Rabu, 20 Maret 2019

Belum Ketemu Judulnya


Beberapa kali baca berita tentang seorang anak yang tertinggal orangtuanya ketika sedang bepergian ke suatu tempat, terus terang saja, begitu baca pasti dong langsung terucap kata: Koq bisa?!

Coba saja contohnya nih, ada berita yang anaknya tertinggal di Rest Area, di Bandara, di Restorant, di Mall, dan lain-lain, yang intinya memang seolah orangtuanya koq ya kebangetan amat. Masak iya anak bisa ketinggalan, orang hape saja nggak pernah lepas dari tangan....

Baca komennya juga pedas-pedas lho, dan rata-rata menyalahkan orangtua terutama ibunya yang harusnya memang selalu mengawasi anaknya.

Aku jadi ingat waktu Kk masih kelas 2 SD dan Ndiek masih bayi dalam gendonganku. Saat itu aku habis ambil raport dari sekolahan Kk dan kami naik KRL ekonomi untuk pulang (saat itu Comuter Line-nya masih ada beberapa dan di jam-jam tertentu saja).

Kk dari kelas 1 SD sudah terbiasa naik KRL ini dan sejak kecil kakinya memang lincah seperti Kijang dan Kambing Gunung. Jadi buat dia tidak masalah harus melompat-lompat sendiri di antara sambungan gerbong yang bagi orang awam agak ngeri, atau merangkak naik ke atas gerbong karena dari lantai stasiun ke atas pintu kereta memang agak tinggi (kadang petugas terlambat meletakkan tangga di pintu gerbong).

Nah, saat itu, ketika kami baru saja masuk ke Stasiun, ada pengumuman kalau KRL Ekonomi jurusan Bogor – jakarta Kota yang tersedia di jalur sekian siap diberangkatkan.

Kk kecil langsung berlari ke jalur itu dan berusaha langsung naik. Mungkin kebiasaan kalau dia pas pulang sekolah sendirian dan harus cepat-cepat naik supaya nggak lama lagi menunggu kereta berikutnya. Dia lupa kalau aku di belakangnya sambil menggendong Ndiek.

Akhirnya terjadi deh, begitu Kk naik, keretanya jalan.
“Ayo mamie, cepetan...,!!”  katanya sambil mengulurkan tangan dari pintu kereta. (Dia pikir dia kuat menarik mm-nya kali ya...)
Kalau aku nggak sambil nggendong Ndiek ya mungkin bisa langsung melompat naik. Lha ini..., sambil nggendong bayi, masih ada juga tas dan prekenak-prekenik bayi dalam tanganku.
“Nggak bisa Kak, nanti tunggu mm di Stasiun aja...” jawabku. Kulihat dia mau melompat turun.
“Eh, nggak usah turun..., nanti tunggu mm di Stasiun!” teriakku sebelum kereta semakin melaju dan menjauh.

Dari Stasiun Bogor, nanti akan melewati Stasiun Cilebut dulu, baru setelah itu kami turun di Stasiun Bojonggede. Rumahku di Bogor dulu.
Jadi ceritanya waktu itu bukan anaknya yang tertinggal di Stasiun, tapi mm-nya yang ketinggalan, hehehe...

Kalau kemarin nih, waktu aku sedang ngantri di Poli Kandungan di RS Puri Bunda, aku sedang melototin hape, jadi sedang tidak ngeh dengan yang sedang terjadi. Tiba-tiba terdengar suara tangis anak kecil. Akupun menengok.

Kulihat seorang gadis kecil berkerudung lucu yang kira-kira berumur 2 tahun sedang menanggis di depan pintu ruang periksa yang baru saja tertutup. Perlu beberapa waktu sampai akhirnya pintu itu terbuka kembali dan si gadis kecil bisa masuk.

Penasaran. Kutunggu dan ingin kulihat seperti apa penampakan orangtuanya yang tadi sempat lepas kontrol pada anaknya walaupun sebentar.

Ketika keluar dari ruang periksa, tampak sepasang pasutri muda, mungkin belum 30 tahun usia mereka. Sang suami menggendong bayi mengikuti langkah istri yang berada paling depan dan melenggang menuju apotek di seberang ruang periksa. Baru di belakang sang ayah adalah gadis kecil tadi yang berjalan sendiri, dan seperti umumnya anak kecil yang mudah terpesona dengan lingkungan, diapun berjalan sambil tengak-tengok dan sering berhenti...

Kalau melihat pemandangan ini, memang tergelitik hati ingin memprotes; kenapa si ibu tidak mau menggenggam tangan anaknya? Toh tangannya bebas melambai....

Tapi terlepas dari semua contoh kejadian di atas, kita tetap nggak boleh lho menjudge seseorang hanya berdasarkan penampakan semata. Kita kan tidak tahu pasti kondisi perasaan mereka saat itu bagaimana. Kan ada kata-kata bijak yang menyatakan kalau yang kita lihat tidaklah selalu seperti yang terlihat.... Hayooo...., iya apa iyaaaa???

Penampakan di ruang tunggu Poli Kandungan saat itu memang bertebaran dengan pasutri muda dan pengantin baru. Rata-rata ibu muda yang mungkin perut membuncitnya adalah kehamilan anak pertama atau kedua. Yang jelas, maksimum umur mereka paling 35 tahun.

Lha terus di sini, ada nenek-nenek ikut ngantri di Poli Kandungan, apa juga hamil???!!!

(Ssssssssstttttttt!!!!!! Ceritanya dilanjut lain kali ya......)


Malang, 21 Maret 2019