Rabu, 28 Juli 2010

Seekor Monyet dan Sebatang Duri

Di satu waktu di sebuah belantara, ada seekor monyet yang terlihat melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya dengan riang. Dia adalah jenis monyet yang senang bermain, menikmati hidup dengan apa adanya, tetapi selalu penuh semangat.

Ketika sedang mencari makanpun si monyet selalu melakukannya sambil bermain, bermain dan bermain. Kata orang betawi sih, “ Singkat kate, tiada waktu tanpa bermaen dah!!”

Suatu saat, ketika dia sedang asik bermain seperti biasanya…, tiba-tiba, “Auhhh!!!” sebatang duri menancap di salah satu jari kakinya. Sebetulnya tidak sakit sih, tapi memang mungkin dia sempat kaget waktu duri itu beraksi.

Dicobanya menarik duri itu dari tempat bersemayamnya, tetapi gagal. Memang tempatnya agak susah karena nyelip diantara jari-jari kakinya, dan karena dia tidak merasa sakit, maka dibiarkannya duri itu tetap di sana, “Oke, baik-baiklah kau tinggal di sana…., asal kau tidak mengganggu!” kata si monyet pada duri itu, sambil mengelusnya.

Keadaan seperti itu berlangsung sampai beberapa lama, dan si monyet tetap nyaman-nyaman saja dengan duri di kakinya. Walaupun kadang di saat dia sedang santai beristirahat, pernah juga untuk coba mencabutnya lagi. Tetapi belum berhasil. Malah, sekarang, si monyet seolah mendapat tambahan jari kaki baru yang dapat membantunya mencengkeram akar pohon di saat dia sedang asik berayun di antara pepohonan.

Sampai akhirnya, setelah melalui perjuangan dan do’a…. (lebay.com), duri itu berhasil dicabutnya, “Horeee!! Horeee!! Aku berhasil mencabutnya.” teriak si monyet sambil memandangi duri di tangannya.

Maka, setelah puas memandangi duri dengan penuh rasa kemenangan, si monyetpun menyentilkan duri itu dari tangannya…. Tuiiiinnnngggg…..!!! Duripun terpental jauh dari tangan si monyet.

“Tralala…I’m winner. I’m free… “ katanya sambil bernyanyi, melompat-lompat, dan berayun di atas pohon.

Hari haripun berlalu dengan indahnya. Si monyetpun tetap melakukan aktifitasnya seperti biasa, mencari makan dan bermain. Ketika perutnya sudah terasa kenyang, dia merebahkan tubuhnya bermaksud istirahat. Tanpa sadar tangannya meraba jari kakinya. Sssstttt….. Ada yang aneh! Ada yang tidak biasa…., ada yang kurang….

Si monyet memperhatikan jari kakinya dengan seksama, menghitungnya… merabanya lagi…., tidak enak. Ada yang kurang…. Si monyetpun jadi teringat pada duri. Matanya mulai mencari-cari…. Ke mana ya, dulu kulemparkan duri itu, pikirnya.

Tidak puas hanya mencari-cari dengan matanya, monyetpun langsung turun ke tanah dan menyibakkan semak serta rerumputan mencari si duri. Rupanya dia kehilangan…., dan entah sampai kapan dia akan terus mencari duri itu ….

Bogor, 29 Juli 2010

Kamis, 15 Juli 2010

UNTUK JAGOAN KECILKU

Rasanya nyaman sekali

ketika bangun tidur, kudapati dia dalam pelukanku

Sudah beberapa hari ini tubuhnya agak panas, sehingga manjanya keluar

Aku tidak boleh jauh darinya,

diapun tidak mau lepas dariku

Pelukan tangan mungilnya selalu melingkariku

Sesekali mengusap pipiku,

menyibakkan rambut yang terkadang menutupi wajahku

Bahkan sesekali juga dia menempelkan pipinya ke pipiku,

sehingga terasa sangat desah panas nafasnya yang demam

Akankah masih bisa seperti ini beberapa tahun ke depan?

Saat itu mungkin kau sudah merasa malu

tidur berpelukan denganku

Saat itu bahkan

sudah akan ada beberapa orang gadis

yang bergantian menengokmu kalau kau sakit

Saat itu mungkin awal dari masa

ketika kau bukan lagi milikku sendiri

Ah, jagoanku

Lekaslah sembuh

Lekaslah tumbuh

Rengkuhlah dunia dalam genggammu

Hiasi dengan imajinasi kreatifmu

Jadikan keindahan dengan hatimu

Bahkan ketika memelukmu

kelak sudah menjadi hal yang langka

Bahkan ketika saat itu kau sudah menjadi milik dunia

Aku tidak akan menyesalinya

Hanya satu pesanku padamu,

kelak di setiap langkahmu, ingatlah selalu

pikirkan dulu,

apakah langkah itu kelak

akan membuat aku marah? Akankah membuat Allah marah?

apakah langkah itu kelak

Akan membuat aku suka? Akankah membuat Allah suka?

I love You...



Fajar, hari ketiga demamnya

Bogor, 16 Juli 2010

Sabtu, 10 Juli 2010

Namanya "Nanang"

Aku sedang duduk ngobrol dengan seorang tetangga di teras, ketika dia lewat di depan rumahku. Mukanya menunduk seolah menghitung langkahnya, sedang langkahnya yang tertatih menyiratkan usia yang telah mulai uzur. Tangan kirinya memegang ujung sarung yang tidak pernah diikat seperti wanita Makassar yang memakai Baju Bodo, dan tangan kanannya memegang kantong plastic yang biasanya berisi makanan. Badannya tidak berbaju.

“Kenapa Tuhan tidak cabut saja nyawanya ya… “ kata tetanggaku. Aku meliriknya.

“Iyalah…, coba apa gunanya lagi dia hidup seperti itu. Dari hari ke hari, sampai sekian tahun…, dia masih saja seperti itu… “ katanya lagi.

Sekali lagi aku menengok padanya sambil tersenyum. Hmm….., memang sih, kalau dipikir-pikir…, betapa ajaibnya kehidupan ini. Kita yang amat begitu perhatian pada kesehatan dan makanan, masih saja bisa terserang berbagai macam penyakit. Mulai dari flu, demam berdarah, sampai kanker. Salah satu contoh, setiap sudut rumah disemprot dengan obat anti serangga, memakai berbagai lotion anti serangga dan lain-lain supaya terhindar dari gigitan nyamuk. Tetapi tetap saja ada yang terjangkit penyakit DBD. Sedangkan dia…, boro-boro pakai lotion anti serangga. Memakai baju saja tidak. Tidur di manapun dia suka. Makanpun apa yang kebetulan dia temui. Tetapi toh dia tetap sehat walafiat sampai bertahun-tahun ini.

Kalau tetanggaku tadi punya pikiran seperti itu, kalau aku malah lebih sering berpikir begini : kira-kira apa ya yang ada dalam pikirannya saat ini? Aku rasa dalam otaknya pasti tidak kosong. Aku yakin ada aktifitas yang tetap berjalan dengan kondisinya seperti itu. Bukankah sudah ada hasil penelitian yang menyatakan bahwa kondisi otak manusia jenius dan manusia tidak waras itu nyaris sama? Jadi bisa dibilang kalau orang gila itu sebetulnya lebih pandai dari orang normal. Bener nggak sih kesimpulanku itu?! Hehehe….

Dia, yang sedang kubicarakan dan jadi topic tulisanku ini namanya adalah Nanang. Seorang lelaki paruh baya (mungkin juga lebih tua) yang kehilangan ingatannya sejak bertahun-tahun lalu, dan aku tidak tahu pasti kapan bermulanya, sebab ketika aku pindah ke rumah ini kurang lebih 12 tahun yang lalu, keadaan Nanang ini sudah seperti itu. Berjalan menunduk dengan rambut gimbal yang tidak pernah melewati bahu panjangnya (nggak tahu siapa yang memotong rambutnya), tubuh bagian atas tidak pernah tertutupi pakaian, sedang tubuh bagian bawah dia tutupi dengan sehelai kain sarung lusuh yang salah satu ujungnya dia pegang karena memang tidak pernah diikat dengan benar.

Jarak jangkau pengembaraannya kurasa tidak pernah lebih dari 10 km. Dia hanya beredar di kompleks rumahku, kampung sebelah kompleks, terus beberapa kompleks perumahan sekitar rumahku dan beberapa kampung yang tidak jauh. Entah kenapa dia tidak berkelana lebih jauh lagi, seolah ada sesuatu yang mengikatnya sehingga perjalanannya hanya berputar-putar di sekitar ini saja.

Begitu juga dengan penampilannya. Dari hari kehari, sampai bilangan tahun berlalu, penampilannya tetap seperti itu. Konon pernah ada yang memberinya pakaian dan dimandikan dengan bersih, tetapi… esok harinya dia sudah kembali seperti itu. Dia tidak mau memakai baju, tetapi dia juga tidak mau bugil. Dia tetap memakai sarung untuk menutupi auratnya. Dia tidak pernah mengeluarkan suara, (Aku pernah melihatnya beberapa kali sedang duduk memandangi makanannya dan berkomat-kamit seolah mendo’ainya). Dia juga tidak agresif, sehingga kami tidak takut padanya. Tetapi, para orangtua selalu memakai namanya untuk menakut-nakuti anaknya yang tidak menurut atau mulai nakal : Awas, nanti ada Nanang lho!! Dan anak-anakpun takut padanya.

Kalau tentang namanya sendiri, pernah ada tukang ojek yang memanggilnya karena mau diberi makanan. Eh, dianya cuek aja. Menyahut enggak, nyamperinpun enggak. Malah aku jadi ragu, apa bener namanya memang ‘Nanang?’.

“Iya kan, apa gunanya ada orang-orang seperti dia?” tetanggaku kembali menyuarakan isi hatinya.

“Mungkin Tuhan biarkan ada orang yang seperti itu ya untuk manusia sendiri. Coba bayangkan, kalau nggak ada orang-orang seperti itu… pasti nggak ada dokter spesialis kejiwaan,… nggak ada jenis pekerjaan buat ngurusi orang-orang itu, nggak ada rumah sakitnya, nggak ada perawatnya, nggak ada tukang kebonnya, dan lain-lain. Nambah berapa pengangguran lagi dong…. “ jawabku asal.

“Lo ngasal..!!” kata tetanggaku.

Hehehe…. Aku ngasal ya? Tetapi memang bener deh, aku pingin tahu apa isi kepala mereka itu. Apa saja yang dipikirkannya selama ini…. Tapi, kira-kira menakutkan nggak ya ngobrol sama orang gila?!


Di suatu sore di teras rumah,

Bogor, 11 Juli 2010