Biasanya aku cuma dengar cerita
dari kenalan, sahabat dan handai taulan yang mengisahkan kondisi seseorang yang
sedang sakit keras, kemudian tiba-tiba membaik, adalah
tanda-tandanya kalau dia akan pergi.
Katanya seseorang yang akan pergi
itu, Diberikan kesempatan untuk memberikan kesan terbaiknya kepada keluarga dan
semua orang tercintanya sebagai tanda berpamitan. Supaya kelak yang akan selalu
teringat dalam memory adalah kesan terakhir bertemu yang sangat indah.
Dua hari sebelum berakhirnya
tahun 2014, bulan Desember 2014, aku menghubungi adikku yang tinggal di Malang
dan memberitahunya kalau tanggal 1 Januari aku akan ke Malang karena ada urusan.
Adikku bilang, silahkan datang,
tapi dia tidak dapat mengantarkan aku mengurus keperluanku sebab dia sedang
menunggui istrinya di RS.
Tanggal 1 Januari 2015, akupun
berangkat ke Malang bersama suami, adikku, dan seorang anakku. Kami berangkat
dari pagi sebab takut terjebak macet karena ini tahun baru.
Alhamdulillah perjalanan lancar dan
kami tiba di Malang sekitar jam 08.00 pagi. Kami langsung menuju RS Syaiful
Anwar tempat adik iparku dirawat.
Tidak boleh masuk. Karena
ternyata jam bezook baru dibuka jam 10.00 pagi.
Kuhubungi adikku dan mengatakan
kalau kami sudah di Lobby RS tapi tidak boleh masuk. Ternyata adikku kemudian
keluar menemui kami.
Jam masih menunjukkan pukul 08.30
pagi, masih lama sekali waktu buat bezook. Akhirnya aku dan adikku minta ijin
ke penjaga menanyakan apakah aku boleh masuk sekarang karena dari luar kota dan
akan pergi lagi untuk urusan berbeda. Yang lain nggak usah masuk nggak apa-apa.
Jawabnya tidak boleh.
Sempat hampir lima menit
bernegosisi dengan penjaga tapi tetap tidak diijinkan, akhirnya kubilang, “Kalau
misalnya saya saja yang masuk dan adik saya ini tunggu di sini gimana pak?”
“Iya, biar kakak saya pakai kartu
untuk penunggu pasien punya saya ini…, yang sakit itu istri saya pak, dan ini
kakak saya sendiri pak.” kata adikku.
Akhirnya, mungkin karena si
petugas capek dengar berbagai alasan yang kami kemukakan atau dia kasihan
padaku, akupun boleh masuk dan adikku tunggu diluar dengan suamiku, anakku dan
adikku yang lain.
Aku masuk sendiri mencari letak
ruang rawat inap yang ditunjukkan padaku. Ketemu. Tapi gerbangnya belum dibuka.
Aku berjalan ke lorong lainnya, mencari jalan lewat belakang. (pengalaman waktu
menunggu ibuku di RS, aku dan adikku kalau malam sering keluar masuk lewat
pintu belakang)
Kulewati ruang perawat dengan
pe-de, seolah sudah sering, jadi akupun tidak dicegat. Plosss…, Lolos!
Kucari nomer kamar adik iparku,
ketemu. Pintunya sedikit tertutup. Kubuka perlahan, dan astaghfirullah al
adzim. Aku kaget banget lihat kondisinya.
Dia duduk di atas tempat tidur
dengan dua lengan disanggakan ke tepi tempat tidur. Selang infuse dan oksigen
menghiasi tubuhnya. Seluruh tubuhnya bengkak. Tidak dapat bergerak, hanya
kepalanya dan sorot matanya saja yang bereaksi. Kondisinya duduk, karena
dipunggungnya diganjal berbagai bantal.
Airmataku kontan mengalir dengan
derasnya, tidak dapat kutahan lagi. (pada dasarnya aku memang cengeng, tidak
kubantah itu)
Beberapa saat aku tidak dapat
berkata-kata, hanya mengelus-elus punggung dan tangannya. Air mataku
benar-benar tidak sopan, nggak bisa dicegah.
Setelah agak tenang, sambil masih
terisak, kutanyakan apa keluhannya, jawabnya lirih, “Sesak mbak…”
“Kamu nggak bisa rebahan?”
tanyaku membayangkan betapa capeknya terduduk dalam kondisi seperti itu
berhari-hari. Dia menggeleng.
“Aku nggak kuat bicara mbak…”
katanya lirih sambil terbata-bata.
“Kamu nggak usah ngomong, biarkan
aku aja yang ngomong…” kataku disela-sela mewekku. Dia mengangguk.
Akupun bercerita sedikit kapan
aku datang dari Jakarta, kenapa hari ini ke Malang, dan seterusnya. Dia
mengangguk-angguk mendengarkan karena dia memang tahu urusanku di Malang sejak
tahun lalu, selama ini dia dan adikku yang selalu mengantarkan aku selama di
Malang.
Selama bercerita, aku tidak
mengambil posisi di depannya karena aku tidak mau dia sedih melihatku mewek
terus, jadi aku berada di sampingnya sambil memeluk bahunya.
Sekitar sepuluh menit, aku
berpamitan padanya. Kubilang kalau aku mau pergi dulu, biar adikku (suaminya) yang menemaninya lagi.
“Sabar dan tetap semangat ya…”
kataku. Dia mengangguk. Kucium kedua pipinya dan cepat-cepat keluar dari sana.
Sungguh aku tidak tega melihat keadaannya. Adik iparku ini terkena kanker
payudara dan sudah mencapai stadium 4. Kata Dokter, kankernya sudah menyerang
paru-paru dan kanker itu menghasilkan cairan yang memenuhi paru-parunya terus
menerus sehingga membuatnya sesak nafas dan seluruh tubuhnya bengkak.
Beberapa hari kemudian, walaupun
aku belum menjenguknya lagi ke Malang, tapi aku tetap mendapat informasi
perkembangan kondisi adik iparku ini dari adikku.
Katanya salah satu paru-parunya
sudah disedot dan berhasil membuang cairan sebanyak 7 liter. Subhanallah.
Cairan sebanyak itu selama ini ngumpet di mana saja, pikirku galau.
Tangan dan kakinya sudah mulai
susut bengkaknya sehingga sudah agak leluasa begerak dan mulai dapat tidur,
walaupun kalau malam sekitar jam 02.00-03.00 dinihari seringkali mengigau atau
ngelindur dalam bahasa jawanya.
Adikku bilang kalau malam dia
tidak berani tidur karena takut istrinya ngelindur dan dia tidak tahu sehingga
membahayakan dirinya sendiri. Sebab sudah dua kali adikku ketiduran dan
bangun-bangun adikku mendapati istrinya duduk terbengong-bengong dengan kondisi
seluruh infuse, perban, dan baju sudah terlucuti. Ketika ditanya kenapa semua
dicopotin, jawabnya: tadi ada suster yang nyuruh. Katanya kalau mau pulang ya
harus dicopoti semua.
Aku sedih tidak dapat menemani
adikku menjaga istrinya. Kasihan, dia juga pasti capek sekali. Siang malam dia harus selalu ready untuk istrinya
yang akhir-akhir ini malah sama sekali tidak mau ditinggal adikku.
Hampir setiap hari adikku bilang
kalau dua hari lagi istrinya sudah boleh pulang. Tapi dua harinya ternyata
sampai berkali-kali. Ibuku ingin menengok menantunya, tapi karena kondisinya
sendiri yang sudah tidak terlalu bagus, maka kamipun menunggu kondisi ibuku agak bagus ketika kami ke Malang. (walaupun ibuku harus tetap duduk di kursi
roda yang didorong bapakku)
Selasa tanggal 13 Januari 2015, aku, ibuku, bapakku, anakku, dan adikku yang
bungsu menengok ke RS. Aku sempat membawa rebusan singkong yang dipesan adikku,
yang konon berkhasiat membunuh sel kanker.
Beberapa hari sebelumnya, secara
tidak sengaja aku membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa singkong rebus dan
rebusan daun sirsak adalah obat kanker yang paling mudah di dapat di sekitar
kita. Di situ dikatakan, bahwa sel kanker sebenarnya adalah sel yang belum
jadi, nah singkong yang mengandung B17 itu adalah zat yang dapat menghambat sel
tadi menjadi bibit kanker. Dimakan @100gr tiga kali sehari selama satu bulan,
boleh juga ditambah 7 lembar daun sirsak yang direbus dengan dua gelas air
sampai menjadi satu gelas saja. Ini
linknya semoga bermanfaat juga buat yang lain
Ketika kami datang, di kamar adik
iparku sedang banyak tamu. Rupanya teman-teman mamanya datang juga dari
Surabaya untuk menjenguknya. Adikku sendiri sedang tidak ditempat, sedang
menjemput anaknya yang katanya kangen ke mamanya.
Melihat kami datang, ibu dan
bapakku dipersilahkankan masuk, gantian sama tamu mamanya. Aku menunggu diluar.
Aku ingat kecengenganku
tempohari, jadi aku sengaja tidak mau masuk karena takut mewek lagi kalau nanti
lihat kondisi adik iparku ini. Beberapa kali dipanggil masuk, aku masih
beralasan.
Akhirnya akupun masuk ketika
katanya adik iparku ini menanyakan aku.
Subhanallah.
Kulihat dia duduk dengan
santainya di atas tempat tidur, bercerita dan tertawa dengan ceria, bergerak
dengan leluasa seolah tidak terganggu dengan selang infuse di salah satu
lengannya. Tidak ada selang oksigen di wajahnya. Wajahnya segar seolah dia tidak sedang sakit.
Aku takjub.
Kubayangkan kondisinya membaik
seperti kata adikku, tapi sungguh aku tidak membayangkan kalau kondisinya
sehebat sekarang. Allahu Akbar.
Kuberitahu kalau aku bawa
singkong rebus pesanan suaminya, supaya dimakan.
“Emang mbak Rini sekarang sudah
bisa makan?” tanya adik bungsuku.
“Sudah Dimas, malah aku sekarang
laperan…, sebentar-sebentar minta makan sampai mas Dodi bingung cari makanan.” katanya.
Padahal waktu aku nengok tempohari, jangankan makan, ngomong aja susah, makanya
makanan diberikan lewat infuse.
“Mbak, koq Rieke nggak ikut…, dia
kemarin pas kesini bilang katanya hari ini mau kesini lagi” katanya padaku.
“Waduh, aku sekarang nggak tahu
jadwal kerjanya Rin…, aku juga belum kontak dia…” jawabku.
“Kalau lancar, dua hari lagi aku
sudah boleh pulang…” katanya senang. Kebayang, dua minggu di rumah sakit sudah
pasti jenuh.
Aku tidak menangis, karena
suasana gembira sungguh terasa. Begitu juga ketika adikku datang dengan anaknya
yang baru saja dijemputnya dari rumah, kami juga tetap bercerita dengan lepas.
Hampir rancu dalam pikiranku kalau ingat sebetulnya adik iparku ini sedang
sakit apa…..
Menjelang jam bezook habis adalah
waktunya maghrib, kamipun pamit pulang. Jalanan agak macet, sehingga kami
sampai di Surabaya sudah lewat jam 21.00 malam.
Besok siangnyanya adikku memberitahu kalau pas bangun tidur siang istrinya demam, awalnya 38’ terus 39’, kondisinya kritis. Minta
bantuan doa. Adikku juga memberitahu kalau
ada temanku (yang baru kutahu kalau bekerja di RS tempat adik iparku ini dirawat) menjenguk istrinya.
Deg. Perasaanku tidak enak.
Pikiranku berloncatan ke banyak hal jelek, dan aku sungguh tidak suka itu.
Terngiang-ngiang terus di telingaku waktu adik iparku kemarin mengatakan kalau
dua hari lagi sudah boleh pulang dengan senangnya. Aku langsung mengabari bapak
dan ibuku minta bantuan doa.
Waktu dua hari itu adalah besok
pagi.
Malamnya, adikku yang di Jakarta
menelpon, katanya teman adikku yang sekarang menemani adikku jaga di RS minta
dikirim pulsa karena dia dan adikku tidak bisa keluar beli pulsa, kondisi
adik iparku semakin memburuk dan sudah dibawa ke ruang ICU.
Terus terang aku tidak berani
menelpon adikku. Aku nggak tega mendengar suaranya. Aku takut nanti aku nangis
duluan…. Aku sudah membayangkan kalau
adikku ini pasti sambil menangis kalau menelpon. Jadi aku selalu menanyakan
kondisi terakhir ke temannya yang menemaninya di RS.
Sekitar jam empat pagi, teman
adikku mengirim SMS;”Kondisinya semakin drop. Aku dan Dodi sudah menunggu terus
di sampingnya.”
Aku langsung menelpon ke rumah
Ibuku dan bilang kalau aku mau ke Malang, “Kalau Dimas nggak bisa nganterin,
aku naik kereta aja nggak apa-apa…” kataku.
Sekitar jam lima ibuku menelpon
bilang kalau adikku bisa ngantar ke Malang, jadi aku nggak usah naik kereta.
Oke, aku tunggu anakku berangkat
sekolah dulu baru nanti berangkat ke Malang.
Hampir jam tujuh pagi ketika
adikku menjemput. Kamipun langsung berangkat. Kuminta dia berhenti sebentar di
pinggir jalan buat beli nasi bungkus. Aku belum makan dari tadi malam. Adikku menghentikan kendaraan di tepi
jalan Menur, ada yang jual nasi pecel.
Aku beli 4 bungkus. Yang tiga
bungkus rencanaku buat adikku dan temannya yang menemani di RS yang mungkin belum sarapan serta adikku
yang mengantar aku.
Sambil makan nasi pecel, aku
menghubungi suamiku dan bilang kalau aku sedang perjalanan ke Malang. Itu
sekitar jam 08.14 pagi. Kami sudah lewatin Jemursari. Agak macet. Tiba-tiba HP ku satunya berbunyi, adik
perempuanku menelpon, “Mbak An, sudah sampai mana? Rini barusan meninggal
dunia, tolong balik jemput Bapak. Bapak mau ikut.” Katanya.
Inna Lillahi wa Inna Illaihi Roji’un.
“Dim, Rini sudah nggak ada. Kita
balik jemput Bapak…” kataku dengan mata mengabur.
Hpku yang satu berbunyi juga,
khabar dari adikku yang mengatakan istrinya sudah nggak ada. Kukhabarin
suamiku, anakku, temanku yang tau tentang adikku ini.
Hari ini adalah dua hari dari kemarin ketika dia bilang sudah boleh pulang.....
Hari ini adalah dua hari dari kemarin ketika dia bilang sudah boleh pulang.....
Hidup (Aku ) adalah milikMu,
Purwaning Dyah Puspitarini, 11
Januari 1975 – 15 Januari 2015.
(Baru beberapa hari yang lalu dia
merayakan ulang tahunnya yang ke 40)
Semoga Allah SWT menempatkanmu di
tempat terbaikNya. (Aamiin)
Terimakasih telah menjadi istri
terbaik dan tercinta buat adikku Dodi Ariaguna dan bagi buah hati kalian Rafi Arya Atmaja.
Terimakasih telah menjadi
menantu, adik ipar, tante yang baik bagi kami Keluarga Dana Aries beserta
putra-putrinya dan cucu-cucunya.
Kami semua sayang padamu, tapi Allah
ternyata lebih menyayangimu.
Kau telah meninggalkan kesan terbaikmu,
Selamat jalan adikku….
Surabaya, 16 januari 2015