba ada yang menarik perhatianku. Bapak-bapak yang berdiri di depan penumpang wanita yang duduk di sebelah kananku tampak bolak-balik mengoleskan tangannya ke dinding kereta dekat jendela. Ketika kuperhatikan lagi, ternyata dia sedang ngupil. Ya, ngupil…, dan hasil pancingannya itu tadilah yang dia oles-oleskan ke dinding kereta… hadewwww….. Mungkin karena gelap, dia pikir nggak ada orang lain yang memperhatikan. Karena memang pada kenyataannya hampir semua penumpang yang duduk tampak tertidur, termasuk temanku yang sudah mimpi dari sejak pertama duduk  tadi…. Hehehe… (Kalau membaca situasinya, sepertinya aku ada di posisi yang bersalah karena mataku kelebihan pandangan sampai harus melihat orang ngupil di dalam kereta yang gelap, begitu ya?)

Aku jadi teringat kejadian waktu aku naik kereta dari Cirebon  ke Surabaya (aku  lupa itu dulu kelas bisnis atau ekonomi, yang jelas saat itu aku berusaha menyempatkan waktu untuk menyusul anak-anakku yang sudah lebih dulu berangkat untuk liburan), dimana ada peristiwa yang sampai sekarang masih tergambar dengan jelas di kepalaku.

Seperti biasa, aku sulit sekali tidur di kendaraan yang sedang melaju kecuali kalau sudah ngantuk banget atau capek. Hampir semua penumpang sudah tidur di bangkunya masing-masing. Aku melepaskan pandanganku sejauh yang dapat kutangkap dengan mataku, dan akhirnya pandanganku berhenti pada seorang ibu yang duduk selisih satu deretan bangku denganku. Si ibu tampak tertidur sambil tangan kirinya memeluk sebuah tas di pangkuannya dan tangan kanannya menggenggam tas kresek warna hitam.

Tiba-tiba si ibu terjaga dan tampak membuka tas kresek di tangannya. Kemudian….., dia tampak meludah ke dalamnya. Terus  dia tidur lagi.
Tidak berselang lama, mungkin kira-kira lima belas menit kemudian, si ibu terjaga lagi, membuka tas kreseknya dan meludah lagi.
Hal itu terus menerus dilakukannya setiap lima belas menit atau dua puluh menit sekali sampai semalaman dan aku tertidur karena ngantuk. Ketika aku terbangun, si ibu sudah tidak ada di tempat duduknya lagi, mungkin sudah turun entah di Stasiun/kota apa.

Sampai sekarang kalau kuingat-ingat kejadian itu, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah si ibu itu punya suatu penyakit sehingga setiap beberapa waktu harus meludah dan demi keefesienan maka si ibu itu membawa kresek untuk kantong ludahnya. Atau si ibu itu memang sengaja membawa tas kresek itu karena tidak mau meninggalkan tempat duduknya untuk pergi ke toilet karena takut ditempati orang lain? Sebab, kalau bukan kedua alasan itu, kira-kira apa lagi dong? Bayangin, dia memegang tas kresek berisi air ludahnya semalaman. Kalau misalnya kantuk membawanya pada tidur yang sangat lelap dan ketidak sadarannya melemahkan otot tangannya sehingga pegangannya mengendur? Apa Yang terjadi coba? Pasti air ludahnya tumpah ke ….. dan……. dan selanjutnya……….. (nggak usah kutulis saja ya, dibayangkan sendiri-sendiri dan diteruskan sendiri-sendiri saja biar tidak semakin mual membaca tulisan ini…. Hehehe….)

Beberapa kejadian di atas hanyalah kejadian jorsek paling ringan yang dapat dijumpai di masyarakat kalangan tertentu itu yang boleh  kutulis di sini. Kalau kejadian yang lebih parah, misalnya lebih parah dari tayangan Mr. Bean yang bermain dengan ingusnya, sudah tentu tidak boleh dipublish di ruang public demi etika dan kesopanan (serta tidak membuat orang lain muntah pada waktu membacanya).



Bogor, 7 Maret 2013